Dimuat di Koran Tempo, 16 Mei 2010
 
Apa Bahagia Itu, Anakku
Bahagia adalah ketika kau mendapatkan kegembiraan, kedamaian, dan rasa syukur, dalam waktu bersamaan. Hilang saja salah satunya, hidupmu akan timpang.
Kau nanti akan mendapati orang-orang yang berlebihan dalam banyak hal. Misalnya seorang hajjah, yang bila melenggang serupa manekin toko emas berjalan; bergelantungan perhiasan di leher, pergelangan tangan, centil telinga, bahkan lingkar kakinya. Tapi tak banyak yang peduli bahwa ia selalu dihantui kecemasan. Suaminya dibelit kasus korupsi, pun saban dua minggu harus cuci darah; anak-anaknya sudah tiga kali tertangkap basah nyimeng di belakang sekolah.
Kau jangan mencari kegembiraan dengan mengorbankan rasa damai, Anakku. Kau jangan lupa bersyukur hanya karena merasa semua didapat lewat kerja kerasmu. Kau jangan jadi orang kaya yang miskin!
Seperti Neknang
Mengapa orang-orang tua banyak yang renta?
Selain perkara usia, karena mereka tak mampu mengambil saripati kehidupan yang sudah kapalan dilalui. Mereka hendak berehat saja ketika senja, namun lupa, rehat dapat membunuh hasrat untuk senantiasa siap. Maka, kautiliklah, orang-orang tua yang bersantai ketika waktu sudah sudah hampir bosan memeringati usia, akhirnya akan menjadi benalu dalam keluarga. Kehadirannya justru merepotkan orang saja (walaupun tak ada yang mengungkapkannya).
Maka, kuceritakan padamu tentang Kakek. Dalam bahasa kampung kita, Neknang. Menjelang kepala delapan, ia masih berkebun, ia masih mengitari kampung saban petang, ia masih membaca koran (walau kadang minta ditunjuki arti beberapa kata atau kalimat serapan asing), bahkan ia masih punya cita-cita. Ke Tanah Suci.
Ibu ingin kau pun mewarisi semangatnya, Anakku. Menjadi tua, sudah ketentuan. Namun kau dapat menjadi muda, demi kehidupan!
Kehilangan Matahari
Kau tak tahu bagaimana kita sudah kehilangan matahari sekian lama. Sejak gedung-gedung itu tumbuh tinggi dengan cepatnya, mengalahkan tunas-tunas tanaman yang mesti disirami saban hari. O, kau juga tak tahu perihal pohon itu, kan?
Suatu waktu Ibu akan keluar dari kampung tembok ini, Anakku. Akan kubawa ember dari rumah menuju tanah lapang yang dirimbuni ilalang. Siapa tahu ada anakan jambu terong atau anakan srikaya yang tiba-tiba menyeruak dari sana. Akan kucungkil tanah tempatnya tumbuh: ya, bersama tanahnya sekalian. Kumasukkan ke dalam ember.
Di rumah, setelah disiram sedikit air. Kukabarkan padamu bahwa itulah cikal-bakal pohon. Aku hanya masih berpikir, apakah benar anakan itu akan menjadi pohon, bila matahari selalu disembunyikan oleh tembok-tembok?
Makan-makan
Bila ada yang meninggal, kaukabarkan saja pada keluarganya dan mereka yang tahu agama. Bakda dimandikan dan dikafankan, baru kaumaklumatkan pada 40 orang. Sembahyangilah ia. Lalu tanamlah ia di pemakaman umum di selatan kelurahan. Tak usah kau tanam di dekat rumah. Ia juga ingin berkawan dengan orang-orang mati, bukan hanya dengan kalajengking, lipan, dan cacing-cacing berwarna cokelat bening.
Bila para tetangga hendak mendoakannya di rumah, kau bantu ahli-musibah menyiapkan buku Yaasin dan Al-Qur'an. Lalu jeranglah air sepuluh kali lebih banyak dari biasa. Itu saja. Tak usah kau petik nangka muda, tak usah menebang batang kelapa untuk diambil umbutnya dan diparut kulit daging buahnya, tak usah menyembelih ayam kampung, tak usah membeli bumbu-bumbu gulai di pasar pagi. Ia tak restu bila kalian mesti berutang demi menyelenggarakan malam-malam doa di rumah hingga 100 hari kematiannya.
Aku Akan Jadi Gurumu
Maka, kuboyong kau ke sebuah kampung suatu hari. Kampung yang tersuruk. Nyaris dilupakan sesiapa (apalagi pembuat peta). Bukan tempat Ibu dilahirkan. Bukan pula tempat kakek-nenekmu hidup dulu. Ibu sudah lama mencari-cari daerah di mana Ibu dapat melihatmu tumbuh menjadi manusia yang paling manusia.
Ibu akan mengajarimu banyak perkara. Tak perlu kau mendaftar ke sekolah. Kau akan kudidik sendiri. Dengan tertib. Ibu tak ingin menitipkanmu ke gedung-gedung yang dibangun dengan batako yang dilapisi adukan semen dan pasir dengan perbandingan 1:7. Ibu tak ingin kau didikte pelajaran yang gurunya sendiri tak paham apa yang (hendak) ia berikan. Apalagi menurutku kau benar-benar tak perlu belajar bila sudah sekolah. Bukankah sudah ada tim sukses masing-masing sekolah yang akan mengisi lembar jawabanmu? Satu-dua siswa mereka tak lulus, dipecatlah kepala sekolahnya, digantilah kepala Dinas Pendidikannya, ditegurlah menterinya. Kita tak usah menyusahkan banyak orang, Anakku.
Bila Kau Jadi Pengarang
Bila kau menjadi pengarang, jadilah pengarang yang santun. Kau tak usah ikut-ikutan pengarang yang banyak bicara. Lain yang ditulis, lain pula tindak tanduknya. Yang kerjanya menghina karangan orang. Yang kerjanya menghardik pengarang lain. O ya, Ibu lupa kau perempuan, ya! Jadilah pengarang perempuan yang benar-benar perempuan. Tak usah kaukuak hal-hal busuk perihal kaummu. Tak penting itu. Hanya akan membuatmu terkenal karena kebusukanmu (bila ada yang bilang itu "wangi", itu bukan urusanmu).
Ingat Nak, mengarang itu menggambar atau bahkan membocorkan kenyataan agar orang lain ingat bahwa seperti ini rupanya hidup itu; kalau begini akan begitu, kalau begitu akan begini. Maka, bila berhubungan dengan pengarang lain, bercengkeramalah sebagaimana kau mengarang. Aku tak memintamu menjadi munafik. Aku memintamu bertanggungjawab terhadap apa-apa yang kau karang. Ingat pula, mengarang adalah mengingati orang lain tanpa mereka merasa digurui. Nah, bila tukang ingat-nya saja sembrono dalam bertabiat, bagaimana orang-orang yang membaca karangannya mendapatkan manfaat dari apa-apa yang (pura-pura) ia baik-baikkan dalam bahasa ceritanya?
Senja yang Telat Pergi
Kau harus tahu, di waktu-waktu tertentu, ada kalanya senja tak ingin pergi. Hingga, ketika jejak azan magrib sudah hilang dari gendang telinga pun, langit masih jingga. Jingga yang pucat. Dengar, itu bukan pertanda bahwa serombongan PKI hendak menggorok leher ibumu ini. Bukan pula karena Hantu Wewe tengah berkeliaran mau menyembunyikanmu di balik jubah landungnya. Itu adalah selingan alam.
Kadang-kadang kau tak tahu bagaimana ranting kering tiba-tiba patah tanpa didahului embusan angin yang kuat, tanpa didahului seekor prenja yang silap menghinggapinya. Nah, itulah. Tuhan kadangkala memainkan kekuasaannya pada hal-hal kecil, Nak. Kauresapilah.
Pun dengan senja itu. Tuhan hanya ingin memersilakanmu menikmatinya agak lama. Jangan kau menggerutu sebagaimana orang-orang merutuki hujan lebat yang membuat seng rumahmu berkereokan tak sedap didengar. Kau jarang berpikir, ketika itu anak-anak tetangga senangnya minta ampun setelah sekian lama tak mandi karena air sumur sudah bau belerang. Jarang ada yang berpikir, ketika senja hinggap lebih lama, anak-anak takut keluar rumah. Orang-orang tua bahkan menambah-nambah ketakutan mereka dengan cerita-cerita tak berbenang-merah. Jarang yang memanfaatkan kebersamaan dalam kekalutan itu, untuk membuat mereka bergegas mengambil wuduk: solat magrib bersama!
Tamasya di Hari Lahir
Apa yang akan kaulakukan ketika anakmu tiba-tiba ingat hari lahirnya?
Kau akan berpikir keras tentang sejumlah uang yang akan kauhabiskan untuk merayakannya, bukan? Merayakan? Apa yang perlu dirayakan dari sebuah peringatan?
Ibu bisikkan padamu. Kau ajaklah anakmu pergi ke tepian Lubuklinggau. Ke Siring Agung. Kaulintasi hutan karet di Kenanga Dua Lintas. Dalam perjalanan, kau kenalkan nama-nama pepohonan yang berbaris di tepi kiri-kanan jalan, yang berjajar serupa pagar-bagus pesta perkawinan. Biasanya pohon durian yang hampir ratusan tahun umurnya paling banyak di sana, pohon kopi yang bunganya bagai rerumpun melati yang tengah berpelukan, dan sedikit memasuki daerah Siring Agung, kau akan melihat pohon yang kelopak bunganya tak lembek: bunga kamboja. Di sana, terhampar pusara-pusara orang yang telah habis jatah hidupnya. Nah, lihat tahun lahir dan meninggal mereka. Bermacam-macam, bukan? Ada yang sudah sangat tua, ada pula yang seumuran dengan kau dan anakmu. Tentu, kau dan anakmu sudah khatam mendengarkan diktum kematian, bukan? Mau dibawa ke mana hidup ini bakda mati? Jangan lupa ya, Nak. Ajak anakmu ke sana di hari lahirnya.
Karib Nenek di Seberang
Nenekmu punya seorang kawan yang tinggal di seberang pulau. Ia memiliki sembilan anak. Semuanya sudah berkeluarga dengan pekerjaan yang baik-baik pula. Kau tahu, ia hanya seorang tukang jahit. Ia sangat suka berderma. Ia selalu memasak gulai dengan melebihkan kuahnya. Agar dapat dibagi-bagi dengan tetangga, begitu alasannya. Bila masjid mengadakan acara, dari khatam Qur'an hingga Maulud-an, ia yang paling banyak membawa penganan untuk para jemaah.
Bila dipikir-pikir, manalah mungkin ia mampu membiayai sekolah dan kuliah semua anaknya. Tuhan Maha adil, katanya. Aku takkan bercerita banyak perihal keajaiban itu, lanjutnya.
Ada-ada saja rezeki yang datang padanya, Anakku. Ibu akan selalu ingat sebuah kalimat sederhana yang dirawikan Nenekmu darinya: Banyak memberi takkan membuatmu jatuh miskin.
Semuanya Berkabut
Dari banyak hal yang membuat Ibu gelisah, yang satu ini harus diceritakan. Kini, dan apalagi ketika masa kau besar nanti, tidak ada silaturahim yang murni. Kedatangan adalah jembatan menghantar keperluan. Senyuman adalah senjata untuk menyembunyikan kebusukan. Tolong-menolong haruslah diawali kesepakatan yang saling menguntungkan.
Demi Tuhan yang Maha Menurunkan Keajaiban, kuingin kau menjadi orang asing di masa itu, Anakku. Jadilah orang asing yang memegang tongkat Al Hakim. Jadilah orang asing yang jernih berpikir, teguh memegang kata hati. Semuanya akan berkabut, Anakku. Hanya yang sombong yang tak melihat kabut itu. Hanya yang asing yang merasa terganggu oleh kabut itu. Kau, kuingin kau selalu was-was terhadap kabut itu, Anakku.
Jadilah Orang Miskin yang Kaya
Dengar, Anakku. Jangan pernah percaya pada kata-kata orang yang berdasi itu: Bila kau ingin berhasil, maka cintailah pekerjaanmu! Ingat, Anakku. Tak ada orang yang benar-benar mencintai pekerjaannya. Bila memang ia mencintainya, maukah ia menjabaninya tanpa imbalan?
Hidup adalah tumpukan topeng yang tak berwujud. Berlapis-lapis ditimpuk, takkan membuat mukamu tampak berbeda. Ini perkara lama. Perkara yang sudah jauh-jauh hari Tuhan ingatkan kepada kita. Padaku. Padamu pula.
Kau pelihara saja harta yang telah kaubawa sejak lahir. Kejujuran, rendah hati, mencintai saudara. Jangan kau ganti harta-harta itu dengan harta-harta yang baru: ketenaran, gelar haji, jabatan, mobil, emas-permata. Maka, jadilah orang miskin yang kaya, Anakku! Orang miskin yang bahagia.
Malam Setan
Malam, tak ubahnya siang hari. Bahkan lebih meriap. Kau akan mendapati perempuan jadi-jadian di sekitar rumah (rel kereta api tak lagi menguntungkan untuk mencari pelanggan).
Aku bersyukur karena kau perempuan, Anakku. Bukan laki-laki. Maka, demi Tuhan, janganlah pula kau menjadi siluman. Kelak, bukan hanya banyak perempuan yang mengaku bahwa mereka terperangkap dalam kegagahan perawakan laki-laki. Namun, akan banyak pula laki-laki yang mengaku terperangkap dalam kemolekan tubuh perempuan. Sering-seringlah mengunjungiku, Anakku. Agar kau ingat padaku. Pada nasihat-nasihatku. Pada kematianku. Pada kematianmu.
Lelaki Pencuri Cahaya
Sekarang kau sudah menjadi perempuan dewasa. Serupa aku beberapa tahun sebelum mengandung. Kau masih saja memakai pakaian yang landung-landung. Rok yang mencium mata tumit, dan baju kurung yang berkancing setengah kilan di atas payudara, membungkus lenganmu hingga ke gelang tangan.
Maka, carilah pemuda yang selalu membuatmu bercucuran cahaya karena mentari telah berhasil ia curi dan ia rasukkan ke dalam dirinya.* Dialah pemuda yang akan menjagamu. Menjaga pusara ibumu. Menjaga kehormatanmu. Menjaga anakmu agar tak menikah sebagaimana kau kelak: berwali hakim di hadapan penghulu.
Anak Ibu
Maafkan Ibu yang tak sempat menemanimu tumbuh, Anakku. Yang terang adalah, Ibu kini bahagia. Kau selalu mendoakanku, orang yang terbang ke langit bakda memersilakanmu menangis untuk pertama kalinya. Entah, kau mendoakan ayahmu atau tidak. Atau kau sudah tahu bahwa pemerkosa itu tak layak kaudoakan. Atau dokter yang menghadiahiku buah simalakama kala itu, menggugurkanmu agar aku hidup, atau melahirkanmu namun aku akan segera bertemu Munkar dan Nakir, telah menceritakan kepadamu bahwa aku kerap bercengkerama dengan perutku sendiri, menyampaikan ragam nasihat, harapan, dan impianku tentangmu, ketika layar monitor mesin pemindai kandunganku menyatakan kau perempuan?
Khidmatilah semuanya, Anakku. Mataku ada di mana-mana. Sebagaimana semua petuahku menyelusup dalam tindak-tandukmu.
Lubuklinggau, Maret 2010
Catatan: Kalimat dengan tanda * digubah dari "Lelaki Cahaya", puisi pendek yang tiba-tiba dikirimkan Aida Radar dengan SMS, ketika cerita ini tengah digarap.
Nominator Sayembara Cerpen Menpora-CWI 2007
 Lantang-lantang[1] telah didirikan. Sambung-menyambung. Mengapit tongkonan[2], rumah adat serupa perahu besar itu seolah matahari bagi bangunan-bangunan sederhana yang tersusun dari bilah-bilah bambu. Sanak saudara serta para  kerabat berdatangan. Mengisi lantang yang telah disediakan. Menyerahkan bahan makanan yang dibutuhkan selama upacara sebagai wujud partisipasi.
Lantang-lantang[1] telah didirikan. Sambung-menyambung. Mengapit tongkonan[2], rumah adat serupa perahu besar itu seolah matahari bagi bangunan-bangunan sederhana yang tersusun dari bilah-bilah bambu. Sanak saudara serta para  kerabat berdatangan. Mengisi lantang yang telah disediakan. Menyerahkan bahan makanan yang dibutuhkan selama upacara sebagai wujud partisipasi.Helena Rambulangi tersenyum. Memandang tedong bonga[3] miliknya tertambat pada simbuang batu[4] peninggalan masa silam. Kerbau setengah albino itu berjumlah lima. Sisanya kerbau biasa. Babi-babi miliknya masih menghuni kandang. Semua akan dikorbankan. Untuk mengantarkan arwah Ambe’[5] tercinta menuju puyo[6]. Manusia hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di-puyo-lah negeri yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Helena tersenyum membayangkan petak-petak sawah yang luasnya berhektar-hektar tak ternilai. Tedong-tedong[7] yang tinggal di peternakan Ambe ratusan jumlahnya. Belum lagi babi-babi. Setangah dari seluruh kekayaan orang tuanya itu akan segera menjadi miliknya, seusai rangkaian upacara Rambu Solo’[8] diselenggara.
Tak seorang pun dari ahli waris yang mampu menandingi Helena. Tidak Alius, tidak juga Damen—kedua kakak kandungnya. Setengah lebih dari pengeluaran untuk Rambu Solo’ ini disumbang olehnya. Untuk mendapatkan hasil yang besar, dibutuhkan umpan yang besar pula. Bayangkan saja, lima ekor tedong bonga, masih ditambah beberapa tedong biasa, serta beberapa ekor babi!
Sebagai keturunan bangsawan tak bisa sembarangan menggelar upacara pemakaman. Jika upacara tidak sesuai dengan aluk[9], roh mendiang tak bisa mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
Satu bulan setelah menerima surat dari Alius, kakak keduanya, tentang kematian Ambe, Helena kembali ke kampung halamannya di Ke’te Kesu’. Delapan tahun lebih Helena meninggalkan rumah. Ia masih terkenang murka Ambe. Ketika kembali ke rumah bersama seorang lelaki Bugis bernama Mappangewa, teman kuliahnya di Universitas Hassanudin.
”Helena mencintainya, Ambe...”
”Tak bisa, Ambe sudah berjanji pada Tato’ Denna’ untuk menikahkan kau dengan anak laki-lakinya!”
”Tapi, Ambe...” ragu Helena berucap, ”Helena sedang mengandung benihnya.”
Mata Ambe membeliak. Tak sanggup berucap. Tubuhnya menjelma batang kayu. Geramahnya beradu, saling bergesekan, menahan api yang menyekam dalam dada. Sebentar saja api itu siap membakar Helena beserta lelaki yang datang bersamanya. Indo’[10] hafal sekali dengan tabiat suaminya. Dia segera mendekati Helena. Indo’ sadar, air matanya tak akan cukup memadamkan bara yang berdiam di dada suaminya.
“Sebaiknya kau tinggalkan rumah ini segera.” Berat dia berucap. Helena anak bungsu kesayangannya. Tapi hanya itu jalan keluar yang melintasi kepalanya. Hati Ambe batu. Tak mudah luluh oleh air mata. Dibutuhkan waktu lama untuk melubanginya.
Hanya satu tahun setelah kepergiannya, Indo’ tutup usia. Ibu mana yang mampu berpisah dari putri kesayangannya? Helena tak pernah mendengar kabar kepergian ibunya. Mappangewa membawanya ke Jakarta. Kabar kematian Indo’ baru diketahui lima tahun setelahnya. Suatu ketika dia bertemu dengan teman main semasa kecilnya di sebuah galeri di Jakarta. Kerinduan pada kampung halaman yang mengantarkan Helena menyambangi pameran ukir asal Tana Toraja. Dia melihat beritanya dari layar kaca dan membacanya di koran-koran. Tentang Mayanna, seorang lelaki Toraja yang akan diundang ke Jakarta untuk memamerkan hasil ukirannya. Dari teman mainnya itu, dia mengetahui kabar kematian ibunya.
Helena hanya bisa meratap ketika itu. Mappangewa hanya seorang wartawan lepas, yang sesekali suka menulis cerpen di surat kabar. Sedang dirinya hanya seorang guru sekolah dasar negeri yang gajinya tak seberapa. Untuk hidup sehari-hari mereka harus mengencangkan ikat pinggang. Cicilan rumah di pinggiran kota Jakarta menguras seluruh penghasilan mereka. Tak cukup tabungan untuk pulang ke Toraja menjenguk erong[11] tempat jasad ibunya dibaringkan pada dinding tebing kapur.
Dua ekor kerbau digiring ke tengah lapangan upacara. Seorang pawang merapal mantra-mantra. Menempelkan mata pisau pada leher kerbau. Sebelum tangannya bergerak penuh perhitungan. Hanya dalam hitungan detik saja kerbau itu tumbang menggelepar dengan leher mengangga menyembur darah. Suara lenguh panjang. Serupa erang. Lalu terdiam.
Tak lama berselang. Ma’pasa’ Tedong[12]. Kerbau-kerbau yang telah disepakati oleh keluarga untuk dikorbankan dikumpulkan di halaman tongkonan. Kerbau-kerbau itu kemudian diarak berkeliling kampung sebanyak tiga kali.
Helena tersenyum memandangi tongkonan dari anak tangga terbawah. Rumah panggung itu tampak anggun. Atapnya serupa perahu. Menjulang ke langit. Pada bagian depan tongkonan, tandun-tanduk serta kepala kerbau tersusun rapi. Sebentar lagi akan bertambah jumlah setelah berakhirnya upacara. Tanduk-tanduk kerbau miliknya yang akan dikorbankan untuk mengantar Ambe menuju puyo, siap menambah wibawa kebangsawanan keluarganya. Dan semuanya itu akan diwariskan kepadanya beserta setengah dari kekayaan peninggalan Ambe.
Hidup memang butuh pengorbanan. Bertahun-tahun hidup di perantauan tanpa sanak keluarga, Helena tahu betul arti kata itu—pengorbanan. Ia memang tidak menyesal karena sudah menikah dengan Mappangewa. Apalagi selepas merampungkan pascasarjana di fakultas ilmu budaya, suaminya memiliki profesi tambahan sebagai dosen sastra di beberapa universitas negeri maupun swasta di Jakarta. Meski Helena masih saja menjadi pengajar di sekolah dasar, mereka sudah memiliki rumah sendiri.
Tapi rumah saja tak cukup. Anak mereka yang kedua sudah mulai masuk sekolah. Pasti membutuhkan banyak biaya. Sepeda motor yang baru lunas kreditnya sudah dijual. Tapi hasil penjualannya hanya cukup untuk biaya pulang ke kampung halaman, membeli beberapa ekor babi. Helena tak mungkin bermimpi mendapat bagian warisan terbanyak hanya dengan menyumbang beberapa ekor babi saja.
”Bagaiman kalau kita jual rumah kita?”
”Lalu kita mau tinggal di mana?”
”Kita bisa mengontrak rumah untuk sementara.”
Mappangewa tak membantah usul istrinya. Meski tak terlalu setuju. Hanya seminggu rumah mereka sudah banyak yang menawar karena lokasinya yang cukup strategis. Kepada penawar tertinggi, Helena melepas rumah mereka. Dia tak mau menunggu lama.
Dan di sinilah Helena kini. Di kampung halamannya. Suami dan kedua anaknya tak turut serta. Menghemat biaya perjalanan. Kalau sudah harta warisan digenggaman, Helena akan mengirimi mereka uang untuk menyusulnya.
Malam semakin larut. Ritual demi ritual telah dilewati. Tiba saatnya Ma’tunda[13]. Sebuah ritual membangunkan arwah yang selama satu bulan menjadi tomebali puang[14]. Awan pekat kembali menyelubung wajah-wajah sanak saudara serta para kerabat terdekat. Termasuk Helena. Sepasang matanya mengabut. Terkenang dia pada masa kecilnya. Ketika Ambe suka mengajaknya bermain-main di pematang sawah. Menyaksikan para petani menggarap sawah-sawah miliknya yang sangat luas. Atau membawanya bermain-main di atas punggung anak kerbau di peternakannya.
Suara lesung bergeman bersahut-sahutan. Tangan-tangan kaum wanita tua mahir memainkan bambu menumbuk padi-padi pilihan di dalam lesung. Jasad Ambe dipindahkan dari rumah duka, untuk disemayamkan di tongkonan semalaman. Peti mati seberat 100 kilogram diangkat bersama-sama. Hati-hati mereka meniti tangga. Menyatukan kembali arwah Ambe dengan arwah leluhur.
Sinar matahari pukul sembilan pagi menghambur ke wajah Helena, ketika jendela-jendela di rumah kediamannya dibuka. Helena memicingkan kedua matanya. Semalaman ia terjaga di kamarnya, meski tak turut menjaga jasad Ambe. Banyak yang menjejal ruang di kepala. Pertemuannya dengan anak lelaki Tato’ Denna menjelma bayang-bayang. Silih berganti dengan wajah suami dan kedua putranya di Jakarta. Sejak berada di kampung halamannya, belum sekali pun Helena merasakan tidur serupa bayi. Keinginan yang hanya mungkin dia penuhi selepas upacara Rambu Solo’ tuntas digelar. Saat seluruh ahli waris dikumpulkan, untuk menerima bagian harta peninggalan Ambe.
Ramai suara di luar rumah. Helena beranjak dari kamarnya. Sudah tiba waktu memindahkan jasad Ambe ke dalam alang[15] yang berada di bawah tongkonan. Helena bersiap seadanya. Tak mau ketinggalan.
Erong berbentuk perahu itu diturunkan dari tongkonan. Tarian penghormatan. Sorak sorai bergema. Warga bahu-membahu memanggul beban di pundak mereka. Lamba-lamba[16] dibentang, menjadi penunjuk ke mana langkah harus diayun untuk sampai ke alang. Sebagian mengusung tau-tau[17]. Berjalan di depan. Helena seperti melihat sosok Ambe hidup kembali pada boneka kayu yang didandani persis serupa Ambe ketika masih arwah berdiam dalam jasmani.
Dalam keramaian. Sudut mata Helena menangkap sesosok wajah. Lelaki itu melempar senyum ke arahnya. Matanya mengedip. Helena tertunduk. Membuang tatapannya ke tempat lain. Sesekali masih mencuri pandang ke arah lelaki itu. Dia mengenali lelaki itu sebagai putra Tato’ Denna. Lelaki keturunan Ne’ Sando[18] yang dulu pernah hendak dijodohkan kepadanya.
Bayang-bayang yang kerap hadir ketika kegelapan memeluk jiwa-jiwa yang letih, sejak dia berdiam di kampung halamannya, mewujud seketika. Terkenang dia pada pertemuannya dengan putra Tato’ Denna sebulan lalu. Ketika baru saja dia tiba di Rantepao. Seorang lelaki menepuk pundaknya dari arah belakang. Tersenyum takjub. Seperti tak percaya pada penglihatannya. Berkali-kali lelaki itu menggeser letak kaca matanya. Berusaha meyakinkan diri.
”Helena?” akhirnya dia membuka suara.
Helena tak terlalu mengenali. Sampai lelaki itu memperkenalkan diri sebagai putra Tato’ Denna. Helena teringat dengan perjodohannya. Masa lalu kembali menjelma layar lebar. Sepotong adegan tergambar di sana. Ketika dirinya dan Mappangewa mendapat murka Ambe.
Jangan-jangan...
”Kau tepat, jika mengira aku lelaki yang dulu pernah hendak dijodohkan denganmu.”
”Maaf, aku tak pernah diberitahu Ambe tentang perjodohan kita,” ucap Helena. Agak canggung. Seperti merasa bersalah. Lelaki itu malah tertawa.
”Kau hanya sendiri?” tanyanya setelah tawa mereda, ”Keluargamu tak kau ajak serta?”
”Suamiku tak bisa mengambil cuti. Anak-anakku tak bisa meninggalkan pelajarannya.”
”Mari kuantar ke rumahmu.”
”Aku mau menjenguk makam Indo’ dulu.”
Lelaki itu mengambil travel bag dari tangan Helena. Menyimpan di bagasi belakang, sebelum membukakan pintu mobilnya. Helena masuk ke dalam. Aroma lemon menyerbu lubang pernafasannya.
”Kau sudah berkeluarga?” tanya Helena setelah lelaki itu duduk di belakang kemudi.
”Kau pasti tak akan percaya kalau kukatakan aku belum beristri karena masih mengharapkan dirimu.” Lelaki itu melirik ke arah Helena. Seperti mencari tahu reaksi Helena, setelah mendengar jawaban darinya.
Helena berusaha bersikap biasa-biasa saja. Meski sebenarnya dadanya mulai berdetak tak beraturan. Lelaki itu memang sulit untuk diabaikan. Wajahnya. Sikap ramahnya. Mobil yang dikendarainya. Dia memiliki segala yang diidamkan oleh perempuan: kemapanan. Dan lelaki itu baru saja mengatakan masih mengharapkan dirinya.
Helena teringat pada Mappangewa. Pada anak-anaknya. Pada rumahnya yang terpaksa harus dijual demi membiayai upacara Rambu Solo’. Hasil penjualan rumah itu hanya cukup untuk membeli dua ekor tedong bonga ukuran sedang. Padahal Helena menginginkan bagian terbesar dari warisan ayahnya. Helena seperti menemukan jalan keluar. Sekali lagi lelaki itu melirik ke arah Helena. Sambil tersenyum. Sekali ini Helena menanggapi senyum lelaki itu. Bahasa tubuh mereka saling bicara. Bertahun-tahun hidup di perantauan, Helena tahu betul arti sebuah pengorbanan. Dia berharap Rambu Solo’ bisa menjadi pijakan awal. Merubah roda nasibnya. Dia menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Dan anak lelaki Tato’ Denna itu seolah memberi segumpal harapan.
Siang itu. Terik matahari menyengat kulit kepala. Tak surut antusias warga menyaksikan Mapasilaga Tedong[19]. Kerbau-kerbau terbaik disiapkan untuk diadu. Salah satunya milik Helena. Orang-orang menyiapkan taruhan. Melupakan sejenak kedukaan. Helena larut dalam kegembiraan.
Tiba giliran tedong Helena ditarik ke tengah arena. Bantu Pako nama tedong Helena, salah satu pemberian anak lelaki Tato’ Denna. Berkat lelaki itu, Helena bisa bermimpi mendapatkan bagian terbesar harta peninggalan Ambe. Lima tedong bonga, beberapa tedong biasa, masih ditambah beberapa ekor babi. Semua didapatkannya dengan hanya memberikan setengah dari hasil penjualan rumahnya.
Suara tanduk saling beradu. Kerbau-kerbau itu seolah tak hirau pada hiruk pikuk penonton. Debu mengepul ke udara. Helena tertawa menyaksikan Bantu Pako menggasak lawannya hingga tak berdaya. Terbirit melarikan diri ke tengah-tengah sawah. Berkelebatan masa depan di kepalanya. Dengan harta peninggalan Ambe, dia bisa membangun kehidupan yang jauh lebih baik di Jakarta. Helena teringat pada Mappangewa. Pada masa depan anak-anaknya. Roda nasib segera akan berpihak kepadanya.
Hingga detik berakhirnya ritual adu kerbau itu, Helena belum mengetahui, jika seluruh sawah serta peternakan Ambe telah berpindah tangan. Ketika Indo’ jatuh sakit, Ambe menggadaikan seluruh hartanya kepada Tato’ Denna guna biaya pengobatan istrinya. Sisanya habis untuk pelaksanaan ritual Rambu Solo’ untuk mengantarkan arwah istrinya menuju puyo. Sedang Helena masih menyisakan janji untuk beberapa kali lagi bertemu dengan anak lelaki Tato’ Denna di sebuah tempat paling rahasia. Begitulah cara Helena mendapatkan lima tedong bonga, beberapa tedong biasa, serta beberapa ekor babi, dengan hanya memberi setengah dari hasil penjualan rumahnya. Hidup memang butuh pengorbanan. Bertahun-tahun tinggal di perantauan tanpa sanak keluarga, Helena tahu betul arti kata itu—pengorbanan.
Catatan:
[1] Rumah-rumah bamboo didirikan saat upacara Rambu Solo’
[2] Rumah adat suku Toraja berbentuk seperti perahu, selalu menghadap ke arah utara
[3] Kerbau setengah albino memiliki nilai ekonomis tinggi
[4] Menhir yang konon ditancapkan pertama kali Th. 1657. Ketika itu ratusan ekor kerbau dikurbankan untuk upacara pemakaman keturunan Dinasti Rante Kalimbuang.
[5] Bapak
[6] Nirwana atau surga
[7] Kerbau-kerbau
[8] Upacara pemakaman, sering juga disebut pesta kematian
[9] Ajaran atau tata cara peribadatan
[10] Ibu
[11] Peti mati atau wadah mayat
[12] Ritual mengarak kerbau-kerbau yang akan dikorbankan pada acara Rambu Solo’
[13] Ritual Membangunkan arwah
[14] Roh penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal
[15] Lumbung padi
[16] Kain merah
[17] Patung kayu berwujud orang yang meninggal dunia
[18] Dukun adat
[19] Ritual adu kerbau
 Dear Jingga
Dear JinggaJika suatu hari engkau berkunjung ke Danau Toba, engkau akan melintasi sebuah hutan lindung bernama Sibatu Loting. Di kawasan yang masuk wilayah hutan Sibaganding, kabupaten Simalungun itu hidup seorang peladang bernama Umar Manik. Dia hidup bersama istri dan seorang anak balitanya.
Bukan sebuah kebetulan kalau aku kemudian mengenal Pak Manik dan keluarganya. Lewat suratku terdahulu, aku sudah mengabarkan kepadamu tentang tujuan perjalananku kali ini. Ya, setelah beberapa waktu lalu aku singgah di Sumatra Barat untuk menjejakkan kaki di setapak-setapak Gunung Singgalang serta Merapi, aku melanjutkan perjalananku menuju Sumatera Utara. Kali ini tidak untuk mendaki puncak gunung, tapi menyambangi sebuah danau vulkanik kebanggaan masyarakat Sumatera Utara yang terbentuk 75 ribu tahun silam itu, Danau Toba. Aku ingin sekali bersampan di atas danau itu, dan menginap di pulau Samosir.
Bus yang kutumpangi sedang menepi. Sesaat setelah roda depannya menggilas seekor monyet. Yang mungkin sudah kehilangan akalnya karena kelaparan. Sehingga nekat melompat dari cecabang pohon, dan mendarat tepat di tengah-tengah jalan. Seperti hendak menghadang laju bus yang kutumpangi. Dalam radius 1 kilometer monyet-monyet itu memenuhi bahu jalan Prapat-Simalungun yang melintasi hutan Sibatu Loting. Menadahkan tangan, mengharap belas kasihan para pengguna jalan, sehingga tergerak hati mereka untuk melemparkan makanan. Sekedar kacang. Kalau cukup beruntung satu atau dua buah pisang meloncat dari jendela, dan monyet-monyet itu akan saling berebutan mendapatkannya.
Sampai aku menuliskan surat ini kepadamu, masih membayang raut tegang sopir bus yang kutumpangi. Melindas monyet di tempat itu, sama dengan mengundang kesialan berkepanjangan. Betapa pun itu bukan sebuah kesengajaan. Hanya dengan mengubur monyet itu bersama pakaian yang dikenakan ketika menabraknya, dipercaya akan menjauhkan dari kesialan.
Kernet bus yang kutumpangi segera turun mengeluarkan kera malang dari kolong bus. Tak perlu kuceritakan bagaiman kondisi kera itu setelah tubuhnya terhimpit di antara roda bus dan aspal jalanan, sebab hanya akan membuat nafsu makanmu hilang hingga beberapa pekan.
Aku turun dari bus, bermaksud membantu kernet bus menguburkan kera naas itu, ketika lamat-lamat kudengar suara mengenta mengembara bersama angin, sampai ke telingaku. Seketika itu, monyet-monyet yang tengah berebut makanan yang dilemparkan penumpang dari atas bus yang kutumpangi menolehkan kepalanya ke arah hutan. Berlomba-lomba meraih cecabang pohon, berlompatan dari satu ranting ke ranting yang lainnya. Dan menghilang di rerimbun hutan Sibatu Loting. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Suara itu serupa magnet yang menyirap batang-batang besi.
”Waktunya makan,” ucap kernet itu sambil mulai melinggis tanah, dengan besi pengungkit dongkrak, seperti tahu yang tengah bermain di kepalaku.
”Makan?” Aku mulai membantu mengeduk tanah-tanah yang dilinggis kernet itu.
”Suara terompet itu berasal dari Stasiun 23, pusat konservasi monyet. Itu suara terompet milik Pak Manik. Terompet tanduk kerbau. Dia selalu meniupkannya setiap kali hendak memberi makan kera-kera liar di hutan ini.”
Sebuah lubang seukuran tubuh kera yang tergilas bus mengangga, setelah beberapa kali dihujam besi pengait dongkrak sepanjang rentangan tangan leleki dewasa. Segera kami merebahkan tubuh kera naas itu ke dalamnya, setelah lebih dulu membungkusnya dengan pakaian sopir bus. Lalu menguruknya dengan tanah bekas galian.
”Seberapa jauh tempat itu dari sini.”
”Tidak berapa jauh. Kira-kira seperempat jam dengan berjalan kaki.”
Begitulah, setelah aku mengambil tas kerilku, kulangkahkan kaki mengikuti petunjuk kernet bus menyusuri setapak yang membelah rerimbun hutan Sibatu Loting. Aku memutuskan menunda kepergianku ke Prapat yang hanya berjarak delapan kilometer lagi dari tempat ini. Suara terompet itu membuat aku serupa monyet lapar tersirap irama magis yang keluar dari lubang tanduk kerbau milik Pak Manik.
Setelah lima belas menit menyusuri setapak, sampai juga aku di sebuah lahan terbuka. Taman Monyet, begitu papan nama yang tergantung di atas pintu masuk. Aku menyerahkan selembar uang lima ribuan kepada seorang pria penjaga loket, sebelum pria itu menyodorkan sebuah tiket dan dua lembar ribuan sebagai kembalian. Aku melirik harga tiket yang tercetak pada permukaan tiket. Di sana tertulis nominal Rp 2500. ”Tak ada kembaliannya,” kata pria penjaga loket itu sambil tersenyum, seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan. Entah mengapa aku merasa tidak suka melihat caranya tersenyum. Wajah pria itu lebih seperti orang Jawa, daripada orang Batak.
Di depan sebuah bangunan semacam tugu berukir dua kuda laut yang saling berhadapan dipisahkan oleh bintang—lambang milik sebuah perusahaan minyak nasional yang entah bagaimana bisa ada di tempat ini—, seorang lelaki usia setengah baya duduk memperhatikan monyet-monyet berebut pisang-pisang yang dia lemparkan. Masih ada beberapa tangkap pisang di dalam keranjang anyaman bambu yang teronggok persis di depannya. Sesekali dia meniupkan terompet yang terbuat dari tanduk kerbau, melemparkan pisang-pisang ke arah kawanan monyet. Seekor beruk yang memiliki buntut pendek memanjat tugu yang hanya beberapa depa lebih tinggi dari beruk itu, berusaha meraih pisang di genggaman tangan lelaki berwajah tirus itu. Lelaki itu membiarkan saja si beruk mengambil pisang dari tangannya.
”Mau turut memberi makan monyet-monyet itu?” sapa lelaki—yang kuduga Pak Manik—itu setelah menyadari keberadaanku.
”Bapak pasti...”
”Umar Manik,” katanya memotong kalimatku.
Aku tersenyum. Mengangguk. Menghampiri lelaki berkemeja kotak biru yang segera berdiri menyambutku. Memberikan telapak tanganku kepadanya. ”Saya Cakrawala, Pak.”
”Kau hanya perlu membayar pisang-pisang ini,” katanya menjabat telapak tanganku. Sebelum menyerahkan keranjang kayu berisi beberapa tangkap pisang, ”bukan untuk aku, tapi untuk kera-kera itu.”
”Berapa harus saya bayar?”
”Sesuka kau saja lah! Asalkan kau ikhlas. Dan kera-kera itu bisa makan.”
Aku mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dalam dompetku, menyerahkannya kepada Pak Manik yang kedua lengannya penuh rajah. Entah apa bentuknya aku tak coba menanyakan, sebab aku lebih tertarik pada monyet-monyet itu ketimbang tato yang melingkari kedua lengan Pak Manik.
”Banyak ’kali?”
”Saya ikhlas.”
Aku memang pernah beberapa kali melihat kera melompat-lompati cecabang pohon di alam terbuka. Tapi tak pernah sedekat ini, apalagi sampai memberi makan kera-kera liar itu. Seekor kera yang tubuhnya besar merebut pisang yang tengah dimakan kera lainnya yang berukuran jauh lebih kecil. Aku mencoba menghela.
”Biarkan saja,” tegur Pak Manik sambil tersenyum melihat tingkahku menggusah kera yang lebih besar itu. ”Namanya Bruno. Dia pemimpin kera-kera liar itu. Sebaiknya kita tak usah ikut campur. Sudah aturan mereka. Yang kuat pasti berkuasa, dan yang berkuasa pasti menang. Seperti manusia juga lah!”
”Apa kera-kera itu jinak?”
”Tak perlu lah dibuat jinak kera-kera itu, biar tak mudah ditangkap orang.”
”Ditangkap?”
”Dulu ada lima jenis monyet di tempat ini. Kera, beruk, lutung, siamang, dan simpai. Tapi sekarang hanya tinggal dua jenis saja, seperti yang kau lihat sekarang ini.”
”Ke mana tiga jenis yang lainnya?”
”Seperti yang kubilang tadi. Yang kuat pasti menang. Siapa yang mampu bertahan dari keserakahan manusia? Begitu hukum alam yang berlaku.”
Awan seperti gumpalan krim yang mulai meleleh di atas cangkir kopi, tak lagi berwarna putih. Mengapung di atas langit hutan Sibatu Loting.
”Tampaknya hujan akan segera turun. Sebentar lagi malam. Kau menginap di hotel mana?”
”Saya belum ada rencana. Semula ingin ke Prapat. Saya ingin sekali melihat Danau Toba. Tapi suara terompet Bapak membawa langkah saya ke tempat ini.”
”Ah, kalau kau mau, kau boleh menginap di gubuk aku malam ini. Besok aku antar kau ke Danau Toba. Aku sudah biasa bawa turis-turis ke sana. Kalau tak begitu, mana lah aku punya uang untuk memberi makan anak istriku dan monyet-monyet itu.”
”Uang hasil penjualan tiket masuk taman ini?”
”Tak tahunya lah aku soal itu. Ke mana uang itu mengalir pun aku tak paham. Perjanjiannya memang 60 untuk Pemkab Simalungun, 40 persen lagi untuk pemeliharaan kawasan konservasi ini. Tapi baru dua tahun ini yayasan pengelola memberi aku bagian. Itu pun jumlahnya hanya 15.000 sebulan. Mana lah cukup uang segitu. Untuk beli jatah makanan sehari saja tak cukup! Terpaksanya lah aku jual tanah di desa untuk kasih makan monyet-monyet itu!”
Begitulah. Pak Manik mengajak aku singgah ke gubuknya yang berukuran 7 x 7 meter. Ruang seluas itu dibaginya menjadi tiga. Teras yang dihuni bangku-bangku kayu, satu ruang tidur dengan dua buah ranjang, dan satu ruang lagi untuk dapur.
”Kau bisa tidur di ranjang yang satunya.”
”Ah, biar saya tidur di teras saja.”
“Kalau malam di tempat ini dingin sekali. Apalagi kalau habis hujan. Bisa beku kau nanti.”
”Saya bawa sleeping bag yang cukup tebal, Pak.” Aku menyandarkan keril pada dinding kayu.
Malam itu aku dan Pak Manik berbincang di teras depan ditemani sekepul kopi medan dan ubi rebus. Sampai pukul sepuluh hujan masih saja merinai. Maka meluncurlah cerita dari mulut Pak Manik, tentang bagaiman mula dia menjadi karib bagi monyet-monyet liar itu. Begini kira-kira kisah yang tertutur dari mulut Pak Manik:
Tujuh tahun aku bekerja sebagai keamanan di hotel Niagar, Prapat. Tahun 1984 mereka memecatku karena tak memiliki ijazah SLTA. Sejak diberhentikan dari pekerjaan, aku membuat pondok kecil di tengah hutan Sibatu Loting. Aku mencoba menghidupi keluargaku dari berladang. Menanam ubi, jagung dan kacang-kacangan. Tapi monyet-monyet itu selalu datang merusak ladang! Setiap hari yang ada di kepalaku adalah bagaimana caranya agar monyet-monyet itu enyah dari hutan ini.
Sampai suatu malam, aku terbangun dengan keringat membutir jagung di sekujur tubuhku karena bermimpi. Di dalam mimpi itu, aku didatangi oleh sesosok tubuh berperawakan tinggi besar. Membuat aku gemetar. Apalagi saat mendengar suaranya yang bergetar memuntahkan kemarahan, ”Mengapa kau usir monyet-monyet itu?! Mereka lebih dulu tinggal di hutan ini!” Begitulah sesosok tubuh yang aku duga roh leluhur penunggu hutan lindung ini meminta aku menjaga serta merawat monyet-monyet liar itu.
Tak mudah membuat monyet-monyet itu mau berkumpul. Kuputar otak. Segala cara kucoba. Tapi makhluk-makhluk liar itu sulit sekali ditangani, karena aku bukan seorang ahli. Sepertinya, ketakberdayaanku menangani kera-kera itu didengar leluhur. Pada lain malam, sosok tinggi besar itu mendatangiku kembali. Memerintahkan aku membuat terompet dari tanduk kerbau. Ajaib! Saat terompet itu selesai kubuat dan kutiupkan untuk pertama kalinya, monyet-monyet itu langsung berdatangan! Suara terompet itu seperti memiliki daya magis yang mampu memaksa monyet-monyet itu berkumpul! Sehingga mudah bagiku memberi makan mereka. Dan kini setiap kali aku ingin memberi mereka makan, aku hanya tinggal meniup saja terompet tanduk kerbau ini.
Selama aku memiliki terompet tanduk kerbau ini, mereka tak akan berani mengusirku. Orang-orang pemerintah daerah bersama pihak yayasan pengelola taman ini tak akan mampu menangani monyet-monyet liar itu. Kalau saja aku mau, aku bisa membuat monyet-monyet itu pergi meninggalkan hutan ini, sehingga niat mereka untuk mengeruk keuntungan dari keberadaan monyet-monyet liar itu di tempat ini hanya akan menemui kesia-siaan! Seenaknya saja mereka. Dua puluh tahun aku merintis tempat ini, mereka mau merebutnya begitu saja.
***
Lewat dini hari hujan baru benar-benar berhenti. Pak Manik masuk ke dalam kamar menyusul istri dan anak balitanya yang sudah terlelap sejak pukul sembilan tadi. Aku merebahkan tubuh di atas matras, meringkuk di dalam sleeping bag. Pagi harinya, selepas memberi makan monyet-monyet, Pak Manik mengantarkan aku bersampan di Danau Toba yang termasyur itu.
Pak Manik mengijinkan aku menginap di gubuknya beberapa hari. Lumayan, aku bisa menghemat biaya menginap. Cukup membayar jasa Pak Manik sebagai pemandu wisata. Persediaan uangku memang mulai menipis. Honor sebagai pewarta lepas di beberapa surat kabar harian belum dikirimkan ke rekeningku. Sedang aku sudah lama tidak menulis cerpen. Kalau sampai tiga hari ke depan honorku belum juga dikirimkan, sepertinya perjalananku akan berakhir di tempat ini. Padahal masih banyak tempat di Nusantara yang ingin aku kunjungi. Baru beberapa bulan lagi royalti novel dan buku antologi cerpenku dibayarkan. Itu pun kalau laku di pasaran. Negeri ini bukan tambang emas bagi penulis semacam aku.
Pagi itu, aku sedang asyik memindahkan gambar monyet-monyet di sungai kering dekat rumah Pak Manik ke dalam memori card kamera digitalku—aku ingin menulis artikel untuk majalah pariwisata, atau setidaknya yang menyediakan rubrik catatan perjalanan. Sejak matahari baru berupa cahaya keemasan, Pak Manik sudah meninggalkan rumah untuk belanja persediaan pisang bagi monyet-monyet yang sudah seperti jadi bagian keluarganya. Seorang pria yang kukenali sebagai penjaga loket menghampiriku, menawariku sebatang rokok. Aku menolak. Sudah lebih dari tiga tahun aku berhenti menghisap asap nikotin.
”Pagi begini tak akan sempurna tanpa segelas kopi hangat. Mampir lah ke posku. Kita cakap-cakap sikit.”
Tak ada salahnya menghargai sikap ramah pria berperawakan Jawa yang belakangan kutahu bernama Rifan Tukijan. Bukan aroma kopi Medan yang membuat aku tertarik menerima ajakannya. Karena pagi tadi, istri Pak Manik sudah membuatkannya untukku. Aku tertarik mendengar lebih banyak cerita tentang perseteruan Pak manik dengan pihak yayasan yang ditunjuk oleh Pemkab Simalungun untuk mengelola Taman Monyet ini.
”Sepuluh tahun yang lalu, Pemerintah kabupaten Simalungun pernah menggusur gubuk Pak Manik, karena masih berada di dalam kawasan hutan lindung,” terang Rifan Tukijan, memberikan gelas berisi kopi ke tanganku. Aku meniup ke dalam gelas. Uap kopi berhaburan tak beraturan ke udara. Rifan Tukijan mengambil kursi di depanku.
”Sudah berkali-kali digertak. Bahkan sampai pernah dipukuli. Dia tetap tak mau pergi dari hutan ini. Kalau dia tetap di sini, kawasan hutan bisa rusak!”
”Bukannya dia yang merintis tempat ini?” Diam-diam aku merekam percakapan kami dengan flashdisk MP3.
”Sebenarnya Pak Manik sudah diminta berdamai dengan pihak yayasan, dan bersama-sama mengelola monyet-monyet itu. Tapi dia menolaknya! Bahwa dia telah berjasa menangkar monyet liar, itu betul. Tapi bukan berarti dia memenuhi syarat untuk tinggal di tempat ini!”
”Lalu kenapa Pak Manik masih ada di tempat ini?”
”Begitu keputasan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Mau bagaimana lagi? Heran… Padahal pihak yayasan sudah berusaha membuatnya tidak betah dengan menahan jatah bulanannya, tapi dia masih juga bertahan di tempat ini!”
Aku semakin tertarik berbincang dengan Rifan Tukijan. Apalagi ketika dia mengajak aku menemui ketua yayasan pengelola Taman Monyet itu.
Begitulah, Jingga. Malam harinya, dengan cahaya dari headlamp aku menuliskan surat yang saat ini tengah kamu baca. Pagi-pagi buta aku mengemas barang-barang bawaanku, pergi meninggalkan gubuk Pak Manik. Aku berniat menyeberang ke pulau Kalimantan. Melanjutkan perjalanan. Tapi sebelumnya, aku menyempatkan diri pergi ke kantor pos untuk mengirimkan surat ini bersama sebuah paket cinderamata sebagai tanda cintaku kepada dirimu.
Ya, benda yang saat ini ada di depanmu itu adalah terompet tanduk kerbau milik Pak Manik. Jangan kamu coba-coba membunyikannya, kalau tak mau rumahmu diserbu monyet-monyet karena tersirap suara magisnya. Tanpa terompet tanduk kerbau itu, Pak Manik tak lagi punya alasan untuk berdiam di dalam hutan lindung itu.
Sulit bagiku untuk tidak menerima tawaran dari ketua yayasan pengelola Stasiun 23, pusat konservasi monyet itu. Dengan beberapa tumpuk uang dalam amplop cokelat yang dia berikan, aku tak perlu lagi mencemaskan keterlambatan honor tulisanku sebagai pewarta lepas di beberapa surat kabar harian. Atau mengharapkan novel serta buku antologi cerpenku laku di pasaran. Apa boleh buat, aku harus melanjutkan perjalananku mengelilingi bumi Nusantara, seperti yang kuimpikan selama ini.
Teriring cinta,
Tebing Cakrawala
Depok, 30 Juni 2006
Karya favorit sayembara menulis cerpen Rohto 2008
 Cermin itu telah pecah, setelah sekian lama menawan bayangan wajah Ibu. Aku tak lagi hanya bisa mengadu pada bayangan. Aku ingin Ibu. Namun, setelah cermin itu pecah tak juga aku berhasil mengeluarkan Ibu dari dalamnya. Pecahan kaca yang terserak di lantai malah menjelmakan bayangan Ibu sebanyak jumlah pecahan kaca yang basah oleh darah.
Cermin itu telah pecah, setelah sekian lama menawan bayangan wajah Ibu. Aku tak lagi hanya bisa mengadu pada bayangan. Aku ingin Ibu. Namun, setelah cermin itu pecah tak juga aku berhasil mengeluarkan Ibu dari dalamnya. Pecahan kaca yang terserak di lantai malah menjelmakan bayangan Ibu sebanyak jumlah pecahan kaca yang basah oleh darah.Dahulu Ibu sering berlama-lama menatap dirinya lewat pantulan cermin. Diam-diam aku suka mengintipnya dari lubang kunci, sebab Ibu seperti tak ingin membiarkan siapa pun melihatnya dalam keadaan itu. Dia seperti ingin berdua saja dengan bayangan dirinya di dalam cermin. Di atas ranjang Ayah terlentang dengan tubuh yang hampir seluruhnya telanjang. Tertidur pulas. Serupa bayi dua belas bulan yang baru saja selesai dimandikan, belum sempat dihanduki.
Aku selalu melihat pemandangan itu, setiap kali Ayah pulang ke rumah, setelah sekian lama pergi menjaring rejeki di tengah lautan. Tak tentu waktu Ayah pulang. Terkadang habis Subuh. Pernah juga waktu dhuha. Hanya sesekali saja lepas Asar. Lain waktu sesudah Magrib atau Isya. Tapi lebih sering tengah malam saat lampu di rumah hanya menyisakan cahaya lima watt saja. Tak tentu juga. Suka-suka Ayah saja.
Setiap kali Ayah pulang ke rumah, malam harinya aku selalu mendengar suara gaduh dari kamar Ibu. Kamarku berada di lantai dua, persis di atas kamar Ayah dan Ibu. Sedang lantai rumah kami terbuat dari kayu jati belanda yang masih muda, tak pernah berhasil meredam kegaduhan. Aku sering membayangkan apa yang Ayah lakukan di kamar itu terhadap Ibu, sampai membuat perempuan kuning langsat itu harus menjerit-jerit seperti menahan sakit.
Begitulah, setiap menjelang waktu Subuh, aku suka diam-diam mengintip ke dalam kamar Ibu melalui lubang kunci yang telah kehilangan anaknya. Kulihat Ibu seperti berbicara pada bayangannya di dalam cermin. Entah apa yang mereka bincangkan, dari lubang kunci itu aku hanya bisa melihat punggung Ibu, dan sedikit pantulan wajahnya di cermin rias yang terbuat dari kayu jati berukir jepara. Aku hanya menduga dari gerakan-gerakan tubuhnya, Ibu seolah sedang berbicara. Tanpa suara. Dan Ayah seperti biasa, tertidur serupa bayi dengan tubuh penuh peluh, di atas ranjang busa nomer satu dengan bedcover yang tak lagi tertata rapi.
Paginya. Saat aku hendak berangkat ke sekolah. Aku menemukan Ayah tengah asyik mengirup secangkir kopi hangat di meja makan, lengkap dengan kemeja biru yang ujung bawahnya dibiarkan keluar. Ia memberi aku uang saku untuk satu bulan penuh, sebelum menyelesaikan sarapannya, lalu pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang tak pernah dapat dipastikan lamanya. Tanpa banyak kata. Hanya tatapan aneh saat jemarinya meraba pipiku sambil tersenyum. ”Sudah besar kau sekarang. Cantik seperti ibumu,” katanya sebelum berlalu dari hadapanku. Aku tak suka dengan caranya tersenyum. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman dengan caranya memandangku.
Ayah tak pernah lama berada di rumah. Seingatku hanya sepekan masa paling panjang. Dan hampir setiap malam aku mendengar suara jeritan Ibu dari kamarku. Lebih sering Ayah hanya menginap semalam saja, seperti kepulangannya kali ini. Ayah bekerja di sebuah perusahaan minya lepas pantai. Sebagai apa? Entah. Aku tak pernah menanyakannya kepada Ayah. Dan Ibu seperti tak mau tahu dengan pekerjaan suaminya.
”Ibu, aku mau pergi ke sekolah,” ucapanku dari balik punggungnya yang penuh rajah merah, mirip bekas kerokan melintang tak beraturan, hanya dijawabnya dengan anggukan, dan sedikit senyum yang dipaksakan menyamarkan lebam di ujung bibirnya. Ibu masih terbungkus handuk, selepas dia membenamkan tubuhnya dalam bathtub berisi air hangat. Tangannya bergerak lembut. Penuh perhitungan. Menyisir gelombang rambutnya yang basah dari atas ke bawah, di depan cermin riasnya. Pun ketika kuraih telapak tangannya untuk kucium, Ibu bergemin, hening. Tak ada kata mengiringi langkahku meninggalkan kamar itu. Ketika itu aku masih seorang gadis berseragam putih-merah.
Aku senang jika Ayah lama tak kembali ke rumah. Karena aku tak harus terbangun di malam hari tersebab suara jeritan Ibu yang memilu hati. Meski itu berarti tak ada uang saku bagiku, sebab Ibu hanya seorang ibu rumah tangga yang bergantung sepenuhnya dari gaji suami. Aku bahkan berharap ombak menggulung Ayah. Dan laut menelan tubuh tambun Ayah. Sehingga ia tak perlu lagi kembali ke rumah selama-lamanya. Namun, ombak seperti enggan memenuhi harapanku. Entah mengapa.
Bahkan, sejak aku berganti seragam sekolah dengan putih biru Ayah semakin sering saja berada di rumah. Dia tak lagi bertugas di tengah lautan. Dipindahtugaskan ke daratan. Sejak itu, nyaris setiap malam aku mendengar suara jerit Ibu dari dalam kamarnya.
Malam baru saja melewati ambang hari. Kedua mataku yang sudah rapat sejak pukul sembilan dipaksa membuka oleh suara gaduh dari kamar Ibu. Sepertinya Ayah baru kembali dari tempat kerjanya. Ayah memang biasa kembali saat lampu-lampu di rumah hanya menyisakan cahaya lima watt. Namun, tidak seperti malam-malam sebelumnya, aku tak hanya mendengar suara jeritan Ibu dari dalam kamar itu. Aku tak yakin benar dengan pendengaranku. Aku lekatkan telinga di atas lantai kayu, berusaha mengurai suara-suara yang berasal dari dalam kamar Ibu. Aku yakin mendengar suara perempuan selain Ibu, menjerit di sela desah, kadang tertawa. Tapi ..., suara siapa?
Azan Subuh baru saja berlalu dari pendengaran, saat aku meninggalkan kamarku. Tanpa suara, meniti tangga kayu yang menghubungkan lantai dua dengan ruang keluarga. Seperti biasa, pintu kamar Ibu masih rapat terkunci. Hati-hati kuletakkan sebelah mataku pada lubang kunci. Ayah masih mendengkur di balik selimut yang tak berhasil menyembunyikan sepasang kaki milik seorang perempuan entah siapa. Di mana Ibu? Dia tak tampak di depan cermin riasnya. Hanya bayangannya saja yang tertinggal di sana dengan wajah yang semakin muram. Dari kamar mandi yang berada di dalam kamar itu, aku mendengar suara keran air menyala. Mungkin Ibu sedang berendam di dalam bathtub dengan air hangat. Aku kembali ke kamarku. Menyiapkan buku-buku pelajaran hari ini, sambil membaca-baca kembali tugas rumah yang diberikan ibu guru. Masih terlalu pagi untuk pergi mandi.
Cahaya matahari pukul enam pagi menerobos lubang ventilasi kamarku. Waktunya berangkat ke sekolah. Aku pergi ke meja makan, selepas membasuh tubuh dan mengganti pakaian dengan seragan sekolah. Tak ada nasi goreng atau roti tawar yang telah diolesi mentega. Bahkan segelas susu pun tidak tersedia di sana. Aku terpaksa harus membuat sarapan sendiri. Saat aku meninggalkan rumah, suara keran air kamar mandi di dalam kamar Ibu masih saja mengucur. Sepertinya Ibu belum selesai berendam di dalam bathtub. Sebab tak ingin terlambat, aku tak menunggu Ibu keluar dari kamar. Ayah juga masih meringkuk di dalam selimut yang tak berhasil menyembunyikan sepasang kaki milik perempuan, entah siapa.
Aku kembali dari sekolah saat matahari telah tergelincir dari singgasana hari. Pergi ke dapur mencari makan siang. Ibu biasa meninggalkannya di dalam lemari makan. Namun, siang itu tidak kutemukan apa pun di dalamnya, padahal segelas susu dan beberapa tangkup roti pagi tadi sudah terbakar menjadi tenaga. Habis kugunakan beraktivitas sejak pagi hingga siang hari.
Aku pergi mencari Ibu. Daun pintu kamarnya masih tertutup rapat. Aku mengintipnya dari lubang kunci. Kursi di depan cermin rias itu masih saja tak berpenghuni. Ayah masih terlelap di atas ranjang busa bersama seorang perempuan entah siapa. Suara keran air kamar mandi di dalam kamar itu sudah tak terdengar lagi.
Di mana Ibu? Sejak pagi tadi wanita kuning langsat itu tak ada di depan cermin rias seperti biasanya. Hanya bayangannya saja yang tertinggal di sana, tersenyum menatap ke arahku—entah luka atau bahagia. Mulai detik itu, aku tak pernah lagi melihat Ibu. Dia seperti raib meninggalkan bayangannya di dalam cermin rias berukir Jepara. Dan Ayah seperti tak mau ambil peduli.
Sejak itu aku sering menyelinap ke dalam kamar Ibu. Duduk di depan cermin rias berukir Jepara, sekedar untuk mengentaskan rasa rinduku pada Ibu. Bercerita apa saja pada bayangan Ibu di dalam cermin. Tentang kegiatan di sekolah atau kelakuan Ayah. Ayah kian sering saja kutemukan asyik meringkuk di dalam selimut yang tak pernah berhasil menyembunyikan—tak lagi hanya sepasang—dua pasang kaki, bahkan pernah juga tiga sampai empat pasang, setiap paginya. Dan aku sering ketiduran di dalam kamar Ibu dengan masih menggunakan seragan sekolah.
Suatu malam, saat aku tertidur di kamar Ibu, aku bermimpi ada seekor cicak raksasa merayapi tubuhku. Membuat aku merinding. Sia-sia aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman cicak yang tubuhnya sebesar tubuh lelaki dewasa. Yang bisa kulakukan kemudian hanya menjerit-jerit. Pagi harinya aku terbangun dengan rasa nyeri di pangkal paha. Ada bercak darah menoda di badcover yang tak lagi tertata rapi. Ayah tertidur pulas serupa bayi dua belas tahun di samping tubuhku. Tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Ada naga mendekam dalam mulutnya, membuat desah napasnya seperti semburan api yang membakar lubang pernapasanku. Kipas angin berputar pada level tiga di dalam perutku.
Demikianlah, mimpi itu kerap menyambangi tidur malamku sejak aku terbangun di pagi hari dengan nyeri di pangkal paha dan menemukan Ayah berbaring di samping tubuhku. Terkadang cicak itu mendatangi mimpiku bersama seekor kupu-kupu. Kupu-kupu di dalam mimpiku selalu berganti-ganti warna sayap. Hari ini bersayap hitam, esoknya biru. Lain waktu berwarna merah. Tak jarang, cicak raksasa itu datang bersama tiga ekor kupu-kupu sekaligus dengan warna dan rupa sayap yang beraneka ragam. Meski berbeda warna tetapi kesemuanya memiliki kepekatan yang serupa, sepekat malam tanpa cahaya bulan dan kerlip bintang. Sepertinya kupu-kupu itu memang dilahirkan untuk terbang di malam hari.
Dan aku semakin sering berdiam di depan cermin rias berukir jepara yang masih menyimpan bayangan Ibu. Bercerita tentang cicak raksasa yang selalu merayapi tubuhku serta kupu-kupu beraneka warna yang datang bersamanya, dalam mimpiku setiap malam. Hingga aku terjaga dan menemukan Ayah berbaring di samping tubuhku bersama perempuan yang berbeda-beda setiap paginya. Aku mulai berfikir kalau cermin itu telah menelan Ibu. Dan menduga bayangan di dalam cermin itu bukanlah bayangan, melainkan Ibu yang sesungguhnya. Aku sungguh tak mampu lagi menahan nyeri yang kini tak hanya kurasa di pangkal paha, tapi juga sekujur tubuhku.
Malam itu, cicak raksasa kembali mendatangi tidurku bersama ribuan ekor kupu-kupu berwarna malam. Cicak raksasa itu baru saja hendak merayapi tubuhku, sebelum aku bangkit dari atas ranjang busa. Seperti seekor naga, dia menjulurkan lidahnya, berusaha menjilat tubuhku. Aku mundur beberapa tindak. Berteriak-teriak minta pertolongan pada bayangan Ibu di dalam cermin rias berukir jepara. Namun, bayangan itu hanya memandangiku penuh iba, tanpa bisa berbuat apa-apa karena terperangkap dalam cermin. Cicak raksasa itu bersiap menyerang aku. Kuangkat kursi kayu, sebelum kuempas sekuat tenaga ke permukaan cermin rias.
Cermin itu pecah, setelah sekian lama menawan bayangan Ibu. Tapi setelah cermin itu pecah tak juga aku berhasil mengeluarkan Ibu dari dalamnya. Pecahan kaca yang terserak di lantai malah menjelmakan bayangan Ibu sebanyak jumlah pecahan kaca yang basah oleh darah.
Di atas lantai kamar, Ayah menggelepar-gelepar serupa ekor cicak yang baru terlepas dari tubuhnya. Darah menyembur seperti air mancur dari batang lehernya, mencipta genangan di lantai kamar. Aku teringat pada mimpi sesaat lalu, ketika cicak raksasa menerkamku, kusayat lehernya dengan pecahan kaca dari cermin rias. Kupu-kupu berwarna malam berhamburan keluar kamar.
***
Aku menatap bayangan diriku di permukaan sebuah kolam ikan di bawah rindang akasia. Berharap menemukan bayangan Ibu di sana. Aku sering menghabiskan waktuku duduk-duduk di tepian kolam sejak mereka membawaku ke tempat ini. Mereka tak membolehkan aku memiliki cermin di ruangan seraba putih yang menjadi tempat tinggalku kini.
”Riyana .... Ada yang ingin bertemu denganmu.” Seorang perempuan berpakaian serba putih—yang biasa menyuntikkan cairan ke dalam tubuhku setiap pagi dan petang, sebelum dia mengurungku dalam ruangan kamar yang hanya dihuni sebuah ranjang besi berwarna putih—berbisik di telingaku.
Seorang wanita kuning langsat berdiri di balik punggung perempuan berpakaian serba putih. Gelombang rambutnya beriak ditiup angin. Telaga di matanya tumpah ketika mata kami saling beradu. Melihat wanita itu, aku teringat pada bayangan Ibu. Aku merasa seperti sedang berdiri di depan cermin rias Ibu.
Rumah Cahaya, 8 Juni – 5 Juli 2006
Dimuat di Surabaya Post, 25 April 2010
 Kami berdua meng-arca. Hening. Tiada suara yang membuka cakap. Sebenarnya aku hendak jadi orang pertama yang memecah belah hening berdiam diri ini. Namun sesegera kuurungkan. Egoisme keperempuananku rupanya memilih dominan membisu saja. Maka matilah fungsi mulut beserta isinya. Hiruk pikuk warung lalapan tempe penyek di depan kampus putih ini nyatanya tak banyak andil untuk pengaruhi aksi berdiam diriku dan dia.
Kami berdua meng-arca. Hening. Tiada suara yang membuka cakap. Sebenarnya aku hendak jadi orang pertama yang memecah belah hening berdiam diri ini. Namun sesegera kuurungkan. Egoisme keperempuananku rupanya memilih dominan membisu saja. Maka matilah fungsi mulut beserta isinya. Hiruk pikuk warung lalapan tempe penyek di depan kampus putih ini nyatanya tak banyak andil untuk pengaruhi aksi berdiam diriku dan dia.ampai akhirnya ia tak lagi mematung —mungkin juga mengaku kalah. Aku tahu ia coba mencairkan suasana dengan mulai memenyet pelan-pelan tempe di hadapannya. Dan akhirnya ia juga yang pertama melepas jubah gengsinya untuk berbicara padaku. Meski sekali lagi aku paham bahwa ia sedang berusaha mencairkan suasana.
“Kau tidak campurkan sambalnya? Ntar tidak meresap loh. Tidak enak makan tempe penyet yang sambalnya tidak meresap betul,” ujarnya menatapku sambil menunjuk cobek berisi tempe dan sambal yang ada di hadapanku.
Aku masih diam. Dingin dan beku. Lumayan besar juga kegengsianku. Huh! Biar saja. Ini semua kulakukan supaya ia sadar —aku sedang marah besar padanya. Bahwa aku tidak terima permintaan konyol yang baru beberapa detik lalu ia layangkan padaku. Terlebih ia ungkapkan pada saat sedang merayakan satu semester awal pernikahan kami.
“Ayolah Ratna, jangan begitu. Masa kau mau mendiamkanku seperti ini? Aku tahu apa yang kuminta barusan sangatlah menyakitimu. Tapi aku tidak berdaya. Aku harus bertanggung jawab Ratna. Aku ini ayah dari bayi yang sedang ia kandung sekarang. Dan aku harus melakukannya jika aku mau bayi itu nanti memakai namaku di belakang namanya. Tolonglah. Mengerti posisiku sekarang,” sambungnya putus asa menghadapi keacuhanku.
“Mengerti?! Mengerti kamu bilang kak? Wanita mana kak yang mau mengerti dan membiarkan suaminya pergi selama sebulan menemui wanita lain hah?! Apalagi wanita itu mantan istrinya!”
Amarahku kini berada di ujung paling atas kepala yang mendidih-didih. Emosi yang hampir berhasil kunetralisir tadi, membuncah lagi. Kalimat yang paling tidak ingin kudengar, terus-menerus ia keluarkan tanpa peduli nyala mataku yang segera akan membakarnya. Ingin rasanya kuteriaki dan kuserapahi ia di tempat ini. Biar tak bisa ia mengangkat muka karena menahan malu. Namun, entahlah! Tak kulakukan. Kepalaku masih menyimpan jernih di antara asap hasil bakar-membakar tadi. Walau bagaimanapun ia tetap suamiku.
Bisa kutangkap gerakan kepalanya yang terperangah. Matanya menciut. Seakan tak percaya. Aku yang selama ini dikenalnya lemah lembut dapat berbicara sekeras itu di depannya. Di tempat umum pula.
Hmm! Itu baru kau tahu siapa aku!
“Pokoknya aku tidak mau tahu. Kau tak boleh pergi. Tidak akan pernah. Apa sih maunya wanita itu? Mengapa ia tidak katakan padamu dulu kalau dia tengah mengandung anakmu? Mengapa setelah kalian resmi bercerai dan kau menikahiku selama enam bulan ini baru dia menuntutmu bertanggung jawab?!”
Aku benci sekali wanita itu —aku sengaja menyebutnya ‘wanita itu’ karena tak mau menyebut namanya. Aku tahu rencananya memaksa suamiku menemaninya hingga melahirkan. Ia tentu mau merebut suamiku dariku. Maka kulminasi dari adu emosiku dan laki-laki di hadapanku ini adalah airmataku yang mulai tumpah. Kekuatan terakhir wanita ini kupilih juga untuk menunjukkan betapa sakitnya hatiku. Aku lalu menantang tatapannya padaku. Ingin kutunjukkan bahwa keputusanku tak bisa diganggu gugat. Tidak akan pernah.
“Aku kecewa padamu Ratna. Aku pikir kau akan mengerti karena kau juga seorang wanita. Wanita yang butuh perhatian ayah dari bayi yang dikandungnya. Dari masa kehamilannya hingga melahirkan. Tapi ternyata aku salah. Jiwa keibuan dan keibaanmu rupanya tidak ada sama sekali. Jujur Ratna, aku kecewa padamu.”
Ia meraih ranselnya di atas meja dan melangkah pergi tanpa memandangku. Meninggalkanku sendiri di warung lalapan ini.
“Aku bukan tidak mau mengerti kak. Aku hanya takut kau tidak akan kembali lagi setelah kau bersamanya. Aku khawatir ia akan membuatmu jatuh cinta lagi dan akhirnya kau akan kembali ke pelukannya. Meninggalkanku yang tidak akan pernah bisa memberimu buah hati,” lirihku memandangi sepeda motornya yang telah meninggalkan warung lalapan ini.
Aku tidak pulang semalam. Menginap di rumah Dina—sahabatku— kurasa pilihan tepat. Aku butuh ketenangan. Juga, aku belum mau bertemu muka dengan suamiku. Aku butuh waktu untuk keinginannya. Dan pertanyaan yang terus mengiangiku adalah, haruskah kubiarkan ia menemui wanita itu? Egoiskah aku pabila tidak mengizinkannya bertanggung jawab atas bayi dalam perut wanita itu?
Di tengah kegalauan itu, sekoyong-koyong aku terlempar pada kejadian delapan bulan silam. Wanita itu memergokiku sedang candle light dinner dan bermesraan dengan suaminya. Aku memaksa suaminya menceraikannya dan kemudian menikahiku. Aku mengancamnya menjauh dari kehidupan mantan suaminya yang telah resmi menjadi suamiku.
Seketika tubuhku gemetar. Peluh membasahiku di pagi yang masih berembun ini. Aku tiba-tiba merasa betapa jahatnya aku. Betapa tak tahu dirinya. Merebut suaminya dulu dan kini tak merelakan wanita itu sedikit menikmati kebahagiaan ditemani ayah bayi yang dikandungnyanya. Meskipun mungkin hanya sebulan kebahagiaan itu ia kecap.
Maka, haruskah aku mengizinkan suamiku menemaninya?
Belum sempat terjawab pertanyaan itu, seseorang mengetuk pintu rumah temanku.
“Siapa yang bertamu sepagi ini?” Igau temanku setengah sadar dari tidurnya. Ia hendak berdiri tapi kucegah. Biar aku lihat siapa yang bertamu.
Tamu pagi-pagi itu memang dia. Suamiku. Aku tidak perlu kaget karena aku tahu ia akan mencariku di sini. Tampangnya kusut. Pakaian yang ia kenakan pun pakaian semalam.
“Ratna aku tidak akan menemuinya. Aku tidak akan melakukan itu jika kau memang tidak mengizinkannya. Maafkan aku karena telah membuatmu marah.”
Ia kemudian membenamkanku yang kaget di dadanya. Pikirku ia masih akan memintaku mengerti dan mengizinkannya pergi. Aku senang sekali karena ia memilihku ketimbang menemui wanita itu. Namun entah mengapa aku lalu berkata, “Pergilah...”
Pelan kata itu meluncur dari bibirku. Aku melepas rangkulannya. Kudapati ia kaget dengan apa yang didengarnya. Tapi bukan hanya ia yang kaget. Aku pun kaget. Aku heran, entah mengapa kuizinkan ia pergi.
“Apa aku tidak salah dengar Ratna? Kau mengizinkanku menemuinya? Benarkah itu Ratna?”
Aku melihat mentari di hitam bola matanya. Ia memastikan kembali apa yang kuucap tadi. Dan entah mengapa, aku mengangguk lagi.
“Ah... terima kasih Ratna. Terima kasih. Aku tahu kau pasti akan mengerti. Aku tahu itu.”
Ia tertawa renyah dan kembali akan memelukku. Tapi cepat kucegat.
“Tunggu dulu! Jangan senang dulu. Aku memang mengizinkanmu pergi kak. Tapi kau harus berjanji akan segera kembali setelah wanita itu melahirkan. Kau tak boleh berlama-lama di sana. Maukah kau berjanji padaku kak?”
“Tentu saja Ratna. Aku janji. Aku akan segera kembali padamu setelah ia melahirkan,” serunya girang dan langsung memelukku walau masih kucegah.
Aku mungkin wanita terbodoh sedunia. Wanita tertolol. Satu-satunya wanita yang mengizinkan suaminya bersama mantan istrinya selama sebulan. Tapi itulah yang kulakukan. Dan entah mengapa aku merasa lapang telah bersikap begitu.
Dua bulan sudah suamiku pergi. Desas-desus beberapa kenalan telah memberitahuku bahwa wanita itu kini jadi ibu. Posisi yang tak mungkin kutempati. Dua bulan bakda pertarungan retorikaku dan ia yang bermuara pada pemberian izinku, suamiku belum juga memenuhi janji di rumah Dina di pagi yang aneh itu. Yah! pagi yang aneh di kala firasatku yakin ini pasti terjadi. Dan pikiran anehku kembali berkata “Ia tak akan mungkin meninggalkan wanita yang mencatut namanya di pangkal nama anak itu dan kembali padaku, wanita yang tidak pernah akan memberinya bahagia itu”.
Makassar, November 2009
Dimuat di  Jurnal Bogor, 02/05/2010
1959, katanya, ketika mereka bertanya kapan Sukarno menyemburkan kata-kata yang entah sudah dipersiapkan sebelumnya atau tidak (ah, saat itu: orang-orang tak peduli itu!) telah membuat beberapa negara di semenanjung Magribi membentang bahu, memutus rerantai yang selama ini melingkar di leher gunung, mengebat pepohon, memecut pemukiman, dan menyerakkan gandum dan beras di berbagai sudut. Bebas!
Tentulah kata-kata di atas podium nasionalis itu tak usah disetatarkan dengan si Sosialis, Che, yang berhasil melambungkan Kuba sebelum Fidel Castro memegang kartu atas semua kebijakan-kebijakan yang-katanya demi independensi Latin-entah, apakah iya atau tidak, rakyatnya merasakan kebebasan serupa Brunei Darusalam. Bebas yang takzim. Bebas yang mengalir. Apa asal-muasalnya hingga terbang seperti elang jadi mutumanikam yang diburu-buru?
Dayang Torek merasuki sekali kata itu: Bebas!. Bukan, bukan karena ia adalah putri yang pernah hidup di masa Islam belum menyambangi Nusantara, apalagi Ulaklebar-tanah tempat ia dilahir-besarkan. Lebih dari itu, Dayang Torek paham benar bagaimana nikmatnya lepas dari pasungan. Cukuplah raja dari Tanah Melayu itu yang pernah membuatnya merasakan kerinduan yang sangat. Cukuplah Nyongang saja yang membuatnya serasa di jeruji negeri Nirmala yang berlapis tujuh. Oh, bila saja Nyongang tak membunuh putranya dengan taji-jago, mungkin kini ia tak harus bernostalgia dengan kenangan ketika memutuskan turun ke bumi setelah ratusan tahun menyingkir dari manusia.
Dalam mimpi Sukarno-yang waktu itu dikira Dayang Torek adalah Gindo Ulak Dalam, Dayang Torek hadir dan berbicara (atau juga mempertanyakan) padanya perihal nikmatnya menentang negeri-negeri yang sebenarnya sangat banyak didekati oleh para perdana menteri, kaisar, raja, dan pangeran…
Mereka tak mendekati pesirah-pesirah, kan?, itu jawaban Sukarno.
Dayang Torek tertawa, sebelum berlalu-terbang ke balik awan-awan yang berarak tanpa tergesa-gesa. Ah, Silampari….
Dayang Torek teramat sangat merindukan Gindo Ulak Dalam. Laki-laki yang saking sayangnya ia, hingga ia memanggilnya Bapak. Bapak? Ya, Dayang Torek tak tahu (atau tak sebenar yakin), benarkah lelaki yang sangat mengayominya itu adalah seseorang yang dahulu bertindih-tindihan dengan seorang wanita yang menyilakannya berselancar dari gorong-gorong di antara kedua bonggol pahanya? Oh, siapa nama wanita itu? Atau dia hanya selir seorang Gindo…?
***
APA sebab Che Guevara merasa perlu bergerilya di hutan-hutan pinus Amerika demi (ataukah boleh ditulis “hanya demi”?) sebuah popularitas di abad-abad berikutnya-paling tidak satu abad setelah itu?! Oh, perkaranya bukan kesengajaan agar orang-orang banyak mengenakan pakaian yang berlukiskan siluet wajahnya dengan jambang yang setengah subur dan topi khasnya. Sama seperti Sukarno mungkin, yang tiada berpikir bahwa pidatonya akan membakar negara-negara lain untuk menerjang sangkar beton! Atau serupa cerita lama tentang si Bandung Bondowoso yang mendirikan 99 candi dalam semalam hanya demi Roro Jongrang. Atau juga bagaimana si Bujang Kurap yang tak pernah berdoa akan ditakdirkan kurap-walaupun penduduk senantiasa memuji keelokan budinya, hinga kini.
Dayang Torek?!
Ini bukan perkara bebas-membebas. Ini juga bukan perkara kenang-mengenang. Ini perkara putri yang hilang. Lalu hidup lagi. Mungkin-atau anggap sajalah-putri ini bereinkarnasi sejak 1900-an. Ketika Lamuri, Jayakarta, Jayaloka, dan Ternate-Tidore, masih termasyhur di seantero serpihan pulau di laut sebelah bawah Asia, sebelah tenggara. Ya, siapalah yang merasa puas bila salah satu putri dari Selatan itu hanya dikenang sebagai putri yang hilang. Sungguh berbeda dengan (cerita) Zulaikha, Putri Nilam Sari, Diah Pitaloka, Cleopatra, atau Dayang Sumbi sekalipun. Oh!
Dan, permulaan perkara pun belum ditutup. Ketika putri itu turun ke bumi, tidaklah mudah baginya mengenali Lubuklinggau dan Musirawas dalam peta. Oh lupakah, kau. Zaman dulu, angin, matahari, dan bintanglah, yang jadi penunjuk waktu, cuaca, dan nasib! Sumatera pula masih serupa huruf L yang sedikit mengot. Kini, tentulah Dayang Torek sedikit terkejut mendapati Selat Sunda sudah membelah ranah kelahirannya.
Maka, dimahfumkanlah kiranya, bila Dayang Torek pun beterbangan di atas sungai dan lembah Amazon, Pegunungan Ural, Tembok Ya’juj Ma’juj…. Pun ketika melewati sebuah kota yang nampaknya baru berbenah, dan melihat seorang wibawa yang tengah berseru di sana, ia tak sadar bahwa itu dulu Jayakarta. Bahkan ia sempat mampir di Monako, ketika mendapati negeri itu masih monarki; kerajaan serupa masa hidupnya.
Tapi tiadalah menjadi abu saja tungku-tungku yang terlempar dalam nyala-nyala seperseribu neraka, bukan? Ya, dari sana, Dayang Torek belajar apa itu arti kebebasan. Bukankah terbangnya ia-setelah kecewa karena Nyongang membunuh bayinya-adalah sebuah kebebasan? Tidak!
Masih kanak-kanakkah Dayang Torek ketika memimpikan Che, Sukarno, Dayang Sumbi, Bujang Kurap….? Tiada yang akan menganggukkan kepala atas tanya itu ketika berhadapan dengan sebuah kenyataan: Dayang Torek adalah perempuan yang akhirnya paham siapa itu R.A. Kartini-yang bahkan ia masih mendebatkan, benar niankah perempuan Jepara patut diagung-agungkan? Dayang Torek pula akhirnya tahu betapa tak enaknya menjadi seorang Mahaputri serupa Lady Diana (ia sempat tersentak; ternyata ada yang pernah mengalahkan keagungan namanya!), atau mengetahui rahasia di balik ‘kepergian’ seorang Michael Jackson (Dayang Torek pula membatin; tak penting berkabung! Telahkah benar-benar kau lihat mayit si Muka Pucat itu!). Namun, akhirnya Dayang Torek belajar bagaimana memahami sebuah keelokan hidup dapat dikecap-nikmat tak tepermanai!
***
Lama. Lama memang, si Putri itu mempelajari seluk-beluk ekuilibrium (sebuah kehidupan adalah bak pasar yang senantiasa ramai, pikuk, dan sesak, bila rata yang mana selatan yang mana utara), mempelajari homeostatis ketika melihat Amerika, Bangladesh dan Srilanka-atau juga Indonesia, seolah saling melengkapi untuk sebuah predikat: Makmur-Miskin!
Lama memang menghayati sebuah keadaan yang dapat dirasai dan diperitabiati dengan setakzim-takzimnya. Tentulah bukan dengan berbijak-bijakan seperti seorang presiden sebuah negeri yang begitu teratur kata-katanya (kini Dayang Torek mengerti arti ucapannya). Tentu juga bukan bagaimana Ayatullah Khomenei menyeru demi sebuah penentangan kekuatan yang memang selayaknya sudah mampus di jagat raya-serupa runtuhnya kedidayaan Athena, Romawi, Uni Soviet, dan Mesopotamia, dulu.
Lama. Ya, waktu yang berjalan terburu-buru, yang berlari menuju langit, dan akhirnya menuntunnya tertunduk di sana (entah lapis langit keberapa, Dayang Torek lupa), ia lihat dengan sendirinya ada semacam kursi-yang tentu saja bukan kursi, yang berkilau-kilau (ia iri dengan laki-laki yang dipanggil Muhammad itu; bagaimana ia dapat melihat-Nya dengan kelopak mata yang terbuka penuh?!!). Dan… di sinilah Dayang Torek dapat tertawa dengan sebenar lepas. Ia melihat orang-orang yang awalnya aneh, dan membuatnya iri, tentang sebuah kebahagiaan akan kebebasan (atau ada hal yang lebih penting dari itu?!). Si putri tak lagi merasa perlu beriri-hati dengan Sukarno, Che, Bujang Kurap, Dayang Sumbi, Lady Diana, apalagi Michael Jackson…. Oh, adakah yang lebih luarbiasa selain melihat surga dan neraka di depan mata? Tentulah jauh lebih maha bila ia dapat memutuskan bahwa yang sebelah kananlah tempatnya berlabuh.
O tunggu! Ini bukan perkara orang-orang-yang awalnya ia kagumi-terjerengkang dalam belanga api yang ia lupa di mana tempatnya. Ini perkara karang-mengarang cerita tentang rupa-rupa hal: tentang kebaikan, keburukan, kebebasan (atau independensi!), ekuilibrium (atau juga homeostatis!), bahkan juga tentang keberadaan (atau eksistensi) yang sejatinya ia memang tidak ada. Mmm… bagi Dayang Torek, tak adalah mitos-mitosan itu. Hitam-putih. Khatam!
***
Tentulah banyak yang berwangi-mimpi tentang turunan sebuah pepatah: Manusia mati meninggalkan nama. Ya, adalah lebih elok memimpikan sesuatu yang seolah-olah bila diri benar-benar mati, dan diri benar-benar dikenang abadi, maka alamatnya adalah hidup senang di alam setelah mati! Puihh!!!
Dayang Torek tertawa. Air matanya bertumpahan. Ada yang berlaku tak selayaknya. Entah, apakah ia berbangga-bangga dengan sebuah kemampuan menyingkap rahasia, atau bermuram-kelam karena sudah tahu alamat diri di akhir masa bumi, atau pula tak peduli lagi dengan “nama” wanita yang menghidupinya dalam rumah bundar di perutnya ratusan tahun silam. Oh, mungkin kini Dayang Torek lebih khusyuk meratapi nasib bangsa-bangsa Sukarno, pengikut Che, pemercaya Bujang Kurap, pendongeng Roro Jongrang, penyembah Kursi….
Dayang Torek masih berkelana. Entah, sampai kapan.***
/Lubuklinggau, Juni 2009 s.d. Jakarta, April 2010
Catatan:
1) Pada 1959, Sukarno berpidato di Jakata. Setelah itu, beberapa negara Afrika merdeka (memerdekakan diri dengan segenap perjuangannya)
2) Dayang Torek adalah putri yang hilang dalam cerita legenda Lubuklinggau-Musirawas. Dayang Torek memiliki ayah yang bernama Gindo Ulak Dalam dan seorang adik yang bernama Nyongang, yang tinggal di Ulaklebar. Dayang Torek sempat diculik Raja Palembang untuk dinikahi (entah mungkin juga hanya dikawini), dan melahirkan seorang bayi. Karena tahu Kakaknya hidup tak bahagia di Tanah Melayu (Palembang), Nyongang melarikan Dayang Torek. Dalam pelarian tersebut Nyongang sengaja membunuh bayi Dayang Torek. Dayang Torek kecewa dan pergi ke balik Bukit Sulap. Hilang. Terkenallah ia dengan sebutan Silam Pari; putri yang hilang. Hingga kini Lubuklinggau-Musirawas masih kerap disebut Bumi Silampari (bukan Silam Pari). (Sumber: Naskah “Asal Mula Bumi Silampari”, gubahan Rusmana Dewi)
3) Bujang Kurap juga salah satu cerita legenda dari Lubuklinggau-Musirawas. Dari kecil hingga dewasa-dan meninggal, si pemuda mengidap penyakit kulit (kurap). Namun, di masa itu, Bujang Kurap lebih dikenal sebagai pemuda yang sakti dan baik hati. (Sumber: Naskah-naskah “Bujang Kurap” yang ditulis Drs. Suwandi, sejak 1983).
Dimuat di Padang Ekspres, 2 Mei 2010
 Sewaktu M datang ke kantorku dan tanpa ragu-ragu bilang dia adalah makelar, aku masih mengerutkan kening. Bukan karena aku ragu akan kehebatannya sebagai makelar (toh aku juga tidak tahu dia jadi makelar apa, melihat gayanya pasti dia makelar tanah), tetapi siapa sosok bertubuh tambun ini? Dari langit mana dia muncul, dan tiba-tiba saja sudah berada di hadapanku? Mengapa pula dia tak mau memberitahukan nama aslinya kecuali inisialnya : M.
Sewaktu M datang ke kantorku dan tanpa ragu-ragu bilang dia adalah makelar, aku masih mengerutkan kening. Bukan karena aku ragu akan kehebatannya sebagai makelar (toh aku juga tidak tahu dia jadi makelar apa, melihat gayanya pasti dia makelar tanah), tetapi siapa sosok bertubuh tambun ini? Dari langit mana dia muncul, dan tiba-tiba saja sudah berada di hadapanku? Mengapa pula dia tak mau memberitahukan nama aslinya kecuali inisialnya : M.“Maaf, saudara siapa?” tanyaku akhirnya, lega karena berhasil menembus pertahanan gerilya kata-katanya.
M terhenyak. Keningnya berkerut. Bola matanya memutar sebelum memandangku lekat, tajam, juga terbersit sinar kecewa. “Kau tidak mengenalku?”
Ah, aku yang jadi sedikit gugup sekarang, merasa ditelanjangi pula karena tatapan itu membuatku seketika menjadi invalid. Akhirnya jalan terbaik hanya pura-pura tertawa sambil memeras ingatanku. “Tahu sendirilah, usiaku sekarang sudah hampir lima puluh tahun.”
Dari sikap herannya, M tertawa lepas. Aku menghirup udara lega. Suaranya tidak setegang tadi. “Tak berbeda denganku, Kawan… kita hanya terpaut dua bulan. Lebih tua aku. Meski berjarak dua bulan, harusnya kau memanggil aku kakak.”
Lagi aku tertawa dan menyakini kalau itu sebuah gurauan manis. Tetapi degup dadaku makin berkobar, rasa penasaranku mulai menggumpal dan tetap ingatanku tak mampu menembus ruang gelap mencari sosok M. Apakah dia bersembunyi di antara ribuan ingatan yang tak mau lagi kuingat?
“Kita berkenalan di Jogya. Saat itu usia kita baru dua puluh tiga tahun. Kau baru saja lulus kuliah, sementara aku harus menunggu dua tahun kemudian. Maklumlah, kau dikenal cerdas sementara aku lumayan akhirnya dapat ijazah pula. Lebih baik dari orang-orang yang memalsukan ijazah demi mendapatkan kedudukan, bukan? Eh, sudah kau ingat itu?”
Kali ini ingatan bukan hanya kuperas, tetapi juga berenang jauh lebih dalam, mencoba menguak tabir yang entah kenapa terasa kian menghitam.
“Fikom!” serunya tiba-tiba, seperti tahu kalau kebingunganku. Ah, aku jadi malu sendiri mengingat kalau dia tahu kebingunganku. “Kau ingat sekarang?”
Menyeruak semua ingatan teman-teman di Fakultas Komunikasi dulu. Tetapi, di mana sosok M? Mengapa dia tak muncul juga meski air keruh itu sudah kubeningkan. Tetap rasanya seperti mencari bocah kecil yang terpisah di seputar Monumen Nasional.
M terus memberikan gambaran demi gambaran tentang dirinya dan diriku, berapi-api, penuh semangat. Sampai kemudian aku terhenyak. “Ya Tuhan!! Iya, iya! Aku ingat!!”
M tertawa puas, dia berdiri dan merangkulku penuh bahagia.
“Akhirnya, aku bertemu lagi sahabat lamaku,” ujarnya setelah kami duduk kembali. “Kau tahu, aku sempat kaget karena kau tak mengenaliku lagi.”
Aku hanya tertawa. Tetapi batinku merentak tanya, di mana aku pernah mengenal M?
***
M muncul lagi dua hari kemudian, saat itu aku baru saja hendak keluar kantor dan sisa kegarangan matahari siang tadi masih terasa. Dia langsung berteriak, “Hariiiiiii!”
Nyaris aku terserimpung tangga depan kantorku karena teriakan itu melebihi kerasnya para anggota ketika menggebah nenek berusia 78 tahun yang menjual buah di tepi jalan. Astaga! Apakah dia tidak tahu kalau jantungku bisa kumat? M berlari mendekatiku, dan langsung menarikku menuju mobilku. Layaknya presiden yang diamankan oleh para pengawalnya, M nampak bersiaga penuh, wajahnya tegang, matanya berkeliaran seolah ada wabah kolera yang tiba-tiba menyerang.
“Buka! Cepat buka!”
Aku bingung. “Apa yang harus kubuka?”
“Ya ampuuun! Pintu mobilmu!”
“Tapi…”
“Tidak ada tapi! Cepat kaubuka pintu mobilmu! Kita harus segera menjauh dari sini!” Ketika aku mau berkata lagi, M tiba-tiba membentakku, “Cepaaaat!!”
Seperti bentakan bapakku ketika aku masih kecil yang tak bisa dibantah, aku langsung membuka pintu mobil. M pun segera duduk di sebelahku sambil menyuruhku menggebah mobilku pergi dari sana. Setelah menjauh dari kantorku, M baru menghela napas lega. Dia menyandarkan tubuhnya seolah baru saja berhasil lolos dari Koja ketika keributan makam Mbah Priok terjadi.
Aku yang penasaran sekarang. “Ada apa sebenarnya?” M tak segera menjawab, masih mengatur napasnya. Aku jadi makin penasaran. “Katakan, ada apa?”
Masih bersandar M melirikku, lalu meluruhkan tubuhnya. Matanya tajam, serius. Bibirnya mengatup rapat sebelum berucap, “Kau telah kuselamatkan hari ini.”
“Iya, dari bahaya apa?”
“Besok kau akan tahu dari bahaya apa kau kuselamatkan?” Aku mau buka mulut lagi, tetapi dia sudah menutup pembicaraan. “Besok kautanyakan pada orang-orang di kantormu.”
Tak perlu menunggu besok, setiba di rumah, kutelepon kantorku. Aku harus segera tahu jawabannya, aku tak mau dipusingkan dengan hal-hal yang tak kumengerti. Aku jadi ingat, betapa banyaknya orang yang berteriak tentang kasus-kasus raksasa yang belum juga terkuak, dengan jenis langgam suara berbeda-beda. Tidak perlulah sibuk memikirkan Century, kasus penggelapan panjak dan pecah genderang ketika Koja membara, siapa M sebenarnya saja masih menggantung di awan hitam.
Security yang bertugas malam menjawab kalau tak ada peristiwa apa-apa di kantor. Semua aman seperti biasa. Aku tak puas, kutanya sekali lagi, dan jawabannya tetap sama. Lantas, apa yang dimaksud M kalau aku terbebas dari bahaya?
“Sudah kubilang, besok… itu berarti hari ini. Bukan kemarin,” katanya separuh jengkel ketika tahu-tahu keesokan paginya dia muncul di rumahku. Astaga! Dari mana dia tahu rumahku? Seperti tahu apa yang kupikirkan, dia enteng berkata, “Mencari alamat orang besar di negeri ini gampang. Hanya untuk masuk ke sana yang susah, gemboknya ada 17 buah, belum lagi anjing-anjing penjaganya. Beruntunglah aku, punya sahabat seperti kau ini. Orang besar tapi tetap membuka pintu untuk rakyat. Sudahlah, cepat naiklah ke mobilmu… pergi ke kantormu dan lihat apa yang terjadi.”
Sepanjang perjalananku, hatiku tak tenang. Ada gigitan-gigitan kecil yang membuat penasaranku kian berombak. Setiba di kantor, langsung kutanyakan pada para karyawanku, apa yang terjadi kemarin. Mereka pun sigap menjawab, tangkas berucap, tetapi semua jawaban adalah seputar pekerjaan mereka kemarin. Aku jadi bingung.
“Bukan itu yang saya tanyakan!”
Semua terdiam. Masing-masing pemilik mata berpandangan bingung. Lalu salah seorang, berhati-hati bertanya, “Maksud Pak Hari, kejadian apa, Pak?”
Justru aku yang tidak tahu kejadian apa, bukankah aku bertanya? Akhirnya mereka kububarkan, dan aku tahu mereka keluar dari ruanganku dengan segudang pertanyaan di benak masing-masing.
Saat itulah M menyelinap masuk. “Bagaimana?”
Aku jadi kesal, karena merasa dipermainkan. “Apanya yang bagaimana? Tak seorang pun yang memberitahu ada kejadian apa kemarin, kecuali hasil pekerjaan mereka.”
“Nah, di sinilah letak kebohongannya.”
“Kebohongan apa?” aku merasa tak mampu lagi menahan jengkelku. Apalagi ketika aku ingat, aku tidak mengenal M. Kalau pun waktu itu kubilang aku ingat padanya, biar dia pergi dari hadapanku dan urusan selesai.
“Mereka pasti tak mau mengatakan tentang kebenaran.”
“Jangan berbelit-belit! Kebenaran apa?”
M malah tertawa. “Kau masih saja seperti dulu, tetap panasan dan penasaran.”
Aku mengeluh. Kalau saja dia tahu, betapa bencinya aku sekarang melihat caranya tertawa, aku yakin, dia pasti tak akan berani tertawa di depanku. Kulunakan suaraku, “Katakan….”
“Kau masuk daftar hitam penerima uang. Jangan kaubantah dulu! Aku yakin kau akan bilang tidak, karena aku tau kau bersih. Tapi ingat, sekarang ini semuanya lagi edan-edanan. Siapa pun bisa ditarik masuk dan didorong keluar. Kau yang ditarik masuk dan dikait-kaitkan dengan kasus penggelapan pajak. Bisa jadi…”
“Kata siapa?” akhirnya aku tak tahan juga. Napasku mulai tersengal karena bingung dan tegang.
“Tak perlulah bertanya. Aku tahu apa yang bakalan terjadi. Bila kau tidak mengambil tindakan, kau akan terseret arus selokan busuk. Ingat, tak ada selokan yang wangi di negeri ini… semua akan bertambah busuk dan terus membusuk.”
Keringat tanpa diundang telah merajai wajahku melihat betapa seriusnya M berucap. Kuhapus dengan punggung tangan. Geliat gelisah dan penasaran terus memancang tinggi. “Apa yang harus kulakukan?”
“Beri aku sejumlah dana, akan kuurus semuanya. Ingat, aku ini makelar.”
“Tapi… aku tidak terlibat apa-apa.”
“Katamu kau tak terlibat… tapi kau ingat kan, ada pemuda yang digebukin sampai bonyok ketika lewat di sebuah kompleks orang-orang bertubuh tegap dan dituduh maling sepeda? Dia dipaksa untuk mengaku! Apa kaupikir dia terlibat? Atau kaupikir dia memang malingnya? Tidak seperti itu! Kau pun bisa bonyok karena dipaksa harus mengaku! Nah, kalau kau mau aman, lewat jalanku.”
Keringat semakin mengguyur wajahku. Kutatap M yang memandangku penuh rasa kasihan. Pelan akhirnya kuanggukkan kepalaku tanda setuju. M tersenyum puas. Meminta sejumlah uang yang akan membebaskanku dari segala tuduhan. Lagi kuanggukan kepala. Kuminta M datang besok pagi. Setengah jam kemudian M meninggalkan ruanganku setelah memberi wejangan panjang.
Sepeninggal M, kuhapus keringatku. Kutarik napas panjang lalu kukeluarkan perlahan. Dengan sikap setenang sebelum kedatangan M, kuangkat telepon. “Selamat siang… saya mau melaporkan Tuan Markus yang sebenarnya….”***
Mutiara Duta, 18 April 2010
Subscribe to NewsLetter
Get the latest updates via EmailService provided by FeedBurner
Arsip
Label
- FLP Aceh (14)
- FLP Amerika (2)
- FLP Bandung (8)
- FLP DKI (27)
- FLP Depok (41)
- FLP Lampung (1)
- FLP Lampung Timur (3)
- FLP Lubuklinggau (58)
- FLP Padang (4)
- FLP Pekalongan (2)
- FLP Sumbar (12)
- K: Batam Pos (5)
- K: Berita Pagi (2)
- K: Femina (1)
- K: Jawa Pos (14)
- K: Jurnal Bogor (6)
- K: Kedaulatan Rakyat (1)
- K: Kompas (8)
- K: Lampung Post (9)
- K: Media Indonesia (4)
- K: Nova (2)
- K: Padang Ekspres (3)
- K: Pikiran Rakyat (5)
- K: Republika (35)
- K: Riau Pos (5)
- K: Seputar Indonesia (2)
- K: Sriwijaya Post (1)
- K: Suara Karya (10)
- K: Suara Merdeka (9)
- K: Suara Pembaruan (22)
- K: Surabaya Post (12)
- K: The Jakarta Post (7)
- K: Tribun Jakarta (1)
- M: Gong (1)
- M: Sabili (3)






