Anak Ibu
Minggu, 13 Februari 2011 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas Dimuat di Jawa Pos, Ahad 13 Februari 2011 : untuk Makku Tersayang Mukadimah Sungguh, aku merinduinya. Rindu ini umpama subuh yang mengkhitbah bukit dengan cincin embunnya. Gunung, laut, dan lembah, yang melempar kami ke titik entah, justru mengantarku ke senja yang memayungi pinang-pinang merah; ketika kupungut butir-butir nasihat kehidupan darinya, kubawa ke kota yang jauh dari kelebatan bajukurungnya. Tanpa disadari, telah kuperam semua. Dan kini, di senja yang tak lagi ibu, butir-butir itu menetas. Kutandai mereka dengan dua nama: yang satu Kenangan, yang satu lagi Nostalgia. Sejak Itu Aku Memanggilnya Ibu Hikayat sederhana ini melibatkan senja, aku, dan seorang wanita yatim-piatu. Yang terakhir adalah janda yang menemukanku teronggok di bak sampah di tepi jalan raya. Ia memang tak seperti wanita kebanyakan. Ia tumbuh dalam keluarga yang mencintai ilmu. Sayang, Tuhan tak pernah sempat mengembuskan ruh di rahimnya yang sepi. Maka, adalah mafhum bila ia selalu berkoar kepada sesiapa yang meragukanku sebagai buah-hatinya. Apakah ada yang dapat membantah itu? Tanyanya bagai menyimpan kegeraman. Melahirkan atau menemukan, itu hanya perkara cara. Dan yang terang adalah, Tuhan sangat baik kepadaku. Ia tak ingin aku meregang nyawa demi berketurunan. Aku tinggal memungutmu, membesarkanmu dengan layak, lalu bermaklumat bahwa aku sudah menjadi ibu. Ibu yang diberi kemudahan. Ya, bila Maryam melahirkan tanpa suami, maka aku memiliki anak tanpa melahirkan. Aku tak habis pikir, bagaimana orang-orang menyebut ini kehinaan! Tidakkah ini lebih layak dinamai keistimewaan?! Sejak itu, aku memanggilnya Ibu. Pohon Tumbuh tak Tergesa-gesa Menjelang keberangkatan, telah kukais ilmu di sebuah sekolah. Ketika itu usiaku tujuh belas. Empatpuluh tiga tahun lebih muda dari Ibu. Bakda menghelat zuhur berjamaah, makan siang bersama, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah, seperti biasa kami bercengkerama di rusbang yang ditanam di bawah pinang-pinang merah. Memang, selain dipagari sirih yang meliuk-liuk di antara rerumpun bambu kuning sebatas pinggang, ditumbuhi rerimbun melati, sirih, pare, pisangkipas, dan beberapa pohon kelapa setinggi tiang listrik, pinang-pinang merah juga menjulang di beberapa sudut pekarangan. Awalnya kukira Ibu hanya ingin menunjukkan tiga helai kain berwarna cerah yang baru dibelinya di pasar siang itu. Ternyata dugaanku tergelincir. Kain-kain itu bukanlah taplak meja baru. Kerudung, begitu Ibu menyebutnya. Kau sudah beberapa kali datang-bulan, Nak. Bukan hanya tak berhak menolak pemberian ini, kau juga harus memerhatikan raut wajahmu, kusut-tidaknya bajukurungmu, basah-keringnya bibir merahmu, dan santun-tidaknya tindak-tandukmu, bila hendak keluar rumah. Kau harus segera menyempurnakan agama. Kawinlah, Nak. Aku terperanjat. Bagaimana Ibu dapat serta merta mencuatkan rencana ini? Dan bagai tak bersalah, Ibu justru tersenyum sembari melipat kain-kain itu. Bukankah Ibu tahu kalau besok aku hendak menyeberang pulau? Dan kau keberatan mengenakan kerudung baru? Bukan, Bu. Tentulah tak perlu kuperkarakan itu. Maksudku, mengapa Ibu tiba-tiba mengatakan ini? Ibu terkekeh. Wajahku masam. Aku benar-benar tak mengerti. Aku jengkel. Wanita yang berkuliah tak harus perawan, kan? Bila ingatan Ibu tak silap, bukankah kau sendiri yang dulu bilang: banyak yang telah beranak-pinak, mencari ilmu bakda SMA? Ibu bagai memojokkanku. Ah Ibu, mungkin kau terlalu uzur hingga tak menangkap muara kekesalanku. Namun, aku tak hendak menyusur sungai tak berhilir, maka kudaratkan perahu pertahananku: kutolak keinginan Ibu yang tiba-tiba itu. Dan hebatnya, Ibu bagai tak memahami bahasa tubuhku. Termasuk bila bujang alim di kampung sebelah yang meminangmu? Ya Tuhan, siapa pula yang Ibu maksudkan. Ini bukan waktu yang tepat membincangkan itu, pekikku dalam hati. Bicaralah, Nak. Ibu mencari-cari mataku. Bibirnya membekap senyum yang siap-siap meloncat. Kau orang beradat, bukan? Diam maknanya ”iya”, bukan? Aku masih hendak kuliah, Bu! jawabku sedikit keras. Aku benar-benar kesal. Tanpa laki? Ibu memastikan. Tanpa suami, kutegaskan. Kau yakin? Ibu menatapku dalam. Nasihat-nasihatmu selalu bersamaku, Bu. Kau hakkul yakin? Ibu berusaha meyakinkan dirinya. Bukankah Ibu bilang Tuhan lebih dekat dari urat leherku? Senyum yang dibekapnya sedari tadi kini meloncat. Menghamburkan kekehan sengau yang tak terlalu sedap didengar. Tak lama Ibu bangkit. Beralih ke sisi kanan lepau. Anakku… Dari pembukaannya, aku tahu Ibu akan berpetuah. …kau lihat ini, sebelah tangannya menunjuk anakan pinang yang batangnya belum merah penuh. Benar ’kan dugaanku! Pohon yang kelak menjadi tiang merah yang begitu indah dan jemawa. Dengan pelepah-pelepah yang siap memayungi akar-akarnya nun jauh di bawah, ia akan semampai bagai hendak menusuk langit. Ia menjulang tanpa pernah kau tahu kapan ia memanjang, kapan ia menumbuhkan daun, pelepah, bunga, putik, dan akhirnya berbuah. Kita bahkan tak pernah mau tahu bahwa tunasnya setengah mati bertahan ketika daun-daun mudanya dipatuk ayam dan dimakan kambing, batangnya yang masih lembut diombang-ambing angin yang memuting dan hujan yang lebat tak kepalang, atau pelepah-pelepahnya yang masih lembek kadang dipetik anak-anak yang jahil. Lihat, pada waktunya, ia tak hanya hidup, ia bahkan menumbuhkan tunas baru! Ibu memelukku. Erat sekali. Lama sekali. Pohon tumbuh tak tergesa-gesa, Anakku, bisiknya lirih. Dan kuingin kau pun begitu: terus tumbuh tanpa terpengaruh setan-setan yang siap mencengkeram ketika jiwamu keropos, ketika kau tak berjalan di atas doa-doaku. Baru kusadari. Ibu tengah memancingku membuka bekal yang selalu ia berikan sedari aku kecil. Ya, Ibu tak mungkin melarangku melintas pulau. Ibu takkan menjegal langkahku untuk menangguk ilmu. Ibu takkan memaksaku berkerudung. Ibu pun tak hendak memaksaku menerima pinangan pemuda itu—yang aku yakin dia pun tak tahu siapa. Ibu hanya ingin tahu sedalam apa telah kuselami sungai karomahnya, telah berapa banyak kutangkap ikan-ikan hikmah yang berkecipakan di dalamnya. Pergilah, Nak! Tumbuhlah! Dan pulanglah sebagai pinang merah yang menjulang! Kami mengakhiri pelukan. Berlalu ke pekarangan belakang. Azan baru saja merundukkan matahari. Senja yang Paling Ibu Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Itulah kalimat yang kerap dilafal Ibu dengan sangat fasih saban kami menghabiskan senja (termasuk bakda asar ini). Biasanya Ibu akan menjabarkan bagai mengutarakan petuah baru. Semua sudah ketentuan-Nya, Nak, lanjutnya. Ibu dipilih-Nya untuk membesarkanmu. Itulah kenyataan yang terbentang. Tentu Ibu tak menerimamu begitu saja. Ada sehimpun amanah yang menyertai kehadiranmu. Dan itu membuatku belajar bagaimana menjadi ibu yang sebenar ibu. Menanam cinta, menyiram kasih sayang, memelihara amanah, dan merelakan waktu merapat demi menjadikanmu orang yang baik. Mata Ibu sangat teduh. Orang baik yang sukses, Bu, ujarku seolah-olah mengoreksi nasihatnya. Ibu tersenyum, sebelum melempar tanya: Kaukutip dari buku apa kata-kata itu? Wajahku merah apel. Kugamit bibir hingga membentuk garis. Ah, bagaimana Ibu tahu itu…. Ibu merangkulku. Kepalaku jatuh di bahunya. Tangan kanannya membelai rambutku. Lembut. Hangat. Ada kedamaian yang lamat-lamat menyelusup dalam aliran darahku. Aku ingin berlama-lama seperti ini, Ibu. Kau tahu siapa yang layak disebut orang sukses, Anakku? Aku mendongak. Ibu balas memandangku. Ah, Ibu sengaja menggantungkan jawaban. Ia melepas lenguh kecil. Kemudian melirikku. Lalu mengulum senyum. Sepertinya Ibu sangat senang melihatku dililit penasaran. Kucubit pinggangnya yang mulai menggelambir. Ibu menggeliat kecil. Geli. Kualat kau, Nak! Ibu menepuk-nepuk kepalaku dengan air muka semringah-raya. Aku tertawa kecil. Kusurukkan kepala di antara dada dan lehernya. Ah, bahagianya aku. Jadilah orang yang baik, Anakku. Hening. Bukankah itulah sukses yang sebenarnya? lanjut Ibu. Aku masih bergeming. Menyuling makna dari kata-katanya barusan. Ibu terlampau sederhana memandang sesuatu, pikirku. Ibu menatap kosong ke depan. Dari posisiku, dapat kulihat kuncup dagunya yang mulai berkerut, gigi-giginya yang masih putih, dan sepasang bibirnya yang jingga oleh sari sirih. Kulingkarkan tanganku di pinggang Ibu. Ia balas memelukku. Kami bagai hendak menegaskan bahwa perpisahan takkan kuasa mengaburkan cinta. Ibu, bisikku pelan penuh perasaan. Ibu mengangguk di balik bahuku. Aku ingin seperti Ibu. Memaknai hidup dengan sederhana saja, kutekuk daguku di punggungnya. Ibu mengelus rambutku. Hidup sebatang kara tidaklah lurus-lurus saja, Anakku. Ibu harus melakoninya dengan waspada dan pantang kalah. Tak ada yang sederhana, kecuali doa yang kadang begitu enggan kita kirim ke langit. Kauperlakukanlah setiap perkara sebagai ibadah karena hidup yang sejati adalah hari ini! Ibu melepas rangkulannya. Ia bidik mataku dengan tatapan yang tepat mengarah ke bulatan hitam di dalamnya. Ya, hidup adalah hari ini, Anakku. Kemarin sudah berlalu, dan esok belumlah tiba! Ibu mencium keningku. Kubalas mencium Ibu. Di pipinya yang keriput. Aku bergumam lirih di telinganya yang disaput beberapa helai rambut yang sudah sepia: Aku akan menjadi anakmu yang baik, Bu. Akan kutunjukkan baktiku. Suatu waktu, akan kubelikan Ibu kain lasem bercorak burung murai dan kembang mangkok. Akan kunaikhajikan Ibu. Akan kubangun rumah mungil dengan pekarangan luas agar Ibu dapat leluasa berkebun melati dan menanam sirih. Akan… Tiba-tiba Ibu menepuk pundakku seolah memintaku menghentikan serentetan bualan. Kupikir ia hendak mengingatkan bahwa senja sudah terlampau tua, sebentar lagi magrib mengundang malam, dan kami harus segera masuk, mengambil lipatan telekung di bilik solat. Ternyata tidak! Kedua tangan Ibu malah meraih bahuku. Ia goncangkan tubuhku bersamaan mutumanikam yang disemburkannya dalam kata-kata. Ibu tak ingin kauburu harta-harta itu lalu memberikan satu atau beberapa untuk Ibu urus, Nak. Tidak! Tubuhku masih digoncang-goncangnya. Ibu bagai ingin menunjukkan betapa kata-katanya harus kusimak dengan saksama. Pelihara saja harta yang telah kaubawa sejak lahir, Nak. Kejujuran, kasih sayang, mencintai sesama, suka menolong…. Bukankah harta-harta itu menyertai semua manusia? Termasuk padamu ketika berhasil keluar dari gua yang menyuruk di antara pangkal paha betina bertaring itu! Suara Ibu makin meninggi. Ia berhenti tepat ketika tabuhan bedug mengejutkan sunyi yang memeluk semesta. Seolah tak memedulikan satu-dua bulir yang menyeruak dari ceruk mataku, Ibu bangkit dari duduknya. Meninggalkanku sendiri. Seperti senja yang tiba-tiba saja sudah pergi. Seperti senja terakhir itu. Senja yang paling ibu. Memeluk Ibu Pipiku basah. Aku tak sabar menyongsong malam. Memeluk Ibu dalam mimpi yang mustajab. Aku takut menemuimu, Ibu. Aku akan menggigil oleh semua risalah yang kautumpahkan, hingga membuatku terjerengkang ke jurang yang dalam tak tepermanai. Oh Ibu, aku tahu kau takkan mencekikku walaupun, karena aibku, mulut orang-orang kampung takkan lelah memuntahkan racun ke bilik ketenteramanmu. Aku tahu kau takkan melupakanku walaupun namamu telah kuusir dari ingatan sejak perpisahan sepuluh tahun lalu. Aku tahu kau takkan membunuhku walaupun demi bertahan hidup, kutangguk rupiah dari selangkanganku…. Khatimah Sungguh, aku merinduimu, Ibu. Rindu ini umpama subuh yang mengkhitbah bukit dengan cincin embunnya. Gunung, laut, dan lembah yang melempar kita ke titik entah, justru mengantarku ke senja yang memayungi pinang-pinang merah; ketika kupungut butir-butir nasihat kehidupan darimu, kubawa ke kota yang jauh dari kelebatan bajukurungmu. Tanpa disadari, telah kuperam semuanya. Dan kini, di senja yang tak lagi ibu, butir-butir itu menetas. Kutandai mereka dengan dua nama: yang satu Kenangan, yang satu lagi Nostalgia. Tidak! Kutandai mereka dengan tiga nama: yang satu Kenangan, yang satu Nostalgia, yang satu lagi Kerinduan. …. O, Ibu, seperti apa kau kini? (*)