Terompet Tanduk Kerbau
Kamis, 13 Mei 2010 by: Forum Lingkar PenaCerpen Denny Prabowo
Dear Jingga
Jika suatu hari engkau berkunjung ke Danau Toba, engkau akan melintasi sebuah hutan lindung bernama Sibatu Loting. Di kawasan yang masuk wilayah hutan Sibaganding, kabupaten Simalungun itu hidup seorang peladang bernama Umar Manik. Dia hidup bersama istri dan seorang anak balitanya.
Bukan sebuah kebetulan kalau aku kemudian mengenal Pak Manik dan keluarganya. Lewat suratku terdahulu, aku sudah mengabarkan kepadamu tentang tujuan perjalananku kali ini. Ya, setelah beberapa waktu lalu aku singgah di Sumatra Barat untuk menjejakkan kaki di setapak-setapak Gunung Singgalang serta Merapi, aku melanjutkan perjalananku menuju Sumatera Utara. Kali ini tidak untuk mendaki puncak gunung, tapi menyambangi sebuah danau vulkanik kebanggaan masyarakat Sumatera Utara yang terbentuk 75 ribu tahun silam itu, Danau Toba. Aku ingin sekali bersampan di atas danau itu, dan menginap di pulau Samosir.
Bus yang kutumpangi sedang menepi. Sesaat setelah roda depannya menggilas seekor monyet. Yang mungkin sudah kehilangan akalnya karena kelaparan. Sehingga nekat melompat dari cecabang pohon, dan mendarat tepat di tengah-tengah jalan. Seperti hendak menghadang laju bus yang kutumpangi. Dalam radius 1 kilometer monyet-monyet itu memenuhi bahu jalan Prapat-Simalungun yang melintasi hutan Sibatu Loting. Menadahkan tangan, mengharap belas kasihan para pengguna jalan, sehingga tergerak hati mereka untuk melemparkan makanan. Sekedar kacang. Kalau cukup beruntung satu atau dua buah pisang meloncat dari jendela, dan monyet-monyet itu akan saling berebutan mendapatkannya.
Sampai aku menuliskan surat ini kepadamu, masih membayang raut tegang sopir bus yang kutumpangi. Melindas monyet di tempat itu, sama dengan mengundang kesialan berkepanjangan. Betapa pun itu bukan sebuah kesengajaan. Hanya dengan mengubur monyet itu bersama pakaian yang dikenakan ketika menabraknya, dipercaya akan menjauhkan dari kesialan.
Kernet bus yang kutumpangi segera turun mengeluarkan kera malang dari kolong bus. Tak perlu kuceritakan bagaiman kondisi kera itu setelah tubuhnya terhimpit di antara roda bus dan aspal jalanan, sebab hanya akan membuat nafsu makanmu hilang hingga beberapa pekan.
Aku turun dari bus, bermaksud membantu kernet bus menguburkan kera naas itu, ketika lamat-lamat kudengar suara mengenta mengembara bersama angin, sampai ke telingaku. Seketika itu, monyet-monyet yang tengah berebut makanan yang dilemparkan penumpang dari atas bus yang kutumpangi menolehkan kepalanya ke arah hutan. Berlomba-lomba meraih cecabang pohon, berlompatan dari satu ranting ke ranting yang lainnya. Dan menghilang di rerimbun hutan Sibatu Loting. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Suara itu serupa magnet yang menyirap batang-batang besi.
”Waktunya makan,” ucap kernet itu sambil mulai melinggis tanah, dengan besi pengungkit dongkrak, seperti tahu yang tengah bermain di kepalaku.
”Makan?” Aku mulai membantu mengeduk tanah-tanah yang dilinggis kernet itu.
”Suara terompet itu berasal dari Stasiun 23, pusat konservasi monyet. Itu suara terompet milik Pak Manik. Terompet tanduk kerbau. Dia selalu meniupkannya setiap kali hendak memberi makan kera-kera liar di hutan ini.”
Sebuah lubang seukuran tubuh kera yang tergilas bus mengangga, setelah beberapa kali dihujam besi pengait dongkrak sepanjang rentangan tangan leleki dewasa. Segera kami merebahkan tubuh kera naas itu ke dalamnya, setelah lebih dulu membungkusnya dengan pakaian sopir bus. Lalu menguruknya dengan tanah bekas galian.
”Seberapa jauh tempat itu dari sini.”
”Tidak berapa jauh. Kira-kira seperempat jam dengan berjalan kaki.”
Begitulah, setelah aku mengambil tas kerilku, kulangkahkan kaki mengikuti petunjuk kernet bus menyusuri setapak yang membelah rerimbun hutan Sibatu Loting. Aku memutuskan menunda kepergianku ke Prapat yang hanya berjarak delapan kilometer lagi dari tempat ini. Suara terompet itu membuat aku serupa monyet lapar tersirap irama magis yang keluar dari lubang tanduk kerbau milik Pak Manik.
Setelah lima belas menit menyusuri setapak, sampai juga aku di sebuah lahan terbuka. Taman Monyet, begitu papan nama yang tergantung di atas pintu masuk. Aku menyerahkan selembar uang lima ribuan kepada seorang pria penjaga loket, sebelum pria itu menyodorkan sebuah tiket dan dua lembar ribuan sebagai kembalian. Aku melirik harga tiket yang tercetak pada permukaan tiket. Di sana tertulis nominal Rp 2500. ”Tak ada kembaliannya,” kata pria penjaga loket itu sambil tersenyum, seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan. Entah mengapa aku merasa tidak suka melihat caranya tersenyum. Wajah pria itu lebih seperti orang Jawa, daripada orang Batak.
Di depan sebuah bangunan semacam tugu berukir dua kuda laut yang saling berhadapan dipisahkan oleh bintang—lambang milik sebuah perusahaan minyak nasional yang entah bagaimana bisa ada di tempat ini—, seorang lelaki usia setengah baya duduk memperhatikan monyet-monyet berebut pisang-pisang yang dia lemparkan. Masih ada beberapa tangkap pisang di dalam keranjang anyaman bambu yang teronggok persis di depannya. Sesekali dia meniupkan terompet yang terbuat dari tanduk kerbau, melemparkan pisang-pisang ke arah kawanan monyet. Seekor beruk yang memiliki buntut pendek memanjat tugu yang hanya beberapa depa lebih tinggi dari beruk itu, berusaha meraih pisang di genggaman tangan lelaki berwajah tirus itu. Lelaki itu membiarkan saja si beruk mengambil pisang dari tangannya.
”Mau turut memberi makan monyet-monyet itu?” sapa lelaki—yang kuduga Pak Manik—itu setelah menyadari keberadaanku.
”Bapak pasti...”
”Umar Manik,” katanya memotong kalimatku.
Aku tersenyum. Mengangguk. Menghampiri lelaki berkemeja kotak biru yang segera berdiri menyambutku. Memberikan telapak tanganku kepadanya. ”Saya Cakrawala, Pak.”
”Kau hanya perlu membayar pisang-pisang ini,” katanya menjabat telapak tanganku. Sebelum menyerahkan keranjang kayu berisi beberapa tangkap pisang, ”bukan untuk aku, tapi untuk kera-kera itu.”
”Berapa harus saya bayar?”
”Sesuka kau saja lah! Asalkan kau ikhlas. Dan kera-kera itu bisa makan.”
Aku mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dalam dompetku, menyerahkannya kepada Pak Manik yang kedua lengannya penuh rajah. Entah apa bentuknya aku tak coba menanyakan, sebab aku lebih tertarik pada monyet-monyet itu ketimbang tato yang melingkari kedua lengan Pak Manik.
”Banyak ’kali?”
”Saya ikhlas.”
Aku memang pernah beberapa kali melihat kera melompat-lompati cecabang pohon di alam terbuka. Tapi tak pernah sedekat ini, apalagi sampai memberi makan kera-kera liar itu. Seekor kera yang tubuhnya besar merebut pisang yang tengah dimakan kera lainnya yang berukuran jauh lebih kecil. Aku mencoba menghela.
”Biarkan saja,” tegur Pak Manik sambil tersenyum melihat tingkahku menggusah kera yang lebih besar itu. ”Namanya Bruno. Dia pemimpin kera-kera liar itu. Sebaiknya kita tak usah ikut campur. Sudah aturan mereka. Yang kuat pasti berkuasa, dan yang berkuasa pasti menang. Seperti manusia juga lah!”
”Apa kera-kera itu jinak?”
”Tak perlu lah dibuat jinak kera-kera itu, biar tak mudah ditangkap orang.”
”Ditangkap?”
”Dulu ada lima jenis monyet di tempat ini. Kera, beruk, lutung, siamang, dan simpai. Tapi sekarang hanya tinggal dua jenis saja, seperti yang kau lihat sekarang ini.”
”Ke mana tiga jenis yang lainnya?”
”Seperti yang kubilang tadi. Yang kuat pasti menang. Siapa yang mampu bertahan dari keserakahan manusia? Begitu hukum alam yang berlaku.”
Awan seperti gumpalan krim yang mulai meleleh di atas cangkir kopi, tak lagi berwarna putih. Mengapung di atas langit hutan Sibatu Loting.
”Tampaknya hujan akan segera turun. Sebentar lagi malam. Kau menginap di hotel mana?”
”Saya belum ada rencana. Semula ingin ke Prapat. Saya ingin sekali melihat Danau Toba. Tapi suara terompet Bapak membawa langkah saya ke tempat ini.”
”Ah, kalau kau mau, kau boleh menginap di gubuk aku malam ini. Besok aku antar kau ke Danau Toba. Aku sudah biasa bawa turis-turis ke sana. Kalau tak begitu, mana lah aku punya uang untuk memberi makan anak istriku dan monyet-monyet itu.”
”Uang hasil penjualan tiket masuk taman ini?”
”Tak tahunya lah aku soal itu. Ke mana uang itu mengalir pun aku tak paham. Perjanjiannya memang 60 untuk Pemkab Simalungun, 40 persen lagi untuk pemeliharaan kawasan konservasi ini. Tapi baru dua tahun ini yayasan pengelola memberi aku bagian. Itu pun jumlahnya hanya 15.000 sebulan. Mana lah cukup uang segitu. Untuk beli jatah makanan sehari saja tak cukup! Terpaksanya lah aku jual tanah di desa untuk kasih makan monyet-monyet itu!”
Begitulah. Pak Manik mengajak aku singgah ke gubuknya yang berukuran 7 x 7 meter. Ruang seluas itu dibaginya menjadi tiga. Teras yang dihuni bangku-bangku kayu, satu ruang tidur dengan dua buah ranjang, dan satu ruang lagi untuk dapur.
”Kau bisa tidur di ranjang yang satunya.”
”Ah, biar saya tidur di teras saja.”
“Kalau malam di tempat ini dingin sekali. Apalagi kalau habis hujan. Bisa beku kau nanti.”
”Saya bawa sleeping bag yang cukup tebal, Pak.” Aku menyandarkan keril pada dinding kayu.
Malam itu aku dan Pak Manik berbincang di teras depan ditemani sekepul kopi medan dan ubi rebus. Sampai pukul sepuluh hujan masih saja merinai. Maka meluncurlah cerita dari mulut Pak Manik, tentang bagaiman mula dia menjadi karib bagi monyet-monyet liar itu. Begini kira-kira kisah yang tertutur dari mulut Pak Manik:
Tujuh tahun aku bekerja sebagai keamanan di hotel Niagar, Prapat. Tahun 1984 mereka memecatku karena tak memiliki ijazah SLTA. Sejak diberhentikan dari pekerjaan, aku membuat pondok kecil di tengah hutan Sibatu Loting. Aku mencoba menghidupi keluargaku dari berladang. Menanam ubi, jagung dan kacang-kacangan. Tapi monyet-monyet itu selalu datang merusak ladang! Setiap hari yang ada di kepalaku adalah bagaimana caranya agar monyet-monyet itu enyah dari hutan ini.
Sampai suatu malam, aku terbangun dengan keringat membutir jagung di sekujur tubuhku karena bermimpi. Di dalam mimpi itu, aku didatangi oleh sesosok tubuh berperawakan tinggi besar. Membuat aku gemetar. Apalagi saat mendengar suaranya yang bergetar memuntahkan kemarahan, ”Mengapa kau usir monyet-monyet itu?! Mereka lebih dulu tinggal di hutan ini!” Begitulah sesosok tubuh yang aku duga roh leluhur penunggu hutan lindung ini meminta aku menjaga serta merawat monyet-monyet liar itu.
Tak mudah membuat monyet-monyet itu mau berkumpul. Kuputar otak. Segala cara kucoba. Tapi makhluk-makhluk liar itu sulit sekali ditangani, karena aku bukan seorang ahli. Sepertinya, ketakberdayaanku menangani kera-kera itu didengar leluhur. Pada lain malam, sosok tinggi besar itu mendatangiku kembali. Memerintahkan aku membuat terompet dari tanduk kerbau. Ajaib! Saat terompet itu selesai kubuat dan kutiupkan untuk pertama kalinya, monyet-monyet itu langsung berdatangan! Suara terompet itu seperti memiliki daya magis yang mampu memaksa monyet-monyet itu berkumpul! Sehingga mudah bagiku memberi makan mereka. Dan kini setiap kali aku ingin memberi mereka makan, aku hanya tinggal meniup saja terompet tanduk kerbau ini.
Selama aku memiliki terompet tanduk kerbau ini, mereka tak akan berani mengusirku. Orang-orang pemerintah daerah bersama pihak yayasan pengelola taman ini tak akan mampu menangani monyet-monyet liar itu. Kalau saja aku mau, aku bisa membuat monyet-monyet itu pergi meninggalkan hutan ini, sehingga niat mereka untuk mengeruk keuntungan dari keberadaan monyet-monyet liar itu di tempat ini hanya akan menemui kesia-siaan! Seenaknya saja mereka. Dua puluh tahun aku merintis tempat ini, mereka mau merebutnya begitu saja.
***
Lewat dini hari hujan baru benar-benar berhenti. Pak Manik masuk ke dalam kamar menyusul istri dan anak balitanya yang sudah terlelap sejak pukul sembilan tadi. Aku merebahkan tubuh di atas matras, meringkuk di dalam sleeping bag. Pagi harinya, selepas memberi makan monyet-monyet, Pak Manik mengantarkan aku bersampan di Danau Toba yang termasyur itu.
Pak Manik mengijinkan aku menginap di gubuknya beberapa hari. Lumayan, aku bisa menghemat biaya menginap. Cukup membayar jasa Pak Manik sebagai pemandu wisata. Persediaan uangku memang mulai menipis. Honor sebagai pewarta lepas di beberapa surat kabar harian belum dikirimkan ke rekeningku. Sedang aku sudah lama tidak menulis cerpen. Kalau sampai tiga hari ke depan honorku belum juga dikirimkan, sepertinya perjalananku akan berakhir di tempat ini. Padahal masih banyak tempat di Nusantara yang ingin aku kunjungi. Baru beberapa bulan lagi royalti novel dan buku antologi cerpenku dibayarkan. Itu pun kalau laku di pasaran. Negeri ini bukan tambang emas bagi penulis semacam aku.
Pagi itu, aku sedang asyik memindahkan gambar monyet-monyet di sungai kering dekat rumah Pak Manik ke dalam memori card kamera digitalku—aku ingin menulis artikel untuk majalah pariwisata, atau setidaknya yang menyediakan rubrik catatan perjalanan. Sejak matahari baru berupa cahaya keemasan, Pak Manik sudah meninggalkan rumah untuk belanja persediaan pisang bagi monyet-monyet yang sudah seperti jadi bagian keluarganya. Seorang pria yang kukenali sebagai penjaga loket menghampiriku, menawariku sebatang rokok. Aku menolak. Sudah lebih dari tiga tahun aku berhenti menghisap asap nikotin.
”Pagi begini tak akan sempurna tanpa segelas kopi hangat. Mampir lah ke posku. Kita cakap-cakap sikit.”
Tak ada salahnya menghargai sikap ramah pria berperawakan Jawa yang belakangan kutahu bernama Rifan Tukijan. Bukan aroma kopi Medan yang membuat aku tertarik menerima ajakannya. Karena pagi tadi, istri Pak Manik sudah membuatkannya untukku. Aku tertarik mendengar lebih banyak cerita tentang perseteruan Pak manik dengan pihak yayasan yang ditunjuk oleh Pemkab Simalungun untuk mengelola Taman Monyet ini.
”Sepuluh tahun yang lalu, Pemerintah kabupaten Simalungun pernah menggusur gubuk Pak Manik, karena masih berada di dalam kawasan hutan lindung,” terang Rifan Tukijan, memberikan gelas berisi kopi ke tanganku. Aku meniup ke dalam gelas. Uap kopi berhaburan tak beraturan ke udara. Rifan Tukijan mengambil kursi di depanku.
”Sudah berkali-kali digertak. Bahkan sampai pernah dipukuli. Dia tetap tak mau pergi dari hutan ini. Kalau dia tetap di sini, kawasan hutan bisa rusak!”
”Bukannya dia yang merintis tempat ini?” Diam-diam aku merekam percakapan kami dengan flashdisk MP3.
”Sebenarnya Pak Manik sudah diminta berdamai dengan pihak yayasan, dan bersama-sama mengelola monyet-monyet itu. Tapi dia menolaknya! Bahwa dia telah berjasa menangkar monyet liar, itu betul. Tapi bukan berarti dia memenuhi syarat untuk tinggal di tempat ini!”
”Lalu kenapa Pak Manik masih ada di tempat ini?”
”Begitu keputasan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Mau bagaimana lagi? Heran… Padahal pihak yayasan sudah berusaha membuatnya tidak betah dengan menahan jatah bulanannya, tapi dia masih juga bertahan di tempat ini!”
Aku semakin tertarik berbincang dengan Rifan Tukijan. Apalagi ketika dia mengajak aku menemui ketua yayasan pengelola Taman Monyet itu.
Begitulah, Jingga. Malam harinya, dengan cahaya dari headlamp aku menuliskan surat yang saat ini tengah kamu baca. Pagi-pagi buta aku mengemas barang-barang bawaanku, pergi meninggalkan gubuk Pak Manik. Aku berniat menyeberang ke pulau Kalimantan. Melanjutkan perjalanan. Tapi sebelumnya, aku menyempatkan diri pergi ke kantor pos untuk mengirimkan surat ini bersama sebuah paket cinderamata sebagai tanda cintaku kepada dirimu.
Ya, benda yang saat ini ada di depanmu itu adalah terompet tanduk kerbau milik Pak Manik. Jangan kamu coba-coba membunyikannya, kalau tak mau rumahmu diserbu monyet-monyet karena tersirap suara magisnya. Tanpa terompet tanduk kerbau itu, Pak Manik tak lagi punya alasan untuk berdiam di dalam hutan lindung itu.
Sulit bagiku untuk tidak menerima tawaran dari ketua yayasan pengelola Stasiun 23, pusat konservasi monyet itu. Dengan beberapa tumpuk uang dalam amplop cokelat yang dia berikan, aku tak perlu lagi mencemaskan keterlambatan honor tulisanku sebagai pewarta lepas di beberapa surat kabar harian. Atau mengharapkan novel serta buku antologi cerpenku laku di pasaran. Apa boleh buat, aku harus melanjutkan perjalananku mengelilingi bumi Nusantara, seperti yang kuimpikan selama ini.
Teriring cinta,
Tebing Cakrawala
Depok, 30 Juni 2006