Esok Subuh Kukirim Rabitah

Selasa, 15 Februari 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
dimuat di, Majalah Sabili, Februari 2011

; kepada grup-grup nasyid yang pernah kusinggahi

CARLIE, Risyad, Hari, dan Davis tengah serius mendengarkan pengarahan dari Bamris, pemuda 22 tahun yang menjadi pelatih nasyid mereka. Empat mahasiswa Fakultas Ekonomi Unand yang hanya terpaut beberapa tahun di bawah Bamris itu, sesekali bertanya tentang apa dan bagaimana pernapasan yang baik, resonansi suara, jenis-jenis vibra, tipe improvisasi, tremolo, cressendo, decressendo, dan beberapa teknik dan istilah bernyanyi pada umumnya.
Walaupun mereka sudah lama berkecimpung di dunia nasyid, namun pengetahuan di atas, kalau tak ingin dikatakan asing, cenderung tidak familiar di telinga mereka karena tidak dipelajari ketika bernasyid sebelumnya. Dan kini, ketika dikumpulkan Bamris untuk bergabung di Alif, grup nasyid besutannya, mereka manfaatkan setiap pertemuan untuk menambah ilmu sebanyak-banyaknya.

Satu bulan telah berlalu. Sore itu tak ubahnya dengan sore-sore sebelumnya. Senandung nasyid bergema dari salah satu kamar wisma An-Nur. Empat pemuda tekun berlatih dan menyelaraskan posisi vokal masing-masing. Sesekali teriakan-teriakan khas Bamris menyelingi latihan mereka. Tak jarang setelah teriakan tersebut, barisan-barisan suatu melodi mesti diulang berpuluh-puluh kali.

“Dinamiknya nggak ada. Ulang lagi!”

Kode hitungan dari jemari Bamris menuntun grup itu kembali bernasyid, dengan teknik yang diarahkan Bambris.
Karakter Bamris yang super disiplin dan perfeksionis sudah dipahami oleh keempat ‘anak didiknya’ itu. Tak jarang masing-masing mereka akan menerima ‘semprotan’ khasnya. Baik karena keterlambatan menghadiri latihan, apalagi tak disertai konfirmasi sebelumnya.

Tapi itu hanya berlangsung dalam latihan. Di luar, itu tak berlaku. Bahkan bakda latihan, mereka sering berjalan bersama menyusuri gang sempit yang menjorok ke jalan raya. Biasanya acara jalan-jalan ini diembel-embeli makan bersama di Lubuak Sao, rumah makan yang juga menyediakan menu pangsit, bakso, siomay, dan batagor yang biasa mereka santap sambil menunggu magrib tiba.

Di sana mereka kerap berceloteh, bercerita, dan bercanda. Tanpa disadari, di sana mereka tengah membuka lembar demi lembar diary kehidupan yang baru. Menuliskan kenangan demi kenangan di dalamnya. Semua tak pernah tahu sampai semua menjadi kelabu. Sangat kelabu.

Masa pun silih berganti. Berpeluh suka dan duka, mereka jalani bersama. Sangat berbeda dengan dahulu, kini belum genap setahun usia grup nasyid tersebut, mereka sudah sangat dikenal dengan berbagai prestasi dan pengalaman tampil di berbagai even prestisius. Bahkan di tahun tersebut, Alif beberapa kali menjuarai festival nasyid tingkat nasional. Dalam berbagai festival tingkat provinsi, mereka tidak lagi berpredikat sebagai peserta, tapi sudah menjadi bintang tamu, tak jarang merangkap sebagai dewan juri.

Bamris sudah mengenal watak masing-masing personil Alif. Carlie adalah sosok yang percaya diri dan optimis. Hari, pribadi yang kalem, jarang ngomong, sering mengambil sikap aman dan sangat menghargai Bamris. Sifat Hari ini tak jauh berbeda dengan Risyad dan Davis.

Namun, seperti suatu grup pada umumnya, Bamris melihat keberagaman tersebut sebagai hal yang wajar, apalagi selama ini ia tak menemui halangan berarti dalam memenej mereka baik secara manajerial maupun teknis. Pun ketika terdengar desas-desus bahwa Alif merasa sudah dapat berdiri sendiri tanpa pelatih, Bamris tidak sedikit pun mengindahkannya. Baginya adalah wajar, isu miring melanda penyanyi atau grup yang tengah naik daun. Tak terkecuali di dunia nasyid. Tak terkecuali untuk Alif.


BERSUA pasti ada berpisah. Ungkapan itu akhirnya datang juga menghampiri Alif. Dengan dalih penyelesaian skripsi dan kemandirian Alif, Bamris mengundurkan diri. Keputusan itu, uniknya tak mendapat respons sebagaimana biasanya terlontar dari orang-orang yang telah dibesarkan oleh pelatih, manajer, pendiri, bahkan ‘pemilik’ suatu grup tempat mereka bernaung selama ini. Walaupun ada kail yang menyangkut di hati atas sikap yang mereka tunjukkan, tentu saja bukan hal yang etis bagi seorang Bamris untuk mempertanyakannya. Toh aku memang akan meninggalkan Alif. Kail itu pun terlepas dengan sendirinya.

Ada ribuan kenangan yang telah tertoreh di Alif. Kenangan yang diukir Bamris bersama ‘anak-anak didiknya’. Bamris meyakinkan dirinya sampai pada taraf bahwa dia sangat percaya, pasca ditinggalkannya, Alif akan menjadi grup yang solid, khususnya dari segi teknis. Sudah cukup bagi Bamris untuk terus membimbing dan mengingatkan mereka agar bernyanyi dengan groove, koreografi yang penuh rasa, dinamik, falseto, bahkan hanya untuk masalah kostum panggung sekalipun. Mereka sudah cukup ‘besar’ dan mandiri untuk berkreasi dengan apa yang telah kuberi. Begitulah batin Bamris saat itu.

Sangat indah. Perpisahan itu disertai dengan harapan mendalam dari masing-masing mereka. Satu benang merah, mereka sepakat bahwa perpisahan mereka hanya secara tim, namun tidak untuk ikatan hati. Bahkan yang ditinggalkan pun beberapa kali mengulang kata “terimakasih” atas bimbingan, ilmu pengetahuan, dan wawasan bernasyid yang selama ini telah diberikan. Perpisahan pun ditutup dengan membaca rabitah, doa pengikat hati, yang dipimpin oleh Bambris.

Sangat manis, bukan?! Sangat manis sampai akhirnya mengiris-ngiris. Sampai tipis. Sangat tipis. Bak tipisnya sembilu yang telah dilumuri sari jeruk nipis sebelum mengiris pelipis, dan berakhir dengan tangis. Pecah!

Perpisahan itu ditutup dengan saling pelukan. Entah mengapa, pelukan itu tak juga erat, walaupun mereka sudah mencoba untuk saling mengeratkan. Ah, mereka lupa bahwa hati tak dapat dibohongi, tak dapat dierat-erati, dengan air mata sekalipun.

Kini, sudah hampir dua tahun Alif berdiri. Grup nasyid papan atas, itulah julukan yang disematkan padanya. Undangan tampil pun sudah lintas provinsi. Tapi sayang, banyak hal yang tak seperti dulu lagi. Kebersamaan hanya ada saat latihan. Latihan pun hanya dilaksanakan menjelang penampilan saja, karena itu tali persaudaran yang seharusnya berada di posisi mulia dalam prinsip membangun grup tak lagi diacuhkan.

Bongkar pasang formasi pun sudah menjadi hal yang lumrah. Bahkan pemakaian penasyid pengganti atau tambahan hampir menjadi ciri penampilan Alif.

Sampai suatu ketika, semuanya menjadi kelabu. Bak Pelipis yang diiris sembilu dengan sari jeruk nipis. Tak hanya di pelipis, tapi sampai juga mengiris hati Bambris. Malam itu, setelah menamatkan Salah Asuhan, segera disetelnya frekuensi syiar Qur’an FM untuk sekadar mendengarkan lantunan kalam illahi atau lagu nasyid demi melepas penat setelah berjam-jam memelototi ratusan lembar roman favorit karya Abdoel Moeis tersebut.

“…Rina, salah satu pendengar setia Qur’an FM baru saja bertanya tentang orang-orang yang berjasa membuat Alif hingga seperti ini. Sebagai salah satu generasi awal Alif, mungkin Carlie bisa menjelaskan?”

Segera dibesarkannya volume radio. Tak dapat ditutupinya ekspresi kerinduan pada Alif saat itu, sekalipun hanya untuk mendengarkan mereka bertutur. Bahkan saking bahagianya, jarak telinga Bamris dan speaker radio tak lebih dari 10 sentimeter. Sangat dekat, sedekat hatinya pada Alif selama ini.

“Mmm…sangat banyak ya...” Carlie tampak ragu merangkai kata-kata. Di seberang, Bamris mengernyitkan dahi.

“Yah, mungkin bisa disebutkan?” Broadcaster memberi penekanan.

“Orangtua adalah mereka yang sangat berjasa dalam hidup kita, termasuk dalam perjalanan grup ini. Selebihnya, keluarga dekat dan teman-teman kampus adalah orang-orang yang selama ini sudah sangat banyak men-support kita, baik dari segi moriil maupun materiil,” kali ini, sangat lancar Carlie memberikan jawaban..

“Bagaimana dengan Bamris? Bukan rahasia lagi kalau Alif didirikan dan dibesarkan olehnya, bukan?”

Deg! Jantung Bamris berdetak hebat. Kali ini ia lebih saksama menyimak perbincangan.

“Ya, sama dengan yang lainnya, Bang Bamris juga cukup berpengaruh di Alif. Tapi tidak terlalu signifikan. Itu yang saya tahu dari teman-teman grup ini, karena saat saya di Alif, beliau tidak ada lagi di grup,” kali ini Rindo yang angkat bicara, personil yang baru delapan bulan menghuni Alif.

“Bagaimana menurut Hari?” Broadcaster melempar pertanyaan.

“Untuk masalah ini, mungkin Carlie lebih dapat menjawabnya.” ragu-ragu Hari menjawab. Broadcaster mengalihkan pandangan ke Carlie dengan menyisakan tanda tanya atas sikap Hari tersebut.

“Bang Bamris lebih banyak membantu kita secara mental, moriil, dan motivasi…”

“Masalah teknik bernyanyi?”

“Mmm... sebelum di Alif, masing-masing kita ‘kan sudah punya grup nasyid. Jadi, untuk masalah teknik bernyanyi, kita sudah punya basic-lah. Bang Bamris sebatas mengarahkan. Bahkan mungkin lebih tepatnya beliau sebagai orang yang mengumpulkan dan memenejeri kita saat itu. Tidak lebih.”

Di seberang sana, ada yang bermata kaca. Beberapa detik kemudian, kaca itu pecah, menumpahkan pecahan-pecahan air yang tersembur tak terkendali. Bamris mencoba untuk terus mendengar dialog malam itu. Tapi tiba-tiba telinganya tak dapat mendengar lagi, bahkan matanya mulai kabur. Tak kuat lagi ia bertahan.

Ah, mungkin aku perlu istirahat. Biar subuh nanti kukirim rabitah buat mereka. Bamris membatin sebelum mati suri hingga menjelang pagi. (*)

00:02. Air Tawar, 14 Maret 2007