Kisah Rumah Kecil

Jumat, 16 April 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Koko Nata


Dulu, aku sebuah rumah kecil. Aku hanya terdiri dari ruang tamu sekaligus ruang keluarga, kamar tidur sempit, dapur, dan kamar mandi. Lantai hanya terbuat dari campuran semen dan pasir. Dinding-dindingku adalah susunan batu bata kualitas rendah. Sedangkan atap terbuat dari genteng asbes. Meskipun begitu, jendela-jendelaku mampu menjaring banyak sinar matahari. Pintu-pintu sering terbuka, mengalirkan udara segar di setiap ruanganku.

Penghuniku terdiri dari ayah, ibu, putra dan putri. Sejak mahasiswa ayah sudah rajin menabung. Ketika akan menikah dengan ibu, ayah mulai membuat rumah mungil: aku. Setelah menjadi pasangan suami-istri, ayah dan ibu sedikit demi sedikit membeli perabotan. Mereka senantiasa membeli barang-barang yang betul-betul dibutuhkan. Keduanya lebih suka menabung untuk persiapan pendidikan anak-anaknya kelak.

Aku masih ingat bagaimana proses kelahiran putra dan putri. Meskipun usia mereka berbeda dua tahun, proses kelahirannya tidak berbeda! Seorang bidan yang sama menolong kelahiran mereka. Anak-anak yang lucu itu terpaksa lahir di rumah karena ayah dan ibu tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Meskipun begitu, mereka terlahir dengan selamat dan sehat.

Putra dan putri tumbuh besar dalam asuhan ibu, tanpa bantuan orang lain. Ibu menyediakan seluruh waktunya untuk mengurus keluarga. Sebelumnya ia sempat bekerja di kantor. Begitu putra lahir, ibu lebih memilih jadi ibu rumah tangga. Pagi-pagi, ia sudah bangun untuk menyiapkan segala kebutuhan ayah, putra dan putri. Terkadang ayah membantu ibu memasak. Ayah selalu membawa bekal untuk makan siang di kantor. Ibu sangat pintar mengolah bahan-bahan murah menjadi kudapan yang sangat lezat. Ibu juga gemar membuat mainan sendiri untuk putra dan putri.

Ayah bekerja mulai Senin sampai Jum’at. Sabtu dan Minggu ia khususkan untuk bermain dengan putra dan putri. Ayah memperbolehkan ibu melakukan apa saja yang disukainya di akhir pekan, sementara ia mengasuh putra dan putri. Tidak jarang ayah mengajak putra dan putri membuat masakan spesial untuk ibu. Setelah memasak, dapur kerap berantakan seperti baru saja terserang badai. Akhirnya, ibu juga yang harus turun tangan membersihkan dapur. Tawa dan canda selalu mengiringi kegiatan mereka. Aku senang mendengarnya.

Ketika Putra duduk di sekolah dasar, ayah mulai menduduki jabatan yang lebih tinggi di kantornya. Penghasilan yang diterima ayah setiap bulan meningkat, berbagai fasilitas pun Ayah dapatkan. Salah satu fasilitas itu adalah sebuah mobil. Ayah pun mulai berencana untuk memperbesar ukuranku. Ibu sangat mendukung. Putra dan Putri bertambah besar. Mereka harus sudah memiliki kamar tidur sendiri. Beberapa tahun kemudian, rencana Ayah untuk memperbesar ukuranku terlaksana. Selama proses pembangunanku, keluarga kecil tersebut harus menempati rumah lain. Untuk sementara aku berpisah dengan mereka.

Beberapa bulan kemudian aku selesai dibangun. Kini kamar tidurku ada lima. Ayah dan ibu menempati kamar depan, putra dan putri mendapat kamar sendiri. Sedangkan dua kamar lagi untuk pembantu dan tamu. Kamar mandi pun bertambah dari satu menjadi tiga, dilengkapi dengan pancuran air panas dan dingin. Hampir semua perabotan baru. Aku bagaikan terlahir kembali dalam wujud yang lebih indah dan megah.

Sejak wujudku berubah, terjadi perubahan pula pada keluarga kecil itu. Ibu mulai bekerja kembali. Tugas-tugas rumah tangga beralih pada seorang pembantu. Ibu tidak lagi mengantar dan menjemput Putra dan Putri sekolah. Mereka sudah berlangganan mobil antar jemput. Hari Sabtu, Ayah tidak lagi berada di rumah. Ayah sering ke luar kota. Ibu pun terkadang harus bekerja lembur di kantor. Keluarga itu hanya bertemu beberapa jam sebelum tidur. Sebelum sinar matahari merata menyinari bumi, mereka sudah pergi meninggalkan rumah.

Perabotan-perabotan mewah dan mahal juga kini mengisi ruanganku. Televisi layar datar yang lebih sering ditonton oleh pembantu. Lemari es dua pintu tempat menyimpan aneka makanan siap saji, mesin cuci dan berbagai peralatan dan perlengkapan modern lainnya. Entah kenapa, aku jadi merindukan perabotan sederhana yang dulu. Meskipun harganya murah, seluruh anggota keluarga senang memakainya.

Satu hal lagi yang sangat kurindukan adalah keceriaan saat makan bersama. Mereka sangat jarang makan bersama lagi. Aku rindu percakapan hangat mereka di meja makan. Apakah mereka juga merindukannya? Pasti. Buktinya dialog menjelang waktu makan yang sering sekali kudengar.

”Bibi sudah masak ayam kecap kesukaan nona, lho hari ini,” kata sang pembantu.

”Bibi saja yang makan. Aku sudah kenyang makan bakso sama teman-teman,” kata Putri yang masih menggunakan seragam SMP-nya.

Dulu, ayam kecap kerap diperebutkan oleh putra dan putri. Ayah dan Ibu terpaksa memotong dada ayam sama rata, agar keduanya tidak berebut lagi. Sekarang, meskipun sepiring ayam kecap dan aneka makanan lezat telah tersaji di meja makan, Putra dan Putri enggan menikmatinya. Mereka rindu. Pasti rindu. Sehingga tidak mau makan sendiri di meja makan.

***

”Wah, rumahnya sudah bagus sekali, ya. Kalau tidak salah, dulunya rumah ini kecil dan sederhana,” kata seorang bapak tua yang melintas di depanku pada temannya.

Bapak itu benar, aku dulunya si rumah mungil. Namun jika diminta memilih aku lebih suka diriku yang dulu. Kecil tetapi penuh canda tawa keluarga. Sederhana, tetapi semua anggota keluarga sering menghabiskan waktu bersama. Seringkali aku berdoa, agar aku menjadi seperti dulu saja. Mungkinkah doaku akan terkabul? Entahlah. Aku hanya rumah, rumah kecil yang sekarang megah tetapi tidak bahagia.