Jujuran

Minggu, 27 Februari 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Ukhti Raida
Dimuat di Banjarmasin Post, 27 Februari 2011

“25 juta, jika ingin menikahi anakku!” kata-kata sinis tapi tegas itu keluar dari mulut Pak Yamin, ayah dari Sinta, gadis yang sangat ingin aku nikahi. Jumlah yang disebutkan ayahnya Sinta itu belum termasuk dengan mahar dan biaya pernikahan yang harus aku tanggung sebagai pihak laki-laki. Ah…aku tidak tahu apakah Pak Yamin setuju bila Sinta menikah denganku, padahal aku sudah ceritakan pada Sinta pekerjaanku sebagai PNS golongan III yang gajinya tidak terlalu besar. Jika memang hubunganku dengan anaknya di restui, kenapa harus mengajukan jumlah jujuran sebesar itu?

“ Maaf Pak, apakah Sinta sudah menceritakan pada Bapak apa dan bagaimana pekerjaan saya?” tanyaku dengan sopan

“ Tentu saja, kamu seorang PNS kan? kenapa memangnya?” jawab Pak Yamin langsung bertanya balik.

“ Iya, saya memang seorang PNS yang baru tiga bulan kemarin diterima, golongan pangkat saya adalah III c dengan gaji hanya sekitar satu jutaan per bulan. Karna itulah, saya minta maaf sebelumnya, apakah bisa jumlah jujuran itu di kurangi lagi?” pintaku sambil tertunduk. Aku menunggu reaksi pak Yamin tanpa berani mengangkat muka dan melihat ekpresi wajahnya karna permintaanku tadi.

“ heh, kamu ini niat ga’ sih mau kawin sama anakku?” Tanya Pak Yamin dengan nada keras yang seketika membuatku terkejut.

“Iya, insya Allah pak, saya tentu sangat ingin dan serius menikahi Sinta” jawabku

“Kalo gitu, modal kamu apa heh? Kalo mau kawin itu harus punya modal besar, jangan cuma modal cinta saja! Kamu tahu, banyak laki-laki yang datang melamar Sinta, bukan kamu saja. Sudah! Itu jumlah yang tidak bisa di tawar lagi. Kalo kamu tidak sanggup, kawin saja dengan orang lain!” kali ini pak Yamin benar-benar emosi, sesaat ku lihat Sinta di balik tirai dengan wajah tertunduk. Ya Allah, apakah ini pertanda lamaranku di tolak?

“ Pak, saya mohon maaf atas kelancangan saya tadi. Saya serius ingin menikah dengan Sinta, saya memang sudah mempersiapkan semua termasuk biaya, tapi bukankah jujuran hanya bagian dari adat sehingga jumlahnya bisa berapa saja? Untuk mahar, tentu saya siapkan yang terbaik” jawabku lagi dengan hati-hati

“ Sudah, pergi saja kamu dari sini. Jika kamu tidak sanggup memenuhi jujuran dari saya, cari saja wanita lain. Tidak usah sok bicara adat kamu! “ tukas pak Yamin lagi. Sungguh aku tak bisa berkata apa-apa lagi, mungkin memang Sinta bukanlah jodohku, aku jelas tidak sanggup memenuhi tuntutan ayahnya.

“Baiklah pak, sekali lagi saya minta maaf jika ada kata dan sikap saya yang tidak berkenan. Saya sangat ingin proses pernikahan ini berlanjut, tapi mungkin ini jalan terbaik. Semoga Sinta nanti bisa mendapatkan calon suami yang lebih baik dari saya” kataku sambil berpamitan. Pak Yamin seaakan tak peduli, bahkan ketika aku ingin meraih tangannya untuk bersalaman, ia menepisnya. Sekali lagi kulirik Sinta yang sepertinya menangis di balik tirai ruang tamu itu, maafkan aku Sinta, semoga kau mendapat yang lebih baik dariku, doaku dalam hati.

Aku pulang mengendarai motor dengan kecepatan rendah , juga dengan pikiranku campur aduk berkecamuk. Impianku untuk segera mengakhiri masa lajang ini akhirnya putus di tengah jalan. Dan semua itu hanya karna tuntutan dari adat yang bukan merupakan bagian dari agama. Aku berhenti di pinggir jalan dan membeli minuman dingin sekedar untuk menyegarkan suasana hati dan kepalaku yang panas ini. Sinta, gadis santun berjilbab, yang selalu menjaga pergaulannya dengan lawan jenis, yang ku kenal lewat Ustadz Hadi, guru ngajiku, kini harus ikhlas kulepaskan. Usiaku sudah 26 tahun, ibu sudah mendesak agar segera menikah karna sudah tidak sabar ingin mengemong cucu dari anak tertuanya ini. Kata-kata ayahnya Sinta terngiang di pikiranku, andai saja bapak masih hidup, pasti beliau tidak akan terima dengan perkataan pak Yamin yang cukup menyakitkan itu. Bapak adalah orang yang sangat menjaga harga diri, sekalipun kami hanyalah keluarga yang amat sangat sederhana. Pasti pula bapak setelah mendengar ucapan pak Yamin, beliau akan langsung menarikku pulang dan membatalkan niat untuk meminta Sinta menjadi menantunya. Ah Bapak, kenapa aku tiba-tiba rindu padamu?

Jujuran, dalam adat Banjar merupakan bagian dari proses menuju pernikahan. Jujuran tidak bisa disamakan dengan mahar, walaupun sama-sama diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Entah kenapa, adat itu seperti mendarah daging seolah tidak bisa lepas, kadang hanya karna masalah jujuran itu, sepasang muda-mudi yang ingin menghalalkan hubungan mereka tanpa pacaran yang berlama-lama harus terhalang niatnya untuk menikah. Kecuali lak-laki itu berasal dari keluarga yang kaya raya, tentu berapapun jumlah jujuran yang diminta tak akan menjadi masalah besar. Mungkin bukan hanya disini istilah jujuran itu ada, tapi daerah lain pun juga ada. Pantas saja anak muda zaman sekarang lebih memilih pacaran daripada menikah, faktor usia bukan lagi jadi alasan utama, melainkan kesanggupan dari pihak laki-laki mulai dari menyiapkan jujuran tadi, mahar, sampai dengan biaya pernikahan. Sedangkan pihak perempuan mungkin hanya mengeluarkan biaya yang sedikit, setidaknya untuk biaya resepsi saja. Tapi aku sangat mengenal Sinta, dia bukanlah gadis yang materialistis. Entah apa yang dilakukannya sekarang, mencoba membujuk ayahnya kah agar tetap mau menerimaku dengan jujuran yang sanggup ku penuhi saja, atau hanya bisa pasrah menerima semua ini.

Tiba-tiba handphone-ku bergetar tanda ada pesan singkat yang masuk. Kuraih dari saku dan kulihat ada nama Sinta sebagai si pengirim pesan.

“ Asslm kak Rizal, sy minta maaf atas sikap Abah tadi. Sungguh, sebelum kak Rizal datang sy sudah bicara dengan ortu tentang kakak dan permintaan sy agar jujuran itu tdk perlu ada, atau jk pun ada, jumlahnya jangan terlalu besar. Stlh kak Rizal pulang, sy mencoba bicara lg dg Abah, tp beliau tetap pd pendiriannya. Sy tdk th hrs melakukan apa lg, tp sy yakin jk kt mmg jodoh maka Allah pst akan memudahkan. Skrg keputusan sy serahkan pada kak Rizal, jk msh ingin melanjutkan, kt bs pikirkan bersama bgmn solusinya, tp jk tdk, sy jg yakin rencana Allah lbh baik. Sinta”

Ku baca pesan Sinta itu dengan jantung berdegup kencang, masih dengan perasaan tak menentu. Bicara masalah perasaan, tentu aku masih sangat ingin melanjutkan ini semua, tapi entah bagaimana caranya. Apa aku harus mencari pinjaman dulu untuk memenuhi permintaan ayahnya Sinta itu? Tidak mungkin, sejak dulu bapak tidak pernah mengijinkan ibu atau keluarganya mengais rejeki dengan berhutang. Akhirnya ku putuskan untuk memikirkannya lagi dengan memohon petunjuk dari Allah, aku yakin niat yang baik akan diberikan jalan keluar terbaik.

Pulang kerumah, aku langsung di sambut oleh Ibu. Aku tahu ibu pasti ingin menanyakan bagaimana hasil lamaranku. Kupandang wajah ibu lekat-lekat, usia senja sudah membuat wajahnya itu penuh dengan keriput, ditambah dengan lelahnya menjalani kehidupan.

“Bagaimana nak? Apa keluarganya menerimamu?” Tanya Ibu
Sesaat aku terdiam dan tertunduk, rasanya tidak sanggup mengatakan hal ini pada beliau.

“Bu, akan selalu ada rencana Allah yang lebih indah dari apa yang kita rencanakan. Mungkin sekarang belum saatnya bagiku mempunyai istri atau ibu untuk mempunyai menantu. Sabar ya bu” jawabku mengatur nada bicara agar tidak terlalu membuat ibu shock. Bagaimana pun ibu sangat berharap pernikahanku dengan Sinta segera terwujud.

“Iya nak, ibu paham kok. Kamu lelaki yang baik, pasti akan mendapatkan jodoh yang lebih baik ya” kata ibu lagi dengan bijak.

Walau aku tahu Sinta sangat berharap padaku, tapi aku tidak bisa melanjutkan proses ini lagi. Bagaimana pun harga diri dan prinsip bagiku yang paling utama. Dan kuyakin pula Sinta akan bisa menerima keputusan ini dengan lapang dada.

**

“ Berapa uang yang sudah kau siapkan untuk pernikahanmu nak?” Tanya bapak dengan usia yang sudah senja namun tetap gagah itu padaku.
“ Simpanan saya untuk menikah ada 20 juta pak. Sebagian uang itu adalah pemberian dari almarhum bapak saya” jawabku dengan tertunduk. Kali ini aku pasrah bila lamaranku kembali di tolak.

“ Baiklah, saya terima lamaranmu. Jujuran biar sekalian dengan mahar saja ya? Biaya resepsi walimahan biar kita gabungkan saja, dan diadakan di rumah ini, jadi tidak perlu diadakan di dua tempat, bagaimana?” kata Bapak itu sambil tersenyum padaku.
Aku mengangguk dengan senyum sumringah, tak henti dalam hati aku mengucap syukur luar biasa kepada Allah.

Alhamdulillah ya Allah, inikah jawabanMu atas doaku selama ini? Akhirnya aku bisa menggenapkan separuh agamaku, dengan wanita sebaik dan seshalihah Sarah dan mendapat keluarga yang sangat baik seperti Pak Husin ini. Padahal beliau adalah seorang pak Haji yang cukup terpandang dan kaya namun sederhana. Tiba-tiba aku teringat lagi dengan Sinta, gadis yang akhirnya ku putuskan untuk tidak lagi melanjutkan proses pernikahan kami, bukan hanya soal jujuran, tapi juga prinsip. Tapi ku dengar sekarang ia pun baru menikah dengan lelaki lain yang pasti lebih baik daripada aku dalam menarik hati ayahnya.

Kamus :
Jujuran = pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk tujuan pernikahan. Merupakan bagian dari adat daerah Banjar, jumlahnya ditentukan oleh pihak perempuan, tidka termasuk dalam mahar atau seserahan.