Mayra

Rabu, 19 Januari 2011 by: Forum Lingkar Pena

Denny P. Cakrawala

Dimuat di AngsoDuo.Net, 16 Januari 2011 dan Jambi Independent, 10 Januari 2011


Tiba-tiba saja darah mengalir dari rak buku di dalam kamar tidurku. Aku terpana. Tak percaya. Bagaimana bisa? Atau aku sudah gila karena terlalu sering keluar masuk dunia imaji? Mungkin saja darah itu hanya salah satu bagian dari imajinasi yang tengah aku bangun, di lembar Microsoft Word Pentium3-ku? Aku memang seorang penulis yang selalu bermain-main dengan imajinasi. Sehingga sering sulit membedakan realitas sungguhan dengan realitas rekaan.

Aku menyentuh darah yang telah menggenangi lantai kamarku dengan jari telunjuk. Seperti seorang detektif ketika menemukan jejak darah di tempat kejadian perkara. Asli! Benar-benar darah sungguhan! Tapi bagaimana bisa? Aku mencium darah di ujung telunjuk tanganku. Masih segar. Seperti baru keluar dari lubang aorta serta vena yang terkoyak.

Sebenarnya aku tak harus menduga kalau diriku gila, hanya karena sebuah darah yang mengalir tiba-tiba, kalau saja itu berasal dari dalam lemari pakaianku. Mungkin saja ada orang yang telah melakukan pembunuhan. Lalu menyimpan jasadnya di lemari pakaianku. Dengan maksud untuk menjebakku. Tapi itu saja sudah tidak masuk akal. Karena siapa pula yang mau menjebak aku? Aku toh bukan siapa-siapa yang perlu ditakuti. Aku tak pernah memiliki musuh. Atau ada yang diam-diam telah menganggap aku sebagai ancaman? Atau barangkali hanya bangkai tikus? Tapi siapa yang cukup iseng membunuh tikus dan menyimpannya di lemari pakaianku? Apa pun jawabannya, semua hanya sebuah kemungkinan, jika darah itu mengalir dari lemari pakaian. Kenyataannya, darah itu mengalir dari rak buku. Mungkin seekor kecoa sedang sial tergencet di antara buku-buku? Tapi lagi-lagi tetap saja sulit diterima akal sebab bukankah kecoa tidak mengueluarkan darah semacam itu?

Ah, aku mungkin sudah gila. Agar tak bertambah merasa gila, aku mencoba membongkar buku-buku yang berbaris rapi seperti prajurit tentara sedang upacara di rak paling atas, tempat aliran darah itu berasal. Semula aku memindahkan buku-buku itu sekaligus ke atas ranjang tidurku. Sehingga tak menyisakan satu buku pun di rak paling atas. Namun, tak ada makhluk apa pun di sana yang bisa kucurigai terluka hingga mengeluarkan darah. Jadi, aku kembalikan lagi buku-buku itu ke tempat semula. Aku baru saja ingin membongkar buku-buku di rak tengah. Namun, urung kulakukan. Darah itu mengalir dari rak paling atas, mana mungkin sumber darah berasal dari rak tengah. Kecuali darah itu bisa mengalir ke atas melawan gravitasi Bumi. Kalau pun memang bisa begitu, rasanya kurang kerjaan sekali darah itu.
Jadi aku menduga kalau darah itu keluar dari dalam salah satu buku yang ada di rak paling atas.

Kedengarannya memang gila. Tapi bisa saja kan? Siapa yang bisa menjamin kehidupan ini waras-waras saja? Tonton saja berita kriminal di layar kaca. Apakah waras namanya kalau ada seorang bapak yang menghamili anak kandungnya sendiri? Kalau realitas dunia nyata sudah menawarkan kegilaan serupa itu, apa masih kedengara gila jika aku menduga darah itu keluar dari dalam buku cerita? Seekor dinosaurus yang telah punah ribuan tahun saja bisa dihidupkan kembali. Dan itu terjadi dalam buku cerita! Kenyataan itu membuat aku segera membuka lembar demi lembar buku yang ada di rak paling atas. Tak satu buku pun di rak atas yang tidak terkena darah. Jadi, untuk menemukan sumbernya aku harus memeriksa satu per satu.

Aku baru saja mengambil buku bersampul hijau yang ditulis oleh Jenarayu—pengarang favoritku. Sebelum sempat aku memeriksa lembar demi lembar halamannya, tiba-tiba saja buku itu memberat di tanganku. Aku tak cukup kuat menahannya, sehingga buku itu terjatuh ke lantai dengan posisi membuka. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh molek melejit begitu saja dari dalam buku itu. Terhuyung-huyung, sebelum ambruk di lantai dengan tubuh menelungkup. Menggelinjang-gelinjang. Meregang nyawa. Lalu terdiam. Tak lagi bergerak. Sebilah pisau menancap di punggungnya.

Ini benar-benar seperti di dalam buku cerita. Namun, nyata. Karena terjadi di dalam kamarku. Seorang perempuan berambut kelam. Bertubuh aduhai. Mengenakan gaun hitam yang membuat kedua pundak jenjangnya dapat dinikmati mata—kecuali yang tersembunyi di balik helai-helai rambutnya yang sedikit melebihi bahu. Keluar begitu saja dari dalam buku kumpulan cerpen yang ditulis oleh pengarang favoritku, saat buku itu terjatuh dengan posisi membuka. Aku menyentuh pergelangan tangannya. Tak ada kehidupan mendetak di sana. Perempuan itu mati! Siapa orangnya yang telah dengan keji menancapkan sebilah pisau ke punggungnya?!

”Aku,” sebuah suara dari balik punggungku, ”hahahaha... mampus juga dia!”

Aku terdiam beberapa jenak, tak lantas menoleh ke belakang. Kegilaan apa lagi yang mungkin aku temui? Suara tawa itu belum juga reda. Aku menolehkan kepala ke arah suara. Sungguh aku tak menduga kalau suara itu berasal dari seorang gadis berseragam putih biru. Suaranya terdengar lebih dewasa dari usianya. Namun, bukankah kedewasaan tidak diukur dari suara dan jumlah angka yang kautulis di kolom usia pada lembar biodata?

Seragam sekolah yang dikenakan gadis yang wajahnya rupawan itu berlumur darah. Ada bekas sayatan pisau panjang melintang di salah satu pipinya. Dia memandang ke arahku sambil terus tertawa. Seperti seorang yang telah kehilangan akalnya.

”Siapa kamu?”

”Kau mengenal saya,” katanya setelah meredakan tawa, ”bukankah kau telah berkali-kali membaca buku itu?” Jari telunjuknya mengarak ke buku yang tergeletak di lantai dengan posisi membuka. Buku karya Jenarayu, penulis pujaanku.

”Aku sedang tidak berselera menjawab teka-teki.”

”Melukis Jendela,” katanya, ”kau masih mengingat ceritanya kan? Pisau itu yang dulu kugunakan untuk menyayat pipiku.”

”Mayra? Kamu Mayra?!”

”Apa masih perlu kujawab pertanyaanmu?”

Aku mungkin sudah gila. Namun, sulit untuk tidak memercayai perkataannya. Lalu siapa perempuan yang dibunuhnya itu? Aku menyibak helai-helai rambut yang menyembunyikan wajah perempuan dengan sebilah pisau menancap di punggungnya. Sekalipun radiasi monitor komputer telah membuat rabun penglihatanku, rasanya tak akan sampai membuatku tak lagi mengenali wajah perempuan itu. Dia ...

”Jenarayu. Penulis pujaanmu!”

Wajahku mengeras. Mempertegas api yang berkobar di mataku. Aku berdiri. Menghadap ke arah gadis yang wajahnya sedingin musim salju. Membakarnya dengan tatapan. Aku mungkin hanya satu dari sekian banyak pembaca buku Jenarayu. Tapi siapa orangnya yang tidak terbakar melihat seorang yang dipujanya mati dengan cara yang mengenaskan?

”Mengapa kau membunuhnya?” suaraku bergetar, ”lewat sebuah cerpen dia telah melahirkanmu!

Bukannya berterima kasih! Sungguh tak tahu budi!”

”Berterima kasih katamu?”

”Ya!”

”Awalnya aku bangga karena diciptakannya dengan wajah cantik. Meski aku ditempatkan di tengah keluarga yang tak lengkap. Ia yang membuat aku hanya memiliki ayah yang tak peduli padaku tanpa tahu siapa ibuku. Tapi kaulihat luka di pipiku?” Mayra memperlihatkan bekas luka di pipinya, ”dia menyebabkan luka ini.”

”Tapi bukankah kamu sendiri yang menyayatnya dengan pisau?”

”Memang aku sendiri yang menyayatnya, tapi dia yang menulis cerita. Aku hanya menjalankan saja apa yang telah dia tuliskan dalam cerita itu.”

”Tapi itu, kan, hanya sebuah adegan dalam cerita fiksi. Tidak benar-benar terjadi.”

”Apakah kaulupa kalau aku adalah tokoh fiksi?” katanya, ”aku tokoh fiksi yang hidup dalam dunia fiksi.

Maka, apa yang terjadi terhadapku di dalam dunia itu adalah sebuah kenyataan. Realitas yang harus kujalani. Untuk apa? Untuk memuaskan penulis seperti Jenarayu, serta pembaca sepertimu!”

”Ah, aku sungguh-sungguh tak mengerti!”

”Kau tak akan pernah bisa mengerti, kau tidak berasal dari dunia fiksi. Kau tak akan pernah mengerti, betapa aku merasa muak harus menerima teror setiap pergi ke sekolah. Mereka selalu melecehkanku!

Mereba-raba payudara dan kemaluanku! Jangan kaupikir teman-teman sekolahku itu menikmati perlakuan mereka terhadapku. Mereka sesungguhnya tak ingin melakukan perbuatan cabul itu. Tapi Jenarayu telah memaksa mereka dengan menuliskan cerita seperti itu. Menurutmu, apakah aku tak pantas membunuhnya karena dia telah menyebabkan tokoh-tokoh yang dia ciptakan menderita? Atau kau malah menikmatinya?”

”Apanya?”

”Adegan-adegan pelecehan itu!” nada suaranya meninggi, ”kau menikmatinya kan?”

”Ehm ... mungkin.”

”Tak usah munafik. Katakan saja yang sejujurnya.”

”Ehm ... sedikit.”

”Sampai onani?”

”Hah?!?! Tak sampai sejauh itu!”

”Tapi kau menikmatinya kan?”

”Aku tak perlu menjawabnya.”

”Karena kau memang menikmati!” tudingnya.

”Kau tidak bisa memaksa orang untuk tidak menikmati apa yang Jenarayu tulis dalam cerpen itu.”

”Dasar lelaki!”

”Apa pun alasannya, kau tetap tak dibenarkan membunuh. Lagi pula, mengapa tokoh-tokoh cerita lainnya dalam buku itu tak merasa keberatan dengan apa yang telah dituliskan Jenarayu? Hanya kamu saja yang merasa tidak puas.”

”Huh!” Mayra mendengus, tertawa sinis, ”kau pikir, aku bekerja sendirian?”

”Maksudmu, kau tidak membunuh Jenarayu sendirian?”

”Ya! Mereka semua ada di belakangku. Hyza, Maha, Manusya, Nayla, dan Mem ... ah, aku tak sampai hati menyebut namanya. Dia benci sekali pada perbuatan Jenarayu yang telah memberinya nama sama dengan nama kemaluan wanita!”

”Aku bisa mengerti kalau mereka marah pada Jenarayu, akhir cerita mereka tidak membahagiakan. Tapi bagaimana dengan kamu? Bukankah di akhir cerita Melukis Jendela kamu menikah dengan pemuda berkuda yang memiliki dada bidang dan kulit cokelat kemerah-merahan terbakar matahari? Bahkan, dari pemuda itu, kamu memiliki dua orang putri yang cantik-cantik serupa dirimu. Tidakkah kau cukup puas membalaskan perlakuan lima anak berandalan yang suka melecehkanmu di sekolah dengan cara memotong alat vital mereka? Semua itu dituliskan Jenarayu untuk membuat kamu bahagia! Masihkah kamu mengingkarinya?”

”Membahagiakan katamu?”

Aku menganggukkan kepala.

”Aku benar-benar kecewa kepadamu.”

”Kecewa? Kepadaku?”

”Kalau saja kau bukan seorang penulis yang karyanya telah dimuat di media, aku bisa mengerti jika kau tidak memahami akhir cerita yang sesungguhnya. Tapi kau seorang penulis!”

”Aku masih tak mengerti maksudmu.”

”Sekarang kau tak hanya mengecewakanku.” Mayra mengempaskan tubuhnya di atas kursi yang ada di dalam kamarku, ”Tapi benar-benar membuat aku berpikir kalau kau seorang yang dungu!”

”Hei!” Aku menuding wajahnya dengan telunjukku, ”Jangan sembarangan bicara kamu!”

”Tak usah marah. Kenyataannya kau memang tak sepintar kelihatannya. Semestinya kau tahu makna ungkapan ’melukis jendela’ dalam cerpen itu. Melukis hampir tak beda dengan menulis. Hanya medianya saja yang tak sama. Sekarang aku tanya, kenapa kau menulis cerita?”

Aku meletakkan tubuhku di sisi Mayra, ”Aku menulis karena ada yang ingin aku sampaikan. Aku menulis karena dengan menulis aku bisa melakukan apa yang tidak dapat aku lakukan dalam kehidupan nyata.”

”Artinya?” Mayra memandangku. Dia tak menunggu jawabanku, ”Apa yang kamu tulis itu merupakan harapan atau keinginan yang tidak bisa kamu wujudkan dalam kehidupan nyata. Sama seperti ketika aku melukis. Aku berusaha mewujudkan apa yang aku inginkan dalam kanvas atau kertas gambar.”

”Lalu makna dari jendela itu?”

”Seharusnya tidak perlu aku jelaskan lagi.” Matanya melirik ke arahku menyiratkan sebuah kekecewaan mendalam.

Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Belum pernah aku merasa sedemikian bodohnya di hadapan seorang gadis berseragam putih biru. Seharusnya aku memang tidak menanyakan hal itu. Jendela adalah media yang menyatukan dunia di dalam kamar dengan dunia di luarnya. Jadi, bisa dikatakan, Mayra melukis jendela karena berharap bisa melarikan diri dari dunianya menuju dunia yang benar-benar sesuai dengan harapan serta keinginannya. Aku mengangguk-anggukkan kepala.

”Kau sudah mengerti sekarang?”

”Aku mengerti. Bagian akhir dari cerita itu tidak sungguh-sungguh terjadi. Kau hanya membayangkannya saja. Bukan begitu?”

”Tentu saja. Mana ada seorang gadis yang baru kelas satu sekolah menengah pertama menikah lantas punya dua orang anak.”

”Tapi Bik Inah tidak menemukan dirimu di kamar saat ia ingin membersihkan kamarmu. Dia hanya menemukan kertas-kertas bergambar jendela yang berserakan memenuhi kamarmu.”

”Aku memang pergi meninggalkan rumah itu. Tapi tidak bertemu dengan pria berkuda yang memiliki dada bidang dan kulit cokelat kemerah-merahan karena terbakar matahari. Apalagi sampai punya anak darinya. Aku juga tidak memotong alat vital teman-teman sekolah dasarku yang sering melecehkan aku sebab mereka hanya melakukan apa yang telah Jenarayu tuliskan.”

”Jadi, akhir cerita itu tidak membahagiakan?”

”Berkat dia!” lagi-lagi telunjuk Mayra menuding Jenarayu yang terkapar di lantai kamarku bersimbah darah dengan sebilah pisau menancap di punggungnya.

Suara berderak di meja kayu menyela pembicaraan. Layar monitor komputerku bergaris-garis.

”Sepertinya ada telepon untukmu.”

Aku menyambar ponsel dari atas meja komputerku. Nama Tebing Cakrawala di layar LCD ponselku. Aku menekan tombol OK. Telepon tersambung. Belum sempat aku mengucap salam, temanku yang seorang penulis itu langsung memberondong aku dengan kepanikan.

“Den … kau pasti tak akan percaya kalau kukatakan Jenarayu keluar dari dalam buku pertamanya.

Terhuyung-huyung. Ambruk ke lantai dengan tubuh menelungkup. Menggelinjang-gelinjan. Meregang nyawa. Lalu terdiam. Tak lagi beregerak. Sebilah pisau menancap di punggungnya! Dan kau tahu siapa yang membunuhnya?”

Aku melirik ke arah Mayra. Gadis berseragam putih biru itu menyeringai puas.

Sejak aku menerima telepon Tebing, handphone-ku tak henti-hentinya berdering. Mengabarkan berita yang sama dengan yang telah Tebing sampaikan kepadaku.

Sepertinya aku memang benar-benar sudah gila!

Atau.

Aku baru saja menyelesaikan sebuah cerita?