Lelaki Berinisial M

Rabu, 05 Mei 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Fahri Asiza
Dimuat di Padang Ekspres, 2 Mei 2010

Sewaktu M datang ke kantorku dan tanpa ragu-ragu bilang dia adalah makelar, aku masih mengerutkan kening. Bukan karena aku ragu akan kehebatannya sebagai makelar (toh aku juga tidak tahu dia jadi makelar apa, melihat gayanya pasti dia makelar tanah), tetapi siapa sosok bertubuh tambun ini? Dari langit mana dia muncul, dan tiba-tiba saja sudah berada di hadapanku? Mengapa pula dia tak mau memberitahukan nama aslinya kecuali inisialnya : M.

“Maaf, saudara siapa?” tanyaku akhirnya, lega karena berhasil menembus pertahanan gerilya kata-katanya.

M terhenyak. Keningnya berkerut. Bola matanya memutar sebelum memandangku lekat, tajam, juga terbersit sinar kecewa. “Kau tidak mengenalku?”

Ah, aku yang jadi sedikit gugup sekarang, merasa ditelanjangi pula karena tatapan itu membuatku seketika menjadi invalid. Akhirnya jalan terbaik hanya pura-pura tertawa sambil memeras ingatanku. “Tahu sendirilah, usiaku sekarang sudah hampir lima puluh tahun.”

Dari sikap herannya, M tertawa lepas. Aku menghirup udara lega. Suaranya tidak setegang tadi. “Tak berbeda denganku, Kawan… kita hanya terpaut dua bulan. Lebih tua aku. Meski berjarak dua bulan, harusnya kau memanggil aku kakak.”

Lagi aku tertawa dan menyakini kalau itu sebuah gurauan manis. Tetapi degup dadaku makin berkobar, rasa penasaranku mulai menggumpal dan tetap ingatanku tak mampu menembus ruang gelap mencari sosok M. Apakah dia bersembunyi di antara ribuan ingatan yang tak mau lagi kuingat?

“Kita berkenalan di Jogya. Saat itu usia kita baru dua puluh tiga tahun. Kau baru saja lulus kuliah, sementara aku harus menunggu dua tahun kemudian. Maklumlah, kau dikenal cerdas sementara aku lumayan akhirnya dapat ijazah pula. Lebih baik dari orang-orang yang memalsukan ijazah demi mendapatkan kedudukan, bukan? Eh, sudah kau ingat itu?”

Kali ini ingatan bukan hanya kuperas, tetapi juga berenang jauh lebih dalam, mencoba menguak tabir yang entah kenapa terasa kian menghitam.

“Fikom!” serunya tiba-tiba, seperti tahu kalau kebingunganku. Ah, aku jadi malu sendiri mengingat kalau dia tahu kebingunganku. “Kau ingat sekarang?”

Menyeruak semua ingatan teman-teman di Fakultas Komunikasi dulu. Tetapi, di mana sosok M? Mengapa dia tak muncul juga meski air keruh itu sudah kubeningkan. Tetap rasanya seperti mencari bocah kecil yang terpisah di seputar Monumen Nasional.

M terus memberikan gambaran demi gambaran tentang dirinya dan diriku, berapi-api, penuh semangat. Sampai kemudian aku terhenyak. “Ya Tuhan!! Iya, iya! Aku ingat!!”

M tertawa puas, dia berdiri dan merangkulku penuh bahagia.

“Akhirnya, aku bertemu lagi sahabat lamaku,” ujarnya setelah kami duduk kembali. “Kau tahu, aku sempat kaget karena kau tak mengenaliku lagi.”

Aku hanya tertawa. Tetapi batinku merentak tanya, di mana aku pernah mengenal M?

***

M muncul lagi dua hari kemudian, saat itu aku baru saja hendak keluar kantor dan sisa kegarangan matahari siang tadi masih terasa. Dia langsung berteriak, “Hariiiiiii!”

Nyaris aku terserimpung tangga depan kantorku karena teriakan itu melebihi kerasnya para anggota ketika menggebah nenek berusia 78 tahun yang menjual buah di tepi jalan. Astaga! Apakah dia tidak tahu kalau jantungku bisa kumat? M berlari mendekatiku, dan langsung menarikku menuju mobilku. Layaknya presiden yang diamankan oleh para pengawalnya, M nampak bersiaga penuh, wajahnya tegang, matanya berkeliaran seolah ada wabah kolera yang tiba-tiba menyerang.

“Buka! Cepat buka!”

Aku bingung. “Apa yang harus kubuka?”

“Ya ampuuun! Pintu mobilmu!”

“Tapi…”

“Tidak ada tapi! Cepat kaubuka pintu mobilmu! Kita harus segera menjauh dari sini!” Ketika aku mau berkata lagi, M tiba-tiba membentakku, “Cepaaaat!!”

Seperti bentakan bapakku ketika aku masih kecil yang tak bisa dibantah, aku langsung membuka pintu mobil. M pun segera duduk di sebelahku sambil menyuruhku menggebah mobilku pergi dari sana. Setelah menjauh dari kantorku, M baru menghela napas lega. Dia menyandarkan tubuhnya seolah baru saja berhasil lolos dari Koja ketika keributan makam Mbah Priok terjadi.

Aku yang penasaran sekarang. “Ada apa sebenarnya?” M tak segera menjawab, masih mengatur napasnya. Aku jadi makin penasaran. “Katakan, ada apa?”

Masih bersandar M melirikku, lalu meluruhkan tubuhnya. Matanya tajam, serius. Bibirnya mengatup rapat sebelum berucap, “Kau telah kuselamatkan hari ini.”

“Iya, dari bahaya apa?”

“Besok kau akan tahu dari bahaya apa kau kuselamatkan?” Aku mau buka mulut lagi, tetapi dia sudah menutup pembicaraan. “Besok kautanyakan pada orang-orang di kantormu.”

Tak perlu menunggu besok, setiba di rumah, kutelepon kantorku. Aku harus segera tahu jawabannya, aku tak mau dipusingkan dengan hal-hal yang tak kumengerti. Aku jadi ingat, betapa banyaknya orang yang berteriak tentang kasus-kasus raksasa yang belum juga terkuak, dengan jenis langgam suara berbeda-beda. Tidak perlulah sibuk memikirkan Century, kasus penggelapan panjak dan pecah genderang ketika Koja membara, siapa M sebenarnya saja masih menggantung di awan hitam.

Security yang bertugas malam menjawab kalau tak ada peristiwa apa-apa di kantor. Semua aman seperti biasa. Aku tak puas, kutanya sekali lagi, dan jawabannya tetap sama. Lantas, apa yang dimaksud M kalau aku terbebas dari bahaya?

“Sudah kubilang, besok… itu berarti hari ini. Bukan kemarin,” katanya separuh jengkel ketika tahu-tahu keesokan paginya dia muncul di rumahku. Astaga! Dari mana dia tahu rumahku? Seperti tahu apa yang kupikirkan, dia enteng berkata, “Mencari alamat orang besar di negeri ini gampang. Hanya untuk masuk ke sana yang susah, gemboknya ada 17 buah, belum lagi anjing-anjing penjaganya. Beruntunglah aku, punya sahabat seperti kau ini. Orang besar tapi tetap membuka pintu untuk rakyat. Sudahlah, cepat naiklah ke mobilmu… pergi ke kantormu dan lihat apa yang terjadi.”

Sepanjang perjalananku, hatiku tak tenang. Ada gigitan-gigitan kecil yang membuat penasaranku kian berombak. Setiba di kantor, langsung kutanyakan pada para karyawanku, apa yang terjadi kemarin. Mereka pun sigap menjawab, tangkas berucap, tetapi semua jawaban adalah seputar pekerjaan mereka kemarin. Aku jadi bingung.

“Bukan itu yang saya tanyakan!”

Semua terdiam. Masing-masing pemilik mata berpandangan bingung. Lalu salah seorang, berhati-hati bertanya, “Maksud Pak Hari, kejadian apa, Pak?”

Justru aku yang tidak tahu kejadian apa, bukankah aku bertanya? Akhirnya mereka kububarkan, dan aku tahu mereka keluar dari ruanganku dengan segudang pertanyaan di benak masing-masing.

Saat itulah M menyelinap masuk. “Bagaimana?”

Aku jadi kesal, karena merasa dipermainkan. “Apanya yang bagaimana? Tak seorang pun yang memberitahu ada kejadian apa kemarin, kecuali hasil pekerjaan mereka.”

“Nah, di sinilah letak kebohongannya.”

“Kebohongan apa?” aku merasa tak mampu lagi menahan jengkelku. Apalagi ketika aku ingat, aku tidak mengenal M. Kalau pun waktu itu kubilang aku ingat padanya, biar dia pergi dari hadapanku dan urusan selesai.

“Mereka pasti tak mau mengatakan tentang kebenaran.”

“Jangan berbelit-belit! Kebenaran apa?”

M malah tertawa. “Kau masih saja seperti dulu, tetap panasan dan penasaran.”

Aku mengeluh. Kalau saja dia tahu, betapa bencinya aku sekarang melihat caranya tertawa, aku yakin, dia pasti tak akan berani tertawa di depanku. Kulunakan suaraku, “Katakan….”
“Kau masuk daftar hitam penerima uang. Jangan kaubantah dulu! Aku yakin kau akan bilang tidak, karena aku tau kau bersih. Tapi ingat, sekarang ini semuanya lagi edan-edanan. Siapa pun bisa ditarik masuk dan didorong keluar. Kau yang ditarik masuk dan dikait-kaitkan dengan kasus penggelapan pajak. Bisa jadi…”

“Kata siapa?” akhirnya aku tak tahan juga. Napasku mulai tersengal karena bingung dan tegang.

“Tak perlulah bertanya. Aku tahu apa yang bakalan terjadi. Bila kau tidak mengambil tindakan, kau akan terseret arus selokan busuk. Ingat, tak ada selokan yang wangi di negeri ini… semua akan bertambah busuk dan terus membusuk.”

Keringat tanpa diundang telah merajai wajahku melihat betapa seriusnya M berucap. Kuhapus dengan punggung tangan. Geliat gelisah dan penasaran terus memancang tinggi. “Apa yang harus kulakukan?”

“Beri aku sejumlah dana, akan kuurus semuanya. Ingat, aku ini makelar.”

“Tapi… aku tidak terlibat apa-apa.”

“Katamu kau tak terlibat… tapi kau ingat kan, ada pemuda yang digebukin sampai bonyok ketika lewat di sebuah kompleks orang-orang bertubuh tegap dan dituduh maling sepeda? Dia dipaksa untuk mengaku! Apa kaupikir dia terlibat? Atau kaupikir dia memang malingnya? Tidak seperti itu! Kau pun bisa bonyok karena dipaksa harus mengaku! Nah, kalau kau mau aman, lewat jalanku.”

Keringat semakin mengguyur wajahku. Kutatap M yang memandangku penuh rasa kasihan. Pelan akhirnya kuanggukkan kepalaku tanda setuju. M tersenyum puas. Meminta sejumlah uang yang akan membebaskanku dari segala tuduhan. Lagi kuanggukan kepala. Kuminta M datang besok pagi. Setengah jam kemudian M meninggalkan ruanganku setelah memberi wejangan panjang.

Sepeninggal M, kuhapus keringatku. Kutarik napas panjang lalu kukeluarkan perlahan. Dengan sikap setenang sebelum kedatangan M, kuangkat telepon. “Selamat siang… saya mau melaporkan Tuan Markus yang sebenarnya….”***


Mutiara Duta, 18 April 2010