Homeostatis

Kamis, 06 Mei 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas

Dimuat di Jurnal Bogor, 02/05/2010

1959, katanya, ketika mereka bertanya kapan Sukarno menyemburkan kata-kata yang entah sudah dipersiapkan sebelumnya atau tidak (ah, saat itu: orang-orang tak peduli itu!) telah membuat beberapa negara di semenanjung Magribi membentang bahu, memutus rerantai yang selama ini melingkar di leher gunung, mengebat pepohon, memecut pemukiman, dan menyerakkan gandum dan beras di berbagai sudut. Bebas!

Tentulah kata-kata di atas podium nasionalis itu tak usah disetatarkan dengan si Sosialis, Che, yang berhasil melambungkan Kuba sebelum Fidel Castro memegang kartu atas semua kebijakan-kebijakan yang-katanya demi independensi Latin-entah, apakah iya atau tidak, rakyatnya merasakan kebebasan serupa Brunei Darusalam. Bebas yang takzim. Bebas yang mengalir. Apa asal-muasalnya hingga terbang seperti elang jadi mutumanikam yang diburu-buru?

Dayang Torek merasuki sekali kata itu: Bebas!. Bukan, bukan karena ia adalah putri yang pernah hidup di masa Islam belum menyambangi Nusantara, apalagi Ulaklebar-tanah tempat ia dilahir-besarkan. Lebih dari itu, Dayang Torek paham benar bagaimana nikmatnya lepas dari pasungan. Cukuplah raja dari Tanah Melayu itu yang pernah membuatnya merasakan kerinduan yang sangat. Cukuplah Nyongang saja yang membuatnya serasa di jeruji negeri Nirmala yang berlapis tujuh. Oh, bila saja Nyongang tak membunuh putranya dengan taji-jago, mungkin kini ia tak harus bernostalgia dengan kenangan ketika memutuskan turun ke bumi setelah ratusan tahun menyingkir dari manusia.

Dalam mimpi Sukarno-yang waktu itu dikira Dayang Torek adalah Gindo Ulak Dalam, Dayang Torek hadir dan berbicara (atau juga mempertanyakan) padanya perihal nikmatnya menentang negeri-negeri yang sebenarnya sangat banyak didekati oleh para perdana menteri, kaisar, raja, dan pangeran…

Mereka tak mendekati pesirah-pesirah, kan?, itu jawaban Sukarno.

Dayang Torek tertawa, sebelum berlalu-terbang ke balik awan-awan yang berarak tanpa tergesa-gesa. Ah, Silampari….

Dayang Torek teramat sangat merindukan Gindo Ulak Dalam. Laki-laki yang saking sayangnya ia, hingga ia memanggilnya Bapak. Bapak? Ya, Dayang Torek tak tahu (atau tak sebenar yakin), benarkah lelaki yang sangat mengayominya itu adalah seseorang yang dahulu bertindih-tindihan dengan seorang wanita yang menyilakannya berselancar dari gorong-gorong di antara kedua bonggol pahanya? Oh, siapa nama wanita itu? Atau dia hanya selir seorang Gindo…?

***

APA sebab Che Guevara merasa perlu bergerilya di hutan-hutan pinus Amerika demi (ataukah boleh ditulis “hanya demi”?) sebuah popularitas di abad-abad berikutnya-paling tidak satu abad setelah itu?! Oh, perkaranya bukan kesengajaan agar orang-orang banyak mengenakan pakaian yang berlukiskan siluet wajahnya dengan jambang yang setengah subur dan topi khasnya. Sama seperti Sukarno mungkin, yang tiada berpikir bahwa pidatonya akan membakar negara-negara lain untuk menerjang sangkar beton! Atau serupa cerita lama tentang si Bandung Bondowoso yang mendirikan 99 candi dalam semalam hanya demi Roro Jongrang. Atau juga bagaimana si Bujang Kurap yang tak pernah berdoa akan ditakdirkan kurap-walaupun penduduk senantiasa memuji keelokan budinya, hinga kini.

Dayang Torek?!

Ini bukan perkara bebas-membebas. Ini juga bukan perkara kenang-mengenang. Ini perkara putri yang hilang. Lalu hidup lagi. Mungkin-atau anggap sajalah-putri ini bereinkarnasi sejak 1900-an. Ketika Lamuri, Jayakarta, Jayaloka, dan Ternate-Tidore, masih termasyhur di seantero serpihan pulau di laut sebelah bawah Asia, sebelah tenggara. Ya, siapalah yang merasa puas bila salah satu putri dari Selatan itu hanya dikenang sebagai putri yang hilang. Sungguh berbeda dengan (cerita) Zulaikha, Putri Nilam Sari, Diah Pitaloka, Cleopatra, atau Dayang Sumbi sekalipun. Oh!

Dan, permulaan perkara pun belum ditutup. Ketika putri itu turun ke bumi, tidaklah mudah baginya mengenali Lubuklinggau dan Musirawas dalam peta. Oh lupakah, kau. Zaman dulu, angin, matahari, dan bintanglah, yang jadi penunjuk waktu, cuaca, dan nasib! Sumatera pula masih serupa huruf L yang sedikit mengot. Kini, tentulah Dayang Torek sedikit terkejut mendapati Selat Sunda sudah membelah ranah kelahirannya.

Maka, dimahfumkanlah kiranya, bila Dayang Torek pun beterbangan di atas sungai dan lembah Amazon, Pegunungan Ural, Tembok Ya’juj Ma’juj…. Pun ketika melewati sebuah kota yang nampaknya baru berbenah, dan melihat seorang wibawa yang tengah berseru di sana, ia tak sadar bahwa itu dulu Jayakarta. Bahkan ia sempat mampir di Monako, ketika mendapati negeri itu masih monarki; kerajaan serupa masa hidupnya.

Tapi tiadalah menjadi abu saja tungku-tungku yang terlempar dalam nyala-nyala seperseribu neraka, bukan? Ya, dari sana, Dayang Torek belajar apa itu arti kebebasan. Bukankah terbangnya ia-setelah kecewa karena Nyongang membunuh bayinya-adalah sebuah kebebasan? Tidak!

Masih kanak-kanakkah Dayang Torek ketika memimpikan Che, Sukarno, Dayang Sumbi, Bujang Kurap….? Tiada yang akan menganggukkan kepala atas tanya itu ketika berhadapan dengan sebuah kenyataan: Dayang Torek adalah perempuan yang akhirnya paham siapa itu R.A. Kartini-yang bahkan ia masih mendebatkan, benar niankah perempuan Jepara patut diagung-agungkan? Dayang Torek pula akhirnya tahu betapa tak enaknya menjadi seorang Mahaputri serupa Lady Diana (ia sempat tersentak; ternyata ada yang pernah mengalahkan keagungan namanya!), atau mengetahui rahasia di balik ‘kepergian’ seorang Michael Jackson (Dayang Torek pula membatin; tak penting berkabung! Telahkah benar-benar kau lihat mayit si Muka Pucat itu!). Namun, akhirnya Dayang Torek belajar bagaimana memahami sebuah keelokan hidup dapat dikecap-nikmat tak tepermanai!

***

Lama. Lama memang, si Putri itu mempelajari seluk-beluk ekuilibrium (sebuah kehidupan adalah bak pasar yang senantiasa ramai, pikuk, dan sesak, bila rata yang mana selatan yang mana utara), mempelajari homeostatis ketika melihat Amerika, Bangladesh dan Srilanka-atau juga Indonesia, seolah saling melengkapi untuk sebuah predikat: Makmur-Miskin!

Lama memang menghayati sebuah keadaan yang dapat dirasai dan diperitabiati dengan setakzim-takzimnya. Tentulah bukan dengan berbijak-bijakan seperti seorang presiden sebuah negeri yang begitu teratur kata-katanya (kini Dayang Torek mengerti arti ucapannya). Tentu juga bukan bagaimana Ayatullah Khomenei menyeru demi sebuah penentangan kekuatan yang memang selayaknya sudah mampus di jagat raya-serupa runtuhnya kedidayaan Athena, Romawi, Uni Soviet, dan Mesopotamia, dulu.

Lama. Ya, waktu yang berjalan terburu-buru, yang berlari menuju langit, dan akhirnya menuntunnya tertunduk di sana (entah lapis langit keberapa, Dayang Torek lupa), ia lihat dengan sendirinya ada semacam kursi-yang tentu saja bukan kursi, yang berkilau-kilau (ia iri dengan laki-laki yang dipanggil Muhammad itu; bagaimana ia dapat melihat-Nya dengan kelopak mata yang terbuka penuh?!!). Dan… di sinilah Dayang Torek dapat tertawa dengan sebenar lepas. Ia melihat orang-orang yang awalnya aneh, dan membuatnya iri, tentang sebuah kebahagiaan akan kebebasan (atau ada hal yang lebih penting dari itu?!). Si putri tak lagi merasa perlu beriri-hati dengan Sukarno, Che, Bujang Kurap, Dayang Sumbi, Lady Diana, apalagi Michael Jackson…. Oh, adakah yang lebih luarbiasa selain melihat surga dan neraka di depan mata? Tentulah jauh lebih maha bila ia dapat memutuskan bahwa yang sebelah kananlah tempatnya berlabuh.

O tunggu! Ini bukan perkara orang-orang-yang awalnya ia kagumi-terjerengkang dalam belanga api yang ia lupa di mana tempatnya. Ini perkara karang-mengarang cerita tentang rupa-rupa hal: tentang kebaikan, keburukan, kebebasan (atau independensi!), ekuilibrium (atau juga homeostatis!), bahkan juga tentang keberadaan (atau eksistensi) yang sejatinya ia memang tidak ada. Mmm… bagi Dayang Torek, tak adalah mitos-mitosan itu. Hitam-putih. Khatam!

***

Tentulah banyak yang berwangi-mimpi tentang turunan sebuah pepatah: Manusia mati meninggalkan nama. Ya, adalah lebih elok memimpikan sesuatu yang seolah-olah bila diri benar-benar mati, dan diri benar-benar dikenang abadi, maka alamatnya adalah hidup senang di alam setelah mati! Puihh!!!

Dayang Torek tertawa. Air matanya bertumpahan. Ada yang berlaku tak selayaknya. Entah, apakah ia berbangga-bangga dengan sebuah kemampuan menyingkap rahasia, atau bermuram-kelam karena sudah tahu alamat diri di akhir masa bumi, atau pula tak peduli lagi dengan “nama” wanita yang menghidupinya dalam rumah bundar di perutnya ratusan tahun silam. Oh, mungkin kini Dayang Torek lebih khusyuk meratapi nasib bangsa-bangsa Sukarno, pengikut Che, pemercaya Bujang Kurap, pendongeng Roro Jongrang, penyembah Kursi….

Dayang Torek masih berkelana. Entah, sampai kapan.***

/Lubuklinggau, Juni 2009 s.d. Jakarta, April 2010

Catatan:

1) Pada 1959, Sukarno berpidato di Jakata. Setelah itu, beberapa negara Afrika merdeka (memerdekakan diri dengan segenap perjuangannya)

2) Dayang Torek adalah putri yang hilang dalam cerita legenda Lubuklinggau-Musirawas. Dayang Torek memiliki ayah yang bernama Gindo Ulak Dalam dan seorang adik yang bernama Nyongang, yang tinggal di Ulaklebar. Dayang Torek sempat diculik Raja Palembang untuk dinikahi (entah mungkin juga hanya dikawini), dan melahirkan seorang bayi. Karena tahu Kakaknya hidup tak bahagia di Tanah Melayu (Palembang), Nyongang melarikan Dayang Torek. Dalam pelarian tersebut Nyongang sengaja membunuh bayi Dayang Torek. Dayang Torek kecewa dan pergi ke balik Bukit Sulap. Hilang. Terkenallah ia dengan sebutan Silam Pari; putri yang hilang. Hingga kini Lubuklinggau-Musirawas masih kerap disebut Bumi Silampari (bukan Silam Pari). (Sumber: Naskah “Asal Mula Bumi Silampari”, gubahan Rusmana Dewi)

3) Bujang Kurap juga salah satu cerita legenda dari Lubuklinggau-Musirawas. Dari kecil hingga dewasa-dan meninggal, si pemuda mengidap penyakit kulit (kurap). Namun, di masa itu, Bujang Kurap lebih dikenal sebagai pemuda yang sakti dan baik hati. (Sumber: Naskah-naskah “Bujang Kurap” yang ditulis Drs. Suwandi, sejak 1983).