Cermin Rias Ibu

Kamis, 13 Mei 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Denny Prabowo
Karya favorit sayembara menulis cerpen Rohto 2008

Cermin itu telah pecah, setelah sekian lama menawan bayangan wajah Ibu. Aku tak lagi hanya bisa mengadu pada bayangan. Aku ingin Ibu. Namun, setelah cermin itu pecah tak juga aku berhasil mengeluarkan Ibu dari dalamnya. Pecahan kaca yang terserak di lantai malah menjelmakan bayangan Ibu sebanyak jumlah pecahan kaca yang basah oleh darah.

Dahulu Ibu sering berlama-lama menatap dirinya lewat pantulan cermin. Diam-diam aku suka mengintipnya dari lubang kunci, sebab Ibu seperti tak ingin membiarkan siapa pun melihatnya dalam keadaan itu. Dia seperti ingin berdua saja dengan bayangan dirinya di dalam cermin. Di atas ranjang Ayah terlentang dengan tubuh yang hampir seluruhnya telanjang. Tertidur pulas. Serupa bayi dua belas bulan yang baru saja selesai dimandikan, belum sempat dihanduki.

Aku selalu melihat pemandangan itu, setiap kali Ayah pulang ke rumah, setelah sekian lama pergi menjaring rejeki di tengah lautan. Tak tentu waktu Ayah pulang. Terkadang habis Subuh. Pernah juga waktu dhuha. Hanya sesekali saja lepas Asar. Lain waktu sesudah Magrib atau Isya. Tapi lebih sering tengah malam saat lampu di rumah hanya menyisakan cahaya lima watt saja. Tak tentu juga. Suka-suka Ayah saja.

Setiap kali Ayah pulang ke rumah, malam harinya aku selalu mendengar suara gaduh dari kamar Ibu. Kamarku berada di lantai dua, persis di atas kamar Ayah dan Ibu. Sedang lantai rumah kami terbuat dari kayu jati belanda yang masih muda, tak pernah berhasil meredam kegaduhan. Aku sering membayangkan apa yang Ayah lakukan di kamar itu terhadap Ibu, sampai membuat perempuan kuning langsat itu harus menjerit-jerit seperti menahan sakit.

Begitulah, setiap menjelang waktu Subuh, aku suka diam-diam mengintip ke dalam kamar Ibu melalui lubang kunci yang telah kehilangan anaknya. Kulihat Ibu seperti berbicara pada bayangannya di dalam cermin. Entah apa yang mereka bincangkan, dari lubang kunci itu aku hanya bisa melihat punggung Ibu, dan sedikit pantulan wajahnya di cermin rias yang terbuat dari kayu jati berukir jepara. Aku hanya menduga dari gerakan-gerakan tubuhnya, Ibu seolah sedang berbicara. Tanpa suara. Dan Ayah seperti biasa, tertidur serupa bayi dengan tubuh penuh peluh, di atas ranjang busa nomer satu dengan bedcover yang tak lagi tertata rapi.

Paginya. Saat aku hendak berangkat ke sekolah. Aku menemukan Ayah tengah asyik mengirup secangkir kopi hangat di meja makan, lengkap dengan kemeja biru yang ujung bawahnya dibiarkan keluar. Ia memberi aku uang saku untuk satu bulan penuh, sebelum menyelesaikan sarapannya, lalu pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang tak pernah dapat dipastikan lamanya. Tanpa banyak kata. Hanya tatapan aneh saat jemarinya meraba pipiku sambil tersenyum. ”Sudah besar kau sekarang. Cantik seperti ibumu,” katanya sebelum berlalu dari hadapanku. Aku tak suka dengan caranya tersenyum. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman dengan caranya memandangku.

Ayah tak pernah lama berada di rumah. Seingatku hanya sepekan masa paling panjang. Dan hampir setiap malam aku mendengar suara jeritan Ibu dari kamarku. Lebih sering Ayah hanya menginap semalam saja, seperti kepulangannya kali ini. Ayah bekerja di sebuah perusahaan minya lepas pantai. Sebagai apa? Entah. Aku tak pernah menanyakannya kepada Ayah. Dan Ibu seperti tak mau tahu dengan pekerjaan suaminya.

”Ibu, aku mau pergi ke sekolah,” ucapanku dari balik punggungnya yang penuh rajah merah, mirip bekas kerokan melintang tak beraturan, hanya dijawabnya dengan anggukan, dan sedikit senyum yang dipaksakan menyamarkan lebam di ujung bibirnya. Ibu masih terbungkus handuk, selepas dia membenamkan tubuhnya dalam bathtub berisi air hangat. Tangannya bergerak lembut. Penuh perhitungan. Menyisir gelombang rambutnya yang basah dari atas ke bawah, di depan cermin riasnya. Pun ketika kuraih telapak tangannya untuk kucium, Ibu bergemin, hening. Tak ada kata mengiringi langkahku meninggalkan kamar itu. Ketika itu aku masih seorang gadis berseragam putih-merah.

Aku senang jika Ayah lama tak kembali ke rumah. Karena aku tak harus terbangun di malam hari tersebab suara jeritan Ibu yang memilu hati. Meski itu berarti tak ada uang saku bagiku, sebab Ibu hanya seorang ibu rumah tangga yang bergantung sepenuhnya dari gaji suami. Aku bahkan berharap ombak menggulung Ayah. Dan laut menelan tubuh tambun Ayah. Sehingga ia tak perlu lagi kembali ke rumah selama-lamanya. Namun, ombak seperti enggan memenuhi harapanku. Entah mengapa.

Bahkan, sejak aku berganti seragam sekolah dengan putih biru Ayah semakin sering saja berada di rumah. Dia tak lagi bertugas di tengah lautan. Dipindahtugaskan ke daratan. Sejak itu, nyaris setiap malam aku mendengar suara jerit Ibu dari dalam kamarnya.

Malam baru saja melewati ambang hari. Kedua mataku yang sudah rapat sejak pukul sembilan dipaksa membuka oleh suara gaduh dari kamar Ibu. Sepertinya Ayah baru kembali dari tempat kerjanya. Ayah memang biasa kembali saat lampu-lampu di rumah hanya menyisakan cahaya lima watt. Namun, tidak seperti malam-malam sebelumnya, aku tak hanya mendengar suara jeritan Ibu dari dalam kamar itu. Aku tak yakin benar dengan pendengaranku. Aku lekatkan telinga di atas lantai kayu, berusaha mengurai suara-suara yang berasal dari dalam kamar Ibu. Aku yakin mendengar suara perempuan selain Ibu, menjerit di sela desah, kadang tertawa. Tapi ..., suara siapa?

Azan Subuh baru saja berlalu dari pendengaran, saat aku meninggalkan kamarku. Tanpa suara, meniti tangga kayu yang menghubungkan lantai dua dengan ruang keluarga. Seperti biasa, pintu kamar Ibu masih rapat terkunci. Hati-hati kuletakkan sebelah mataku pada lubang kunci. Ayah masih mendengkur di balik selimut yang tak berhasil menyembunyikan sepasang kaki milik seorang perempuan entah siapa. Di mana Ibu? Dia tak tampak di depan cermin riasnya. Hanya bayangannya saja yang tertinggal di sana dengan wajah yang semakin muram. Dari kamar mandi yang berada di dalam kamar itu, aku mendengar suara keran air menyala. Mungkin Ibu sedang berendam di dalam bathtub dengan air hangat. Aku kembali ke kamarku. Menyiapkan buku-buku pelajaran hari ini, sambil membaca-baca kembali tugas rumah yang diberikan ibu guru. Masih terlalu pagi untuk pergi mandi.

Cahaya matahari pukul enam pagi menerobos lubang ventilasi kamarku. Waktunya berangkat ke sekolah. Aku pergi ke meja makan, selepas membasuh tubuh dan mengganti pakaian dengan seragan sekolah. Tak ada nasi goreng atau roti tawar yang telah diolesi mentega. Bahkan segelas susu pun tidak tersedia di sana. Aku terpaksa harus membuat sarapan sendiri. Saat aku meninggalkan rumah, suara keran air kamar mandi di dalam kamar Ibu masih saja mengucur. Sepertinya Ibu belum selesai berendam di dalam bathtub. Sebab tak ingin terlambat, aku tak menunggu Ibu keluar dari kamar. Ayah juga masih meringkuk di dalam selimut yang tak berhasil menyembunyikan sepasang kaki milik perempuan, entah siapa.

Aku kembali dari sekolah saat matahari telah tergelincir dari singgasana hari. Pergi ke dapur mencari makan siang. Ibu biasa meninggalkannya di dalam lemari makan. Namun, siang itu tidak kutemukan apa pun di dalamnya, padahal segelas susu dan beberapa tangkup roti pagi tadi sudah terbakar menjadi tenaga. Habis kugunakan beraktivitas sejak pagi hingga siang hari.

Aku pergi mencari Ibu. Daun pintu kamarnya masih tertutup rapat. Aku mengintipnya dari lubang kunci. Kursi di depan cermin rias itu masih saja tak berpenghuni. Ayah masih terlelap di atas ranjang busa bersama seorang perempuan entah siapa. Suara keran air kamar mandi di dalam kamar itu sudah tak terdengar lagi.

Di mana Ibu? Sejak pagi tadi wanita kuning langsat itu tak ada di depan cermin rias seperti biasanya. Hanya bayangannya saja yang tertinggal di sana, tersenyum menatap ke arahku—entah luka atau bahagia. Mulai detik itu, aku tak pernah lagi melihat Ibu. Dia seperti raib meninggalkan bayangannya di dalam cermin rias berukir Jepara. Dan Ayah seperti tak mau ambil peduli.

Sejak itu aku sering menyelinap ke dalam kamar Ibu. Duduk di depan cermin rias berukir Jepara, sekedar untuk mengentaskan rasa rinduku pada Ibu. Bercerita apa saja pada bayangan Ibu di dalam cermin. Tentang kegiatan di sekolah atau kelakuan Ayah. Ayah kian sering saja kutemukan asyik meringkuk di dalam selimut yang tak pernah berhasil menyembunyikan—tak lagi hanya sepasang—dua pasang kaki, bahkan pernah juga tiga sampai empat pasang, setiap paginya. Dan aku sering ketiduran di dalam kamar Ibu dengan masih menggunakan seragan sekolah.

Suatu malam, saat aku tertidur di kamar Ibu, aku bermimpi ada seekor cicak raksasa merayapi tubuhku. Membuat aku merinding. Sia-sia aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman cicak yang tubuhnya sebesar tubuh lelaki dewasa. Yang bisa kulakukan kemudian hanya menjerit-jerit. Pagi harinya aku terbangun dengan rasa nyeri di pangkal paha. Ada bercak darah menoda di badcover yang tak lagi tertata rapi. Ayah tertidur pulas serupa bayi dua belas tahun di samping tubuhku. Tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Ada naga mendekam dalam mulutnya, membuat desah napasnya seperti semburan api yang membakar lubang pernapasanku. Kipas angin berputar pada level tiga di dalam perutku.

Demikianlah, mimpi itu kerap menyambangi tidur malamku sejak aku terbangun di pagi hari dengan nyeri di pangkal paha dan menemukan Ayah berbaring di samping tubuhku. Terkadang cicak itu mendatangi mimpiku bersama seekor kupu-kupu. Kupu-kupu di dalam mimpiku selalu berganti-ganti warna sayap. Hari ini bersayap hitam, esoknya biru. Lain waktu berwarna merah. Tak jarang, cicak raksasa itu datang bersama tiga ekor kupu-kupu sekaligus dengan warna dan rupa sayap yang beraneka ragam. Meski berbeda warna tetapi kesemuanya memiliki kepekatan yang serupa, sepekat malam tanpa cahaya bulan dan kerlip bintang. Sepertinya kupu-kupu itu memang dilahirkan untuk terbang di malam hari.

Dan aku semakin sering berdiam di depan cermin rias berukir jepara yang masih menyimpan bayangan Ibu. Bercerita tentang cicak raksasa yang selalu merayapi tubuhku serta kupu-kupu beraneka warna yang datang bersamanya, dalam mimpiku setiap malam. Hingga aku terjaga dan menemukan Ayah berbaring di samping tubuhku bersama perempuan yang berbeda-beda setiap paginya. Aku mulai berfikir kalau cermin itu telah menelan Ibu. Dan menduga bayangan di dalam cermin itu bukanlah bayangan, melainkan Ibu yang sesungguhnya. Aku sungguh tak mampu lagi menahan nyeri yang kini tak hanya kurasa di pangkal paha, tapi juga sekujur tubuhku.

Malam itu, cicak raksasa kembali mendatangi tidurku bersama ribuan ekor kupu-kupu berwarna malam. Cicak raksasa itu baru saja hendak merayapi tubuhku, sebelum aku bangkit dari atas ranjang busa. Seperti seekor naga, dia menjulurkan lidahnya, berusaha menjilat tubuhku. Aku mundur beberapa tindak. Berteriak-teriak minta pertolongan pada bayangan Ibu di dalam cermin rias berukir jepara. Namun, bayangan itu hanya memandangiku penuh iba, tanpa bisa berbuat apa-apa karena terperangkap dalam cermin. Cicak raksasa itu bersiap menyerang aku. Kuangkat kursi kayu, sebelum kuempas sekuat tenaga ke permukaan cermin rias.

Cermin itu pecah, setelah sekian lama menawan bayangan Ibu. Tapi setelah cermin itu pecah tak juga aku berhasil mengeluarkan Ibu dari dalamnya. Pecahan kaca yang terserak di lantai malah menjelmakan bayangan Ibu sebanyak jumlah pecahan kaca yang basah oleh darah.

Di atas lantai kamar, Ayah menggelepar-gelepar serupa ekor cicak yang baru terlepas dari tubuhnya. Darah menyembur seperti air mancur dari batang lehernya, mencipta genangan di lantai kamar. Aku teringat pada mimpi sesaat lalu, ketika cicak raksasa menerkamku, kusayat lehernya dengan pecahan kaca dari cermin rias. Kupu-kupu berwarna malam berhamburan keluar kamar.

***

Aku menatap bayangan diriku di permukaan sebuah kolam ikan di bawah rindang akasia. Berharap menemukan bayangan Ibu di sana. Aku sering menghabiskan waktuku duduk-duduk di tepian kolam sejak mereka membawaku ke tempat ini. Mereka tak membolehkan aku memiliki cermin di ruangan seraba putih yang menjadi tempat tinggalku kini.

”Riyana .... Ada yang ingin bertemu denganmu.” Seorang perempuan berpakaian serba putih—yang biasa menyuntikkan cairan ke dalam tubuhku setiap pagi dan petang, sebelum dia mengurungku dalam ruangan kamar yang hanya dihuni sebuah ranjang besi berwarna putih—berbisik di telingaku.

Seorang wanita kuning langsat berdiri di balik punggung perempuan berpakaian serba putih. Gelombang rambutnya beriak ditiup angin. Telaga di matanya tumpah ketika mata kami saling beradu. Melihat wanita itu, aku teringat pada bayangan Ibu. Aku merasa seperti sedang berdiri di depan cermin rias Ibu.



Rumah Cahaya, 8 Juni – 5 Juli 2006