Minggu, 27 Februari 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Ukhti Raida
Dimuat di Banjarmasin Post, 27 Februari 2011

“25 juta, jika ingin menikahi anakku!” kata-kata sinis tapi tegas itu keluar dari mulut Pak Yamin, ayah dari Sinta, gadis yang sangat ingin aku nikahi. Jumlah yang disebutkan ayahnya Sinta itu belum termasuk dengan mahar dan biaya pernikahan yang harus aku tanggung sebagai pihak laki-laki. Ah…aku tidak tahu apakah Pak Yamin setuju bila Sinta menikah denganku, padahal aku sudah ceritakan pada Sinta pekerjaanku sebagai PNS golongan III yang gajinya tidak terlalu besar. Jika memang hubunganku dengan anaknya di restui, kenapa harus mengajukan jumlah jujuran sebesar itu?

“ Maaf Pak, apakah Sinta sudah menceritakan pada Bapak apa dan bagaimana pekerjaan saya?” tanyaku dengan sopan

“ Tentu saja, kamu seorang PNS kan? kenapa memangnya?” jawab Pak Yamin langsung bertanya balik.

“ Iya, saya memang seorang PNS yang baru tiga bulan kemarin diterima, golongan pangkat saya adalah III c dengan gaji hanya sekitar satu jutaan per bulan. Karna itulah, saya minta maaf sebelumnya, apakah bisa jumlah jujuran itu di kurangi lagi?” pintaku sambil tertunduk. Aku menunggu reaksi pak Yamin tanpa berani mengangkat muka dan melihat ekpresi wajahnya karna permintaanku tadi.

“ heh, kamu ini niat ga’ sih mau kawin sama anakku?” Tanya Pak Yamin dengan nada keras yang seketika membuatku terkejut.

“Iya, insya Allah pak, saya tentu sangat ingin dan serius menikahi Sinta” jawabku

“Kalo gitu, modal kamu apa heh? Kalo mau kawin itu harus punya modal besar, jangan cuma modal cinta saja! Kamu tahu, banyak laki-laki yang datang melamar Sinta, bukan kamu saja. Sudah! Itu jumlah yang tidak bisa di tawar lagi. Kalo kamu tidak sanggup, kawin saja dengan orang lain!” kali ini pak Yamin benar-benar emosi, sesaat ku lihat Sinta di balik tirai dengan wajah tertunduk. Ya Allah, apakah ini pertanda lamaranku di tolak?

“ Pak, saya mohon maaf atas kelancangan saya tadi. Saya serius ingin menikah dengan Sinta, saya memang sudah mempersiapkan semua termasuk biaya, tapi bukankah jujuran hanya bagian dari adat sehingga jumlahnya bisa berapa saja? Untuk mahar, tentu saya siapkan yang terbaik” jawabku lagi dengan hati-hati

“ Sudah, pergi saja kamu dari sini. Jika kamu tidak sanggup memenuhi jujuran dari saya, cari saja wanita lain. Tidak usah sok bicara adat kamu! “ tukas pak Yamin lagi. Sungguh aku tak bisa berkata apa-apa lagi, mungkin memang Sinta bukanlah jodohku, aku jelas tidak sanggup memenuhi tuntutan ayahnya.

“Baiklah pak, sekali lagi saya minta maaf jika ada kata dan sikap saya yang tidak berkenan. Saya sangat ingin proses pernikahan ini berlanjut, tapi mungkin ini jalan terbaik. Semoga Sinta nanti bisa mendapatkan calon suami yang lebih baik dari saya” kataku sambil berpamitan. Pak Yamin seaakan tak peduli, bahkan ketika aku ingin meraih tangannya untuk bersalaman, ia menepisnya. Sekali lagi kulirik Sinta yang sepertinya menangis di balik tirai ruang tamu itu, maafkan aku Sinta, semoga kau mendapat yang lebih baik dariku, doaku dalam hati.

Aku pulang mengendarai motor dengan kecepatan rendah , juga dengan pikiranku campur aduk berkecamuk. Impianku untuk segera mengakhiri masa lajang ini akhirnya putus di tengah jalan. Dan semua itu hanya karna tuntutan dari adat yang bukan merupakan bagian dari agama. Aku berhenti di pinggir jalan dan membeli minuman dingin sekedar untuk menyegarkan suasana hati dan kepalaku yang panas ini. Sinta, gadis santun berjilbab, yang selalu menjaga pergaulannya dengan lawan jenis, yang ku kenal lewat Ustadz Hadi, guru ngajiku, kini harus ikhlas kulepaskan. Usiaku sudah 26 tahun, ibu sudah mendesak agar segera menikah karna sudah tidak sabar ingin mengemong cucu dari anak tertuanya ini. Kata-kata ayahnya Sinta terngiang di pikiranku, andai saja bapak masih hidup, pasti beliau tidak akan terima dengan perkataan pak Yamin yang cukup menyakitkan itu. Bapak adalah orang yang sangat menjaga harga diri, sekalipun kami hanyalah keluarga yang amat sangat sederhana. Pasti pula bapak setelah mendengar ucapan pak Yamin, beliau akan langsung menarikku pulang dan membatalkan niat untuk meminta Sinta menjadi menantunya. Ah Bapak, kenapa aku tiba-tiba rindu padamu?

Jujuran, dalam adat Banjar merupakan bagian dari proses menuju pernikahan. Jujuran tidak bisa disamakan dengan mahar, walaupun sama-sama diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Entah kenapa, adat itu seperti mendarah daging seolah tidak bisa lepas, kadang hanya karna masalah jujuran itu, sepasang muda-mudi yang ingin menghalalkan hubungan mereka tanpa pacaran yang berlama-lama harus terhalang niatnya untuk menikah. Kecuali lak-laki itu berasal dari keluarga yang kaya raya, tentu berapapun jumlah jujuran yang diminta tak akan menjadi masalah besar. Mungkin bukan hanya disini istilah jujuran itu ada, tapi daerah lain pun juga ada. Pantas saja anak muda zaman sekarang lebih memilih pacaran daripada menikah, faktor usia bukan lagi jadi alasan utama, melainkan kesanggupan dari pihak laki-laki mulai dari menyiapkan jujuran tadi, mahar, sampai dengan biaya pernikahan. Sedangkan pihak perempuan mungkin hanya mengeluarkan biaya yang sedikit, setidaknya untuk biaya resepsi saja. Tapi aku sangat mengenal Sinta, dia bukanlah gadis yang materialistis. Entah apa yang dilakukannya sekarang, mencoba membujuk ayahnya kah agar tetap mau menerimaku dengan jujuran yang sanggup ku penuhi saja, atau hanya bisa pasrah menerima semua ini.

Tiba-tiba handphone-ku bergetar tanda ada pesan singkat yang masuk. Kuraih dari saku dan kulihat ada nama Sinta sebagai si pengirim pesan.

“ Asslm kak Rizal, sy minta maaf atas sikap Abah tadi. Sungguh, sebelum kak Rizal datang sy sudah bicara dengan ortu tentang kakak dan permintaan sy agar jujuran itu tdk perlu ada, atau jk pun ada, jumlahnya jangan terlalu besar. Stlh kak Rizal pulang, sy mencoba bicara lg dg Abah, tp beliau tetap pd pendiriannya. Sy tdk th hrs melakukan apa lg, tp sy yakin jk kt mmg jodoh maka Allah pst akan memudahkan. Skrg keputusan sy serahkan pada kak Rizal, jk msh ingin melanjutkan, kt bs pikirkan bersama bgmn solusinya, tp jk tdk, sy jg yakin rencana Allah lbh baik. Sinta”

Ku baca pesan Sinta itu dengan jantung berdegup kencang, masih dengan perasaan tak menentu. Bicara masalah perasaan, tentu aku masih sangat ingin melanjutkan ini semua, tapi entah bagaimana caranya. Apa aku harus mencari pinjaman dulu untuk memenuhi permintaan ayahnya Sinta itu? Tidak mungkin, sejak dulu bapak tidak pernah mengijinkan ibu atau keluarganya mengais rejeki dengan berhutang. Akhirnya ku putuskan untuk memikirkannya lagi dengan memohon petunjuk dari Allah, aku yakin niat yang baik akan diberikan jalan keluar terbaik.

Pulang kerumah, aku langsung di sambut oleh Ibu. Aku tahu ibu pasti ingin menanyakan bagaimana hasil lamaranku. Kupandang wajah ibu lekat-lekat, usia senja sudah membuat wajahnya itu penuh dengan keriput, ditambah dengan lelahnya menjalani kehidupan.

“Bagaimana nak? Apa keluarganya menerimamu?” Tanya Ibu
Sesaat aku terdiam dan tertunduk, rasanya tidak sanggup mengatakan hal ini pada beliau.

“Bu, akan selalu ada rencana Allah yang lebih indah dari apa yang kita rencanakan. Mungkin sekarang belum saatnya bagiku mempunyai istri atau ibu untuk mempunyai menantu. Sabar ya bu” jawabku mengatur nada bicara agar tidak terlalu membuat ibu shock. Bagaimana pun ibu sangat berharap pernikahanku dengan Sinta segera terwujud.

“Iya nak, ibu paham kok. Kamu lelaki yang baik, pasti akan mendapatkan jodoh yang lebih baik ya” kata ibu lagi dengan bijak.

Walau aku tahu Sinta sangat berharap padaku, tapi aku tidak bisa melanjutkan proses ini lagi. Bagaimana pun harga diri dan prinsip bagiku yang paling utama. Dan kuyakin pula Sinta akan bisa menerima keputusan ini dengan lapang dada.

**

“ Berapa uang yang sudah kau siapkan untuk pernikahanmu nak?” Tanya bapak dengan usia yang sudah senja namun tetap gagah itu padaku.
“ Simpanan saya untuk menikah ada 20 juta pak. Sebagian uang itu adalah pemberian dari almarhum bapak saya” jawabku dengan tertunduk. Kali ini aku pasrah bila lamaranku kembali di tolak.

“ Baiklah, saya terima lamaranmu. Jujuran biar sekalian dengan mahar saja ya? Biaya resepsi walimahan biar kita gabungkan saja, dan diadakan di rumah ini, jadi tidak perlu diadakan di dua tempat, bagaimana?” kata Bapak itu sambil tersenyum padaku.
Aku mengangguk dengan senyum sumringah, tak henti dalam hati aku mengucap syukur luar biasa kepada Allah.

Alhamdulillah ya Allah, inikah jawabanMu atas doaku selama ini? Akhirnya aku bisa menggenapkan separuh agamaku, dengan wanita sebaik dan seshalihah Sarah dan mendapat keluarga yang sangat baik seperti Pak Husin ini. Padahal beliau adalah seorang pak Haji yang cukup terpandang dan kaya namun sederhana. Tiba-tiba aku teringat lagi dengan Sinta, gadis yang akhirnya ku putuskan untuk tidak lagi melanjutkan proses pernikahan kami, bukan hanya soal jujuran, tapi juga prinsip. Tapi ku dengar sekarang ia pun baru menikah dengan lelaki lain yang pasti lebih baik daripada aku dalam menarik hati ayahnya.

Kamus :
Jujuran = pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk tujuan pernikahan. Merupakan bagian dari adat daerah Banjar, jumlahnya ditentukan oleh pihak perempuan, tidka termasuk dalam mahar atau seserahan.
by Forum Lingkar Pena
Cerpen Benny Arnas

Dimuat di Surabaya Post, Minggu, 27 Februari 2011


”PESAN Ayah, kita tidak boleh keluar rumah.” Itulah yang kerap dikatakan Ibu. Bahkan hanya untuk cari angin sekalipun, kata-kata yang lebih bernada larangan tersebut kerap dilontarkannya.

Pernah suatu siang, aku dan kedua adikku, Ando dan Aldi diam-diam hendak keluar rumah. Baru saja kami membuka pintu depan, bahkan belum sempat juga kaki menginjak lantai beranda, kami langsung tunggang langgang masuk. Masing-masing kami sibuk menyibakkan tangan di depan mata.

“Itulah akibat tidak mendengarkan nasihat orangtua!” kata Ibu yang tahu-tahu sudah berdiri di sudut ruang tengah.

“Ini bukan karena melanggar larangan, Bu. Ini karena kami sudah bertahun-tahun tidak terkena sinar matahari.”

“Bahkan berpuluh-puluh tahun…,” Ando menyela.

“Atau ratusan tahun, Bu,” sambung si bungsu Aldi.

“Diam! Ngomong apa kalian?!” Ibu membelalak, “Masuuuk!” tangannya menunjuk kamar belakang.

Kami hanya nurut, masuk ke kamar pengap di dapur.

(ba)

KAMI sungguh tak mengerti mengapa Ibu melarang kami meninggalkan rumah ini, walaupun hanya sejenak. Padahal kami tahu, Ibu pun merasakan keganjilan yang kami rasakan. Begitu banyak makhluk asing yang wara-wiri semaunya saja di sini. Pantas saja, kalau orang-orang sekitar bilang, rumah ini adalah rumah hantu.

Tidak siang-tidak malam, selalu ada saja hantu-hantu yang memasuki rumah ini. Tanpa permisi, tanpa mengucap salam, bahkan tanpa seulas senyum, mereka seenaknya saja mencuci, menanak nasi, makan di meja makan, bahkan menonton televisi. Mereka melakukan semua tanpa canggung seakan-akan tak menganggap keberadaan kami.

Setiap kami ingin mengusir mereka, Ibu selalu memarahi kami. Kami juga tak tahu, sudah berapa lama tak diperbolehkan meninggalkan rumah tua ini. Ibu selalu bilang, “Pesan Ayah…” kami benar-benar muak dengan dua kata pembuka yang sudah kami ketahui kelanjutannya itu.

(ta)

MUNGKIN kami adalah orang-orang yang paling aneh. Ketika banyak orang yang lari tunggang-langgang ketika melihat penampakan makhluk dari alam lain, kami malah sebaliknya. Kami sudah terbiasa. Hebatnya makhluk-makhluk asing itu paling lama bertahan sebulan di rumah kami, setelah itu baru kami dapat tinggal tanpa gangguan. Walaupun biasanya satu minggu atau paling lama dua bulan setelah itu makhluk asing lain lagi yang menyambangi rumah ini.

Anehnya tamu-tamu tak diundang yang datang tersebut adalah makhluk-makhluk yang berwajah seperti orang kebanyakan. Ada yang bergaya kantoran, pedagang sukses, atau hanya sekumpulan setan kurang ajar yang ingin berbuat mesum. Pokoknya mereka adalah dedemit-dedemit elit lah. Tak satu pun dari mereka berwajah menyeramkan seperti yang sering kami tonton di film atau sinetron hantu-hantuan di televisi. Ah, televisi memang pembohong!

Tapi mungkin saja, para makhluk halus elit itu telah membuat semacam pengumuman bahwa rumah mewah ini hanya diperuntukkan bagi dedemit-dedemit tertentu. Maklum kami belum pernah melihat tuyul, babi ngepet, wewe gombel, atau hantu kampungan lainnya, berseliweran di rumah ini. Sungguh, kami benar-benar merasa terbiasa dengan semua ketidaklaziman ini.

“Jal, anggap saja mereka keluarga kita,” kata Ibu ketika aku mengeluh.

“Kok makhluk halus jadi keluarga kita sih, Bu?” protesku.

“Dari mana kalian tahu dia makhluk halus?” ibu balik bertanya.

“Buktinya, ketika kami memukul, mencubit, bahkan menyentuh tubuh mereka sekalipun, kami hanya mengibas angin,” sahut Ando bersemangat.

”Iya mereka nyata tapi seperti angin,” Aldi menimpali.

“Nah, karena hal itulah makanya pesan Ayah…” Ibu menggantung kalimatnya, ketika kami serentak menuju dapur.

(tsa)

AKHIR-AKHIR ini, ibu makin sering mewanti-wanti kami. Tapi kali ini lebih gawat. Ibu bahkan tidak memperbolehkan kami keluar dari kamar pengap yang lebih layak dikatakan gudang ini. Katanya, ada makhluk asing baru yang menyambangi rumah kami.

“Tamu tak diundang ini tidak sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Mereka tak segan-segan mengusir kita kalau kita macam-macam?” kata Ibu ketika kami semua tak mau berlama-lama menempati ’gudang’ ini. Ibu makin aneh saja.

“Apa yang kaulakukan siang tadi, Di?!” Ibu memarahi Aldi menjelang malam itu.

“Ng… ng... nggak sengaja, Bu?” suara Aldi bergetar. Tangan mungilnya meremas-remas ujung baju kusamnya.

“Memangnya ada apa, Bu?” aku penasaran.

“Jal, gara-gara adikmu ini, kita terancam!” jawab Ibu ketus. Pandangan tajamnya tak lepas dari Aldi yang ketakutan di sudut kamar.

“Terancam?” Ando bergumam. Dahinya berlipat tiga.

Ibu mondar-mandir. Ekspresinya kalut.

“Mmm… tidak. Tidak ada masalah. Ibu hanya cemas menunggu Ayah kalian,” Ibu menyemringahkan wajah. Kami tahu kalau beliau tengah menyembunyikan sesuatu.

“Apa kata Ibu?” Aldi yang sedari tadi mencangkung ketakutan buka suara.

Ibu tak menjawab.

Kami bertiga saling berpandangan, sebelum mengerucutkan arah ke wajah Ibu.

“Ayah?!” kami bertanya serentak, dengan nada dan intonasi yang nyaris sama.

“Mmm…” wajah Ibu memerah.

“Kata Ibu, Ayah sudah meninggal?” Aldi kembali bertanya.

“Ibu bohong ya?” tanyaku.

“Ibu tega membohongi kami. Bahkan Ibu mengatakan Ayah sudah mati!” Ando emosi. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk wajah Ibu.

Ibu tidak menjawab. Ia keluar kamar.

(ja)

“MEMANGNYA apa yang kamu lakukan, Dik?” lamat-lamat kubertanya pada Aldi ketika kupastikan Ibu tak ada lagi di kamar pengap ini.

“Ketika Aldi mencoba keluar kamar diam-diam, Aldi menyenggol rak piring, Kak. Beberapa piring dan gelas jatuh dan pecah,” jawabnya polos.

“Trus?” desak Ando.

“Kebetulan waktu itu ada makhluk asing itu, Kak. Kayaknya anaknya dedemit itu. Dia langsung berlarian ke luar rumah,”

“Aku mendukung kamu, Dik!” ujar Ando sambil mengepalkan tangannya. “Memang sekali-kali penampakan itu harus kita lawan!”

“Aku juga berpikir begitu,” Aldi menimpali. “Tapi mengapa Ibu sangat marah?”

“Aku tak mengerti juga, Dik!” Aku menghela napas, “sepertinya ada yang tidak beres di rumah ini.”

“Ah, kalau Itu sih, sudah dari dulu, Kak,” Ando menyela, “aku juga sering mendengar celotehan orang-orang di luar rumah dari balik dinding kamar ini. Katanya rumah kita ini angker.”

“Ya sudah,” tukasku “o ya, lanjutkan ceritamu tadi, Dik?” Aku masih belum puas mendengar cerita Aldi.

“O ya, aku sampai lupa,“ Aldi memukul keningnya, “waktu itu Ibu langsung mendekatiku. Wajahnya tiba-tiba pucat ketika mendengar bahwa malam ini orang-orang di luar rumah hendak mengusir kita.”

“Mengusir kita?!” Ando membelalak.

“Jumlah mereka banyak, dik?” aku antusias.

Aldi mengangguk kecut. Tiba-tiba bulu kuduk kami merinding.

“Aku takut, kak,” Aldi merapat, menengadahkan wajahnya ke arahku.

“Siapa temannya itu?” Ando mendesak, makin merapat ke Aldi, ”Gondoruwo?”

“Bukan!”

“Kuntilanak?”

Aldi menggeleng.

“Suster ngesot?”

Aldi menggeleng lagi.

“Ooo…aku baru tahu sekarang,” aku tiba-tiba menyela, “mungkin itulah alasan mengapa ibu menantikan arwah Ayah yang sudah meninggal…”

“Jadi Ayah memang benar-benar sudah meninggal?!” tanya Aldi.

“Sudahlah itu nggak penting. Yang jelas…”

”Yap!” pungkas Ando serta merta bangkit dari pembaringannya. “Arwah Ayah pastilah arwah yang hebat! Dia pasti bisa menghadapi dedemit-dedemit mana pun!”

Kami semringah. Mengangguk-angguk bangga.

“Ya sudah, kita tunggu saja Ibu datang.” Aku mengakhiri pembicaraan sebelum menarik selimut, beranjak tidur.

(ha)

“JAL, cepat bangun! Mereka datang!” Kulihat Ibu sudah berada di samping dipan. Ia membangunkan kami secara paksa. Tangannya memukul-mukul kami. Beliau berlaku seakan-akan keadaan benar-benar gawat darurat.

“Ada apa, Bu?” Aku masih mengucek mata. Aldi dan Ando baru beringsut dari tidur. Mata mereka masih berat.

“Jangan banyak tanya, Jal. Pokoknya kita harus segera keluar!”

Aku tergopoh bangkit dari dipan.

“Aaaah!!” Aldi dan Ando berteriak. Mereka ternganga melihat ke arah pintu kamar.

Aku benar-benar terperajat melihat sosok makhluk tinggi besar dan menyeramkan yang berdiri di sana.

“Dia Ayah kalian,” Ibu masih sibuk menarik tangan kedua adiku, memaksa mereka meninggalkan dipan tua ini.

“Bu,” bibirku kelu.

Ando dan Aldi memelukku erat. Aku tak kalah erat memeluk mereka. Kami sama-sama takut.

“Ayo cepat keluar! Kita tidak punya waktu banyak!” Lelaki menyeramkan di pintu itu berteriak geram.

Kami tak beranjak. Kami masih belum bisa memercayai bahwa kami memiliki Ayah yang rupanya seburuk itu.

Tiba-tiba....

“Iya Pak Kyai, gudang tua ini sarang setan!”

“Ayo Pak Kyai, jangan tunggu lagi!”

“Usir saja!”

“Usir!”

“Ya, usir!”

Suara-suara itu bergemuruh di luar kamar. Makin lama, makin keras, makin mendekat ke pintu. Makin mengerikan. Aku dan adik-adikku makin ketakutan. Kulihat wajah Ibu cemas. Pun lelaki seram itu segera menjauhi pintu dan bergabung bersama kami.

PRAAAK!!

Pintu didobrak.

Kulihat ada puluhan makhluk asing menjejali pintu kamar kami. Langkah mereka tertahan oleh seorang lelaki tua berjanggut yang berjubah putih, kopiah putih, dengan tasbih di tangan kanannya.

“Tenang!” suaranya membisukan gemuruh orang-orang di belakangnya.

Senyap.

“Tolong Kyai, saya tak sanggup lagi. Tidak ada pengontrak yang bertahan lama di rumah saya ini.” Seorang wanita setengah baya memecah senyap yang baru berlangsung beberapa detik tersebut.

Lelaki berjubah itu tetap tenang. Pandangannya menyapu setiap bagian kamar pengap ini.

“Iya, Kek. Tadi siang waktu Anita, adik saya yang masih SD pergi ke dapur dekat kamar tua ini, dia melihat pintu kamar ini terbuka sendiri, rak piring bergoyang-goyang, beberapa piring melamin dan gelas kristal kami pecah karena terjatuh ke lantai,” lapor seorang pemuda yang menggandeng seorang gadis kecil. Bersama kedua orangtuanya, sejak beberapa hari yang lalu, mereka adalah dua tamu tak diundang di rumah ini.

Lelaki berjubah itu bergeming. Pandangannya masih mengitari ruangan. Kulihat lelaki seram di samping Ibu pucat pasi. Ibu dan Aldo juga demikian. Sementara si bungsu Aldi memandang tajam pada gadis kecil di dekat pintu itu, sepertinya dia mengenalnya. Aku masih memeluk erat adik-adikku. Kami benar-benar ketakutan ketika pandangan lelaki berjubah itu berhenti di sudut kiri ruangan ini, di samping dipan, tempat kami berlima berkumpul.

“Bagaimana Kyai?” tanya salah seorang di belakang lelaki berjubah.

“Ada mereka di sini, Kyai?” tanya yang lain.

Lelaki berjubah itu mengangguk pelan, “Kita baca ayat kursi. Ikuti aku!” ujarnya tegas.

Lelaki berjubah itu memimpin pembacaan mantra-mantra aneh itu. Mantra itu bunyinya mirip-mirip lantunan yang sering kami dengar dari masjid di utara kampung ini. Makin lama, makin memekakkan telinga. Kulihat Ibu dan lelaki seram yang mengaku ayah kami itu kejang-kejang, diikuti Aldi, Ando, dan oh, aku juga merasakan hal yang sama. Kami kepanasan. Entah mengapa tiba-tiba tubuh kami melayang, terbang ringan menembus genteng tua rumah ini. (*)

Lubuklinggau, 2008-2010

Rabu, 23 Februari 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Setta SS
Dimuat di www.angsoduo.net, 23 Pebruari 2011

UDARA meraja sumsum. Angin beku. Banjir embun pekat. Sekawanan manyar nyinyir enggan di pucuk-pucuk sengon. Sepasang kelelawar bersliweran menyisir daun-daun pisang kering berwarna coklat suram yang bergelantungan dari pohonnya, kembali dari perburuan semalaman suntuk sarat saingan. Paduka Siang meringkuk menekuk tengkuk. Kecuali Ki Pradopo. Ia sudah bergegas menuju ladang tembakaunya. Membawa sepasang keranjang bambu di pikulan bahunya. Seperti kebiasaannya saat musim panen raya itu tiba. Tak lama selepas adzan pagi berhenti terdengar dari corong soak mushala kecil tak berpengunjung selain muadzin merangkap imam-makmum tepat di tengah-tengah kampung Halimun itu. Inilah saat pagi yang ditunggu-tunggu itu!

Namun kejanggalan melanda Ki Pradopo kali ini. Ia mati kutu di atas ranggonnya. Nir-senyum. Tak siul. Apatah dendang. Raut wajah itu seperti kulit mayat! Sendu satu-dua.
Hai, lupakah ia mengharamkan isak lelaki Petala kecil? Karma apa yang jaya menikamnya?

***

LANGIT masih hijau. Sebutir cengkir terpelanting jatuh ke tanah basah tersenggol seekor induk bajing yang terburu meloncat dari manggar menyusur pelepah ke ranting-ranting jati kering. Kerik jangkrik. Sabda burung hantu. Sesekali terpantul sendu dari balik rimbun pepohonan di ujung kampung di pinggiran hutan itu. Embik kambing lapar. Sahut-menyahut. Kokok ayam satu-satu. Mengepakkan sayap kaku dari balik pucuk-pucuk daun jambu air. Embun lebat menyeruak, menyelimuti hamparan tegalan seluas lapangan bolasepak berjejer pohon-pohon tembakau setinggi tubuh normal remaja tujuh belas tahun. Membekukan setiap zarah yang dihinggapi.

Tetapi lelaki tua itu seperti tak terusik suasana. Ki Pradopo, 63 tahun, sudah khusyuk bekerja di ladang tembakaunya seperti hari-hari sebelumnya. Tubuh legamnya hanya terbungkus oblong pudar, celana kain sebatas lutut dan selembar sarung usang dililitkan di lehernya. Ia tak pernah beralas kaki saat ke ladangnya. Ki Pradopo sedang nyirungi tanaman tembakaunya. Mengambili daun-daun bakau muda yang tumbuh di sekeliling batang tembakau di bawah daun-daun utama yang siap dipanen beberapa hari lagi.
Sebenarnya pekerjaan nyirungi itu dilakukan setiap tiga hari sekali. Namun jumlah batang tembakau ge’njah sogoti miliknya mencapai 3000 batang. Ia tak sanggup menyelesaikannya setiap pagi seorang diri. Mak Entek, istrinya, insyaf setengah mati tak hirau membantu. Ia pun tak cukup uang untuk mengupah orang.

“Tembakau yang kau tanam dan kelak kau isap asapnya itu akan semakin menggerogoti tubuh rentamu perlahan-lahan, Pak!” alasan keberatan Mak Entek.

“Bukan urusanmu! Bahkan aku sudah siap dengan seribu resikonya!” jawab Ki Pradopo suatu ketika.

“Pasti ludes dirampok tikus-tikus ganas serakah itu! Tetapi hama-hama keparat itu mustahil menyentuh batang tembakauku!” kali ini Ki Pradopo membantah mentah-mentah usulan Mak Entek agar mengganti ladang tembakaunya dengan palawija saja.

Meski Mak Entek membenarkan argumen suaminya yang terakhir itu, ia tetap bersikeras tak berkompromi. Mak Entek memilih hanya mengurusi ladang mereka yang lainnya di pinggir kali Cikawung. Menanam padi, kacang tanah, jagung, ketela, ubi jalar, kacang panjang, timun, terong, tomat, kecipir dan leunca selang-seling di antara musim penghujan dan kemarau panjang.

Maka Ki Pradopo wajib mandiri nyirungi setiap pagi. Seribu batang per hari. Dua bulan runut sejak munggel pertama tepat di hari ke empat puluh.

“Biar rasa bakaunya tidak sepet,” mendiang ayahnya dulu selalu menjawabnya demikian setiap kali ia bertanya kenapa harus disirungi.

Saat mentari mulai meninggi dan keringat merembes di kaos oblongnya, Ki Pradopo naik ke atas ranggon di tengah ladangnya. Mengurai lilitan lembab sarung usang di leher dan melepas kaosnya. Ia menjemurnya pada seutas tali rapia yang ujung-ujungnya terikat di dua tiang utama gubuk bertingkat itu. Kemudian ia duduk bersila di lantai sengon ranggon. Menggulung klaras jagung berisi tembakau daun rampasan tanpa menambahinya dengan cengkeh, kemenyan, kelembak atau apapun. Dan menyulutnya dengan pemantik api lawas. Ia menamai rokok buatannya itu bedod.

Ki Pradopo mengisap dalam-dalam bedodnya dengan nikmat. Polutan pekat campuran nikotin, arsenik, amoniak, hidrogen sianida, aceton, hexamine, cadmium, DDT dan puluhan zat toxic lainnya berputar-putar rendah di atas kepalanya sebelum menelusup enggan di antara jalinan atap rumbia. Ki Pradopo pun terbatuk-batuk hebat beberapa kali memamerkan wajah siksaan. Namun itu hanya berlangsung sesaat saja. Ia tersenyum lambat laun. Tak lain karena sepuluh hari ke depan ia sah memetik buah lelahnya. Ia akan berpanen raya.

Teringat hari yang sangat ditunggu itu, otot-otot di ceruk mata bangkanya seketika merapat kompak, mengembarakan pemiliknya ke suatu masa raya.

Daun-daun bakau pilihan itu diperamnya seminggu penuh di pojok ruang depan kediamannya yang hanya berlantai tanah. Ditutup rapat daun raja atau ambon hingga daun-daun bakau itu menguning kunir. Ki Pradopo lantas memindahkannya ke dalam beberapa keranjang bambu dan memanggulnya ke belakang rumah tempat cakcak miliknya dimusiumkan sementara. Cakcak adalah sebuah bangku panjang dengan rangkaian kayu membentuk huruf V di atasnya untuk meletakkan sekepalan daun bakau saat dirajang.

Kedua tangan Ki Pradopo akan gesit memilih-memilah daun-daun tembakau kuning kunir itu. Melipat setiap beberapa lembar daun seukuran celah V cakcak. Menyentuhkan mata tajam abir pada lipatan daun setengah putus. Meletakkannya di atas hamparan daun raja dekat cakcak. Hingga tak sisa sehelai daun bakau pun dalam keranjang bambunya. Mulailah ia merajang sepenuh jiwa raga. Semua keahlian seni rajang-merajang ia keluarkan totalitas demi hasil terbaik rajangannya. Ki Pradopo akan seharian penuh bekerja untuk menyelesaikan ritualnya itu. Beberapa hari maraton selama masa panen raya.

Begitulah, empat hari empat malam rajangan bakau itu ditempatkan di udara terbuka di atas widig pada pelanggrang. Dipanggang bagaskara, gigil bersama semilir angin malam dan diselimuti rintik embun sejak dini hari.

Semua laki-laki di kampung Halimun menyukai tembakau hasil rajangan Ki Pradopo. Tak kecuali Petala, anak semata wayangnya yang kini menetap di pinggiran kota kecil pesisir utara bersama istri dan seorang cucu satu-satunya. Meski terbiasa dengan rokok kretek, juniornya itu saat mudik atau ketika dikirimi satu kardus besar tembakau hasil rajangannya akan langsung diembatnya juga hingga tandas tak tersisa. Ia dan juniornya ibarat pinang dibelah dua dalam hal kerakusan menghisap bedod. Sepasang anak beranak maestro peracik tembakau. Tak ada seorang pun yang menyangsikannya.

Ki Pradopo biasa mengupah Kana, seorang bujang lapuk yang kerja serabutan, untuk mengecerkan tembakau kering hasil rajangannya atau dijualnya sendiri dengan menggelar lapak di pasar tradisional. Uang pun akan mengalir tak seret ke kantongnya seorang. Mak Entek tak sudi ikut menikmati seperbagian uang hasil penjualan tembakau yang pernah disisihkan untuknya.

***

SOSOK uzur rambut uban setengah senti itu hendak mengangkat kepalanya yang tertunduk dalam. Tetapi terasa sangat berat olehnya seperti memindahkan bobot seton. Tiba-tiba mata Ki Pradopo melotot serta merta bak memotret hantu putih menyeringai satir di ujung sana. Tulang punggungnya jingkrak sekejap.

Tetapi bukan hamparan daun-daun bakau ijo royo-royo siap panen yang tertangkap sepasang retina nyalangnya detik itu. Melainkan kobaran api raksasa menjulang angkasa. Lidah api putih menggulung tegalan kerontang kebanggaanya. Menjilat apa yang bisa dijilat. Tak pilih-pilih jilat.

Meski sejatinya kobaran api membabi buta itu hanya ada dalam ilusinya semata. Tak pernah benar-benar nyata.

***

“APA beda tembakau rampasan dan sogol?” tanya Petala kecil, lebih tiga dasawarsa ke belakang, saat menemani Ki Pradopo munggel di ladang yang sama.

Ki Pradopo akan tersenyum masygul setiap kali teringat kembali percakapan di suatu pagi akhir Juni itu. Dibumbui secuil angkuh, mulailah Ki Pradopo menjelaskan. “Tembakau rampasan itu dibuat dari daun tembakau generasi pertama pilihan—daun tembakau terbaik ….”

“Kalau sogol?” Petala kecil tak sabar menunggu kelanjutan jawaban bapaknya yang terhenti mengisap bedod.

“Sogol diracik dari daun tembakau yang tumbuh belakangan setelah daun rampasan.”

“Apa lagi bedanya, Pak?”

“Rajangan tembakau rampasan tetap lemes walaupun disimpan setahun lebih, tetapi sogol akan mengeras dan rasanya segrak—tak enak,” terang Ki Pradopo.

Sepasang bibir mungil Petala kecil reflek mencetak vokal nomer urut empat dari permulaan abjad beberapa jenak sambil menganggukkan kepalanya dua kali angguk. Petala kecil selalu kagum pada ayahnya yang hafal betul seluk-beluk dunia olah tembakau.

Petang itu, Ki Pradopo sedang mendudukkan duburnya jumawa di atas ranggon. Kedua tungkai keringnya menjuntai menampar-nampar angin sore puncak kemarau yang bersliweran di kolong ranggon. Ia menikmati benar tarian gemulai daun-daun bakau di ladangnya itu. Bila tak ada aral, besok pagi-pagi ia akan mulai memanennya.

Walaupun ladang bakauku di ampah, namun tak kalah jauh rasanya dengan tembakau kedu di pegunungan sana! lanturnya beberapa jenak kemudian, sembari ngeloyor berbalik menyusuri jalan setapak ke arah ujung kampung.

***

SURAT singkat Prihatini, menantunya, terserak tak berdaya di antara sepasang kaki busik penuh guratan bekas luka milik Ki Pradopo yang tergolek semaput di ranggonnya. Diantarkan Sigar semalam, titipan Pak Pos, saat ia sudah terlelap dalam buaian bunga tidurnya tentang panen raya pagi itu.

KANG Petala hanya bertahan dua malam di rumah sakit sebelum berpulang, Pak. Dokter bilang, selain pendarahan di otak akibat benturan keras—terpeleset di kamar mandi saat akan membuang dahak berdarahnya, paru-parunya hangus tergerus asap bakau….

***

Yogyakarta, 24 Mei 2o1o ooSurprised2 a.m.

Catatan:

Ge’njah sogoti: jenis pohon tembakau yang usianya kurang dari 100 hari sudah dipanen; munggel: memotong cabang batang yang keluar bunganya; widig: anyaman bambu untuk menjemur rajangan tembakau; pelanggrang: rangka untuk meletakkan widig terbuat dari bambu gelondongan.

Ilustrasi: lukisan Cak Kandar
Minggu, 20 Februari 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Sinta Yudisia
Dimuat di Republika, Ahad 20 Februari 2011

Nyonya Maali melompat dari kursi.

”Apa?”

Sepasang matanya seolah keluar dari tempurung kepala. Sekelompok lelaki, preman sekalipun, mengkerut bila berhadapan dengan perempuan macam nyonya Maali. Kritiknya tajam, suaranya pedih, tuduhannya merajam. Lebih dari itu, uangnya mampu mengaliri nadi untuk tetap hidup. Setiap yang bergantung di ketiaknya merasakan nyaman bersarang di gundukan uang, enggan untuk bersikap memusuhi. Ya,ya,ya. Usahakan ia mendengar persetujuan. Usahakan senyumnya terkembang. Usahakan ia selalu senang. Jika riang gembira, nyonya Maali ibarat ATM berjalan.

Secara fisik nyonya Maali tak pantas ditakuti.

Tubuhnya langsing, citarasa perempuan kosmopolitan yang meski telah berusia senja tetap rutin memanjakan diri di spa-spa mahal. Apa saja yang menjanjikan jaminan kecantikan, dilakukan nyonya Maali. Sedot lemat, suntik pemutih, tarik-wajah, sistem platelet; ia sangat memusuhi waktu yang menggerogoti usia. Tak heran, usianya yang setara dengan tukang rombeng keliling bertubuh tambur dan ubanan, nyonya Maali tetap berkulit halus bak gadis remaja. Jika boleh, perempuan itupun ingin menawar Izrail agar tak cepat-cepat memindahkan rumah mewahnya ke sepetak tanah.



Uang dan kekuasaan, merupakan makanan utama hingga kudapan yang disikat setiap hari. Setiap yang bertemu dirinya akan mendapatkan suntikan serupa : jangan mau hidup jika tak punya kekuasaan, amit-amit lagi kalau tak punya uang! Konon kabarnya, kekayaan dan kekuasaan nyonya Maali sudah turun temurun, dari leluhur dan nenek moyang, dari mbah buyut, dari kakek nenek, orangtua, dari suaminya yang meninggal mendadak terkena serangan jantung saat main golf di Bali. Tak ada yang perlu ditakutkan nyonya Maali terkait keuangan, meski dunia perbank-an di Indonesia gonjang-ganjing, uangnya tetap mengeram aman di bank-bank Eropa.


Yang membuatnya meradang, ketika menyadari bahwa dinasti keuangannya harus segera mengangkat pangeran pengganti, nyonya Maali kebingungan. Ia hanya punya sepasang anak kembar, Dinar dan Dirham, harus memilih salah satunya sebagai penerus. Ambisi nyonya Maali pun tak main-main, ia ingin salah satu anaknya menjadi penguasa, betul-betul penguasa. Minimal jabatan setingkat walikota. Dinar tidak mungkin, kiprahnya di dunia modelling tak menjadikannya ikon yang pantas diajukan sebagai calon walikota. Dirham lah yang memungkinkan, sekalipun ijazah S1 dan S2 nya didapat secara instan, ia sosok lelaki muda yang menawan dan punya kharisma. Setidaknya, itu pendapat nyonya Maali.

Masalahnya, untuk mengajukan diri sebagai calon walikota, harus melalui serangkaian tes psikologis.

Tim sukses Dirham yang didanai sepenuhnya nyonya Maali, mengabarkan berita tak enak. Dirham tak lolos fit and proper tes, kondisi psikisnya mengalami kesenjangan. Secara kasat mata Dirham adalah lelaki muda masa kini. Rupawan, orator ulung, pemilik saham besar, pengusaha real estate hingga pabrik kelereng plastik, menguasai bisnis dari hulu hingga ke hilir. Insting bisnisnya serupa dengan nyonya Maali. Sayang, dalam battery test, ia banyak menunjukkan ketidak mampuan.

”Beli saja hasil tesnya!” raung nyonya Maali.

”Be...li?” ketua tim sukses tergagap. Menyogok polisi dan jaksa sudah biasa, memanipulasi tender adalah keahlian kroni nyonya Maali. Membeli alat tes dan hasilnya? Belum terpikirkan. Merekayasa uang dan kekuasaan sudah menjadi hal yang mudah. Merekayasa ketahanan jiwa manusia? Tim sukses pusing juga meski, mata menyala berkilat melihat janji nyonya Maali.

”Kalau Dirham jadi walikota, semua tender harus lewat meja kita.”


****************

Tim sukses mendatangi biro psikologi.

Beramah tamah pada awalnya, meminta agar Dirham di tes ulang. Mungkin saja terjadi kesalahan. Bukankah stress dan lelah bisa memunculkan pengelabuhan hasil test? Masuk akal juga. Sekelompok tester dengan senang hati menerima bayaran lebih. Bukan hal yang melanggar hukum, toh mereka hanya mengetes ulang.

Tim sukses menunggu cemas, nyonya Maali uring-uringan, Dirham tak ambil pusing. Menjadi walikota ambisi sang ibu, bukan ambisinya. Ia tak ambil peduli selama angka nol di tabungan tidak berkurang digitnya. Bukan hanya tim sukses yang pusing, para psikolog muda beserta tester pening berputar-putar.

”Pribadinya tidak terbaca, tidak konsisten,” cetus tester kesatu, melihat grafik batang EPPS.

”Kecenderungan sosiopat, gangguan emosional,” tester kedua menerawang grafik Sixteen Personality Factor Questionnaire.

”Jangan berinterpretasi,” tegur psikolog pertama, mengumpulkan data dan menyimpannya rapi.

Mereka memandang kerja tes Pauli yang seolah berteriak menyajikan hasil tanpa perlu diperiksa, MMPI yang seakan menyimpan berita horror. Setelah berkutat lama, tim sukses mendapatkan laporan.

”Kami hanya bisa menyimpulkan seperti yang tertera dalam laporan,” sang psikolog menyodorkan hasil.

Tidak punya ketahanan kerja.

Tidak punya daya dobrak.

Tidak punya konsentrasi yang baik.

Kecenderungan paranoid dan skizofren.

Mudah terintimidasi.

”Berapa kami harus membayar?” tim sukses menggebrak.

Psikolog tergeragap, menyatakan bahwa administrasi telah diselesaikan di depan.

”Bukan! Bagaimana kami harus membeli hasil agar pak Dirham mampu menampilkan citra yang baik?”

Berkeringat, ketua tim yang masih terlihat muda dan penuh idealisme memberanikan diri berbicara.

”Kami tak bisa seperti itu pak...”

”Sebutkan saja harganya!”

”Bagaimana jika pak Dirham diterapi sebentar? Atau mungkin...Bapak perlu membawanya ke beberapa peneliti kami yang terbukti mampu menyembuhkan klien sehingga mereka memiliki pribadi yang jauh lebih kuat?”

Tim sukses membayangkan wajah nyonya Maali.


*************


Nyonya Maali ibarat suhu turun gunung. Tim suksesnya dianggap tak cukup cepat bergerak sementara waktu pendaftaran calon walikota di ambang penutupan. Ia menuju klinik terapis yang disarankan. Sekilas terpikir Dirham akan masuk ruang berjeruji, mirip sel pesakitan. Sebaliknya, klinik yang disarankan jauh dari kesam seram. Dikelilingi pepohonan rindang, didominasi lahan luas dan sebuah tempat peribadatan di ujung. Jika harus mendekam sementara, entah diutak atik jiwa atau otaknya demi menampilkan citra yang lebih kokoh, baiklah. Lagipula, klinik asri ini terasa aman untuk bersembunyi. Setidaknya demikian yang dirasakan nyonya Maali.



Sang terapis di klinik lebih terlihat seperti agamawan, berjenggot perak dan mata bersinar-sinar. Asistennya lebih aktif bicara, menjelaskan, sementara sang terapis lebih banyak berdiam diri mengumbar senyum.

”Kami menemukan terapi baru. Sebetulnya sudah lama digagas Al Ghazali, yang mungkin lebih dikenal sebagai seorang ulama sufi. Al Ghazali menemukan nodus sinoatrial, terletak dalam titik tersembunyi di jantung. Kenapa orang berpikir tapi merasa dengan dadanya? Kenapa matanya melihat perselingkuhan tapi jantungnya yang terasa sakit? Itulah yang dinamakan nodus sinoatrial...”



Nyonya Maali mendengus. Entah menangkap atau tidak, ucapan asisten yang terlihat sangat ingin berilmiah-ilmiah itu tidak menggedor keingin tahuannya. Dalam benak, Dirham akan keluar dengan kepribadian yang lebih baik, tidak dengan hasil yang diungkap para psikolog bodoh di biro murahan itu. Mata nyonya Maali meneliti ruang klinik. Foto-foto Sigmund Freud, Carl Rogers, Watson bersanding dengan puisi-puisi Jalaluddin Rumi serta sertifikat sang terapis yang lebih sering didengarnya dipanggil pak Yayi. Gabungan ilmu jiwa dan ilmu agama, boleh juga.

Dirham mendampingi nyonya Maali, menurut meski menggerutu. Ia harus taat jika ingin tetap dimasukkan ke dalam daftar ahli waris.

Pak Yayi menemukan mesin baru, didukung santri-santrinya dalam menemukan penyakit yang tak terlihat. Belum dipatenkan, tapi sudah diujicoba dan terbukti berpuluh bahkan beratus menunjukkan hasil menggembirakan. Penyakit yang tak terdeteksi, jauh di bawah kulit, tak dapat didiagnosis dengan tes darah atau apapun yang bersifat materi, telah dapat ditemukan dengan alat serupa mirip mesin fotokopi. Klien dibaringkan, disinar, lalu keluarlah lembar foto negatif yang menunjukkan penyakit yang diderita. Penyakit psikis, tentunya.



Asisten menyambung kabel, memutar kenop, memasang layar komputer, mengerjakan langkah demi langkah sementara pak Yayi mendampingi. Dirham tak mendapatkan perlakuan istimewa, hanya karena diagnosa dan terapi ini belum paten maka pak Yayi perlu mendampingi agar tak terjadi kesalahan fatal. Siapa yang harus bertanggung jawab jika tiba-tiba klien justru kehilangan kendali diri?

Nyonya Maali berdiam diri di ruang tunggu dengan gelisah, berkipas-kipas meski angin berhembus bebas melewati jendela-jendela lebar yang dinaungi rimbun pohon mangga. Tidak ada AC, gerutunya. Bagaimana mungkin klinik seperti ini tidak memiliki fasilitas memadai?

Asisten membimbing Dirham berbaring, mengajaknya relaksasi kemudian memotret keseluruhan tubuhnya tanpa kecuali. Tak sampai dua jam, hasil diketahui. Pak Yayi berkerut-kerut dibuatnya. Nyonya Maali terlonjak melihat Dirham berjalan beriringan.



”Bagaimana pak Yayi?”

Lelaki berjanggut perak itu terlihat berusaha memilih kalimat.

”Kapan terakhir sholat?”

Nyonya Maali menaikkan alis, Dirham menggeleng.

”Masih ingat surat al Fatihah?”

Dirham angkat bahu.

”Syahadat?”

Dirham tak menjawab, nyonya Maali meradang.

”Kenapa harus diinterogasi? Saya ingin Dirham bisa lolos fit and proper tes, ia harus lolos tes psikologi dan anda dirujuk oleh para psikolog bodoh itu mampu menyembuhkan kecemasan, kekhawatiran, kegilaan! Anak saya tidak punya masalah! Dia hanya butuh lolos seleksi!”

Pak Yayi menyodorkan sebuah negatif film.

”Apa yang Ibu baca?”

Nyonya Maali menarik kasar, menerawang foto itu di langit-langit.

”Saya tak lihat apa-apa!”

Pak Yayi mengangguk.

”Semua klien saya memiliki titik putih disini,” ia menunjuk bayang hitam serupa jantung. ” Ini yang diungkapkan Al Ghazali sebagai nodus sinoatrial, titik hati. Berdenyut makin baik, berwarna makin kemilau menyerupai noktah besar. Semakin cemerlang, semakin putih noktahnya, semakin luas pendarnya, semakin sehat jiwanya. Mereka yang bermasalah, titik hatinya hanya berupa noktah putih kecil. Putra anda...sama sekali tidak memiliki noktah disini.”


Nyonya Maali naik pitam.

”Jadi..bagaimana?”

”Bahkan Sigmun Freud tak bisa mengobati jiwa seseorang. Yang bisa mengobati hanya kemauannya sendiri untuk melakukan upaya transendental.”

”Maksud anda....”

"Pak Dirham akan lolos seleksi jika ia punya struktur kepribadian yang kuat, itu hanya bisa diraih jika ia memang mau memperbaiki hubungan vertikal dan horisontal.”

Wajah nyonya Maali memerah saga. Dirham hanya tersenyum dikulum. Menjadi walikota bukan impiannya, lebih baik memutar uang di tempat lain. Prestise toh tidak didapat hanya dengan menjadi kepala daerah. Nyonya Maali menyeret langkah. Bersumpah serapah untuk mencari biro dan terapis lain yang lebih unggul. Sebelum pulang, Dirham berpaling.

”Pak Yayi...apa yang tak saya miliki, dalam foto negatif anda?”

”Titik hati.”

Dirham mengangguk, menyeringai lebar.

”Saya memang tidak punya Tuhan, pak Yayi.“


Surabaya, 17 Agustus 2010
Selasa, 15 Februari 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Benny Arnas
dimuat di, Majalah Sabili, Februari 2011

; kepada grup-grup nasyid yang pernah kusinggahi

CARLIE, Risyad, Hari, dan Davis tengah serius mendengarkan pengarahan dari Bamris, pemuda 22 tahun yang menjadi pelatih nasyid mereka. Empat mahasiswa Fakultas Ekonomi Unand yang hanya terpaut beberapa tahun di bawah Bamris itu, sesekali bertanya tentang apa dan bagaimana pernapasan yang baik, resonansi suara, jenis-jenis vibra, tipe improvisasi, tremolo, cressendo, decressendo, dan beberapa teknik dan istilah bernyanyi pada umumnya.
Walaupun mereka sudah lama berkecimpung di dunia nasyid, namun pengetahuan di atas, kalau tak ingin dikatakan asing, cenderung tidak familiar di telinga mereka karena tidak dipelajari ketika bernasyid sebelumnya. Dan kini, ketika dikumpulkan Bamris untuk bergabung di Alif, grup nasyid besutannya, mereka manfaatkan setiap pertemuan untuk menambah ilmu sebanyak-banyaknya.

Satu bulan telah berlalu. Sore itu tak ubahnya dengan sore-sore sebelumnya. Senandung nasyid bergema dari salah satu kamar wisma An-Nur. Empat pemuda tekun berlatih dan menyelaraskan posisi vokal masing-masing. Sesekali teriakan-teriakan khas Bamris menyelingi latihan mereka. Tak jarang setelah teriakan tersebut, barisan-barisan suatu melodi mesti diulang berpuluh-puluh kali.

“Dinamiknya nggak ada. Ulang lagi!”

Kode hitungan dari jemari Bamris menuntun grup itu kembali bernasyid, dengan teknik yang diarahkan Bambris.
Karakter Bamris yang super disiplin dan perfeksionis sudah dipahami oleh keempat ‘anak didiknya’ itu. Tak jarang masing-masing mereka akan menerima ‘semprotan’ khasnya. Baik karena keterlambatan menghadiri latihan, apalagi tak disertai konfirmasi sebelumnya.

Tapi itu hanya berlangsung dalam latihan. Di luar, itu tak berlaku. Bahkan bakda latihan, mereka sering berjalan bersama menyusuri gang sempit yang menjorok ke jalan raya. Biasanya acara jalan-jalan ini diembel-embeli makan bersama di Lubuak Sao, rumah makan yang juga menyediakan menu pangsit, bakso, siomay, dan batagor yang biasa mereka santap sambil menunggu magrib tiba.

Di sana mereka kerap berceloteh, bercerita, dan bercanda. Tanpa disadari, di sana mereka tengah membuka lembar demi lembar diary kehidupan yang baru. Menuliskan kenangan demi kenangan di dalamnya. Semua tak pernah tahu sampai semua menjadi kelabu. Sangat kelabu.

Masa pun silih berganti. Berpeluh suka dan duka, mereka jalani bersama. Sangat berbeda dengan dahulu, kini belum genap setahun usia grup nasyid tersebut, mereka sudah sangat dikenal dengan berbagai prestasi dan pengalaman tampil di berbagai even prestisius. Bahkan di tahun tersebut, Alif beberapa kali menjuarai festival nasyid tingkat nasional. Dalam berbagai festival tingkat provinsi, mereka tidak lagi berpredikat sebagai peserta, tapi sudah menjadi bintang tamu, tak jarang merangkap sebagai dewan juri.

Bamris sudah mengenal watak masing-masing personil Alif. Carlie adalah sosok yang percaya diri dan optimis. Hari, pribadi yang kalem, jarang ngomong, sering mengambil sikap aman dan sangat menghargai Bamris. Sifat Hari ini tak jauh berbeda dengan Risyad dan Davis.

Namun, seperti suatu grup pada umumnya, Bamris melihat keberagaman tersebut sebagai hal yang wajar, apalagi selama ini ia tak menemui halangan berarti dalam memenej mereka baik secara manajerial maupun teknis. Pun ketika terdengar desas-desus bahwa Alif merasa sudah dapat berdiri sendiri tanpa pelatih, Bamris tidak sedikit pun mengindahkannya. Baginya adalah wajar, isu miring melanda penyanyi atau grup yang tengah naik daun. Tak terkecuali di dunia nasyid. Tak terkecuali untuk Alif.


BERSUA pasti ada berpisah. Ungkapan itu akhirnya datang juga menghampiri Alif. Dengan dalih penyelesaian skripsi dan kemandirian Alif, Bamris mengundurkan diri. Keputusan itu, uniknya tak mendapat respons sebagaimana biasanya terlontar dari orang-orang yang telah dibesarkan oleh pelatih, manajer, pendiri, bahkan ‘pemilik’ suatu grup tempat mereka bernaung selama ini. Walaupun ada kail yang menyangkut di hati atas sikap yang mereka tunjukkan, tentu saja bukan hal yang etis bagi seorang Bamris untuk mempertanyakannya. Toh aku memang akan meninggalkan Alif. Kail itu pun terlepas dengan sendirinya.

Ada ribuan kenangan yang telah tertoreh di Alif. Kenangan yang diukir Bamris bersama ‘anak-anak didiknya’. Bamris meyakinkan dirinya sampai pada taraf bahwa dia sangat percaya, pasca ditinggalkannya, Alif akan menjadi grup yang solid, khususnya dari segi teknis. Sudah cukup bagi Bamris untuk terus membimbing dan mengingatkan mereka agar bernyanyi dengan groove, koreografi yang penuh rasa, dinamik, falseto, bahkan hanya untuk masalah kostum panggung sekalipun. Mereka sudah cukup ‘besar’ dan mandiri untuk berkreasi dengan apa yang telah kuberi. Begitulah batin Bamris saat itu.

Sangat indah. Perpisahan itu disertai dengan harapan mendalam dari masing-masing mereka. Satu benang merah, mereka sepakat bahwa perpisahan mereka hanya secara tim, namun tidak untuk ikatan hati. Bahkan yang ditinggalkan pun beberapa kali mengulang kata “terimakasih” atas bimbingan, ilmu pengetahuan, dan wawasan bernasyid yang selama ini telah diberikan. Perpisahan pun ditutup dengan membaca rabitah, doa pengikat hati, yang dipimpin oleh Bambris.

Sangat manis, bukan?! Sangat manis sampai akhirnya mengiris-ngiris. Sampai tipis. Sangat tipis. Bak tipisnya sembilu yang telah dilumuri sari jeruk nipis sebelum mengiris pelipis, dan berakhir dengan tangis. Pecah!

Perpisahan itu ditutup dengan saling pelukan. Entah mengapa, pelukan itu tak juga erat, walaupun mereka sudah mencoba untuk saling mengeratkan. Ah, mereka lupa bahwa hati tak dapat dibohongi, tak dapat dierat-erati, dengan air mata sekalipun.

Kini, sudah hampir dua tahun Alif berdiri. Grup nasyid papan atas, itulah julukan yang disematkan padanya. Undangan tampil pun sudah lintas provinsi. Tapi sayang, banyak hal yang tak seperti dulu lagi. Kebersamaan hanya ada saat latihan. Latihan pun hanya dilaksanakan menjelang penampilan saja, karena itu tali persaudaran yang seharusnya berada di posisi mulia dalam prinsip membangun grup tak lagi diacuhkan.

Bongkar pasang formasi pun sudah menjadi hal yang lumrah. Bahkan pemakaian penasyid pengganti atau tambahan hampir menjadi ciri penampilan Alif.

Sampai suatu ketika, semuanya menjadi kelabu. Bak Pelipis yang diiris sembilu dengan sari jeruk nipis. Tak hanya di pelipis, tapi sampai juga mengiris hati Bambris. Malam itu, setelah menamatkan Salah Asuhan, segera disetelnya frekuensi syiar Qur’an FM untuk sekadar mendengarkan lantunan kalam illahi atau lagu nasyid demi melepas penat setelah berjam-jam memelototi ratusan lembar roman favorit karya Abdoel Moeis tersebut.

“…Rina, salah satu pendengar setia Qur’an FM baru saja bertanya tentang orang-orang yang berjasa membuat Alif hingga seperti ini. Sebagai salah satu generasi awal Alif, mungkin Carlie bisa menjelaskan?”

Segera dibesarkannya volume radio. Tak dapat ditutupinya ekspresi kerinduan pada Alif saat itu, sekalipun hanya untuk mendengarkan mereka bertutur. Bahkan saking bahagianya, jarak telinga Bamris dan speaker radio tak lebih dari 10 sentimeter. Sangat dekat, sedekat hatinya pada Alif selama ini.

“Mmm…sangat banyak ya...” Carlie tampak ragu merangkai kata-kata. Di seberang, Bamris mengernyitkan dahi.

“Yah, mungkin bisa disebutkan?” Broadcaster memberi penekanan.

“Orangtua adalah mereka yang sangat berjasa dalam hidup kita, termasuk dalam perjalanan grup ini. Selebihnya, keluarga dekat dan teman-teman kampus adalah orang-orang yang selama ini sudah sangat banyak men-support kita, baik dari segi moriil maupun materiil,” kali ini, sangat lancar Carlie memberikan jawaban..

“Bagaimana dengan Bamris? Bukan rahasia lagi kalau Alif didirikan dan dibesarkan olehnya, bukan?”

Deg! Jantung Bamris berdetak hebat. Kali ini ia lebih saksama menyimak perbincangan.

“Ya, sama dengan yang lainnya, Bang Bamris juga cukup berpengaruh di Alif. Tapi tidak terlalu signifikan. Itu yang saya tahu dari teman-teman grup ini, karena saat saya di Alif, beliau tidak ada lagi di grup,” kali ini Rindo yang angkat bicara, personil yang baru delapan bulan menghuni Alif.

“Bagaimana menurut Hari?” Broadcaster melempar pertanyaan.

“Untuk masalah ini, mungkin Carlie lebih dapat menjawabnya.” ragu-ragu Hari menjawab. Broadcaster mengalihkan pandangan ke Carlie dengan menyisakan tanda tanya atas sikap Hari tersebut.

“Bang Bamris lebih banyak membantu kita secara mental, moriil, dan motivasi…”

“Masalah teknik bernyanyi?”

“Mmm... sebelum di Alif, masing-masing kita ‘kan sudah punya grup nasyid. Jadi, untuk masalah teknik bernyanyi, kita sudah punya basic-lah. Bang Bamris sebatas mengarahkan. Bahkan mungkin lebih tepatnya beliau sebagai orang yang mengumpulkan dan memenejeri kita saat itu. Tidak lebih.”

Di seberang sana, ada yang bermata kaca. Beberapa detik kemudian, kaca itu pecah, menumpahkan pecahan-pecahan air yang tersembur tak terkendali. Bamris mencoba untuk terus mendengar dialog malam itu. Tapi tiba-tiba telinganya tak dapat mendengar lagi, bahkan matanya mulai kabur. Tak kuat lagi ia bertahan.

Ah, mungkin aku perlu istirahat. Biar subuh nanti kukirim rabitah buat mereka. Bamris membatin sebelum mati suri hingga menjelang pagi. (*)

00:02. Air Tawar, 14 Maret 2007
Minggu, 13 Februari 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Tribun Jabar, 13 Februari 2011

1.
2011. Itulah waktu yang telah ditetapkan Lian, Ulip, dan Pir untuk merantau ke Jawa. Tiga beradik itu telah bulat tekadnya bahwa Jakarta akan jadi ranah penghidupan. Tentu saja, mereka tiada mengajak Si On, sulung yang tiada jelas bertutur, tiada terang berpenglihatan, dan tiada awas berpendengaran. Ya, tiada yang bisa diharapkan dari seorang anak hewa, anak babi. Demikian orang-orang—yang mengetahui perihal kelahirannya—menjulukinya.
Ya, dulu, saat-saat menjelang Si On mengoek anyir. Hujan berderai hebat. Bak jarum- jarum bening saja ia menjelma-menusuk rimba waktu itu. Mang Ramang yang bersusah payah memapah Bi Siti, istrinya, mencapai pondok Mak Rom, dukun beranak di selatan dusun, akhirnya mendudukkannya di sebuah kandang beratap bilah-bilah ilalang yang mencokelat. Saat itu, Bi Siti sudah mengerang sangar—akibat kesakitan yang sangat—di pondok kecil dekat sebatang rambai. Setelah Si On akhirnya terlahir—entah bagaimana itu berlaku, barulah mereka tercekat, menyadari bahwa anak pertamanya menapak bumi di tanah najis, kandang hewa.
Seakan tiada perlu ditanyakan saja bahwa kelahiran itu berbau aib nasab. Maka, tumbuhlah anak—yang hingga orang tuanya lupa siapa nama aslinya—dengan beragam kekurangan itu. Segenap warga akan sangat mudah menebak siapa yang tengah dibincangkan ketika salah satu dari mereka menirukan bagaimana orang bisu berwicara, atau orang buta meraba-raba, atau orang tuli meminta pengulangan kata.
"Si On!" Bergelak giranglah mereka akan menyebut nama itu.
"Kependekan dari Onnn..."
"...nyol!"
"Ha-ha-ha-ha...!"
"Ya. Kata nenekku, anak hewa!"
Tumpahlah tawa-tawa yang berebutan menyeruak itu.

2.
AKHIR-AKHIR ini, Lian, Pir, dan Ulip turut jua memerudukkan Si On pada ketiadaberdayaan yang sangat. Tiada segan-segan ketiga adiknya itu bercampur dengan muda-mudi penggunjing itu. Menderai gelak tak alang kepalang. Bi Siti dan Mang Ramang pun sudah tak terhitung bilangan memperingatkan mereka untuk beradab dengan abang mereka.
"Ah Bak, apa yang perlu diributkan." Lian seolah balik bertanya.
"Ya. Mendengar, tidak!" timpal Ulip.
"Melihat, juga tidak, Mak!" sambung Pir.
Bi Siti memandang suaminya, berharap laki-laki itu segera membela Si On. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari bibir legamnya.
Mang Ramang tiada berdaya jua menghadapi ketiga anaknya yang sudah bujang-bujang itu. Sudah hampir lima tahun ia tak motong, menyadap karet. Dulu, ketika tengah melukai kambium-kambium batang bergetah itu dengan pisau lengkungnya, serombongan pemburu mengejar beberapa ekor rusa hingga ke kebunnya. Mang Ramang ingat sekali. Binatang-binatang itu setinggi bahunya. Tua. Bak bersunting Minang tanduk-tanduknya bersilih-silang. Saat itulah, di senja-raya yang hampir buram, kedua kakinya diseruduk. Dan hingga kini, tiada upaya ia mengais nasi lagi dari motong. Maka, Lian, Ulip, dan Pir, yang masih belasan tahun kala itu, menggantikannya. Motong. Mengumpan keluarga.

3.
HEWA. Itulah hewan kesukaan Si On. Sudah berbusa-busa sesiapa mengingatkannya agar tiada menyukainya. Si On bergeming. Si On menceracau a-i-u-e-o saja bila tanpa sadar orang-orang sekitarnya—entah siapa itu?!—keras-keras membincangkan keberhasilan Mang Mitan, tukang buru tersohor itu, baru saja menombak hewan bergelang hidung itu.
Lama kelamaan, keluarga dan orang-orang yang mengenalnya terbiasa juga dengan kebiasaan aneh Si On itu. Untungnya Si On, tampaknya, menenggang keluarga dan orang sekitar yang muslim. Dengan bahasa-bahasa sumirnya, tiada pernah ia memaksa keluarga dan orang- orang sekitar untuk membawakannya hewa, untuk sekadar dielus atau didengar endusannya.
Entah bagaimana Si On bisa bertepa-selira, ia akhirnya menumpahkan kegilaannya akan hewa dengan mengumpulkan porselen, boneka, celengan, sepatu, dan baju-baju yang berbentuk atau memiliki unsur ke-hewa-an. Si On memiliki masing-masing benda tersebut hingga lebih dari satu buah.
Entah, insting dari mana, Si On beroleh kecakapan mengenali bahwa benda-benda tersebut memiliki unsur hewa. Tiada yang tahu. Tiada yang mencari tahu.
Seperti tak ada pekerjaan saja memikirkan laki-laki sinting itu!
Begitu yang ada di benak sesiapa, termasuk ketiga adiknya, terkecuali Bi Siti dan Mang Ramang. Ya ya ya, tak perlu dikoar-koar lagi, bukan, bahwa kelahiran di kandang hewa adalah musabab yang paling kokoh untuk menurunkan semua kebiasaan aneh Si On dalam alasan yang berkait-kaitan?

4.
SORE itu, orang-orang telah bernapas di tahun yang baru. Si On tekun sekali membersihkan benda-benda kesayangannya. Lian, Ulip, dan Pir sudah bersiap dengan tas punggung masing-masing yang beramacam-macam saja isinya. Ya, ketiga bujang itu telah memesan tiket bus yang akan membawa mereka ke Jakarta. Berganti-gantian mereka menyalami Bi Siti dan Mang Ramang.
"Maaf, Mak. Bukan memaksa Mak menggantikan kami motong, tapi kami semua bertekad akan berkabar baik untuk keluarga ini di rantau nanti," kata Ulip, sesaat setelah mencium punggung tangan keriput Bi Siti.
"Iya, Mak, Bak. Kami merantau untuk meninggikan nasib," sambung Lian meyakinkan.
Ulip mengangguk-angguk dalam, seakan-akan hendak menunjukkan bahwa apa-apa yang disampaikan dua saudaranya sudah mewakili kata hatinya: merantau untuk bahagia-raya.
"Tak bercium-tangan kalian dengan Abang?" tanya Mang Ramang ketika mereka akan bersegera meninggalkan rumah.
Lian, Pir, dan Ulip saling berpandangan. Ada enggan di mata mereka. Tetapi tak urung, pergi jua mereka ke bilik belakang, tempat kamar Si On dipetakkan.
Di sana, Si On meneleng-nelengkan kepala. Ada semringah yang mendalam, menyemburat dari tarikan bibirnya: senyum tak berseni sedikit pun.
Ketika ketiga adiknya itu mendekat, Si On masih sibuk dengan benda-benda hewa-nya. Tapi, tetap, ada senyum miring di wajahnya. Si On ber a-i-u-e-o lagi. Gigau-gagu. Ya, Si On tampak senang sekali.
Seakan-akan melihat mayat hidup, seolah menyentuh segerombolan belatung bergeliatan, serasa melihat pemandangan yang diharamkan saja, mereka ragu-ragu hendak menjangkau tangan abangnya. Beberapa kali mereka mencoba, beberapa kali juga Si On menarik-narik tangannya, seakan mengajak ketiga adiknya bermain-main.
Ulip melepas lenguh. Disusul Lian yang menggaruk-masai kepalanya.
"Sudahlah, Mak. Kami pergi saja. Lagi pula, tiada ditangkapnya apa-apa yang kami maksud," ujar Pir.
"Kami ada atau tak ada pun tak berpengaruh. Mungkin selama ini Abang pun tak tahu kalau ia hidup dengan kita," kata Lian mulai kesal.
"Ya sudah, Bak. Kami berlalu saja." Ulip mengajak kedua saudaranya berlalu.
Bi Siti dan Mang Ramang mengangguk saja. Maka, pergilah mereka. Meninggalkan Bi Siti yang menggenang air mata. Meninggalkan Mang Ramang dengan tatap yang sumir. Meninggalkan Si On yang mengangkat-angkat benda-benda hewa-nya—seolah hendak membagikan-mengikhlaskannya kepada ketiga adiknya itu.
Dari kesemua benda kesayangannya itu, empat celengan hewa dikepitnya rapat-rapat. Celengan yang sekian tahun, saban hari, ia isi dengan jumlah rupiah yang sama. Tiga di antaranya, samar-samar terukir abjad L, U, dan P. Siapa pula yang menggoreskannya di situ? Kepada siapa diperuntukkan?
Tiada yang tahu.
Tiada yang mencari tahu.
Walaupun tahun telah bernama baru....
***
by Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas

Dimuat di Jawa Pos, Ahad 13 Februari 2011

: untuk Makku Tersayang

Mukadimah

Sungguh, aku merinduinya. Rindu ini umpama subuh yang mengkhitbah bukit dengan cincin embunnya. Gunung, laut, dan lembah, yang melempar kami ke titik entah, justru mengantarku ke senja yang memayungi pinang-pinang merah; ketika kupungut butir-butir nasihat kehidupan darinya, kubawa ke kota yang jauh dari kelebatan bajukurungnya. Tanpa disadari, telah kuperam semua. Dan kini, di senja yang tak lagi ibu, butir-butir itu menetas. Kutandai mereka dengan dua nama: yang satu Kenangan, yang satu lagi Nostalgia.

Sejak Itu Aku Memanggilnya Ibu

Hikayat sederhana ini melibatkan senja, aku, dan seorang wanita yatim-piatu. Yang terakhir adalah janda yang menemukanku teronggok di bak sampah di tepi jalan raya. Ia memang tak seperti wanita kebanyakan. Ia tumbuh dalam keluarga yang mencintai ilmu. Sayang, Tuhan tak pernah sempat mengembuskan ruh di rahimnya yang sepi. Maka, adalah mafhum bila ia selalu berkoar kepada sesiapa yang meragukanku sebagai buah-hatinya.

Apakah ada yang dapat membantah itu? Tanyanya bagai menyimpan kegeraman. Melahirkan atau menemukan, itu hanya perkara cara. Dan yang terang adalah, Tuhan sangat baik kepadaku. Ia tak ingin aku meregang nyawa demi berketurunan. Aku tinggal memungutmu, membesarkanmu dengan layak, lalu bermaklumat bahwa aku sudah menjadi ibu. Ibu yang diberi kemudahan. Ya, bila Maryam melahirkan tanpa suami, maka aku memiliki anak tanpa melahirkan. Aku tak habis pikir, bagaimana orang-orang menyebut ini kehinaan! Tidakkah ini lebih layak dinamai keistimewaan?!

Sejak itu, aku memanggilnya Ibu.

Pohon Tumbuh tak Tergesa-gesa

Menjelang keberangkatan, telah kukais ilmu di sebuah sekolah. Ketika itu usiaku tujuh belas. Empatpuluh tiga tahun lebih muda dari Ibu. Bakda menghelat zuhur berjamaah, makan siang bersama, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah, seperti biasa kami bercengkerama di rusbang yang ditanam di bawah pinang-pinang merah. Memang, selain dipagari sirih yang meliuk-liuk di antara rerumpun bambu kuning sebatas pinggang, ditumbuhi rerimbun melati, sirih, pare, pisangkipas, dan beberapa pohon kelapa setinggi tiang listrik, pinang-pinang merah juga menjulang di beberapa sudut pekarangan.

Awalnya kukira Ibu hanya ingin menunjukkan tiga helai kain berwarna cerah yang baru dibelinya di pasar siang itu. Ternyata dugaanku tergelincir. Kain-kain itu bukanlah taplak meja baru. Kerudung, begitu Ibu menyebutnya.

Kau sudah beberapa kali datang-bulan, Nak. Bukan hanya tak berhak menolak pemberian ini, kau juga harus memerhatikan raut wajahmu, kusut-tidaknya bajukurungmu, basah-keringnya bibir merahmu, dan santun-tidaknya tindak-tandukmu, bila hendak keluar rumah. Kau harus segera menyempurnakan agama. Kawinlah, Nak.

Aku terperanjat. Bagaimana Ibu dapat serta merta mencuatkan rencana ini?

Dan bagai tak bersalah, Ibu justru tersenyum sembari melipat kain-kain itu.

Bukankah Ibu tahu kalau besok aku hendak menyeberang pulau?

Dan kau keberatan mengenakan kerudung baru?

Bukan, Bu. Tentulah tak perlu kuperkarakan itu. Maksudku, mengapa Ibu tiba-tiba mengatakan ini?

Ibu terkekeh. Wajahku masam. Aku benar-benar tak mengerti. Aku jengkel.

Wanita yang berkuliah tak harus perawan, kan? Bila ingatan Ibu tak silap, bukankah kau sendiri yang dulu bilang: banyak yang telah beranak-pinak, mencari ilmu bakda SMA? Ibu bagai memojokkanku.

Ah Ibu, mungkin kau terlalu uzur hingga tak menangkap muara kekesalanku. Namun, aku tak hendak menyusur sungai tak berhilir, maka kudaratkan perahu pertahananku: kutolak keinginan Ibu yang tiba-tiba itu.

Dan hebatnya, Ibu bagai tak memahami bahasa tubuhku.

Termasuk bila bujang alim di kampung sebelah yang meminangmu?

Ya Tuhan, siapa pula yang Ibu maksudkan. Ini bukan waktu yang tepat membincangkan itu, pekikku dalam hati.

Bicaralah, Nak. Ibu mencari-cari mataku. Bibirnya membekap senyum yang siap-siap meloncat. Kau orang beradat, bukan? Diam maknanya ”iya”, bukan?

Aku masih hendak kuliah, Bu! jawabku sedikit keras. Aku benar-benar kesal.

Tanpa laki? Ibu memastikan.

Tanpa suami, kutegaskan.

Kau yakin? Ibu menatapku dalam.

Nasihat-nasihatmu selalu bersamaku, Bu.

Kau hakkul yakin? Ibu berusaha meyakinkan dirinya.

Bukankah Ibu bilang Tuhan lebih dekat dari urat leherku?

Senyum yang dibekapnya sedari tadi kini meloncat. Menghamburkan kekehan sengau yang tak terlalu sedap didengar. Tak lama Ibu bangkit. Beralih ke sisi kanan lepau.

Anakku…

Dari pembukaannya, aku tahu Ibu akan berpetuah.

…kau lihat ini, sebelah tangannya menunjuk anakan pinang yang batangnya belum merah penuh.

Benar ’kan dugaanku!

Pohon yang kelak menjadi tiang merah yang begitu indah dan jemawa. Dengan pelepah-pelepah yang siap memayungi akar-akarnya nun jauh di bawah, ia akan semampai bagai hendak menusuk langit. Ia menjulang tanpa pernah kau tahu kapan ia memanjang, kapan ia menumbuhkan daun, pelepah, bunga, putik, dan akhirnya berbuah. Kita bahkan tak pernah mau tahu bahwa tunasnya setengah mati bertahan ketika daun-daun mudanya dipatuk ayam dan dimakan kambing, batangnya yang masih lembut diombang-ambing angin yang memuting dan hujan yang lebat tak kepalang, atau pelepah-pelepahnya yang masih lembek kadang dipetik anak-anak yang jahil. Lihat, pada waktunya, ia tak hanya hidup, ia bahkan menumbuhkan tunas baru!

Ibu memelukku. Erat sekali. Lama sekali.

Pohon tumbuh tak tergesa-gesa, Anakku, bisiknya lirih. Dan kuingin kau pun begitu: terus tumbuh tanpa terpengaruh setan-setan yang siap mencengkeram ketika jiwamu keropos, ketika kau tak berjalan di atas doa-doaku.

Baru kusadari. Ibu tengah memancingku membuka bekal yang selalu ia berikan sedari aku kecil. Ya, Ibu tak mungkin melarangku melintas pulau. Ibu takkan menjegal langkahku untuk menangguk ilmu. Ibu takkan memaksaku berkerudung. Ibu pun tak hendak memaksaku menerima pinangan pemuda itu—yang aku yakin dia pun tak tahu siapa. Ibu hanya ingin tahu sedalam apa telah kuselami sungai karomahnya, telah berapa banyak kutangkap ikan-ikan hikmah yang berkecipakan di dalamnya.

Pergilah, Nak! Tumbuhlah! Dan pulanglah sebagai pinang merah yang menjulang!

Kami mengakhiri pelukan. Berlalu ke pekarangan belakang. Azan baru saja merundukkan matahari.

Senja yang Paling Ibu

Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Itulah kalimat yang kerap dilafal Ibu dengan sangat fasih saban kami menghabiskan senja (termasuk bakda asar ini). Biasanya Ibu akan menjabarkan bagai mengutarakan petuah baru.

Semua sudah ketentuan-Nya, Nak, lanjutnya. Ibu dipilih-Nya untuk membesarkanmu. Itulah kenyataan yang terbentang. Tentu Ibu tak menerimamu begitu saja. Ada sehimpun amanah yang menyertai kehadiranmu. Dan itu membuatku belajar bagaimana menjadi ibu yang sebenar ibu. Menanam cinta, menyiram kasih sayang, memelihara amanah, dan merelakan waktu merapat demi menjadikanmu orang yang baik. Mata Ibu sangat teduh.

Orang baik yang sukses, Bu, ujarku seolah-olah mengoreksi nasihatnya.

Ibu tersenyum, sebelum melempar tanya: Kaukutip dari buku apa kata-kata itu?

Wajahku merah apel. Kugamit bibir hingga membentuk garis. Ah, bagaimana Ibu tahu itu….

Ibu merangkulku. Kepalaku jatuh di bahunya. Tangan kanannya membelai rambutku. Lembut. Hangat. Ada kedamaian yang lamat-lamat menyelusup dalam aliran darahku. Aku ingin berlama-lama seperti ini, Ibu.

Kau tahu siapa yang layak disebut orang sukses, Anakku?

Aku mendongak.

Ibu balas memandangku.

Ah, Ibu sengaja menggantungkan jawaban. Ia melepas lenguh kecil. Kemudian melirikku. Lalu mengulum senyum. Sepertinya Ibu sangat senang melihatku dililit penasaran. Kucubit pinggangnya yang mulai menggelambir. Ibu menggeliat kecil. Geli.

Kualat kau, Nak! Ibu menepuk-nepuk kepalaku dengan air muka semringah-raya. Aku tertawa kecil. Kusurukkan kepala di antara dada dan lehernya. Ah, bahagianya aku.

Jadilah orang yang baik, Anakku.

Hening.

Bukankah itulah sukses yang sebenarnya? lanjut Ibu.

Aku masih bergeming. Menyuling makna dari kata-katanya barusan. Ibu terlampau sederhana memandang sesuatu, pikirku.

Ibu menatap kosong ke depan. Dari posisiku, dapat kulihat kuncup dagunya yang mulai berkerut, gigi-giginya yang masih putih, dan sepasang bibirnya yang jingga oleh sari sirih. Kulingkarkan tanganku di pinggang Ibu. Ia balas memelukku. Kami bagai hendak menegaskan bahwa perpisahan takkan kuasa mengaburkan cinta.

Ibu, bisikku pelan penuh perasaan.

Ibu mengangguk di balik bahuku.

Aku ingin seperti Ibu. Memaknai hidup dengan sederhana saja, kutekuk daguku di punggungnya.

Ibu mengelus rambutku. Hidup sebatang kara tidaklah lurus-lurus saja, Anakku. Ibu harus melakoninya dengan waspada dan pantang kalah. Tak ada yang sederhana, kecuali doa yang kadang begitu enggan kita kirim ke langit. Kauperlakukanlah setiap perkara sebagai ibadah karena hidup yang sejati adalah hari ini! Ibu melepas rangkulannya. Ia bidik mataku dengan tatapan yang tepat mengarah ke bulatan hitam di dalamnya.

Ya, hidup adalah hari ini, Anakku. Kemarin sudah berlalu, dan esok belumlah tiba! Ibu mencium keningku.

Kubalas mencium Ibu. Di pipinya yang keriput. Aku bergumam lirih di telinganya yang disaput beberapa helai rambut yang sudah sepia: Aku akan menjadi anakmu yang baik, Bu. Akan kutunjukkan baktiku. Suatu waktu, akan kubelikan Ibu kain lasem bercorak burung murai dan kembang mangkok. Akan kunaikhajikan Ibu. Akan kubangun rumah mungil dengan pekarangan luas agar Ibu dapat leluasa berkebun melati dan menanam sirih. Akan…

Tiba-tiba Ibu menepuk pundakku seolah memintaku menghentikan serentetan bualan. Kupikir ia hendak mengingatkan bahwa senja sudah terlampau tua, sebentar lagi magrib mengundang malam, dan kami harus segera masuk, mengambil lipatan telekung di bilik solat. Ternyata tidak! Kedua tangan Ibu malah meraih bahuku. Ia goncangkan tubuhku bersamaan mutumanikam yang disemburkannya dalam kata-kata.

Ibu tak ingin kauburu harta-harta itu lalu memberikan satu atau beberapa untuk Ibu urus, Nak. Tidak! Tubuhku masih digoncang-goncangnya. Ibu bagai ingin menunjukkan betapa kata-katanya harus kusimak dengan saksama.

Pelihara saja harta yang telah kaubawa sejak lahir, Nak. Kejujuran, kasih sayang, mencintai sesama, suka menolong…. Bukankah harta-harta itu menyertai semua manusia? Termasuk padamu ketika berhasil keluar dari gua yang menyuruk di antara pangkal paha betina bertaring itu! Suara Ibu makin meninggi. Ia berhenti tepat ketika tabuhan bedug mengejutkan sunyi yang memeluk semesta. Seolah tak memedulikan satu-dua bulir yang menyeruak dari ceruk mataku, Ibu bangkit dari duduknya. Meninggalkanku sendiri. Seperti senja yang tiba-tiba saja sudah pergi. Seperti senja terakhir itu. Senja yang paling ibu.

Memeluk Ibu

Pipiku basah. Aku tak sabar menyongsong malam. Memeluk Ibu dalam mimpi yang mustajab. Aku takut menemuimu, Ibu. Aku akan menggigil oleh semua risalah yang kautumpahkan, hingga membuatku terjerengkang ke jurang yang dalam tak tepermanai.

Oh Ibu, aku tahu kau takkan mencekikku walaupun, karena aibku, mulut orang-orang kampung takkan lelah memuntahkan racun ke bilik ketenteramanmu. Aku tahu kau takkan melupakanku walaupun namamu telah kuusir dari ingatan sejak perpisahan sepuluh tahun lalu. Aku tahu kau takkan membunuhku walaupun demi bertahan hidup, kutangguk rupiah dari selangkanganku….

Khatimah

Sungguh, aku merinduimu, Ibu. Rindu ini umpama subuh yang mengkhitbah bukit dengan cincin embunnya. Gunung, laut, dan lembah yang melempar kita ke titik entah, justru mengantarku ke senja yang memayungi pinang-pinang merah; ketika kupungut butir-butir nasihat kehidupan darimu, kubawa ke kota yang jauh dari kelebatan bajukurungmu. Tanpa disadari, telah kuperam semuanya. Dan kini, di senja yang tak lagi ibu, butir-butir itu menetas. Kutandai mereka dengan dua nama: yang satu Kenangan, yang satu lagi Nostalgia.

Tidak! Kutandai mereka dengan tiga nama: yang satu Kenangan, yang satu Nostalgia, yang satu lagi Kerinduan.

….

O, Ibu, seperti apa kau kini? (*)