Walaupun Tahun Telah Bernama Baru

Minggu, 13 Februari 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Tribun Jabar, 13 Februari 2011

1.
2011. Itulah waktu yang telah ditetapkan Lian, Ulip, dan Pir untuk merantau ke Jawa. Tiga beradik itu telah bulat tekadnya bahwa Jakarta akan jadi ranah penghidupan. Tentu saja, mereka tiada mengajak Si On, sulung yang tiada jelas bertutur, tiada terang berpenglihatan, dan tiada awas berpendengaran. Ya, tiada yang bisa diharapkan dari seorang anak hewa, anak babi. Demikian orang-orang—yang mengetahui perihal kelahirannya—menjulukinya.
Ya, dulu, saat-saat menjelang Si On mengoek anyir. Hujan berderai hebat. Bak jarum- jarum bening saja ia menjelma-menusuk rimba waktu itu. Mang Ramang yang bersusah payah memapah Bi Siti, istrinya, mencapai pondok Mak Rom, dukun beranak di selatan dusun, akhirnya mendudukkannya di sebuah kandang beratap bilah-bilah ilalang yang mencokelat. Saat itu, Bi Siti sudah mengerang sangar—akibat kesakitan yang sangat—di pondok kecil dekat sebatang rambai. Setelah Si On akhirnya terlahir—entah bagaimana itu berlaku, barulah mereka tercekat, menyadari bahwa anak pertamanya menapak bumi di tanah najis, kandang hewa.
Seakan tiada perlu ditanyakan saja bahwa kelahiran itu berbau aib nasab. Maka, tumbuhlah anak—yang hingga orang tuanya lupa siapa nama aslinya—dengan beragam kekurangan itu. Segenap warga akan sangat mudah menebak siapa yang tengah dibincangkan ketika salah satu dari mereka menirukan bagaimana orang bisu berwicara, atau orang buta meraba-raba, atau orang tuli meminta pengulangan kata.
"Si On!" Bergelak giranglah mereka akan menyebut nama itu.
"Kependekan dari Onnn..."
"...nyol!"
"Ha-ha-ha-ha...!"
"Ya. Kata nenekku, anak hewa!"
Tumpahlah tawa-tawa yang berebutan menyeruak itu.

2.
AKHIR-AKHIR ini, Lian, Pir, dan Ulip turut jua memerudukkan Si On pada ketiadaberdayaan yang sangat. Tiada segan-segan ketiga adiknya itu bercampur dengan muda-mudi penggunjing itu. Menderai gelak tak alang kepalang. Bi Siti dan Mang Ramang pun sudah tak terhitung bilangan memperingatkan mereka untuk beradab dengan abang mereka.
"Ah Bak, apa yang perlu diributkan." Lian seolah balik bertanya.
"Ya. Mendengar, tidak!" timpal Ulip.
"Melihat, juga tidak, Mak!" sambung Pir.
Bi Siti memandang suaminya, berharap laki-laki itu segera membela Si On. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari bibir legamnya.
Mang Ramang tiada berdaya jua menghadapi ketiga anaknya yang sudah bujang-bujang itu. Sudah hampir lima tahun ia tak motong, menyadap karet. Dulu, ketika tengah melukai kambium-kambium batang bergetah itu dengan pisau lengkungnya, serombongan pemburu mengejar beberapa ekor rusa hingga ke kebunnya. Mang Ramang ingat sekali. Binatang-binatang itu setinggi bahunya. Tua. Bak bersunting Minang tanduk-tanduknya bersilih-silang. Saat itulah, di senja-raya yang hampir buram, kedua kakinya diseruduk. Dan hingga kini, tiada upaya ia mengais nasi lagi dari motong. Maka, Lian, Ulip, dan Pir, yang masih belasan tahun kala itu, menggantikannya. Motong. Mengumpan keluarga.

3.
HEWA. Itulah hewan kesukaan Si On. Sudah berbusa-busa sesiapa mengingatkannya agar tiada menyukainya. Si On bergeming. Si On menceracau a-i-u-e-o saja bila tanpa sadar orang-orang sekitarnya—entah siapa itu?!—keras-keras membincangkan keberhasilan Mang Mitan, tukang buru tersohor itu, baru saja menombak hewan bergelang hidung itu.
Lama kelamaan, keluarga dan orang-orang yang mengenalnya terbiasa juga dengan kebiasaan aneh Si On itu. Untungnya Si On, tampaknya, menenggang keluarga dan orang sekitar yang muslim. Dengan bahasa-bahasa sumirnya, tiada pernah ia memaksa keluarga dan orang- orang sekitar untuk membawakannya hewa, untuk sekadar dielus atau didengar endusannya.
Entah bagaimana Si On bisa bertepa-selira, ia akhirnya menumpahkan kegilaannya akan hewa dengan mengumpulkan porselen, boneka, celengan, sepatu, dan baju-baju yang berbentuk atau memiliki unsur ke-hewa-an. Si On memiliki masing-masing benda tersebut hingga lebih dari satu buah.
Entah, insting dari mana, Si On beroleh kecakapan mengenali bahwa benda-benda tersebut memiliki unsur hewa. Tiada yang tahu. Tiada yang mencari tahu.
Seperti tak ada pekerjaan saja memikirkan laki-laki sinting itu!
Begitu yang ada di benak sesiapa, termasuk ketiga adiknya, terkecuali Bi Siti dan Mang Ramang. Ya ya ya, tak perlu dikoar-koar lagi, bukan, bahwa kelahiran di kandang hewa adalah musabab yang paling kokoh untuk menurunkan semua kebiasaan aneh Si On dalam alasan yang berkait-kaitan?

4.
SORE itu, orang-orang telah bernapas di tahun yang baru. Si On tekun sekali membersihkan benda-benda kesayangannya. Lian, Ulip, dan Pir sudah bersiap dengan tas punggung masing-masing yang beramacam-macam saja isinya. Ya, ketiga bujang itu telah memesan tiket bus yang akan membawa mereka ke Jakarta. Berganti-gantian mereka menyalami Bi Siti dan Mang Ramang.
"Maaf, Mak. Bukan memaksa Mak menggantikan kami motong, tapi kami semua bertekad akan berkabar baik untuk keluarga ini di rantau nanti," kata Ulip, sesaat setelah mencium punggung tangan keriput Bi Siti.
"Iya, Mak, Bak. Kami merantau untuk meninggikan nasib," sambung Lian meyakinkan.
Ulip mengangguk-angguk dalam, seakan-akan hendak menunjukkan bahwa apa-apa yang disampaikan dua saudaranya sudah mewakili kata hatinya: merantau untuk bahagia-raya.
"Tak bercium-tangan kalian dengan Abang?" tanya Mang Ramang ketika mereka akan bersegera meninggalkan rumah.
Lian, Pir, dan Ulip saling berpandangan. Ada enggan di mata mereka. Tetapi tak urung, pergi jua mereka ke bilik belakang, tempat kamar Si On dipetakkan.
Di sana, Si On meneleng-nelengkan kepala. Ada semringah yang mendalam, menyemburat dari tarikan bibirnya: senyum tak berseni sedikit pun.
Ketika ketiga adiknya itu mendekat, Si On masih sibuk dengan benda-benda hewa-nya. Tapi, tetap, ada senyum miring di wajahnya. Si On ber a-i-u-e-o lagi. Gigau-gagu. Ya, Si On tampak senang sekali.
Seakan-akan melihat mayat hidup, seolah menyentuh segerombolan belatung bergeliatan, serasa melihat pemandangan yang diharamkan saja, mereka ragu-ragu hendak menjangkau tangan abangnya. Beberapa kali mereka mencoba, beberapa kali juga Si On menarik-narik tangannya, seakan mengajak ketiga adiknya bermain-main.
Ulip melepas lenguh. Disusul Lian yang menggaruk-masai kepalanya.
"Sudahlah, Mak. Kami pergi saja. Lagi pula, tiada ditangkapnya apa-apa yang kami maksud," ujar Pir.
"Kami ada atau tak ada pun tak berpengaruh. Mungkin selama ini Abang pun tak tahu kalau ia hidup dengan kita," kata Lian mulai kesal.
"Ya sudah, Bak. Kami berlalu saja." Ulip mengajak kedua saudaranya berlalu.
Bi Siti dan Mang Ramang mengangguk saja. Maka, pergilah mereka. Meninggalkan Bi Siti yang menggenang air mata. Meninggalkan Mang Ramang dengan tatap yang sumir. Meninggalkan Si On yang mengangkat-angkat benda-benda hewa-nya—seolah hendak membagikan-mengikhlaskannya kepada ketiga adiknya itu.
Dari kesemua benda kesayangannya itu, empat celengan hewa dikepitnya rapat-rapat. Celengan yang sekian tahun, saban hari, ia isi dengan jumlah rupiah yang sama. Tiga di antaranya, samar-samar terukir abjad L, U, dan P. Siapa pula yang menggoreskannya di situ? Kepada siapa diperuntukkan?
Tiada yang tahu.
Tiada yang mencari tahu.
Walaupun tahun telah bernama baru....
***