Kami Bukan Kami
Minggu, 27 Februari 2011 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Surabaya Post, Minggu, 27 Februari 2011
”PESAN Ayah, kita tidak boleh keluar rumah.” Itulah yang kerap dikatakan Ibu. Bahkan hanya untuk cari angin sekalipun, kata-kata yang lebih bernada larangan tersebut kerap dilontarkannya.
Pernah suatu siang, aku dan kedua adikku, Ando dan Aldi diam-diam hendak keluar rumah. Baru saja kami membuka pintu depan, bahkan belum sempat juga kaki menginjak lantai beranda, kami langsung tunggang langgang masuk. Masing-masing kami sibuk menyibakkan tangan di depan mata.
“Itulah akibat tidak mendengarkan nasihat orangtua!” kata Ibu yang tahu-tahu sudah berdiri di sudut ruang tengah.
“Ini bukan karena melanggar larangan, Bu. Ini karena kami sudah bertahun-tahun tidak terkena sinar matahari.”
“Bahkan berpuluh-puluh tahun…,” Ando menyela.
“Atau ratusan tahun, Bu,” sambung si bungsu Aldi.
“Diam! Ngomong apa kalian?!” Ibu membelalak, “Masuuuk!” tangannya menunjuk kamar belakang.
Kami hanya nurut, masuk ke kamar pengap di dapur.
(ba)
KAMI sungguh tak mengerti mengapa Ibu melarang kami meninggalkan rumah ini, walaupun hanya sejenak. Padahal kami tahu, Ibu pun merasakan keganjilan yang kami rasakan. Begitu banyak makhluk asing yang wara-wiri semaunya saja di sini. Pantas saja, kalau orang-orang sekitar bilang, rumah ini adalah rumah hantu.
Tidak siang-tidak malam, selalu ada saja hantu-hantu yang memasuki rumah ini. Tanpa permisi, tanpa mengucap salam, bahkan tanpa seulas senyum, mereka seenaknya saja mencuci, menanak nasi, makan di meja makan, bahkan menonton televisi. Mereka melakukan semua tanpa canggung seakan-akan tak menganggap keberadaan kami.
Setiap kami ingin mengusir mereka, Ibu selalu memarahi kami. Kami juga tak tahu, sudah berapa lama tak diperbolehkan meninggalkan rumah tua ini. Ibu selalu bilang, “Pesan Ayah…” kami benar-benar muak dengan dua kata pembuka yang sudah kami ketahui kelanjutannya itu.
(ta)
MUNGKIN kami adalah orang-orang yang paling aneh. Ketika banyak orang yang lari tunggang-langgang ketika melihat penampakan makhluk dari alam lain, kami malah sebaliknya. Kami sudah terbiasa. Hebatnya makhluk-makhluk asing itu paling lama bertahan sebulan di rumah kami, setelah itu baru kami dapat tinggal tanpa gangguan. Walaupun biasanya satu minggu atau paling lama dua bulan setelah itu makhluk asing lain lagi yang menyambangi rumah ini.
Anehnya tamu-tamu tak diundang yang datang tersebut adalah makhluk-makhluk yang berwajah seperti orang kebanyakan. Ada yang bergaya kantoran, pedagang sukses, atau hanya sekumpulan setan kurang ajar yang ingin berbuat mesum. Pokoknya mereka adalah dedemit-dedemit elit lah. Tak satu pun dari mereka berwajah menyeramkan seperti yang sering kami tonton di film atau sinetron hantu-hantuan di televisi. Ah, televisi memang pembohong!
Tapi mungkin saja, para makhluk halus elit itu telah membuat semacam pengumuman bahwa rumah mewah ini hanya diperuntukkan bagi dedemit-dedemit tertentu. Maklum kami belum pernah melihat tuyul, babi ngepet, wewe gombel, atau hantu kampungan lainnya, berseliweran di rumah ini. Sungguh, kami benar-benar merasa terbiasa dengan semua ketidaklaziman ini.
“Jal, anggap saja mereka keluarga kita,” kata Ibu ketika aku mengeluh.
“Kok makhluk halus jadi keluarga kita sih, Bu?” protesku.
“Dari mana kalian tahu dia makhluk halus?” ibu balik bertanya.
“Buktinya, ketika kami memukul, mencubit, bahkan menyentuh tubuh mereka sekalipun, kami hanya mengibas angin,” sahut Ando bersemangat.
”Iya mereka nyata tapi seperti angin,” Aldi menimpali.
“Nah, karena hal itulah makanya pesan Ayah…” Ibu menggantung kalimatnya, ketika kami serentak menuju dapur.
(tsa)
AKHIR-AKHIR ini, ibu makin sering mewanti-wanti kami. Tapi kali ini lebih gawat. Ibu bahkan tidak memperbolehkan kami keluar dari kamar pengap yang lebih layak dikatakan gudang ini. Katanya, ada makhluk asing baru yang menyambangi rumah kami.
“Tamu tak diundang ini tidak sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Mereka tak segan-segan mengusir kita kalau kita macam-macam?” kata Ibu ketika kami semua tak mau berlama-lama menempati ’gudang’ ini. Ibu makin aneh saja.
“Apa yang kaulakukan siang tadi, Di?!” Ibu memarahi Aldi menjelang malam itu.
“Ng… ng... nggak sengaja, Bu?” suara Aldi bergetar. Tangan mungilnya meremas-remas ujung baju kusamnya.
“Memangnya ada apa, Bu?” aku penasaran.
“Jal, gara-gara adikmu ini, kita terancam!” jawab Ibu ketus. Pandangan tajamnya tak lepas dari Aldi yang ketakutan di sudut kamar.
“Terancam?” Ando bergumam. Dahinya berlipat tiga.
Ibu mondar-mandir. Ekspresinya kalut.
“Mmm… tidak. Tidak ada masalah. Ibu hanya cemas menunggu Ayah kalian,” Ibu menyemringahkan wajah. Kami tahu kalau beliau tengah menyembunyikan sesuatu.
“Apa kata Ibu?” Aldi yang sedari tadi mencangkung ketakutan buka suara.
Ibu tak menjawab.
Kami bertiga saling berpandangan, sebelum mengerucutkan arah ke wajah Ibu.
“Ayah?!” kami bertanya serentak, dengan nada dan intonasi yang nyaris sama.
“Mmm…” wajah Ibu memerah.
“Kata Ibu, Ayah sudah meninggal?” Aldi kembali bertanya.
“Ibu bohong ya?” tanyaku.
“Ibu tega membohongi kami. Bahkan Ibu mengatakan Ayah sudah mati!” Ando emosi. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk wajah Ibu.
Ibu tidak menjawab. Ia keluar kamar.
(ja)
“MEMANGNYA apa yang kamu lakukan, Dik?” lamat-lamat kubertanya pada Aldi ketika kupastikan Ibu tak ada lagi di kamar pengap ini.
“Ketika Aldi mencoba keluar kamar diam-diam, Aldi menyenggol rak piring, Kak. Beberapa piring dan gelas jatuh dan pecah,” jawabnya polos.
“Trus?” desak Ando.
“Kebetulan waktu itu ada makhluk asing itu, Kak. Kayaknya anaknya dedemit itu. Dia langsung berlarian ke luar rumah,”
“Aku mendukung kamu, Dik!” ujar Ando sambil mengepalkan tangannya. “Memang sekali-kali penampakan itu harus kita lawan!”
“Aku juga berpikir begitu,” Aldi menimpali. “Tapi mengapa Ibu sangat marah?”
“Aku tak mengerti juga, Dik!” Aku menghela napas, “sepertinya ada yang tidak beres di rumah ini.”
“Ah, kalau Itu sih, sudah dari dulu, Kak,” Ando menyela, “aku juga sering mendengar celotehan orang-orang di luar rumah dari balik dinding kamar ini. Katanya rumah kita ini angker.”
“Ya sudah,” tukasku “o ya, lanjutkan ceritamu tadi, Dik?” Aku masih belum puas mendengar cerita Aldi.
“O ya, aku sampai lupa,“ Aldi memukul keningnya, “waktu itu Ibu langsung mendekatiku. Wajahnya tiba-tiba pucat ketika mendengar bahwa malam ini orang-orang di luar rumah hendak mengusir kita.”
“Mengusir kita?!” Ando membelalak.
“Jumlah mereka banyak, dik?” aku antusias.
Aldi mengangguk kecut. Tiba-tiba bulu kuduk kami merinding.
“Aku takut, kak,” Aldi merapat, menengadahkan wajahnya ke arahku.
“Siapa temannya itu?” Ando mendesak, makin merapat ke Aldi, ”Gondoruwo?”
“Bukan!”
“Kuntilanak?”
Aldi menggeleng.
“Suster ngesot?”
Aldi menggeleng lagi.
“Ooo…aku baru tahu sekarang,” aku tiba-tiba menyela, “mungkin itulah alasan mengapa ibu menantikan arwah Ayah yang sudah meninggal…”
“Jadi Ayah memang benar-benar sudah meninggal?!” tanya Aldi.
“Sudahlah itu nggak penting. Yang jelas…”
”Yap!” pungkas Ando serta merta bangkit dari pembaringannya. “Arwah Ayah pastilah arwah yang hebat! Dia pasti bisa menghadapi dedemit-dedemit mana pun!”
Kami semringah. Mengangguk-angguk bangga.
“Ya sudah, kita tunggu saja Ibu datang.” Aku mengakhiri pembicaraan sebelum menarik selimut, beranjak tidur.
(ha)
“JAL, cepat bangun! Mereka datang!” Kulihat Ibu sudah berada di samping dipan. Ia membangunkan kami secara paksa. Tangannya memukul-mukul kami. Beliau berlaku seakan-akan keadaan benar-benar gawat darurat.
“Ada apa, Bu?” Aku masih mengucek mata. Aldi dan Ando baru beringsut dari tidur. Mata mereka masih berat.
“Jangan banyak tanya, Jal. Pokoknya kita harus segera keluar!”
Aku tergopoh bangkit dari dipan.
“Aaaah!!” Aldi dan Ando berteriak. Mereka ternganga melihat ke arah pintu kamar.
Aku benar-benar terperajat melihat sosok makhluk tinggi besar dan menyeramkan yang berdiri di sana.
“Dia Ayah kalian,” Ibu masih sibuk menarik tangan kedua adiku, memaksa mereka meninggalkan dipan tua ini.
“Bu,” bibirku kelu.
Ando dan Aldi memelukku erat. Aku tak kalah erat memeluk mereka. Kami sama-sama takut.
“Ayo cepat keluar! Kita tidak punya waktu banyak!” Lelaki menyeramkan di pintu itu berteriak geram.
Kami tak beranjak. Kami masih belum bisa memercayai bahwa kami memiliki Ayah yang rupanya seburuk itu.
Tiba-tiba....
“Iya Pak Kyai, gudang tua ini sarang setan!”
“Ayo Pak Kyai, jangan tunggu lagi!”
“Usir saja!”
“Usir!”
“Ya, usir!”
Suara-suara itu bergemuruh di luar kamar. Makin lama, makin keras, makin mendekat ke pintu. Makin mengerikan. Aku dan adik-adikku makin ketakutan. Kulihat wajah Ibu cemas. Pun lelaki seram itu segera menjauhi pintu dan bergabung bersama kami.
PRAAAK!!
Pintu didobrak.
Kulihat ada puluhan makhluk asing menjejali pintu kamar kami. Langkah mereka tertahan oleh seorang lelaki tua berjanggut yang berjubah putih, kopiah putih, dengan tasbih di tangan kanannya.
“Tenang!” suaranya membisukan gemuruh orang-orang di belakangnya.
Senyap.
“Tolong Kyai, saya tak sanggup lagi. Tidak ada pengontrak yang bertahan lama di rumah saya ini.” Seorang wanita setengah baya memecah senyap yang baru berlangsung beberapa detik tersebut.
Lelaki berjubah itu tetap tenang. Pandangannya menyapu setiap bagian kamar pengap ini.
“Iya, Kek. Tadi siang waktu Anita, adik saya yang masih SD pergi ke dapur dekat kamar tua ini, dia melihat pintu kamar ini terbuka sendiri, rak piring bergoyang-goyang, beberapa piring melamin dan gelas kristal kami pecah karena terjatuh ke lantai,” lapor seorang pemuda yang menggandeng seorang gadis kecil. Bersama kedua orangtuanya, sejak beberapa hari yang lalu, mereka adalah dua tamu tak diundang di rumah ini.
Lelaki berjubah itu bergeming. Pandangannya masih mengitari ruangan. Kulihat lelaki seram di samping Ibu pucat pasi. Ibu dan Aldo juga demikian. Sementara si bungsu Aldi memandang tajam pada gadis kecil di dekat pintu itu, sepertinya dia mengenalnya. Aku masih memeluk erat adik-adikku. Kami benar-benar ketakutan ketika pandangan lelaki berjubah itu berhenti di sudut kiri ruangan ini, di samping dipan, tempat kami berlima berkumpul.
“Bagaimana Kyai?” tanya salah seorang di belakang lelaki berjubah.
“Ada mereka di sini, Kyai?” tanya yang lain.
Lelaki berjubah itu mengangguk pelan, “Kita baca ayat kursi. Ikuti aku!” ujarnya tegas.
Lelaki berjubah itu memimpin pembacaan mantra-mantra aneh itu. Mantra itu bunyinya mirip-mirip lantunan yang sering kami dengar dari masjid di utara kampung ini. Makin lama, makin memekakkan telinga. Kulihat Ibu dan lelaki seram yang mengaku ayah kami itu kejang-kejang, diikuti Aldi, Ando, dan oh, aku juga merasakan hal yang sama. Kami kepanasan. Entah mengapa tiba-tiba tubuh kami melayang, terbang ringan menembus genteng tua rumah ini. (*)
Lubuklinggau, 2008-2010