Tobat

Minggu, 25 April 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Melvi Yendra
Dimuat di Republika, 25 April 2010

TEMBAKAN itu datang dari berbagai arah. Dada dan kepalanya pecah. Rusuk dan kedua kakinya rengkah. Ketika malaikat maut menghampirinya, ia melihat lambaian tangan putrinya dan terukir senyum di bibirnya.

Lelaki itu roboh dengan puluhan peluru bersarang di tubuhnya.

***

Beberapa saat sebelum penembakan

Lelaki itu keluar dari masjid, berdiri sejenak memandang ke arah kegelapan. Angin pagi menerpa wajah kerasnya. Dicobanya memejamkan mata. Sedikit saja, sebentar saja, ia merasa sangat bahagia. Entahlah, ia kini merasa benar-benar terbebas. Ia ingin pulang. Sudah lama ia ingin pulang. Ia lelah menghabiskan umurnya di jalanan. Ia bosan dengan kegelapan. Wajah anak perempuannya kini memenuhi ruang pandangnya. Ia rasanya ingin terbang saja agar cepat sampai di rumah. Ia memakai jaket kulit hitamnya dan mengenakan sepatunya. Ditariknya napas panjang sekali lagi sebelum melangkah menuruni tangga masjid.

***

Setengah jam sebelum penembakan

Sosok-sosok bersenjata itu tiarap di semak-semak, di dalam kegelapan. Sudah lebih dari satu jam. Masjid itu telah dikepung. Lelaki yang mereka tunggu ada di dalam, di saf terdepan, sedang shalat Subuh bersama empat orang jamaah lainnya. Dalam perhitungan, mustahil ia bisa lolos sekarang. Meskipun, sesungguhnya, legenda yang tersiar tentang lelaki itu masih membuat mereka gemetaran. Sejak sepuluh tahun terakhir, ia selalu lolos dari kepungan. Kabarnya, ia menyimpan ilmu kanuragan. Dan, kabarnya punya indra keenam.

“Kenapa tidak kita serbu sekarang saja, ndan?” bisik seorang anggota pasukan kepada komandannya.

“Kau ingin menyerbu orang yang sedang sembahyang? Markas tidak akan suka. Wartawan akan senang menulis berita kita telah menodai rumah Tuhan,” sahut sang komandan.

“Ia bisa saja lolos lagi,” kata anggota pasukan pesimis.

“Tidak lagi. Masjid ini telah dikepung. Ia tidak akan bisa mengelabui kita kali ini,” sahut sang komandan, yakin.

“Bagaimana kalau lelaki itu keluar duluan? Pasti terjadi kericuhan,” tanya anggota pasukan sekali lagi.

“Tidak akan ada bedanya buat kita. Itu sudah risiko tugas. Biarkan markas yang akan menjawab semua caci maki masyarakat,” sahut sang komandan dan menyuruh anak buahnya diam.

Mereka menunggu. Menit demi menit berlalu. Shalat Subuh pun usai. Setelah zikir dan doa yang singkat, satu per satu jamaah keluar dari masjid dan pulang. Tak satu pun di antara mereka yang sadar, ada pasukan polisi sedang ber sembunyi di kegelapan. Masjid itu berada jauh dari rumah-rumah penduduk, di pinggir jalan yang sepi, di tengah persawahan.

Lelaki yang mereka incar belum juga keluar. Ia masih duduk di saf terdepan. Menundukkan kepala, sedang berdoa.

***

Satu jam sebelum penembakan

Ustaz Ramli menghela napas untuk kesekian kalinya. Ia gemetaran begitu lelaki asing itu selesai berkisah. Tak mudah baginya menerima kenyataan bahwa ia kini sedang berhadapan dengan seseorang yang mengaku telah membunuh 23 orang manusia. Degup jantungnya berkejaran dengan putaran biji tasbihnya. Saat ini, Ustaz Ramli benar-benar ingin Tuhan memberinya petunjuk jawaban apa yang harus diberikannya kepada lelaki itu. “Jadi, Ustaz, apakah Tuhan akan menerima tobat saya?”

Ustaz Ramli sudah sering mendapat pertanyaan seperti itu, tetapi belum pernah yang seperti ini. Untuk menjawab pertanyaan itu, ia menceritakan kisah yang diambil dari salah satu hadis Nabi Muhammad SAW. Dahulu kala, pada zaman umat-umat terdahulu, ada seorang pembunuh kejam yang telah membunuh 99 orang. Namun, setelah beberapa waktu, pembunuh itu sadar dan ingin bertobat. Maka, mulailah ia mencari seorang alim untuk menyatakan tobatnya. Namun, ketika berhasil menjumpainya, sang alim malah membentak pembunuh yang ingin bertobat tersebut dan mengatakan bahwa tidak ada ampunan bagi seorang pembunuh. Karena marah, si pembunuh pun membunuh sang alim. Sehingga, genap 100 orang yang telah ia bunuh.

Setelah itu, sang pembunuh merasa menyesal dan kembali meneruskan perjalanannya untuk mencari orang alim lain untuk menyatakan tobatnya. Maka, saat menemui orang alim kedua, ia berkata, “Apakah ada jalan untuk bertobat setelah saya membunuh 100 orang?” Si orang alim menjawab, “Ada. Pergilah ke dusun di sana karena banyak orang yang taat kepada Allah. Berbuatlah sebagaimana perbuatan mereka. Dan, janganlah engkau kembali ke negerimu karena negerimu adalah tempat para penjahat.” Dan, pergilah pembunuh itu. Di perjalanan, mendadak maut menjemputnya.

Maka, bertengkarlah Malaikat Rahmat dan Malaikat Siksa, memperebutkan roh si pembunuh. Berkata Malaikat Rahmat, “Orang ini telah berjalan untuk bertobat kepada Allah dengan sepenuh hatinya.” Lalu, berkatalah Malaikat Siksa, “Orang ini belum pernah berbuat baik sama sekali.”

Maka, diutuslah seorang malaikat lain untuk menjadi hakim di antara dua malaikat itu. Malaikat yang ketiga berkata, “Ukur saja jarak antara dua dusun yang ditinggalkan dan yang dituju. Maka, ke mana orang ini lebih dekat, masukkanlah ia kepada golongan orang sana.” Setelah diukur, didapatkan lebih dekat jaraknya ke dusun baik yang ditujunya kira-kira sejengkal. Maka, dipeganglah roh orang ini oleh Malaikat Rahmat.

“Jadi, aku masih bisa bertobat?” tanya lelaki itu setelah mendengar cerita Ustaz Ramli.

“Tentu saja, pintu rahmat Allah selalu terbuka luas untuk orang-orang yang ingin bertobat,” jawab Ustaz Ramli.

“Tapi, saya tidak tahu caranya, Ustaz. Jadi, mohon ajari saya,” kata si lelaki.

Belum sempat menjawab, beberapa jamaah datang. Waktu Subuh telah masuk dan azan segera dikumandangkan.

“Setelah Subuh, mampirlah ke rumah. Rumah saya di ujung jalan sana, rumah ketiga dari sebelah kanan. Saya akan tuntun Saudara untuk bertobat,” sahut Ustaz Ramli. Si lelaki mengangguk, kemudian pergi mengambil wudhu.

Sehabis shalat dan berzikir, Ustaz Ramli menghampiri si lelaki.

“Saya pulang duluan. Saya tunggu di rumah,” kata sang Ustaz. Si lelaki yang ingin bertobat mengangguk dan melanjutkan doanya sendirian.

***

Dua jam sebelum penembakan

Ustaz Ramli terpaksa berhenti mengaji. Lelaki berjaket kulit hitam berbadan kekar itu masuk ke dalam masjid terhuyung-huyung. Mulanya, ia berpikir lelaki itu salah satu preman kampung yang mabuk dan terdampar di tempat itu. Namun, melihat lelaki itu sadar dan segar bugar, Ustaz Ramli mengoreksi dugaannya.

“Assalamu ‘alaikum,” sapa Ustaz Ramli.

Lelaki itu tak menjawab. Ia mendekat dan menyalami sang Ustaz.

“Tolong saya, Pak Ustaz,” katanya lirih.

Ustaz Ramli kini benar-benar kaget. Lelaki di depannya bersimbah air mata. Ia menangis sesenggukan.

“Apa yang bisa saya lakukan untuk Saudara?” tanya Ustaz Ramli waswas campur bingung.

“Saya ingin bertobat.”

Ustaz Ramli terdiam.

***

Dua setengah jam sebelum penembakan

Tiba-tiba saja, lelaki itu merasa letih. Kakinya perih. Di sebuah persimpangan, ia berhenti berlari. Ia pikir, para pengejarnya sekarang sudah kehilangan dirinya.

Matanya melihat puncak sebuah masjid, kecil di kejauhan. Sayup-sayup terdengar suara bacaan Alquran dari pengeras suara.

Tiba-tiba, ia merasa sangat rapuh.

***

Tiga setengah jam sebelum penembakan

Ia keluar dari rumah besar itu tanpa kesulitan. Suara anjing menggonggong, tapi di sana, di kejauhan. Di salah satu belokan, ia berhenti karena telepon genggamnya bergetar. Sebuah pesan singkat datang dari nomor yang sangat ia kenal:

Selamat ulang tahun, Ayah. Semoga panjang umur dan selalu bahagia. Ayah lagi di mana? Ayah sudah janji, di hari ulang tahun Ayah yang ke-45 ini, Ayah akan pulang dan tak akan pergi lagi. Fitri ada kado untuk Ayah. Ayah pasti suka. Salam sayang selalu, Fitri dan Ibu.

Ia memejamkan mata. Membayangkan wajah Fitri, anaknya yang masih kecil dan istrinya di rumah. Sudah berapa lama ia tidak pulang? Ia sudah tidak ingat. Entah mengapa, ia teringat akan putrinya. Ia pernah berjanji untuk menemani putrinya itu.

Ia ingin menangis, tapi terlambat. Air matanya sudah menetes membasahi pipinya. Tiba-tiba ia tersenyum. “Preman ternyata masih punya nurani,” batinnya.

Lelaki itu membuka mata ketika mendengar suara mencurigakan di suatu tempat tak jauh dari tempatnya berdiri. Naluri memerintahnya untuk segera berlari.

Ia pun berlari, tak berhenti.

***

Empat jam sebelum penembakan

Ia berdiri di pinggir tempat tidur besar itu. Lelaki yang harus ia bunuh sedang mendengkur sendirian di atas ranjang. Tampak tenang. Terlihat tanpa dosa.

Ia sebenarnya tidak terlalu menyukai pekerjaannya. Pembunuh bayaran bukanlah pekerjaan yang baik, ia tahu. Namun, pekerjaan ini kadang-kadang memberi lebih dari sekadar uang. Ia sering merasa puas setelah mengeksekusi para maling ini. Kadang-kadang ia merasa sedang menunaikan tugas suci. Ia seakan-akan adalah algojo yang ditunjuk untuk menghukum mati para pelaku korupsi.

Tiap kali sebelum membunuh, ia tak lupa berdoa agar dosa-dosanya diampuni.

***

Dua jam setelah penembakan

Ustaz Ramli kembali ke masjid karena lelaki yang ingin bertobat itu tak kunjung mengetuk pintu rumahnya. Di halaman masjid, ia menemukan banyak bercak darah yang telah coba ditutupi dengan tanah.

Ustaz Ramli merinding.

Lebih-lebih ketika ia mencium aroma wangi. Aroma wangi yang asing, yang belum pernah ia cium sebelumnya. (*)

Jakarta, 4 April 2010