Pernikahan Satir
Minggu, 09 Mei 2010 by: Forum Lingkar PenaCerpen Aida Radar
Dimuat di Surabaya Post, 25 April 2010
Kami berdua meng-arca. Hening. Tiada suara yang membuka cakap. Sebenarnya aku hendak jadi orang pertama yang memecah belah hening berdiam diri ini. Namun sesegera kuurungkan. Egoisme keperempuananku rupanya memilih dominan membisu saja. Maka matilah fungsi mulut beserta isinya. Hiruk pikuk warung lalapan tempe penyek di depan kampus putih ini nyatanya tak banyak andil untuk pengaruhi aksi berdiam diriku dan dia.
ampai akhirnya ia tak lagi mematung —mungkin juga mengaku kalah. Aku tahu ia coba mencairkan suasana dengan mulai memenyet pelan-pelan tempe di hadapannya. Dan akhirnya ia juga yang pertama melepas jubah gengsinya untuk berbicara padaku. Meski sekali lagi aku paham bahwa ia sedang berusaha mencairkan suasana.
“Kau tidak campurkan sambalnya? Ntar tidak meresap loh. Tidak enak makan tempe penyet yang sambalnya tidak meresap betul,” ujarnya menatapku sambil menunjuk cobek berisi tempe dan sambal yang ada di hadapanku.
Aku masih diam. Dingin dan beku. Lumayan besar juga kegengsianku. Huh! Biar saja. Ini semua kulakukan supaya ia sadar —aku sedang marah besar padanya. Bahwa aku tidak terima permintaan konyol yang baru beberapa detik lalu ia layangkan padaku. Terlebih ia ungkapkan pada saat sedang merayakan satu semester awal pernikahan kami.
“Ayolah Ratna, jangan begitu. Masa kau mau mendiamkanku seperti ini? Aku tahu apa yang kuminta barusan sangatlah menyakitimu. Tapi aku tidak berdaya. Aku harus bertanggung jawab Ratna. Aku ini ayah dari bayi yang sedang ia kandung sekarang. Dan aku harus melakukannya jika aku mau bayi itu nanti memakai namaku di belakang namanya. Tolonglah. Mengerti posisiku sekarang,” sambungnya putus asa menghadapi keacuhanku.
“Mengerti?! Mengerti kamu bilang kak? Wanita mana kak yang mau mengerti dan membiarkan suaminya pergi selama sebulan menemui wanita lain hah?! Apalagi wanita itu mantan istrinya!”
Amarahku kini berada di ujung paling atas kepala yang mendidih-didih. Emosi yang hampir berhasil kunetralisir tadi, membuncah lagi. Kalimat yang paling tidak ingin kudengar, terus-menerus ia keluarkan tanpa peduli nyala mataku yang segera akan membakarnya. Ingin rasanya kuteriaki dan kuserapahi ia di tempat ini. Biar tak bisa ia mengangkat muka karena menahan malu. Namun, entahlah! Tak kulakukan. Kepalaku masih menyimpan jernih di antara asap hasil bakar-membakar tadi. Walau bagaimanapun ia tetap suamiku.
Bisa kutangkap gerakan kepalanya yang terperangah. Matanya menciut. Seakan tak percaya. Aku yang selama ini dikenalnya lemah lembut dapat berbicara sekeras itu di depannya. Di tempat umum pula.
Hmm! Itu baru kau tahu siapa aku!
“Pokoknya aku tidak mau tahu. Kau tak boleh pergi. Tidak akan pernah. Apa sih maunya wanita itu? Mengapa ia tidak katakan padamu dulu kalau dia tengah mengandung anakmu? Mengapa setelah kalian resmi bercerai dan kau menikahiku selama enam bulan ini baru dia menuntutmu bertanggung jawab?!”
Aku benci sekali wanita itu —aku sengaja menyebutnya ‘wanita itu’ karena tak mau menyebut namanya. Aku tahu rencananya memaksa suamiku menemaninya hingga melahirkan. Ia tentu mau merebut suamiku dariku. Maka kulminasi dari adu emosiku dan laki-laki di hadapanku ini adalah airmataku yang mulai tumpah. Kekuatan terakhir wanita ini kupilih juga untuk menunjukkan betapa sakitnya hatiku. Aku lalu menantang tatapannya padaku. Ingin kutunjukkan bahwa keputusanku tak bisa diganggu gugat. Tidak akan pernah.
“Aku kecewa padamu Ratna. Aku pikir kau akan mengerti karena kau juga seorang wanita. Wanita yang butuh perhatian ayah dari bayi yang dikandungnya. Dari masa kehamilannya hingga melahirkan. Tapi ternyata aku salah. Jiwa keibuan dan keibaanmu rupanya tidak ada sama sekali. Jujur Ratna, aku kecewa padamu.”
Ia meraih ranselnya di atas meja dan melangkah pergi tanpa memandangku. Meninggalkanku sendiri di warung lalapan ini.
“Aku bukan tidak mau mengerti kak. Aku hanya takut kau tidak akan kembali lagi setelah kau bersamanya. Aku khawatir ia akan membuatmu jatuh cinta lagi dan akhirnya kau akan kembali ke pelukannya. Meninggalkanku yang tidak akan pernah bisa memberimu buah hati,” lirihku memandangi sepeda motornya yang telah meninggalkan warung lalapan ini.
Aku tidak pulang semalam. Menginap di rumah Dina—sahabatku— kurasa pilihan tepat. Aku butuh ketenangan. Juga, aku belum mau bertemu muka dengan suamiku. Aku butuh waktu untuk keinginannya. Dan pertanyaan yang terus mengiangiku adalah, haruskah kubiarkan ia menemui wanita itu? Egoiskah aku pabila tidak mengizinkannya bertanggung jawab atas bayi dalam perut wanita itu?
Di tengah kegalauan itu, sekoyong-koyong aku terlempar pada kejadian delapan bulan silam. Wanita itu memergokiku sedang candle light dinner dan bermesraan dengan suaminya. Aku memaksa suaminya menceraikannya dan kemudian menikahiku. Aku mengancamnya menjauh dari kehidupan mantan suaminya yang telah resmi menjadi suamiku.
Seketika tubuhku gemetar. Peluh membasahiku di pagi yang masih berembun ini. Aku tiba-tiba merasa betapa jahatnya aku. Betapa tak tahu dirinya. Merebut suaminya dulu dan kini tak merelakan wanita itu sedikit menikmati kebahagiaan ditemani ayah bayi yang dikandungnyanya. Meskipun mungkin hanya sebulan kebahagiaan itu ia kecap.
Maka, haruskah aku mengizinkan suamiku menemaninya?
Belum sempat terjawab pertanyaan itu, seseorang mengetuk pintu rumah temanku.
“Siapa yang bertamu sepagi ini?” Igau temanku setengah sadar dari tidurnya. Ia hendak berdiri tapi kucegah. Biar aku lihat siapa yang bertamu.
Tamu pagi-pagi itu memang dia. Suamiku. Aku tidak perlu kaget karena aku tahu ia akan mencariku di sini. Tampangnya kusut. Pakaian yang ia kenakan pun pakaian semalam.
“Ratna aku tidak akan menemuinya. Aku tidak akan melakukan itu jika kau memang tidak mengizinkannya. Maafkan aku karena telah membuatmu marah.”
Ia kemudian membenamkanku yang kaget di dadanya. Pikirku ia masih akan memintaku mengerti dan mengizinkannya pergi. Aku senang sekali karena ia memilihku ketimbang menemui wanita itu. Namun entah mengapa aku lalu berkata, “Pergilah...”
Pelan kata itu meluncur dari bibirku. Aku melepas rangkulannya. Kudapati ia kaget dengan apa yang didengarnya. Tapi bukan hanya ia yang kaget. Aku pun kaget. Aku heran, entah mengapa kuizinkan ia pergi.
“Apa aku tidak salah dengar Ratna? Kau mengizinkanku menemuinya? Benarkah itu Ratna?”
Aku melihat mentari di hitam bola matanya. Ia memastikan kembali apa yang kuucap tadi. Dan entah mengapa, aku mengangguk lagi.
“Ah... terima kasih Ratna. Terima kasih. Aku tahu kau pasti akan mengerti. Aku tahu itu.”
Ia tertawa renyah dan kembali akan memelukku. Tapi cepat kucegat.
“Tunggu dulu! Jangan senang dulu. Aku memang mengizinkanmu pergi kak. Tapi kau harus berjanji akan segera kembali setelah wanita itu melahirkan. Kau tak boleh berlama-lama di sana. Maukah kau berjanji padaku kak?”
“Tentu saja Ratna. Aku janji. Aku akan segera kembali padamu setelah ia melahirkan,” serunya girang dan langsung memelukku walau masih kucegah.
Aku mungkin wanita terbodoh sedunia. Wanita tertolol. Satu-satunya wanita yang mengizinkan suaminya bersama mantan istrinya selama sebulan. Tapi itulah yang kulakukan. Dan entah mengapa aku merasa lapang telah bersikap begitu.
Dua bulan sudah suamiku pergi. Desas-desus beberapa kenalan telah memberitahuku bahwa wanita itu kini jadi ibu. Posisi yang tak mungkin kutempati. Dua bulan bakda pertarungan retorikaku dan ia yang bermuara pada pemberian izinku, suamiku belum juga memenuhi janji di rumah Dina di pagi yang aneh itu. Yah! pagi yang aneh di kala firasatku yakin ini pasti terjadi. Dan pikiran anehku kembali berkata “Ia tak akan mungkin meninggalkan wanita yang mencatut namanya di pangkal nama anak itu dan kembali padaku, wanita yang tidak pernah akan memberinya bahagia itu”.
Makassar, November 2009