Karma Ki Pradopo

Rabu, 23 Februari 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Setta SS
Dimuat di www.angsoduo.net, 23 Pebruari 2011

UDARA meraja sumsum. Angin beku. Banjir embun pekat. Sekawanan manyar nyinyir enggan di pucuk-pucuk sengon. Sepasang kelelawar bersliweran menyisir daun-daun pisang kering berwarna coklat suram yang bergelantungan dari pohonnya, kembali dari perburuan semalaman suntuk sarat saingan. Paduka Siang meringkuk menekuk tengkuk. Kecuali Ki Pradopo. Ia sudah bergegas menuju ladang tembakaunya. Membawa sepasang keranjang bambu di pikulan bahunya. Seperti kebiasaannya saat musim panen raya itu tiba. Tak lama selepas adzan pagi berhenti terdengar dari corong soak mushala kecil tak berpengunjung selain muadzin merangkap imam-makmum tepat di tengah-tengah kampung Halimun itu. Inilah saat pagi yang ditunggu-tunggu itu!

Namun kejanggalan melanda Ki Pradopo kali ini. Ia mati kutu di atas ranggonnya. Nir-senyum. Tak siul. Apatah dendang. Raut wajah itu seperti kulit mayat! Sendu satu-dua.
Hai, lupakah ia mengharamkan isak lelaki Petala kecil? Karma apa yang jaya menikamnya?

***

LANGIT masih hijau. Sebutir cengkir terpelanting jatuh ke tanah basah tersenggol seekor induk bajing yang terburu meloncat dari manggar menyusur pelepah ke ranting-ranting jati kering. Kerik jangkrik. Sabda burung hantu. Sesekali terpantul sendu dari balik rimbun pepohonan di ujung kampung di pinggiran hutan itu. Embik kambing lapar. Sahut-menyahut. Kokok ayam satu-satu. Mengepakkan sayap kaku dari balik pucuk-pucuk daun jambu air. Embun lebat menyeruak, menyelimuti hamparan tegalan seluas lapangan bolasepak berjejer pohon-pohon tembakau setinggi tubuh normal remaja tujuh belas tahun. Membekukan setiap zarah yang dihinggapi.

Tetapi lelaki tua itu seperti tak terusik suasana. Ki Pradopo, 63 tahun, sudah khusyuk bekerja di ladang tembakaunya seperti hari-hari sebelumnya. Tubuh legamnya hanya terbungkus oblong pudar, celana kain sebatas lutut dan selembar sarung usang dililitkan di lehernya. Ia tak pernah beralas kaki saat ke ladangnya. Ki Pradopo sedang nyirungi tanaman tembakaunya. Mengambili daun-daun bakau muda yang tumbuh di sekeliling batang tembakau di bawah daun-daun utama yang siap dipanen beberapa hari lagi.
Sebenarnya pekerjaan nyirungi itu dilakukan setiap tiga hari sekali. Namun jumlah batang tembakau ge’njah sogoti miliknya mencapai 3000 batang. Ia tak sanggup menyelesaikannya setiap pagi seorang diri. Mak Entek, istrinya, insyaf setengah mati tak hirau membantu. Ia pun tak cukup uang untuk mengupah orang.

“Tembakau yang kau tanam dan kelak kau isap asapnya itu akan semakin menggerogoti tubuh rentamu perlahan-lahan, Pak!” alasan keberatan Mak Entek.

“Bukan urusanmu! Bahkan aku sudah siap dengan seribu resikonya!” jawab Ki Pradopo suatu ketika.

“Pasti ludes dirampok tikus-tikus ganas serakah itu! Tetapi hama-hama keparat itu mustahil menyentuh batang tembakauku!” kali ini Ki Pradopo membantah mentah-mentah usulan Mak Entek agar mengganti ladang tembakaunya dengan palawija saja.

Meski Mak Entek membenarkan argumen suaminya yang terakhir itu, ia tetap bersikeras tak berkompromi. Mak Entek memilih hanya mengurusi ladang mereka yang lainnya di pinggir kali Cikawung. Menanam padi, kacang tanah, jagung, ketela, ubi jalar, kacang panjang, timun, terong, tomat, kecipir dan leunca selang-seling di antara musim penghujan dan kemarau panjang.

Maka Ki Pradopo wajib mandiri nyirungi setiap pagi. Seribu batang per hari. Dua bulan runut sejak munggel pertama tepat di hari ke empat puluh.

“Biar rasa bakaunya tidak sepet,” mendiang ayahnya dulu selalu menjawabnya demikian setiap kali ia bertanya kenapa harus disirungi.

Saat mentari mulai meninggi dan keringat merembes di kaos oblongnya, Ki Pradopo naik ke atas ranggon di tengah ladangnya. Mengurai lilitan lembab sarung usang di leher dan melepas kaosnya. Ia menjemurnya pada seutas tali rapia yang ujung-ujungnya terikat di dua tiang utama gubuk bertingkat itu. Kemudian ia duduk bersila di lantai sengon ranggon. Menggulung klaras jagung berisi tembakau daun rampasan tanpa menambahinya dengan cengkeh, kemenyan, kelembak atau apapun. Dan menyulutnya dengan pemantik api lawas. Ia menamai rokok buatannya itu bedod.

Ki Pradopo mengisap dalam-dalam bedodnya dengan nikmat. Polutan pekat campuran nikotin, arsenik, amoniak, hidrogen sianida, aceton, hexamine, cadmium, DDT dan puluhan zat toxic lainnya berputar-putar rendah di atas kepalanya sebelum menelusup enggan di antara jalinan atap rumbia. Ki Pradopo pun terbatuk-batuk hebat beberapa kali memamerkan wajah siksaan. Namun itu hanya berlangsung sesaat saja. Ia tersenyum lambat laun. Tak lain karena sepuluh hari ke depan ia sah memetik buah lelahnya. Ia akan berpanen raya.

Teringat hari yang sangat ditunggu itu, otot-otot di ceruk mata bangkanya seketika merapat kompak, mengembarakan pemiliknya ke suatu masa raya.

Daun-daun bakau pilihan itu diperamnya seminggu penuh di pojok ruang depan kediamannya yang hanya berlantai tanah. Ditutup rapat daun raja atau ambon hingga daun-daun bakau itu menguning kunir. Ki Pradopo lantas memindahkannya ke dalam beberapa keranjang bambu dan memanggulnya ke belakang rumah tempat cakcak miliknya dimusiumkan sementara. Cakcak adalah sebuah bangku panjang dengan rangkaian kayu membentuk huruf V di atasnya untuk meletakkan sekepalan daun bakau saat dirajang.

Kedua tangan Ki Pradopo akan gesit memilih-memilah daun-daun tembakau kuning kunir itu. Melipat setiap beberapa lembar daun seukuran celah V cakcak. Menyentuhkan mata tajam abir pada lipatan daun setengah putus. Meletakkannya di atas hamparan daun raja dekat cakcak. Hingga tak sisa sehelai daun bakau pun dalam keranjang bambunya. Mulailah ia merajang sepenuh jiwa raga. Semua keahlian seni rajang-merajang ia keluarkan totalitas demi hasil terbaik rajangannya. Ki Pradopo akan seharian penuh bekerja untuk menyelesaikan ritualnya itu. Beberapa hari maraton selama masa panen raya.

Begitulah, empat hari empat malam rajangan bakau itu ditempatkan di udara terbuka di atas widig pada pelanggrang. Dipanggang bagaskara, gigil bersama semilir angin malam dan diselimuti rintik embun sejak dini hari.

Semua laki-laki di kampung Halimun menyukai tembakau hasil rajangan Ki Pradopo. Tak kecuali Petala, anak semata wayangnya yang kini menetap di pinggiran kota kecil pesisir utara bersama istri dan seorang cucu satu-satunya. Meski terbiasa dengan rokok kretek, juniornya itu saat mudik atau ketika dikirimi satu kardus besar tembakau hasil rajangannya akan langsung diembatnya juga hingga tandas tak tersisa. Ia dan juniornya ibarat pinang dibelah dua dalam hal kerakusan menghisap bedod. Sepasang anak beranak maestro peracik tembakau. Tak ada seorang pun yang menyangsikannya.

Ki Pradopo biasa mengupah Kana, seorang bujang lapuk yang kerja serabutan, untuk mengecerkan tembakau kering hasil rajangannya atau dijualnya sendiri dengan menggelar lapak di pasar tradisional. Uang pun akan mengalir tak seret ke kantongnya seorang. Mak Entek tak sudi ikut menikmati seperbagian uang hasil penjualan tembakau yang pernah disisihkan untuknya.

***

SOSOK uzur rambut uban setengah senti itu hendak mengangkat kepalanya yang tertunduk dalam. Tetapi terasa sangat berat olehnya seperti memindahkan bobot seton. Tiba-tiba mata Ki Pradopo melotot serta merta bak memotret hantu putih menyeringai satir di ujung sana. Tulang punggungnya jingkrak sekejap.

Tetapi bukan hamparan daun-daun bakau ijo royo-royo siap panen yang tertangkap sepasang retina nyalangnya detik itu. Melainkan kobaran api raksasa menjulang angkasa. Lidah api putih menggulung tegalan kerontang kebanggaanya. Menjilat apa yang bisa dijilat. Tak pilih-pilih jilat.

Meski sejatinya kobaran api membabi buta itu hanya ada dalam ilusinya semata. Tak pernah benar-benar nyata.

***

“APA beda tembakau rampasan dan sogol?” tanya Petala kecil, lebih tiga dasawarsa ke belakang, saat menemani Ki Pradopo munggel di ladang yang sama.

Ki Pradopo akan tersenyum masygul setiap kali teringat kembali percakapan di suatu pagi akhir Juni itu. Dibumbui secuil angkuh, mulailah Ki Pradopo menjelaskan. “Tembakau rampasan itu dibuat dari daun tembakau generasi pertama pilihan—daun tembakau terbaik ….”

“Kalau sogol?” Petala kecil tak sabar menunggu kelanjutan jawaban bapaknya yang terhenti mengisap bedod.

“Sogol diracik dari daun tembakau yang tumbuh belakangan setelah daun rampasan.”

“Apa lagi bedanya, Pak?”

“Rajangan tembakau rampasan tetap lemes walaupun disimpan setahun lebih, tetapi sogol akan mengeras dan rasanya segrak—tak enak,” terang Ki Pradopo.

Sepasang bibir mungil Petala kecil reflek mencetak vokal nomer urut empat dari permulaan abjad beberapa jenak sambil menganggukkan kepalanya dua kali angguk. Petala kecil selalu kagum pada ayahnya yang hafal betul seluk-beluk dunia olah tembakau.

Petang itu, Ki Pradopo sedang mendudukkan duburnya jumawa di atas ranggon. Kedua tungkai keringnya menjuntai menampar-nampar angin sore puncak kemarau yang bersliweran di kolong ranggon. Ia menikmati benar tarian gemulai daun-daun bakau di ladangnya itu. Bila tak ada aral, besok pagi-pagi ia akan mulai memanennya.

Walaupun ladang bakauku di ampah, namun tak kalah jauh rasanya dengan tembakau kedu di pegunungan sana! lanturnya beberapa jenak kemudian, sembari ngeloyor berbalik menyusuri jalan setapak ke arah ujung kampung.

***

SURAT singkat Prihatini, menantunya, terserak tak berdaya di antara sepasang kaki busik penuh guratan bekas luka milik Ki Pradopo yang tergolek semaput di ranggonnya. Diantarkan Sigar semalam, titipan Pak Pos, saat ia sudah terlelap dalam buaian bunga tidurnya tentang panen raya pagi itu.

KANG Petala hanya bertahan dua malam di rumah sakit sebelum berpulang, Pak. Dokter bilang, selain pendarahan di otak akibat benturan keras—terpeleset di kamar mandi saat akan membuang dahak berdarahnya, paru-parunya hangus tergerus asap bakau….

***

Yogyakarta, 24 Mei 2o1o ooSurprised2 a.m.

Catatan:

Ge’njah sogoti: jenis pohon tembakau yang usianya kurang dari 100 hari sudah dipanen; munggel: memotong cabang batang yang keluar bunganya; widig: anyaman bambu untuk menjemur rajangan tembakau; pelanggrang: rangka untuk meletakkan widig terbuat dari bambu gelondongan.

Ilustrasi: lukisan Cak Kandar