Membunuh Shakespeare

Minggu, 04 April 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Lampung Post, Minggu, 4 April 2010








Julia, maafkan aku

baru kini aku kuasa memberitahumu

dalam kertas bergulung yang kurekat dengan

getah pohon mapel

sungguh, aku tak pernah mampu membuat puisi

-termasuk susunan kata-kata ini

yang mengantar surat ini

jauh lebih layak kaupanggil laki-laki puisi

cintailah Shakespear sebagaimana

kau pasrah disetubuhi

puisi-puisinya:

sandiwara-sandiwaranya

(Romeo, sebelum dipaksa menenggak racun itu)

Kembali ke Masa Depan

Di meja kayu yang terbuat dari bonggol beringin, gadis dengan syal biru pastel itu menyeracau pada pemuda yang duduk di hadapannya. Ia geram karena pemuda itu tak ingin mengajaknya jalan-jalan. Padahal ia tak minta diantar ke mana-mana. Tidak ke Italia, Jepang, atau Amerika. Ia hanya ingin kembali ke kampungnya yang kini tak lagi bernama. Tak lama, perempuan itu menyiramkan jus terong belanda di gelas kristal bertiang setinggi telunjuk ke laki-laki itu. Mungkin ia terlalu kesal. Namun, ajaib, pemuda itu malah bersimpuh dan mengucapkan sesuatu yang sangat diatur lenggok bahasanya. Oh, jangan-jangan ia sedang merayu. Dan tampaknya berhasil. Wajah gadis itu tiba-tiba merah ceri. Tak lama, mereka sudah berjalan bergandengan. Menyusuri jalan setapak yang dipagari krisan kuning yang berbaris dekat batu apung yang diserakkan di kiri-kanan jalan.

Ketika mereka pergi, kudekati meja kayu tempat mereka berselisih tadi. Betapa takjubnya aku ketika tempat duduk laki-laki tadi tiba-tiba menggeliat. Tak lama, terdengar suara dari situ.

"Aku tahu, Julia. Kau ingin kembali ke masa depan demi menyongsong kenangan itu. Namun, adakah yang kuasa membawamu selain puisiku."

Ah, pasti kursi itu menyadur rayuan Romeo tadi.

Laki-Laki Puisi itu Bukan Kekasihnya

Gadis itu mencangkung di sudut kamarnya. Ia mengeret selimut sampai ke sana. Sebenarnya bukan langit yang berkrayon gelap yang membuatnya menggigil. Namun karena telah dapat ia bayangkan, sebentar lagi bumi akan kuyup. O bukan juga! Bukan perihal hujan. Mungkin petir yang menyambar-nyambar. Blitz yang kadang-kadang dicorongkannya pada orang-orang yang tengah melamun-ria. Dia trauma. Pada suara gelegar langit, pada muntahan laut, pada gemeretak tanah, pada kumparan angin.... Ayahnya disambar petir ketika tengah memetik kelapa muda untuknya. Ibunya digulung tsunami ketika menyusur pantai di selatan kota. Adiknya ditimbun reruntuhan menara kastil ketika gempa. Kakaknya digulung puyuh yang datang tiba-tiba di siang lengang.

"Kenyataan pahit memang berserakan dalam hidupku. Namun, adakah yang mampu meluruhkan rindu?" katanya suatu waktu.

Tak lama, seorang laki-laki mengetuk pintu. Ia hampir saja melonjak kegirangan bila tak segera menyadari bahwa yang datang adalah bukanlah yang dinanti-nantikannya. Namun, ia tak ingin menampakkan keterkejutan. Gegas ia memeluk laki-laki itu. Menangis tersedu-sedan di balik punggungnya.

"Ada apa, Sayang? Mana satpam? Mana pembantu-pembantumu?"

Gadis itu masih menangis.

"Oh, keparat! Mereka makan gaji buta saja!"

Tangis itu makin pilu.

"Aku tahu cuaca sangat tak bersahabat. Namun, keinginanku untuk menghadiahimu sebuah puisi membuat semuanya tak berarti, Sayang." Laki-laki itu merenggangkan pelukan. Ia tatap mata perempuan itu lekat-lekat. "Sudahlah. Aku sudah membawa puisi untukmu...." Laki-laki itu menyeka air mata si gadis. Di tangan kirinya sebuah gulungan kertas digengam erat.

"Mengapa kau yang ke sini, Shakespear?" tanya gadis itu lirih, hampir tak terdengar.

"Maksudmu? Kau lebih mengharapkan Romeo?" Laki-laki itu mengernyitkan dahi. "Kau harus tahu, akulah yang membuat semua puisinya!"

"O ya?" Gadis itu mendongak dengan wajah diseri-serikan (ah, aktingnya begitu sempurna). "Kalau begitu, aku alihkan rindu itu padamu." Mata celik itu berbinar. "Takkan ada yang mengalahkan rinduku ini."

"Ya. Tapi, mengapa kau memertanyakan kepulanganku, Julia? Bukankah kau telah mendapatiku di sini?"

"Aku memang mendapatkanmu, tapi...." Gadis itu bagai bergumam.

Tiba-tiba laki-laki itu terhenyak. Gulungan kertas di tangannya terjatuh. Terdengar bunyi senak dari kerongkongan.

Gadis itu berbalik arah. Membuka pintu. Menerobos hujan yang bergumul dengan halilintar.

"Tapi kau telah membuatku kehilangan rindu itu...." Kali ini ia bercakap pada langit yang marah.

Telah Seberapa Kuyup Kau oleh Puisiku?

Aku akan datang kelak, gumam laki-laki itu.

Pada malam yang sangat dulu, gadis yang hendak ia sunting itu ditelan hujan lagi. Ia tahu sekali. Ya, dulu, Julia takluk oleh hujan yang ia guyur dalam kata-kata.

Awalnya adalah mendung. Lalu rinai. Deras. Hujan pun makin rimbun. Renyai. Ia ingat sekali. Kala itu Julia menelepon. Gadis itu mengungkapkan betapa ia merindukan laki-laki puisi. Ia ingin pemuda itu membacakan beberapa puisi untuknya.

Laki-laki itu tahu betapa bengkak tagihan telepon yang akan dibayar bila ia penuhi permintaan itu. Maka, ia merubah suaranya se-Romeo mungkin.

"Tutup telepon ini, Sayang. Keluarlah. Hitung hujan satu-satu. Lalu, ceritakan padaku. Telah seberapa kuyup engkau oleh puisiku...."

Bakda itu, gadis itu tak pernah menghubunginya lagi.

Laki-laki itu tak pernah tahu kalau Julia terus memintal rindu. Berhelai-helai rindu. Lalu menjahitnya. Kadang memayetnya di beberapa bagian. Setiap hari ia selalu mengenakannya.

Gadis itu ketakutan sendiri bila hujan turun. Ya, itu pertanda Romeo akan menyerangnya dengan puisi yang bertubi-tubi. Namun, itu tak akan pernah menamatkan rindunya. Hingga, Romeo menelepon bahwa ia akan pulang. Ia bilang akan melucuti pakaiannya di malam pertama perjumpaan mereka setelah hampir setahun tak bertemu. Dan gadis itu merasa kematian akan segera menyambanginya. Hayat rindunya akan segera khatam.

"Oh, takkan ada yang boleh mencurinya, merebutnya, apalagi melepas rindu itu dari tubuh yang sudah bersekutu dengan waktu."

Pelukan Berdarah

Mereka bilang: ketika puisi dihadiahkan, maka penulisnya tak ada lagi. Namun, sepertinya tak berlaku bagi Romeo. Ya, bila Julia mengeja larik yang bertipografi itu, tiba-tiba lidahnya mati. Ia tak menemukan kata-kata di sana, selain wajah seseorang yang melemparnya ke masa lalu. Maka, gegas ia berharap agar hari ini bumi tak lagi mandi. Namun, permintaannya tertolak. Hujan menggila. Merajam bumi tak alang kepalang. Suara seng berkereokan. Ia mencangkung di sudut kamar. Selimut yang dieretnya dari ranjang, menutupi kakinya hingga sebatas lutut.

Ia tangkupkan kedua tangannya di kaca jendela yang mulai berkabut. Ia tatap jalan setapak yang meliuk di taman krisan dekat rumah. Meja bonggol-beringin itu sudah berlubang di sana-sini. Entah, ia bagai mendapati gelas kristal yang dulu pernah ia tinggalkan di sana, kini bertengger dekat salah satu kaki kursi yang terbuat dari anyaman damar yang sudah mencokelat. Ia serta merta mundur beberapa langkah ketika kilat tiba-tiba menyilaukan pandangan.

Pintu diketuk. Ia sibakkan gorden. Ia ambil sebilah pisau di dapur. Ia selipkan di pinggangnya. Ia gegas menyambut laki-laki itu. Laki-laki puisi, itu yang dia harapkan datang.

....

Ia peluk laki-laki itu. Erat sekali. Ia menangis. Menangis karena rindu tak tertanggungkan. Rindu tak tepermanai. Ia ingat sekali, bakda diboyong dari taman krisan satu tahun lalu, ia dikurung olehnya, laki-laki puisi palsu itu. Anehnya laki-laki itu meninggalkan nomor telepon Romeo untuknya.

"Aku dapat saja memisahkan kalian, namun cinta adalah keajaiban yang tak boleh dihentikan, bukan?" Ia terbahak-bahak seraya memberi kode agar para pengawalnya menyeret Romeo keluar.

O ya, laki-laki itu juga membayar para profesional untuk mengawasi dan memenuhi kebutuhan Julia. Dari satpam, tukang antar makanan, tukang cuci, hingga tukang rias. Dan kemarin, telah ia kirim semua orang bayaran itu bertamasya ke langit. Ia benar-benar yakin, hari ini mereka menangis hingga awan tak kuasa menampung air mata mereka. Ya, mereka hendak mengadu pada sang tuan yang kini dipeluknya.

Tak lama, Julia merenggangkan pelukan. Setelah bercakap sedikit, mata laki-laki itu membelalak. Terhenyak. Sebilah pisau telah tertancap di dadanya yang tak bidang itu.

Perempuan itu pergi. Menerobos hujan. Merayakan kematian Shakespear. Merayakan rindu yang takkan pernah mati.

Percakapan di Liang Lahat

Oh, bila kejadian ini disaksikan oleh orang-orang yang memuja mereka, pasti banyak yang terhenyak.

Bukan! Bukan karena Julia memaki-maki Romeo yang membawa setangkai bunga matahari. Bukan pula karena terlampau kasar cercaannya. Tapi.... Ah, nantilah kalian akan tahu sendiri. Ini adalah satu dari cerita yang tak pernah diumumkan.

Ialah ketika pemuda itu menanyakan mengapa Julia tak membalas puisi yang dikirimnya malam itu. Julia balik bertanya, bukahkah Shakespearlah yang menulis semuanya.

"Apalagi ia juga yang mengantarnya," lanjutnya. "Takkah kau tahu betapa aku membenci Shakespear, hah?! Aku benar-benar lelah terus berpura-pura mencintaimu, Romeo."

"Berpura-pura?"

"Ya. Kupikir kaulah laki-laki puisi itu." Julia melipat kedua tangannya di dada.

"Shakespeare juga telah meracuniku sebelumnya, Julia," wajah Romeo itu tiba-tiba sayu.

"Dan si tua bangka itu telah terlebih dahulu berkoar pada dunia, bahwa kita mati karena cinta yang sejati, sehidup semati!" Dada Julia turun naik meredam sesak.

"Malam itu," bibir Romeo bergetar, "Aku hanya ingin berbagi, Julia. Dan aku tak cukup lelaki untuk mengutarakannya tanpa basa-basi. Ya, aku berharap, puisi tak membuatku lemah sebagai kekasih."

"Ja... ja... ja... di," Julia gagu, "Benar puisi itu kau yang menulisnya, Romeo?"

Romeo mengangguk. "Tapi aku tak layak menjadi laki-laki puisi sebagaimana kau bayangkan."

Hening.

"Malam itu, Shakespear memintaku menulis puisi untukmu. Hanya puisi yang malam itu. Selebihnya karya Shakespear." Romeo jujur. "Yang menyambut teleponmu di malam ketika kau merinduiku, pun Shakespeare..." Romeo tertunduk.

"Sudahlah. Kalaupun kau benar mencintaiku, tak demikian dengan aku. Mungkin bila kita diberi waktu hidup lebih lama, dunia akan tahu bahwa kita hanya diperbudak pengarang hebat itu untuk saling memuja."(*)

Lubuklinggau, 09 Februari 2010