Tedong Helena

Kamis, 13 Mei 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Denny Prabowo
Nominator Sayembara Cerpen Menpora-CWI 2007

Lantang-lantang[1] telah didirikan. Sambung-menyambung. Mengapit tongkonan[2], rumah adat serupa perahu besar itu seolah matahari bagi bangunan-bangunan sederhana yang tersusun dari bilah-bilah bambu. Sanak saudara serta para kerabat berdatangan. Mengisi lantang yang telah disediakan. Menyerahkan bahan makanan yang dibutuhkan selama upacara sebagai wujud partisipasi.

Helena Rambulangi tersenyum. Memandang tedong bonga[3] miliknya tertambat pada simbuang batu[4] peninggalan masa silam. Kerbau setengah albino itu berjumlah lima. Sisanya kerbau biasa. Babi-babi miliknya masih menghuni kandang. Semua akan dikorbankan. Untuk mengantarkan arwah Ambe’[5] tercinta menuju puyo[6]. Manusia hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di-puyo-lah negeri yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.

Helena tersenyum membayangkan petak-petak sawah yang luasnya berhektar-hektar tak ternilai. Tedong-tedong[7] yang tinggal di peternakan Ambe ratusan jumlahnya. Belum lagi babi-babi. Setangah dari seluruh kekayaan orang tuanya itu akan segera menjadi miliknya, seusai rangkaian upacara Rambu Solo’[8] diselenggara.

Tak seorang pun dari ahli waris yang mampu menandingi Helena. Tidak Alius, tidak juga Damen—kedua kakak kandungnya. Setengah lebih dari pengeluaran untuk Rambu Solo’ ini disumbang olehnya. Untuk mendapatkan hasil yang besar, dibutuhkan umpan yang besar pula. Bayangkan saja, lima ekor tedong bonga, masih ditambah beberapa tedong biasa, serta beberapa ekor babi!

Sebagai keturunan bangsawan tak bisa sembarangan menggelar upacara pemakaman. Jika upacara tidak sesuai dengan aluk[9], roh mendiang tak bisa mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.

Satu bulan setelah menerima surat dari Alius, kakak keduanya, tentang kematian Ambe, Helena kembali ke kampung halamannya di Ke’te Kesu’. Delapan tahun lebih Helena meninggalkan rumah. Ia masih terkenang murka Ambe. Ketika kembali ke rumah bersama seorang lelaki Bugis bernama Mappangewa, teman kuliahnya di Universitas Hassanudin.

”Helena mencintainya, Ambe...”

”Tak bisa, Ambe sudah berjanji pada Tato’ Denna’ untuk menikahkan kau dengan anak laki-lakinya!”

”Tapi, Ambe...” ragu Helena berucap, ”Helena sedang mengandung benihnya.”

Mata Ambe membeliak. Tak sanggup berucap. Tubuhnya menjelma batang kayu. Geramahnya beradu, saling bergesekan, menahan api yang menyekam dalam dada. Sebentar saja api itu siap membakar Helena beserta lelaki yang datang bersamanya. Indo’[10] hafal sekali dengan tabiat suaminya. Dia segera mendekati Helena. Indo’ sadar, air matanya tak akan cukup memadamkan bara yang berdiam di dada suaminya.

“Sebaiknya kau tinggalkan rumah ini segera.” Berat dia berucap. Helena anak bungsu kesayangannya. Tapi hanya itu jalan keluar yang melintasi kepalanya. Hati Ambe batu. Tak mudah luluh oleh air mata. Dibutuhkan waktu lama untuk melubanginya.

Hanya satu tahun setelah kepergiannya, Indo’ tutup usia. Ibu mana yang mampu berpisah dari putri kesayangannya? Helena tak pernah mendengar kabar kepergian ibunya. Mappangewa membawanya ke Jakarta. Kabar kematian Indo’ baru diketahui lima tahun setelahnya. Suatu ketika dia bertemu dengan teman main semasa kecilnya di sebuah galeri di Jakarta. Kerinduan pada kampung halaman yang mengantarkan Helena menyambangi pameran ukir asal Tana Toraja. Dia melihat beritanya dari layar kaca dan membacanya di koran-koran. Tentang Mayanna, seorang lelaki Toraja yang akan diundang ke Jakarta untuk memamerkan hasil ukirannya. Dari teman mainnya itu, dia mengetahui kabar kematian ibunya.

Helena hanya bisa meratap ketika itu. Mappangewa hanya seorang wartawan lepas, yang sesekali suka menulis cerpen di surat kabar. Sedang dirinya hanya seorang guru sekolah dasar negeri yang gajinya tak seberapa. Untuk hidup sehari-hari mereka harus mengencangkan ikat pinggang. Cicilan rumah di pinggiran kota Jakarta menguras seluruh penghasilan mereka. Tak cukup tabungan untuk pulang ke Toraja menjenguk erong[11] tempat jasad ibunya dibaringkan pada dinding tebing kapur.

***

Dua ekor kerbau digiring ke tengah lapangan upacara. Seorang pawang merapal mantra-mantra. Menempelkan mata pisau pada leher kerbau. Sebelum tangannya bergerak penuh perhitungan. Hanya dalam hitungan detik saja kerbau itu tumbang menggelepar dengan leher mengangga menyembur darah. Suara lenguh panjang. Serupa erang. Lalu terdiam.

Tak lama berselang. Ma’pasa’ Tedong[12]. Kerbau-kerbau yang telah disepakati oleh keluarga untuk dikorbankan dikumpulkan di halaman tongkonan. Kerbau-kerbau itu kemudian diarak berkeliling kampung sebanyak tiga kali.

Helena tersenyum memandangi tongkonan dari anak tangga terbawah. Rumah panggung itu tampak anggun. Atapnya serupa perahu. Menjulang ke langit. Pada bagian depan tongkonan, tandun-tanduk serta kepala kerbau tersusun rapi. Sebentar lagi akan bertambah jumlah setelah berakhirnya upacara. Tanduk-tanduk kerbau miliknya yang akan dikorbankan untuk mengantar Ambe menuju puyo, siap menambah wibawa kebangsawanan keluarganya. Dan semuanya itu akan diwariskan kepadanya beserta setengah dari kekayaan peninggalan Ambe.

Hidup memang butuh pengorbanan. Bertahun-tahun hidup di perantauan tanpa sanak keluarga, Helena tahu betul arti kata itu—pengorbanan. Ia memang tidak menyesal karena sudah menikah dengan Mappangewa. Apalagi selepas merampungkan pascasarjana di fakultas ilmu budaya, suaminya memiliki profesi tambahan sebagai dosen sastra di beberapa universitas negeri maupun swasta di Jakarta. Meski Helena masih saja menjadi pengajar di sekolah dasar, mereka sudah memiliki rumah sendiri.

Tapi rumah saja tak cukup. Anak mereka yang kedua sudah mulai masuk sekolah. Pasti membutuhkan banyak biaya. Sepeda motor yang baru lunas kreditnya sudah dijual. Tapi hasil penjualannya hanya cukup untuk biaya pulang ke kampung halaman, membeli beberapa ekor babi. Helena tak mungkin bermimpi mendapat bagian warisan terbanyak hanya dengan menyumbang beberapa ekor babi saja.

”Bagaiman kalau kita jual rumah kita?”

”Lalu kita mau tinggal di mana?”

”Kita bisa mengontrak rumah untuk sementara.”

Mappangewa tak membantah usul istrinya. Meski tak terlalu setuju. Hanya seminggu rumah mereka sudah banyak yang menawar karena lokasinya yang cukup strategis. Kepada penawar tertinggi, Helena melepas rumah mereka. Dia tak mau menunggu lama.

Dan di sinilah Helena kini. Di kampung halamannya. Suami dan kedua anaknya tak turut serta. Menghemat biaya perjalanan. Kalau sudah harta warisan digenggaman, Helena akan mengirimi mereka uang untuk menyusulnya.

Malam semakin larut. Ritual demi ritual telah dilewati. Tiba saatnya Ma’tunda[13]. Sebuah ritual membangunkan arwah yang selama satu bulan menjadi tomebali puang[14]. Awan pekat kembali menyelubung wajah-wajah sanak saudara serta para kerabat terdekat. Termasuk Helena. Sepasang matanya mengabut. Terkenang dia pada masa kecilnya. Ketika Ambe suka mengajaknya bermain-main di pematang sawah. Menyaksikan para petani menggarap sawah-sawah miliknya yang sangat luas. Atau membawanya bermain-main di atas punggung anak kerbau di peternakannya.

Suara lesung bergeman bersahut-sahutan. Tangan-tangan kaum wanita tua mahir memainkan bambu menumbuk padi-padi pilihan di dalam lesung. Jasad Ambe dipindahkan dari rumah duka, untuk disemayamkan di tongkonan semalaman. Peti mati seberat 100 kilogram diangkat bersama-sama. Hati-hati mereka meniti tangga. Menyatukan kembali arwah Ambe dengan arwah leluhur.

***

Sinar matahari pukul sembilan pagi menghambur ke wajah Helena, ketika jendela-jendela di rumah kediamannya dibuka. Helena memicingkan kedua matanya. Semalaman ia terjaga di kamarnya, meski tak turut menjaga jasad Ambe. Banyak yang menjejal ruang di kepala. Pertemuannya dengan anak lelaki Tato’ Denna menjelma bayang-bayang. Silih berganti dengan wajah suami dan kedua putranya di Jakarta. Sejak berada di kampung halamannya, belum sekali pun Helena merasakan tidur serupa bayi. Keinginan yang hanya mungkin dia penuhi selepas upacara Rambu Solo’ tuntas digelar. Saat seluruh ahli waris dikumpulkan, untuk menerima bagian harta peninggalan Ambe.

Ramai suara di luar rumah. Helena beranjak dari kamarnya. Sudah tiba waktu memindahkan jasad Ambe ke dalam alang[15] yang berada di bawah tongkonan. Helena bersiap seadanya. Tak mau ketinggalan.

Erong berbentuk perahu itu diturunkan dari tongkonan. Tarian penghormatan. Sorak sorai bergema. Warga bahu-membahu memanggul beban di pundak mereka. Lamba-lamba[16] dibentang, menjadi penunjuk ke mana langkah harus diayun untuk sampai ke alang. Sebagian mengusung tau-tau[17]. Berjalan di depan. Helena seperti melihat sosok Ambe hidup kembali pada boneka kayu yang didandani persis serupa Ambe ketika masih arwah berdiam dalam jasmani.

Dalam keramaian. Sudut mata Helena menangkap sesosok wajah. Lelaki itu melempar senyum ke arahnya. Matanya mengedip. Helena tertunduk. Membuang tatapannya ke tempat lain. Sesekali masih mencuri pandang ke arah lelaki itu. Dia mengenali lelaki itu sebagai putra Tato’ Denna. Lelaki keturunan Ne’ Sando[18] yang dulu pernah hendak dijodohkan kepadanya.

Bayang-bayang yang kerap hadir ketika kegelapan memeluk jiwa-jiwa yang letih, sejak dia berdiam di kampung halamannya, mewujud seketika. Terkenang dia pada pertemuannya dengan putra Tato’ Denna sebulan lalu. Ketika baru saja dia tiba di Rantepao. Seorang lelaki menepuk pundaknya dari arah belakang. Tersenyum takjub. Seperti tak percaya pada penglihatannya. Berkali-kali lelaki itu menggeser letak kaca matanya. Berusaha meyakinkan diri.

”Helena?” akhirnya dia membuka suara.

Helena tak terlalu mengenali. Sampai lelaki itu memperkenalkan diri sebagai putra Tato’ Denna. Helena teringat dengan perjodohannya. Masa lalu kembali menjelma layar lebar. Sepotong adegan tergambar di sana. Ketika dirinya dan Mappangewa mendapat murka Ambe.

Jangan-jangan...

”Kau tepat, jika mengira aku lelaki yang dulu pernah hendak dijodohkan denganmu.”

”Maaf, aku tak pernah diberitahu Ambe tentang perjodohan kita,” ucap Helena. Agak canggung. Seperti merasa bersalah. Lelaki itu malah tertawa.

”Kau hanya sendiri?” tanyanya setelah tawa mereda, ”Keluargamu tak kau ajak serta?”

”Suamiku tak bisa mengambil cuti. Anak-anakku tak bisa meninggalkan pelajarannya.”

”Mari kuantar ke rumahmu.”

”Aku mau menjenguk makam Indo’ dulu.”

Lelaki itu mengambil travel bag dari tangan Helena. Menyimpan di bagasi belakang, sebelum membukakan pintu mobilnya. Helena masuk ke dalam. Aroma lemon menyerbu lubang pernafasannya.

”Kau sudah berkeluarga?” tanya Helena setelah lelaki itu duduk di belakang kemudi.

”Kau pasti tak akan percaya kalau kukatakan aku belum beristri karena masih mengharapkan dirimu.” Lelaki itu melirik ke arah Helena. Seperti mencari tahu reaksi Helena, setelah mendengar jawaban darinya.

Helena berusaha bersikap biasa-biasa saja. Meski sebenarnya dadanya mulai berdetak tak beraturan. Lelaki itu memang sulit untuk diabaikan. Wajahnya. Sikap ramahnya. Mobil yang dikendarainya. Dia memiliki segala yang diidamkan oleh perempuan: kemapanan. Dan lelaki itu baru saja mengatakan masih mengharapkan dirinya.

Helena teringat pada Mappangewa. Pada anak-anaknya. Pada rumahnya yang terpaksa harus dijual demi membiayai upacara Rambu Solo’. Hasil penjualan rumah itu hanya cukup untuk membeli dua ekor tedong bonga ukuran sedang. Padahal Helena menginginkan bagian terbesar dari warisan ayahnya. Helena seperti menemukan jalan keluar. Sekali lagi lelaki itu melirik ke arah Helena. Sambil tersenyum. Sekali ini Helena menanggapi senyum lelaki itu. Bahasa tubuh mereka saling bicara. Bertahun-tahun hidup di perantauan, Helena tahu betul arti sebuah pengorbanan. Dia berharap Rambu Solo’ bisa menjadi pijakan awal. Merubah roda nasibnya. Dia menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Dan anak lelaki Tato’ Denna itu seolah memberi segumpal harapan.

***

Siang itu. Terik matahari menyengat kulit kepala. Tak surut antusias warga menyaksikan Mapasilaga Tedong[19]. Kerbau-kerbau terbaik disiapkan untuk diadu. Salah satunya milik Helena. Orang-orang menyiapkan taruhan. Melupakan sejenak kedukaan. Helena larut dalam kegembiraan.

Tiba giliran tedong Helena ditarik ke tengah arena. Bantu Pako nama tedong Helena, salah satu pemberian anak lelaki Tato’ Denna. Berkat lelaki itu, Helena bisa bermimpi mendapatkan bagian terbesar harta peninggalan Ambe. Lima tedong bonga, beberapa tedong biasa, masih ditambah beberapa ekor babi. Semua didapatkannya dengan hanya memberikan setengah dari hasil penjualan rumahnya.

Suara tanduk saling beradu. Kerbau-kerbau itu seolah tak hirau pada hiruk pikuk penonton. Debu mengepul ke udara. Helena tertawa menyaksikan Bantu Pako menggasak lawannya hingga tak berdaya. Terbirit melarikan diri ke tengah-tengah sawah. Berkelebatan masa depan di kepalanya. Dengan harta peninggalan Ambe, dia bisa membangun kehidupan yang jauh lebih baik di Jakarta. Helena teringat pada Mappangewa. Pada masa depan anak-anaknya. Roda nasib segera akan berpihak kepadanya.

Hingga detik berakhirnya ritual adu kerbau itu, Helena belum mengetahui, jika seluruh sawah serta peternakan Ambe telah berpindah tangan. Ketika Indo’ jatuh sakit, Ambe menggadaikan seluruh hartanya kepada Tato’ Denna guna biaya pengobatan istrinya. Sisanya habis untuk pelaksanaan ritual Rambu Solo’ untuk mengantarkan arwah istrinya menuju puyo. Sedang Helena masih menyisakan janji untuk beberapa kali lagi bertemu dengan anak lelaki Tato’ Denna di sebuah tempat paling rahasia. Begitulah cara Helena mendapatkan lima tedong bonga, beberapa tedong biasa, serta beberapa ekor babi, dengan hanya memberi setengah dari hasil penjualan rumahnya. Hidup memang butuh pengorbanan. Bertahun-tahun tinggal di perantauan tanpa sanak keluarga, Helena tahu betul arti kata itu—pengorbanan.



Rumah Cahaya Depok, 17/08/06 20:52


Catatan:

[1] Rumah-rumah bamboo didirikan saat upacara Rambu Solo’
[2] Rumah adat suku Toraja berbentuk seperti perahu, selalu menghadap ke arah utara
[3] Kerbau setengah albino memiliki nilai ekonomis tinggi
[4] Menhir yang konon ditancapkan pertama kali Th. 1657. Ketika itu ratusan ekor kerbau dikurbankan untuk upacara pemakaman keturunan Dinasti Rante Kalimbuang.
[5] Bapak
[6] Nirwana atau surga
[7] Kerbau-kerbau
[8] Upacara pemakaman, sering juga disebut pesta kematian
[9] Ajaran atau tata cara peribadatan
[10] Ibu
[11] Peti mati atau wadah mayat
[12] Ritual mengarak kerbau-kerbau yang akan dikorbankan pada acara Rambu Solo’
[13] Ritual Membangunkan arwah
[14] Roh penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal
[15] Lumbung padi
[16] Kain merah
[17] Patung kayu berwujud orang yang meninggal dunia
[18] Dukun adat
[19] Ritual adu kerbau