Jerit Sunyi Bidadari
Minggu, 30 Januari 2011 by: Forum Lingkar PenaCerpen Karkono Supadi Putra
Dimuat di Malang Post, 30 Januari 2011
Malam Jumat Pon, Kemukus kembali mementaskan keramaiannya. Beribu manusia beragam asa dari segala penjuru tumpah ruah. Dari yang sekadar mengejar ceria hingga yang mengejar tahta, ngalap berkah. Dari yang menghampiri wisata religi hingga yang menikmati wisata birahi. Dari pejabat yang bergelimang harta hingga kere yang tak punya modal.
Ratih hanya diam, bergayut di daun jendela. Matanya jalang menusuk rembulan yang merekah: purnama nan jumawa. Namun, indah purnama serasa tak berdaya merayunya dalam kilau yang menawan. Dia terpenjara dalam kesepian panjang tak bernama. Merindukan sesosok lelaki idaman yang lama tak juga datang.
“Sudah larut malam, kenapa kamu tidak segera dandan?”
Ratih menoleh ke arah sumber suara, pada Mayang, teman kerjanya yang masih sibuk menyisir rambutnya. Dia sudah rapi dengan make up tebal dan pakaian menggoda.
“Malam ini aku absen. Malas!” jawab Ratih tak bersemangat. Perlahan dia menutup daun jendela, lalu duduk di atas ranjang empuk bersprei merah jambu.
“Aneh. Ini adalah malam yang spesial, Gunung Kemukus begitu ramai dikunjungi orang. Kamu jangan banyak tingkah Tih, ini kesempatan kita untuk meraup uang sebanyak-banyaknya.”
“Mayang, aku kangen dengan Mas Topan. Sudah lama aku menantikan kedatangannya. Tapi...”
“Apa? Kamu jangan gila!”
“Sungguh May, aku benar-benar merindukannya. Sepertinya aku sudah jatuh cinta kepadanya.”
“Simpan saja cintamu itu, Ratih. Manusia seperti kita ini sudah tak layak membicarakan cinta. Kita sudah tidak punya cinta. Lagipula, apa untungnya kamu mencintai Topan, dia hanya pemuda desa yang miskin harta. Ya masih mending kalau Pak Suryo, konglomerat yang menggilaimu itu. Sudahlah, ayo segera dandan, nanti Bu Suri marah-marah,” tanpa menunggu apa jawaban Ratih, Mayang segera berlalu dari kamar, barangkali tamu langganannya sudah menunggu. Sementara itu, Ratih masih terpaku di tempat duduknya. Malam ini dia memang kehilangan gairah untuk keluar kamar menyambut tamu lelaki hidung belang yang mampir di kedai Bu Sumi. Dengan sedikit malas, wanita berambut panjang itu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Namun, belum sempat punggungnya merasai kenyamanan saat beradu dengan kasur, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Ternyata Bu Suri: sang mucikari.
“Ratih, kamu ini apa-apaan? Mengapa kamu malah enak-enakan tiduran? Lihat, tamu-tamu sudah banyak berdatangan, ayo segera dandan dan menemui mereka!”
“Maaf Bu, malam ini saya kurang enak badan. Saya...”
“Kamu jangan banyak alasan, Tih. Rombongan Pak Suryo sebentar lagi datang, mereka pasti membawa banyak uang. Kamu jangan bikin ibu kecewa, Pak Suryo itu hanya mau sama kamu,” dengan nada suara keras Bu Suri memotong kata-kata Ratih.
“Maafkan saya, Bu. Saya mohon, malam ini saja!”
“Tidak bisa! Kamu harus menemui dan melayani Pak Suryo.”
Menghindari konflik dengan sang mucikari, Ratih pun akhirnya mengalah.
“Iya-ya Bu, sebentar lagi saya dandan,” katanya dengan sedikit kesal. Pak Suryo? Mendengar namanya saja Ratih ingin muntah. Lelaki tua yang kata orang adalah pejabat yang terhormat itu memang sering memberinya banyak uang. Namun, sama sekali Ratih tidak mencintainya. Dan, sebenarnya Ratih juga tak terlalu senang mendapatkan pemberian uang darinya, uang itu paling-paling hasil korupsi, uang rakyat. Meski Ratih tak paham dunia politik, tetapi hatinya merasa sakit jika tahu ada pejabat yang seperti Pak Suryo. Jika dia saja begitu tega membohongi istri dan anak-anaknya, apa tidak mungkin akan lebih mudah untuk membohongi rakyat?
Dalam hati dia masih berharap agar lelaki pujaannya akan datang malam ini: Mas Topan, bukan Pak Suryo.
***
Ratih sudah rapi. Aroma wangi menyeruak dari tubuhnya yang tinggi semampai. Pak Suryo ternyata belum datang. Diam-diam Ratih mempunyai ide untuk keluar kedai. Kontan saja, saat suasana kedai begitu ramai, Ratih mencuri kesempatan untuk hengkang.
Tak ada yang mengetahui kalau Ratih keluar kedai. Ratih seketika membaur dengan keramaian pengungjung Kemukus yang meluber, memenuhi jalan-jalan di objek wisata yang hanya hari-hari tertentu saja ramai dikunjungi orang. Namun, apa yang terjadi dengan Ratih seolah kontras dengan kenyataan yang ada. Dia merasa sepi di tengah keramaian, menangis dalam kegembiraan banyak insan. Aroma kembang setaman, kemenyan, rokok, bahkan alkohol berbaur menjadi satu. Ah, bukankah selama ini aroma itu yang mengakrabiku? Aroma yang pada awalnya tak pernah bisa aku menikmatinya. Semua aku paksa merasuk dalam hidupku, hingga tanpa terasa, aku telah menggumuli semuanya dalam rentang masa lebih dari lima tahun, gumam Ratih dalam hati. Ada yang bergemuruh di dalam dadanya. Ia seperti ingin lari dari dunia yang mengungkungnya selama ini.
Ratih memilih duduk di bawah pohon nagasari tak jauh dari Sendang Ontrowulan, di kaki Gunung Kemukus, sebuah bukit rimbun puluhan kilometer arah utara dari Kota Solo. Di sini lebih sepi dibanding di atas bukit, di puncak Kemukus. Di sana, Pangeran Samodro dan Dewi Ontrowulan dimakamkan, dan hingga kini ramai dikunjungi orang dengan beragam tujuan. Ratih mencoba mengembarakan angan, agar gelisah jiwa sirna. Agar gundah gulana tak lagi menerpa. Sebatang rokok menemaninya melawan hawa dingin, menghangatkan.
Mendadak, ingatannya kembali tertambat pada sosok lelaki tampan yang beberapa waktu ini menyesakki dadanya. Mengisi ruang-ruang kosong khayalnya: Topan. Di tempat ini, terakhir kali dia bertemu Topan. Jika boleh memilih, sungguh dia ingin mengulang masa, memutar waktu. Dia ingin tidak meninggalkan desa dan melarikan diri ke Kemukus ini. Dia ingin mengenal Topan beberapa jeda waktu yang lalu. Lalu bisa merasai indah pernikahan bersamanya, meski tanpa gelimang harta, hidup sederhana, hanya berbekal cinta. Namun, mungkinkah sang waktu sanggup terulang?
“Malam Mbak,... sendirian aja. Bisa menemani saya?” sosok lelaki mamakai kaos hitam tiba-tiba sudah berdiri di depan Ratih. Ratih tak berselera menjawab ajakan lelaki itu.
“Ini sudah malam, tapi saya belum mendapat pasangan. Sayang kan jauh-jauh dari Surabaya terpaksa tak membawa hasil hanya gara-gara tidak lengkap melakukan ritual. Mbak belum ada tamu kan?”
Lelaki itu mendekati Ratih. Ratih gegas bangkit, serasa muak melihat lelaki itu. Ritual? Untuk mencapai mimpi yang didamba, harus berhubungan badan dengan bukan pasangan kita, bukan suami atau istri kita? Logika Ratih tak kuasa mencernanya? Namun, bukankah selama ini hal itu yang selalu bercokol di benak Ratih dan kebanyakan pengunjung Kemukus? Dengan dalih melengkapi ritual, bahkan perbuatan yang sulit dinalar pun menjadi halal dilakukan.
“Ngaca dulu kalau mau ngajak-ngajak orang!” kata Ratih ketus sambil buru-buru berlalu.
“Woo...lonthe[1]!” samar terdengar makian lelaki itu. Ratih tak menggubrisnya. Dia segera berlari, menembus keramaian malam. Bayang-bayang Topan telah membuatnya gelisah, bahkan seperti jengah dengan realita yang sebenarnya telah mengisi hari-hari dalam kehidupannya selama ini.
***
Saat baru saja memasuki kedai Bu Suri, mendadak Ratih menemukan sepasang mata yang menyala di tengah remang cahaya. Darahnya terkesiap, berdesir. Ratih mengenali mata itu. Sepasang mata yang membuat sang waktu pucat pasi di hadapannya. Lalu, dalam beberapa hening jeda, lidah Ratih seperti kelu, tak kuasa memahat kata.
“Ratih, ijinkan aku bicara!” ucap Topan dalam ketergesaan. Serangkum logika spontan Ratih putar. Buru-buru Ratih menggandeng tangan lelaki itu, lalu berjalan tergesa ke samping kedai. Di sini sepi.
“Akhirnya kamu datang, Mas?” tanya Ratih dengan suara pelan. Dia masih gamang dengan kehadiran lelaki pujaannya: antara senang dan serasa tak percaya.
“Ratih, aku menyerah. Aku akui aku tak bisa meninggalkanmu. Aku telah kalah dengan cinta,” kata Topan dengan mata menyorotkan kesungguhan. Ratih lekat memandangi wajah Topan, juga matanya. Dia masih tak percaya dengan apa yang baru saja Topan ucapkan.
“Benarkah, Mas?”
“Iya. Aku sudah mencoba untuk melupakanmu, tetapi gagal. Sekarang kamu ikut denganku. Aku akan ikuti apa saja kemauanmu, yang penting aku bisa selalu bersamamu. Aku juga siap untuk melamarmu. Kamu terlalu indah untuk menjadi kembang di Kemukus ini Ratih. Kamu adalah bidadari, tempatmu bukan di sini.”
Kali ini dada Ratih penuh sesak dengan bunga. Bunga aneka rupa dari negeri yang hanya ada bahgia bertahta di sana. Sudah lama dia ingin pergi dari Kemukus ini, meniti sisa hidup dalam harmoni suami istri, bukan sebagai wanita pemuas nafsu birahi beragam lelaki.
“Mas Topan, bawa aku pergi sekarang juga Mas. Aku ingin hidup bahagia bersamamu, menjadi istrimu yang sah, membina keluarga bahagia.”
Kedua insan itu dirubung serangkum bahagia.
Namun, tanpa mereka sadari sepasang mata menatap mereka dengan penuh amarah. Lelaki pemilik mata itu seperti tak kuasa menahan gejolak yang bergemuruh di dalam dada. Api cemburu membakar seluruh rasa dan logikanya.
“Ratih... kamu harus mati, wanita kurang ajar!” sebuah suara menggelegar mengagetkan Ratih dan Topan. Saat pemilik suara itu mendekati keduanya, buru-buru Ratih mengajak Topan menyingkir.
“Siapa laki-laki ini, Tih?” tanya Topan dalam keterkejutan. Ratih dengan cekatan berlari sambil menggandeng Topan.
“Sudahlah Mas, sebaiknya kita pergi. Kita tak cukup punya daya untuk melawan dia. Dia punya segalanya, percuma saja kita meladeninya. Ayo cepat kita pergi dan tinggalkan Kemukus ini!” suara Ratih tersengal beradu dengan nafas yang memburu.
“Iya, tapi dia siapa? Dan kenapa kita harus lari seperti ini?”
“Dia Pak Suryo….”
“Hai..jangan lari…!!! Tunggu!!!”
Meski disergap keterkejutan dan ketidaktahuan akan keberadaan lelaki berkumis tebal dan berperawakan tinggi besar itu, Topan mengikuti saja kata-kata Ratih. Mereka terus berlari, menyelinap mencari jalan menuruni bukit Kemukus.
“Pak Suryo itu siapa?”
“Dia punya banyak uang, dan dengan uang itu dia bisa membuat segalanya menjadi mungkin, termasuk membeli cinta dariku dan itu berarti memisahkan kita berdua.”
Topan baru paham dengan yang telah terjadi setelah mendengar kata-kata Ratih barusan. Setelah itu, Topan kian mempercepat langkah kakinya, lincah menerobos setiap keramaian. Keduanya tak menghiraukan lagi pandangan orang-orang di sekitar, juga rasa lelah yang mendera.
Sementara, lelaki yang tak lain adalah Pak Suryo itu pun menyerah.
“Kamu boleh pergi Ratih, tetapi aku akan selalu mendapatkan Ratih-Ratih yang lain… Hahahaha…dasar bocah bodoh…”
Footnote:
[1] Pelacur dalam bahasa Jawa.
"jangan terhempas! tetaplah terbang dengan patah sayapmu, ratih!"