Dimuat di Republika, 27 Juni 2010
SETELAH mendengarkan sebuah cerita, Mahisa tak jenak lagi memejamkan kedua matanya, apalagi makan dengan tenang. Semua pasti sepakat bahwa cerita itu memang benar-benar keramat. Ya, cerita tentang masa, bahwa suatu saat nanti matahari akan tergelincir dari ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala manusia.
Sebongkah bara raksasa akan menjerang manusia hidup-hidup dalam tungku yang terbangun dari batu-batu hati yang keras. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis seperti hujan di awal tahun. Dengan kaki telanjang, para manusia akan merangkak, saling berebut mengendus keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang sampai mata kaki, lutut, dada, dan akhirnya meneggelamkan kepala mereka.
***
Mahisa tercenung di depan meja makan yang megah. Meja makan berbentuk lingkaran yang terbuat dari batu marmer. Meja makan otomatis yang bisa berputar sendiri, mempersilakan menu-menu istimewa untuk tuannya. Mata Mahisa menilik satu per satu piring, mangkuk, dan cawan berkaki yang semuanya berisi.
Seorang khadimah mendekatinya, “Mengapa Tuan tak bersegera makan? Bunda Nonya pasti akan memarahi saya jika Tuan tidak jenak makan, hanya karena menu masakan yang saya sajikan kurang menarik.”
“Bukan. Bukan itu, Bi. Emm .… Bi, bibi pernah kelaparan.” Mahisa balas bertanya.
“Mengapa Tuan menanyakan itu?”
“Karena saya belum pernah. Bibi pernah?”
“Syukur alhamdulillah, sejak Bunda Nyonya kecil, bibi sudah ikut keluarga ini. Dan bibi maupun keluarga bibi belum pernah mengalami yang namanya kelaparan. Ya, na’udzubillah, Tuan!”
“Kok na’udzubillah? Memangnya rasa lapar itu sangat menakutkan ya, Bi?”
“Rasa lapar itu lebih mengerikan dari apa pun. Rasa lapar datang dari perut. Dan perut adalah ibu dari segala kelaliman.”
Mahisa tercenung. Tak sedikit pun hidangan yang tersedia di hadapannya disentuhnya. Ia membayangkan matahari mengapung beberapa senti dari kepalanya. Ia bergidik ngeri. Beberapa detik kemudian ia berlari ke kamarnya.
“Tuan, Tuan kenapa? Mau ke mana? Tuan?” bibi mengejarnya.
Mahisa mengambil kaus jaketnya dan berlalu, “Maaf, Bi. Saya ingin jalan-jalan. Nanti kalo Bunda telepon dan menanyakan apa saya sudah makan atau belum. Bibi bilang saja kalau saya sedang puasa.”
“Tuan puasa?” bibi mematung.
Mahisa tersenyum dan berbalik.
“Lalu Tuan mau ke mana?” bibi membuntutinya.
“Jalan-jalan.”
“Iya, jalan-jalannya ke mana?”
“Ke kampung lapar.”
“Kampung lapar?” bibi tercengang, mencerna sesuatu.
“Iya, Bi. Kampung yang membuat saya penasaran.”
Bibi terus mengintil, “Lalu Tuan pulang jam berapa?”
“Entahlah, Bi.”
“Kok entahlah?”
“Ya, saya akan pulang setelah saya benar-benar kenyang dengan rasa lapar.”
Bibi mematung di depan pintu. Mulutnya menganga. Alisnya bertaut. Dahinya berkerut.
***
Mahisa bergegas meninggalkan bibi yang masih mematung di depan pintu. Ia sengaja meninggalkan kunci mobilnya di kamar. Ia hanya ingin berjalan. Benar-benar berjalan dengan dua kakinya yang telanjang. Beriring langkahnya yang kukuh dan terus berayun, sesuatu yang ada dalam kepalanya meletup-letup. Ia telah hidup puluhan tahun, dan bagaimana mungkin ia tak pernah merasakan lapar.
Hari-hari Mahisa terperangkap oleh perhatian bundanya. Maklumlah ia putra semata wayang. Sejak kecil, Mahisa telah menjadi sebongkah emas bagi keluarganya. Jangankan kelaparan, digigit nyamuk pun bunda tak akan membiarkannya, bunda akan segera mengolesi bentolnya dengan minyak tawon. Meski bunda seorang wanita karier, ia tak pernah lepas perhatian kepada putra satu-satunya. Siapa lagi yang akan memperhatikannya. Pun papa tak mesti seminggu sekali ada, papa adalah seorang duta negara yang sibuk, yang selalu melakukan perjalanan jauh dengan pesawat terbang.
Ketika bunda nyonya berangkat kerja, semua keperluan Mahisa telah dipasrahkan kepada bibi, orang kepercayaan keluarga. Tak lupa, tiga sampai lima jam sekali, bunda nyonya menelepon dari kantornya. Menanyakan apakah Mahisa sudah makan dan minum vitamin, atau dia pergi ke mana dan dengan siapa, lalu ngapain saja, pulang jam berapa. Begitulah rentetan pertanyaan bunda untuk Mahisa. Terkadang Mahisa mulai merasa jenuh. Bukan, bukan jenuh. Mahisa hanya merasa kurang nyaman dengan perhatian bunda yang berlebihan. Ia bukan lagi bocah belasan tahun. Tapi, apa pun keputusan bunda, Mahisa selalu menghormatinya.
***
Mahisa menoleh ke belakang, rumahnya yang menjulang masih tampak dari kejauhan. Ia terus melangkah. Kaki putihnya mencengkram gili-gili. Setapak demi setapak. Sengatan matahari mulai menjilat tengkuknya. Ia menengadahkan wajah ke langit. Silau. Kakinya terus berayun, dari trotoar, sesekali meloncat ke jalan beraspal yang membara seperti panggangan steak. Detik-detik menggeliat kepanasan. Menit dan jam berlalu menjadi bulirbulir keringat. Seperti asap yang terjebak dalam tungku.
***
Jauh sudah ayun langkah Mahisa. Sama sekali ia tak tahu-menahu di mana sekarang ia berada. Baru saja ia melewati perbatasan kota kedua. Meski acap kali alisnya bertaut, tapi ia tak pernah khawatir tersesat, karena ia benar-benar tahu arti tersesat. Yaitu, ketika arah tak jangkau pandang dan matahari berguling-guling beberapa senti di atas kepala. Itulah tersesat.
“Perutku.” Mahisa mengusap perutnya. “Sebentar lagi aku akan sampai di kampung lapar. Aku tak boleh beku langkah.”
Kaki Mahisa kini berayun dengan runtun, bagai langkah paskibra. Ia memicingkan mata ketika tiba-tiba asap tebal menghalangi pandangannya. Ia mencium bau plastik entah rambut terbakar. Ia tak peduli, ia hanya sedikit memperlambat langkahnya. Ketika asap itu perlahan pudar, Mahisa menghentikan hentak langkahnya. Matanya nanar menatap sebuah kampung yang beratap seng dan kardus-kardus bekas. Dari tempatnya berdiri, Mahisa bisa mengucup aroma kumuh. Kumuh yang aneh.
Mahisa kembali menggerakkan kakinya, ia melewati gundukan sampah yang menggunung di dekat pintu masuk kampung. Ia melewati rumah-rumah ringkih yang menjerit dalam diam. Sunyi. Air kotor menggenang di mana-mana. Lalat dan nyamuk sampah menguing. Tanah-tanah becek menguapkan bau lumut yang terkontaminasi keserakahan. Sesekali Mahisa mendengar jeritan parau dari dalam rumah-rumah yang pintunya tertutup oleh kain-kain kumal. Mahisa melihat dua anak kecil yang menggelosor di bawah kursi sambil menjilati ingusnya. Berikutnya, ia menyaksikan ibu-ibu tua yang menyuapi anaknya yang busung lapar dengan makanan yang dikerubuti lalat. Mahisa tak menghentikan langkahnya. Matanya nyalang seperti kamera yang menjepret apa saja.
Langkah berikutnya, Mahisa melihat dua orang pemuda yang mencengkram kaki binatang yang meronta-ronta. Perempuan baya di sebelahnya menggenggam parang yang berkilat. Seorang anak kecil yang tak berbaju, bergelendotan di kaki perempuan itu. Mahisa mendekat.
“Apa yang akan kalian lakukan.” Tanya Mahisa mengagetkan mereka.
“Kami akan menyembelih binatang ini.” Salah seorang pemuda menjawab.
“Hei, itu bukan kambing, kan? Itu anjing, kan?”
“Oh, ini bapak kami. Beliau berubah menjadi anjing. Beliau sendiri yang meminta kami menyembelihnya. Beliau hanya tak ingin melihat kami kelaparan.”
Mahisa terhenyak dan nyaris muntah. Ia bergegas meninggalkan gerombolan itu dengan kaki mulai gemetar. Beberapa kali perutnya berkeriuk, berkabar tentang rasa lapar yang sebenarnya. Mahisa mempercepat langkah kakinya. Tergesa. Ia terhenyak, serta merta menghentikan langkah, ketika kakinya menyandung sesuatu. Sebuah kardus. Kardus yang tertutup kain tipis seperti taplak meja. Ada yang menggeliat dalam kardus itu. Mahisa bertanya-tanya. Disingkapnya kain penutup itu perlahan. Seonggok bayi merah menggeliat menendang-nendang dinding kardus. Mahisa miris melihatnya. Dadanya sesak. Ketika telunjuknya mendekat, hendak menyentuh tangan bayi itu. Mahisa benar-benar tak percaya. Bayi itu bisa bicara. Bayi itu mengaku, sengaja dibuang ibunya karena tak punya cukup biaya untuk membeli susu atau sekadar pisang.
Dada Mahisa masih bertalu dalam rasa sesal dan pertanyaan-pertanyaan. Ketika matanya menengadah ke langit, ia merasakan, bahwa matahari yang berpijar di petala langit tampak lebih besar dari yang seharusnya, lebih dekat. Mahisa menunduk, mengabaikan silau yang menikam pupilnya. Mahisa menjerit sekeras-kerasnya ketika kardus berisi bayi di hadapannya lenyap dibawa lari seekor anjing. Mahisa tak kuasa mengejarnya. Ia panik, berlari pontang-panting tak yakin arah. Setelah beberapa meter, di bawah sebuah pohon yang rindang, ia berhenti. Napasnya tersengal-sengal. Kali ini perutnya terasa menciut, ususnya mengering melilit lambung dan tulang. Ia yakin sekali, itu yang disebut lapar.
Mahisa melempar paku pandangnya jauh. Sejauh hasta pandang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan pulang, dan sama sekal ia tak berhasil. Ia benar-benar ingin pulang. Bukan untuk memenuhi perutnya dengan makanan. Mahisa hanya ingin membawakan makanan yang melimpah di rumahnya kepada orang-orang itu, orang-orang yang dihantui rasa lapar dan kematian.
Sekarang Mahisa tahu, apa itu lapar. Pantas saja, dalam cerita itu, orang-orang yang tak peduli dengan saudaranya sesama manusia—yang kelaparan—kelak tak akan dapat naungan ketika Matahari benar-benar didekatkan sampai beberapa senti di atas kepala mereka. Ya, Mahisa tak ingin mencicipi matahari memberangus kepalanya, selebihnya Mahisa hanya ingin berbagi. Tapi bagaimana? Ia benar-benar tak ingat jalan pulang.
***
Mahisa terheran-heran, perjalanannya sudah terasa sangat lama. Tapi langit tak juga remang. Matahari semakin nanar dengan pijarnya. Mahisa memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanannya, ke mana saja, yang penting ia bergerak. Mahisa memutar haluan sampai ia menemukan kembali perbatasan kota. Di sebuah gerbang tugu, ia membaca tulisan ‘Selamat Datang di Kota Kenyang’. Ya, itulah kota tempat ia tinggal selama ini. Ia senang bukan kepalang, berkali-kali ia menggumam hamdalah. Anehnya, setelah memasuki perbatasan, Mahisa tak menemukan satu rumah pun, tak juga pepohonan, atau jalan-jalan beraspal. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan pasir. Serupa gurun.
Mahisa mengayun langkahnya penuh keragu-raguan. Ia bertanya-tanya, apa yang telah terjadi dengan kota ini. Apa ini sebuah mimpi? Mahisa menjambak rambutnya sendiri. Sakit. Tapi ini sangat aneh, belum genap satu hari ia pergi, dan semuanya berubah. Tukang sulap mana yang bisa menyulap kota menjadi padang gersang. Mahisa mengerjapkan matanya. Hawa panas kembali menyengat tengkuknya. Mahisa sendiri merasakan, dulu kota tempat ia tinggal tak pernah sepanas ini. Apa karena padang pasir ini? Di mana pula penduduk kota? Ia tak melihat seorang pun di sana. Sepi yang menyala-nyala.
Setapak demi setapak, Mahisa menggerakkan langkahnya. Ia sangat khawatir dan takut. Ia menegadahkan kepalanya ke langit. Silau. Matahari tampak lebih besar dari biasanya. Lebih dekat. Ia kembali memutar cerita itu dalam kepalanya, cerita tentang masa, bahwa suatu saat nanti matahari akan tergelincir dari ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala manusia. Sebongkah bara raksasa akan berputar-putar di atas kepala manusia. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis seperti hujan di awal tahun. Dengan kaki telanjang, para manusia akan merangkak, saling berebut keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang sampai mata kaki, lutut, dada, dan akhirnya menenggelamkan kepala mereka. (*)
Adalah mimpi yang membuatku untuk malas tidur ketika seluruh penghuni rumah kost ini mulai terlelap. Tidur adalah sebuah rutinitas wajib yang tidak hanya dilakukan oleh rekan-rekan kostku, tetapi hampir setiap makhluk yang bernyawa melakukannya. Ehm,..dan mungkin hanya beberapa persen saja yang tidak bisa tidur, selain mereka-mereka yang masuk dalam kategori insomnia.”Malam ini nampak gelap,...”
”Hei,..hei,..apa yang kau ucapkan. Semua orang sudah mengetahui bahwa ketika malam datang pasti akan gelap.”
”Bukan itu maksudku sobat,...”
”Lalu,...”
”Jangan kau pikir aku tidak tahu bahwa malam pastilah gelap, tapi coba kita lihat malam ini bukankah seisi ruang tak sedikitpun menghadirkan cahaya,..”
”Ah,..itukan karena kau tak menyalakan saklar lampu.”
”Becanda sobat, dari mana kau temukan kata saklar lampu untuk kamar ini. Masih bisa berlindung dari panas siang, dingin ataupun hujan masih syukur kita.”
”Ah,..kini kau yang bercanda,..kata-katamu itu tentang kamar. Kau sebut ini kamar?”
”Ha,..ha,..ternyata kita begitu sama.”
Adalah tidur yang membuatku takut. Sekali memejamkan mata bisa saja besok tak jelas dimana keberadaanku. Para penghuni kost inipun sangat mengetahui dan paham akan konsekuensi jika benar-benar terlelap.
”Konsekuensi,..kata macam apalagi yang kau hadirkan sobat. Malam sudah semakin larut, dan kau mengoceh tanpa penuh kejelasan.”
”Ah,..inilah susah jika bicara pada kau yang tak pernah kenal ruang.”
”Apa hubunganya kenal dengan ruang, yang kukenal adalah waktu. Bila dia sudah turun maka saatnya kita naik,..ha,.haaaa,..haaaa”
”Eh,..eh,..sebentar,..aku kenal ruang. Ruang dalam definisiku tak lebih dari sela-sela antara deret tiang itu-itu-itu dan ini. Itupun karena tiang yang terlihat oleh mataku hanya itu-itu saja. Walaupun aku tahu bahwa ada yang pernah datang dan mengartikan ruang sebagai rongga yang berbatas atau terlingkup oleh bidang. Namun, selepas itu yang datang padaku tadi berceloteh, memberi pengertian lain tentang ruang. Ruang adalah rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada. Lalu ruang kita sama sobat?”
”Ruang bagiku bentangan alam semesta.”
”Ha,..ha,..ha,..kau begitu pandai sobat,..pandai,..pantas kau kenal dengan si konsekuensi.!”
”Yah,..dia hadir selalu dikala pilihan usai ditentukan.”
Adalah sekarang bukan waktu yang tepat untuk bisa melakukan sesuatu yang ingin dan selalu dilakukan. “Ummm,.uhhh…!” kuhela nafas. Angin malam semilir menusuk persendian, padahal masih pukul jelang dua belas kurang dua puluh satu menit. “Yah,..masih terlalu pagi untuk tidur, Semalam saja tidur lewat pukul empat.”
Satu minggu, hari-hari terasa membingungkan dan tak ada satupun yang bisa menjadi bara guna memercikan jiwa. Pagi bangun, lalu bertutur dengan-Nya dan kemudian kembali tidur. Pukul delapan baru mencoba membuka mata. “Ummm, ...uhhh,..ada apa dengan diri. Inikah episode dimana menjadi hampa dan seperti si bodoh yang selalu bisa terdiam dan diam.”
“Entah mengapa akhir-akhir ini kata maaf begitu mudah untuk keluar dari tutur. Apa karena begitu banyak kesalahan yang telah dilakukan sehingga kini tak sungkan-sungkan untuk mengumbar kata maaf.”
“Lelah, kau lelah sobat”
“Mungkin,..mungkin itu penyebabnya.”
“Ah,..secara fisik, aku masih bisa bangun pagi, minum susu dan makan telur ayam kampung.”
“Ha,...haa,..kau bilang minum susu dan makan telur ayam kampung?”
“Iya,..kenapa. Kongkritnya aku cukup asupan nutrisi, tapi kenapa masih ada sesuatu yang bikin hampa???
“Ya,..ya,...”
Adalah anggukan kepala tanda yang tak mau kulihat, karena itu belum tentu persetujuan atau hanya untuk membuat senang sekejap. Tanda, sesuatu yang memang tak mudah untuk diartikan. Ketika terbiasa membaca titik sebagai akhir, koma sebagai jedah ataupun sabit dengan dibawahnya titik sebagai tanya. Begitu juga dengan hitam laksana kemisteriusan, putih bertabur kesucian atau merah dengan kobaran semangat lalu apa sadar jiwa-jiwa tentang air menggenang dikirimkan sungai-sungai ke dapur-dapur. Pekat coklat memenuhi timur jawa, kubik tanah jatuh di tiap atap-atap rumah atau juga retak aspal setelah malam dan pagi bergejolak.
“Sobat apa kau sudah cerdas membaca tanda?”
“Tanda, dalam mimpi aku sering bertemu dan bagiku mimpi adalah hiasan tidur,..haaa,..haaa” ada bau yang tak nyaman menyengat hidung ketika ia berucap.
“Ehm,.. apakah mimpi bisa menjadi pertanda atau kah itu hanya sebuah bunga tidur sobat?”
“Wah ternyata kau tak pandai mengenali bahasaku,..”
“Bukan begitu, beberapa malam yang lalu aku bermimpi. Ketika memejamkan mata yang kutemukan hanya hamparan padang luas dan gelap, lalu di episode berikutnya kaki menapak di lorong gelap dan tak ada siapa-siap, dan ketika tersadar dada menjadi sesak,..”
“Lalu,..”
“Malam berikutnya, aku melihat seseorang tersenyum dan selalu mengajakku untuk mendekat tapi tak jelas apakah dia seorang yang sama dengan ku atau sejenis dengan sosok yang paling aku cintai. Ia hanya tersenyum dan membuka kedua tangan layaknya orang yang ingin memeluk. Ketika terbangun justru air mata yang mengalir dari kedua belah mata bersama lantunan ayat suci”
“Ah,..bukankah itu hanyalah mimpi,..dan mimpi masih sama dengan kataku tadi, bahwa mimpi adalah hiasan tidur. Jadi ketika kau tertidur maka seketika itu bisa saja hiasan-hiasan mulai datang memenuhi ruang tidurmu”
Dalam diri bergumam, padahal dikeesokan malamnya ketika tidur lebih larut, karena harus berbagi cerita sama seperti malam ini. Sebelum memejamkan mata, doa tak lupa hadir berharap ketika bangun sudah disambut matahari dan segera menjalankan aktivitas. Tapi, sepertinya cerita kembali berlanjut. Saat itu justru aku melihat diriku berjalan dengan seseorang yang tak jelas rupa, dan ketika terbangun kepala langsung berat dan terasa sakit. Kondisi semacam ini ternyata berlanjut hingga aktivitas tak bisa maksimal, bahkan sekitar pukul sebelas pagi kulihat di cairan berwarna merah jatuh di sela-sela tombol keybot komputer. Selang beberapa detik kemudian, seisi ruangan berputar, hingga untuk beberapa lama tak sadarkan diri. Untungnya tak seorangpun yang tahu, karena pada hari itu ruangan yang sedianya berisi enam orang hanya ada diriku sendiri dan yang lainnnya sedang ada tugas luar. Mendekati pukul dua belas siang baru aku tersadar dengan cairan yang telah membeku di sela-sela hidung.
“Hai sobat kenapa kau terdiam, apakah diam membuatmu menjadi nyaman?”
“Ah,.kau bisa saja memancing kegelihasanku”
“Sobat jika kau tahu, inilah untuk pertama aku menjadi aneh,..Ehm...tak seorang yang tahu bahkan dia yang selalu menjadi teman berbagipun tak bisa kuhubungi.”
“Sudahlah mari segera tidurkan badanmu, sesaat lagi hujan akan turun, dan mungkin dia bisa membuatmu menjadi lebih nyaman.”
“Benar juga katamu.”
Malam semakin larut dengan nuansa yang lebih segar setelah air mulai turun dari langit.
Adalah hujan menjadikan sesuatu yang segar dan terkadar membuat kulelah untuk tetap waspada agar air tak naik. Di setiap detik silih berganti ia turun dan menghujan hingga ke dasar bumi, atau jika terbentur dengan beton-beton di bawah ia hanya bisa menggenang di permukaan hingga naik sampai pinggiran tempat tidur.
Malam ini menatap kota yang sombong dengan gedung yang setiap saat seolah menjilati langit dan tatkala hujan justru seperti kota yang kalah perang dengan genangan air berwarna coklat hampir menutupi sebagian besar wilayah,...Jakarta..Jakarta,... masih ada cerita yang belum kau bagi untukku.
Kini bosan malam mulai menjemput.
“Sobat mari dekaplah diri, agar kau nikmati semuanya.”****
Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu, 20 Juni 2010
L
LELAKI itu adalah orang yang paling depan berdirinya dan paling keras koarannya bila menghujat ayahnya, pamannya, saudara laki-lakinya, atau teman laki-lakinya. Walaupun sampai kini ia belum juga paham mengapa ketika mereka menatap balik padanya, ada rona skeptis dari mata-mata setan itu. Apa yang kaukatakan, hah? Seakan-akan kalimat itu mencuat dari bibir orang-orang yang dibencinya itu ketika idealismenya akan konsep kelelakian ia ceramahkan. Ya, tanpa kata-kata, hanya dengan bahasa tubuh, mereka balik mengejek laki-laki itu, lebih kejam dan menyakitkan....
Apakah ini yang namanya karma, atau ini yang disebut azab, atau ini.... Aaaah, tidak! Tak ada itu! Lantas, menurutmu apa-apa yang laki-laki itu rasai saat ini adalah sebuah kebetulan, ketiba-tibaan, kelangsungjadian?
Lelaki itu berkeringat dingin. Ia melangkah keluar rumah. Berharap angin malam dapat menyejukkan pikirannya. Aku terlalu lelah, mungkin. Lelaki itu dengan daya upaya yang ia bisa, mencoba membesar-besarkan hati bahwa semua hanya bunga penatnya.
Angin mendesau pelan, selaras dengan malam tua yang lamban menggeser waktu. Lelaki itu menghirup udara sambil memejamkan mata. Seakan mencoba khusyuk meresapi bunyi dan bau napas yang dengan lembut melewati mulut dan hidungnya. Segaaar!
Perlahan-lahan dibukannya kelopak mata yang berbulu lebat itu. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati sebuah pemandangan ganjil: sekuntum mawar raksasa yang masih kuncup bertegak kokoh di salah satu sisi pekarangannya. Mawar itu seakan-akan tengah menatapnya lekat-lekat.
Lelaki itu menggigil. Ia membalik badan. Menuju pintu rumah yang setengah terbuka. O o, kakinya berat. Lelaki itu merasa seakan-akan sekuncup mawar raksasa itu tengah berjalan ke arahnya perlahan-lahan. Terbayang olehnya, bagaimana adegan beberapa film horor yang pernah ditontonnya: tangan berjalan, kepala terbang, boneka pembunuh yang membelalak, atau ooo... ini mawar!! Perasaannya, dalam film-film horor, bunga itu tak pernah diilustrasikan sebagai simbol pembunuh, setan, hantu, atau apalah! Ooohh...
”AAAAH...!!!” Lelaki itu berkeringat dingin. Tak henti ia mengucap syukur bahwa semua hanya mimpi saja. Maka, beranjaklah ia ke kamar mandi. Baru seperempat daun pintu dibuka, seketika ia terperanjat mendapati dinding kamar mandinya sudah dipenuhi daun sirih yang merambat-menjulur. O bukan, bukan itu yang menjadi titik keterkejutannya. Sirih itu, ya sirih itu. Berbuah semangka? Oh, ini bukan saatnya bergurau, Kawan. Daun sirih itu, berbunga. Bunga yang sangat ia kenal. Warnanya.... darah! Merah kelam. Itu... bunga mawar. Bagaimana bisa? Laki-laki itu mengucek matanya beberapa kali. Mencubit-cubit lengan kanannya. Menampar-nampar pipinya. O tidak, ia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!!
”Nak, cepatlah bangun! Sarapan.”
Lelaki itu tersedak mendengar seruan dari luar kamar. Ibu. Ya, itu suara ibunya. Maka, makin terheran-heranlah ia, menyadari bahwa ia benar-benar tidak sedang bermimpi. Gegas ia melangkah keluar kamar, menuju ruang makan. Di sana, ibunya menyambut dengan senyum sabit.
”Kemarin... Ibu lupa namanya. Ada temanmu yang ngantarin puding. Katanya enaknya dimakan hari ini, Nak.” Wanita beruban itu menghidangkan beberapa potong puding berwarna kuning yang baru dikeluarkan dari kulkas. Tak lama, ia berlalu ke dapur.
Uuuh... setidaknya lelaki itu bisa bernapas sedikit lega mendapati warna makanan itu. Tidak merah.
Lelaki itu mengangguk. O o, tunggu dulu ini pemberian siapa?
“Kemarin udah Ibu cicip. Maaf ya Nak, tak bilang-bilang padamu. Tapi memang enak. Hebat benar teman laki-lakimu itu memasak.” Ibunya berseru dari dapur seakan-akan dapat membaca pikiran lelaki itu.
Laki-lakiku? Mengantar puding...?
”O ya, sepertinya itu puding wortel. Ditambah stroberi juga. Sudah kaucoba, belum?”
Lelaki itu tersadar dari lamunannya yang sejenak itu. Sesegera ia membuka plastik minyak berwarna kuning yang menutupi puding tersebut. Beberapa detik kemudian, ups! Lelaki itu tergagap. Bibirnya gemetar. Puding itu...
”Enak, Nak?”
Lelaki itu tak memedulikan suara sumir ibunya yang entah sedang apa di belakang sana. Ia bermaksud mengambil potongan-potongan puding merah hati yang berbentuk mawar di atas meja makan itu, membawanya ke beranda... dan membuangnya,
O o, ada apa dengan dunia ini? Mengapa...?
Lelaki itu teduduk, tersimpuh di beranda. Puding mawar ditangannya terjatuh berkeping-keping. Di hadapannya, di pekarangan yang tak begitu luas itu, rerumpunan mawar yang beranting-ranting menyemak di sana-sini. Di setiap sudut, hingga membentuk pagar daun, pagar duri, pagar mawar. Di salah satu sudut, tampak menonjol sendirian setangkai mawar raksasa yang belum mekar sempurna. Mungkin sebesar itulah bunga raflesia itu, pikirnya. Atau, jangan-jangan, yang ada di hadapannya inilah yang disebut bunga raflesia, batinnya. O tidak, walaupun lelaki itu belum pernah melihat bunga bangkai itu secara langsung, tetapi setahunya, bunga raflesia tak berbatang, tak berkuntum. Ia hanya berbonggol. Ya, itu mawar. Jelas-jelas mawar. Mawar dalam mimpinya!
”Lho, Nak, ngapain duduk di beranda? Kotor.”
Lelaki itu menengadah. Mendapati wanita berbaju kurung sudah bediri di muka pintu. Ia tak menyahut. Ia matikata.
”Mengapa kauserakkan puding-puding itu, Nak?” Ibunya menunjuk ke potongan puding yang menyerak di sekitar si lelaki.
O tidak, potongan puding itu sudah berubah menjadi mawar-mawar dengan beragam ukuran. Oh... lelaki itu terjerembab. Lebih tepatnya, memaksa tubuhnya untuk terjerembab. Pingsan artifisial. Dengan sepenuh jiwa ia berharap, ketika siuman nanti, entah dari tidur atau dari pingsan—buatan—nya, ia akan segera mendapati semuanya kembali seperti semula. Baik-baik saja.
”DARI pagi tadi, sejak dibawa ke rumah sakit ini, perutmu belum diisi, Nak. Kata dokter, kamu harus makan makanan yang lembut, halus, dan mudah dicerna, seperti puding ini.” Ibunya menyodorkan sepotong puding pada lelaki yang didudukkan di sebuah dipan dengan kasur putih.
”Puding? Ooo tidaaak!!!” Lelaki itu menggeleng dengan mata terpejam.
”Makanlah. Puding ini kiriman istrimu, Nak.”
Istri? Siapa isteriku?
Lelaki itu membuka matanya perlahan. Sangat perlahan. Tiba-tiba ia menggeleng. Ia ketakutan. Bukan, bukannya mendapati puding yang berbentuk, berukir, dan berwarna mawar. Tetapi... mendapati sekuntum mawar yang sudah mekar sempurna, setinggi tubuh orang dewasa, berdiri di samping ibunya.
”Ada apa, Nak?”
Lelaki itu beringsut menarik selimutnya, bersandar di kepala dipan. Tampak sekali ia memaksa memejamkan matanya. Kepalanya masih menggeleng. Wajahnya pucat.
”Takkah kau merinduinya? Sudah lama tak bertemu, bukan? Yah, Ibu mohon ma’af kalau dulu tak menyetujui pernikahanmu. Tapi sekarang Ibu sudah merestuiya, Nak. Walaupun tak berhasil jua Ibu meyakinkan ayahmu dan saudara-saudara laki-lakimu itu.” Wanita itu menatap putranya lekat-lekat. Membelai rambutnya, seolah ia adalah anak belasan tahun. ”Semua bukan karena Ibu sudah bercerai dan tak satupun saudaramu yang ingin ikut Ibu, tapi... ah, sudahlah, Nak. Ibu tahu, kau tak memerlukan restu binatang-binatang itu, bukan?”
Lelaki itu menggigil. Ia sungguh tidak mengerti dengan semuanya. Bahkan, ia pun tak tahu, apakah ia tengah bermimpi atau tidak. Kalaupun iya, alangkah panjangnya mimpi ini? Alangkah membingungkan dan menakutkannya mimpi ini? Atau... sebenarnya ia sudah mati. Seperti inikah alam sesudah hidup itu? Absurd, ganjil, aneh, asal-asalan. Tak ada sebab-akibat lagi! Sungguh, sungguh yang sebenar sungguh, lelaki itu sudah lelah dengan semuanya. Lelah yang sangat. Gila!!
”Mark, tolong tenangkan suamimu, ya,” wanita itu menoleh pada sekuntum mawar raksasa di sampingnya, sebelum tersenyum tipis pada lelaki itu.
Aku suami dari Mark? Mawar raksasa itu? Mark-Mawar?Apa-apaan ini, Tuhan?
Mawar raksasa merapatkan kuntum hijau berdurinya pada lelaki itu, seolah-olah hendak memeluk lelaki itu, menenangkan suaminya.
Lelaki itu berteriak. Terus berteriak hingga tak ada lagi suara. Ia mempingsan-pingsankan diri. Memejam-mejamkan mata. Memaksa membunuh diri dan jiwanya dengan perasaan yang menghunjam-hunjam, yang tiada dipahaminya.
Para pasien lain dan orang-orang yang ada di sekitar ruang inap itu berkerumun di sana.
”Bukan salah kau, Mak.”
”Lagipula bukan kehendakmu tak pulang selama 20 tahun, kan, Mak?”
”Memangnya dia bisa merasakan susahnya mencari uang sebagai TKW!”
”Sudahlah, Mak. Tak ada dalam adat percintaan macam sepert itu.”
”Bila anak bujangmu gila, mungkin itu balasannya, Mak.”
”Sudahlah, Mak. Pulang saja. Anggap kau tak pernah ber-anak.”
”Bukan!” bantahnya. Ia membelalak pada perempuan-perempuan yang seolah-olah peduli padanya dan anak lelakinya. Hampir saja ia tumpahkan beban yang menyesak itu. Namun ia bagai tersadar bahwa takkan ia katakan bahwa semua ini salah suaminya. Lelaki yang berulangkali menunggangi anak lelakinya yang kala itu masih belia di kebun mawar belakang rumah, ketika ia memeras keringat di Hongkong. Perempuan itu mengutuk-ngutuk, sebelum menangis, meraung sejadi-jadinya, seperti orang gila.
Ada yang bersitatap; memastikan bahwa tak hanya ia sendiri yang berempati. Ada yang menunduk saja. Ada yang bermata-kaca. Tak ada yang berani menyanggah. Walaupun semuanya masih singup, namun mereka bagai dapat menyimpulkan; terlalu berat perkara itu untuk jadi bahan pergunjingan.... (*)
/Lubuklinggau, Januari 2009 s.d. Januari 2010
Dimuat di Berita Pagi, Minggu, 20 Juni 2010
Selain postur mereka yang tampak sehat, yang membuat sebagian penduduk kampung Cicanggah gelisah adalah penampilan mereka yang tidak seperti orang gila pada umumnya. Yaitu mengenakan baju koko, celana pangsi hitam, kopiah khas pribumi, dan sepotong kain sarung usang dibelitkan di pinggang. Meski seperangkat pakaian itu tampak lecek dan kumal. Selama beberapa hari singgah di kampung Cicanggah, kedua orang gila itu selalu hadir di mushala untuk shalat Maghrib dan Isya berjamaah.
Tentang pakaian mereka yang lebih rapi dari orang gila kebanyakan, sebagian warga kampung ada yang berkomentar sumbang. Separohnya acuh tak acuh. “Bagiku sih bodo amat! Asal tidak mengganggu ketertiban dan kedamaian kampung kita. Aku hanya was-was keduanya orang waras yang sedang mengawasi kampung kita. Anak buah kelompok teroris misalnya. Siapa tahu?” Beberapa warga kampung yang lain mengangguk-anggukan kepala, sepakat.
“Masih mending pakaiannya sopan! Coba kalau tidak berpakaian sama sekali seperti orang gila yang sering berkeliaran di pinggir jalan kota itu. Hii….” celetuk seorang ibu muda yang hanya mengenakan kutang dan kain samping sekenanya. Rona mukanya memerah seketika setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya. Ia sedang menyusui bayinya.
“Aku pilih si Jamali saja,” kali ini sebuah suara serak terdengar dari arah belakang kerumunan mereka di pos ronda sore itu. “Dia tidak pernah membuat onar di kampung kita. Dan, hahaha… dia juga baik sekali! Kalian masih ingat saat aku tanyakan nomor buntut padanya? Tidak sia-sia aku bertaruh uang sepuluh ribu yang tadinya untuk bayar SPP sekolah si Toto anakku. Tembus dah!” Tawa lelaki yang tampak jauh lebih tua dari usianya itu kembali membahana, memamerkan gigi-gigi besarnya yang kuning kusam. Tapi si Jamali yang selalu menjadi rebutan orang sekampung untuk menanyakan nomor togel yang akan keluar itu sudah tidak pernah mampir lagi ke kampung Cicanggah sejak lama. Begitulah.
Orang gila pertama mengawali kedatangannya di kampung Cicanggah dengan aksi nyeleneh. Matahari masih bertengger garang di tepi langit menjelang sore itu. Sawah pecah-pecah. Batang-batang padi bertumbangan. Para warga terpaksa menggantinya dengan biji kedelai hitam. Orang gila itu sudah berada di tengah ladang kedelai seorang warga. Mengeruk jerami kering yang menutupi tunas-tunas kedelai yang baru tumbuh tak lebih dari tujuh senti dengan kedua tangannya. Menumpuknya menjadi gunungan jerami di tengah sawah kerontang. Seperti hendak membumihanguskannya dalam sekejapan mata.
Sang pemilik ladang panik bak orang kesetanan mendapat kabar dari anaknya yang sedang asyik bermain layangan di lapangan. Ia berlari menghampiri sang terdakwa dengan golok besar mengkilat terhunus di tangan kanannya. Tetapi orang gila itu bergeming. Tak peduli teriakan si empunya sawah yang nyaris kehabisan suara dan kata-kata. Tak hirau sebilah golok yang baru beberapa saat lalu selesai diasah bergerak-gerak liar di depan wajahnya. Acuh pada warga kampung yang berkerumun menatap heran padanya.
Siapa namanya? Dari mana asalnya? Kenapa bisa gila? Sejak kapan dia gila?
Lelaki kekar berkopiah khas pribumi itu baru menghentikan aktivitasnya sesaat setelah pemilik sawah menghamburkan jerami kering yang hampir mencapai setinggi pusar ke tubuhnya. Menutupi badannya. Ia ngeloyor pergi begitu saja. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Anehnya saat azan maghrib berkumandang, ia sudah duduk bersila di shaf pertama mushala kampung satu-satunya. Dan akan tetap tinggal di sana hingga jamaah Isya selesai ditunaikan. Beberapa kakek dan nenek yang suka shalat berjamaah di mushala itu bertambah heran saja ketika mendengarkan wirid yang terlantun seusai shalat dari bibirnya. Sama persis dengan apa yang mereka lafalkan: istighfar, tahlil, tasbih, tahmid, takbir, surat Al-Fatihah, ayat kursi dan doa-doa yang biasa mereka panjatkan. Bahkan ada beberapa wirid yang dilantunkan orang gila itu yang tidak mereka hafal, namun pernah diucapkan oleh seorang kiai yang mengisi pengajian ibu-ibu setiap Jum’at sore.
“Orang gila itu benar-benar aneh,” ujar seorang jamaah, sesaat sebelum mereka meninggalkan mushala menuju kediaman masing-masing.
“Mungkin tadinya dia seorang ustad, tetapi gila…,” seorang nenek yang menutupi rambut putihnya dengan cindung ungu menimpali.
“Ustad gundulmu! Masa ustad bisa gila? Bagaimana orang yang bukan ustad?” hardik seorang kakek tak sepaham.
“Ya sudah! Aku tidak akan ngomong lagi tentang orang gila itu!” balas si nenek sengit. Ia pundung, tak terima kata-kata kasar sang kakek.
Obrolan itu terhenti total. Mereka berjalan perlahan menjauhi mushala yang sudah gelap gulita dalam diam. Tak peduli lagi nasib wong edan yang mungkin sedang merenungi nasib sialnya di pelataran mushala. Pintu satu-satunya yang ada di mushala kampung itu telah dikunci sempurna.
Hanya tiga hari orang gila pertama tinggal di kampung Cicanggah. Saat mentari kembali menyembul di Timur tepat di hari keempat pasca kemunculannya, sosoknya lenyap bagai ditelan bumi. Tetapi warga kampung Cicanggah terlalu sibuk menghadapi paceklik yang sedang menghampiri mereka. Tak sempat lagi sekadar bertanya-tanya tentang kepergiannya. Mungkin hanya sekompok warga yang rajin mendatangi mushala saat petang menjelang saja yang tiba-tiba merindukan sosoknya.
Sepuluh hari berselang, warga kampung Cicanggah kembali geger. Kampung mereka kedatangan tamu tak diundang lagi. Orang gila lain dengan pakaian yang nyaris sama dengan orang gila pertama. Dan lagi-lagi, orang gila kedua pun menjadikan mushala renta satu-satunya di kampung Cicanggah sebagai base camp.
Ia tiba di kampung Cicanggah saat para penduduk sedang asyik ngerumpi di teras-teras rumah mereka sekitar jam lima sore. Ia datang dengan damai. Tidak seperti orang gila pertama. Bahkan ia sempat bercakap-cakap dengan warga kampung. Diskusi konyol, tentu saja. Lumayan untuk menghilangkan stress, kata mereka. Ada juga warga yang memberinya rokok kretek dan menyulutkannya sambil diam-diam berharap kejatuhan sempur diberi info nomer togel yang akan keluar.
Maka begitulah. Orang gila kedua pun sudah khusyuk berzikir saat gelap menggantikan terang sore itu. Lagi-lagi jamaah maghrib yang hanya beberapa gelintir dan orang yang itu itu juga hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarkan wiridnya yang fasih seusai shalat.
“Orang gila sekarang kok aneh-aneh sekali tingkahnya,” gumam sang imam mushala tak mengerti menyaksikan orang gila kedua itu sedang menyelesaikan rakaat kedua shalat bakdiyah maghribnya.
“Mendingan orang gila masih ingat pada Tuhan. Zaman sekarang sudah banyak kok orang yang waras dan merasa pintar, tetapi sudah berani melupakan-Nya…,” jawab jamaah lain, entah ditujukan kepada siapa.
Orang gila kedua singgah dua malam sehari di kampung mereka. Di siang hari, ia akan memunguti kuntung rokok di sepanjang jalan kampung atau mencabuti teki di halaman mushala. Persis seperti polah orang gila pertama. Hanya itu rutinitasnya selain minta jatah makan ke rumah warga yang didatanginya acak di pagi hari dan saat matahari akan tenggelam. Tak ada yang perlu dicurigai. Jika pun ada, tentu pilihan keduanya yang menjadikan mushala kampung sebagai base camp yang masih menyisakan tanda tanya hingga kini.
Seminggu berselang setelah orang gila kedua pergi tanpa meninggalkan jejaknya, kampung Cicanggah lagi-lagi geger. Namun kali ini bukan orang gila seperti dua orang sebelumnya yang menjadi penyebab. Tetapi salah seorang dari warga mereka sendiri yang dicap gila. Namanya Ani. ABG perempuan. Badannya bongsor. Hanya sempat mengenyam SD sampai kelas empat. Ani divonis gila oleh warga sepulang dari ibu kota menjadi babu.
Tiba-tiba saja ia sering terlihat tertawa cekikan sendirian di pos ronda di siang bolong. Berjalan kesana-kemari sambil ngromyang tak karuan. Menjadi hiburan gratis anak-anak kampung yang mengikutinya kemana saja ia melangkahkan kaki. Ani pun menjadi bahan tertawaan sesama warga kampung yang tak kalah stress-nya. Orang tuanya hanya mampu mengelus dada dan menangis tanpa air mata melihat tingkah gadisnya yang berubah drastis tak jelas apa penyebabnya.
Berbagai prasangka memerahkan kuping berloncatan seolah tak ada rem yang menahannya.
“Si Ani gila pasti gara-gara diperkosa majikannya di Jakarta!”
“Pasti tidak dibayar gajinya!”
“Bukan. Ia di PHK!”
“Salah besar. Ia pasti kena guna-guna cowok kota. Lihat, badannya kan termasuk seksi juga.”
“Yang benar, ia naksir anak majikannya. Tapi ditolak mentah-mentah!”
Masih banyak lagi komentar asbun lain yang mereka lontarkan. Namun tak ada seorang pun yang tahu pasti apa sebenarnya penyebab Ani menjadi gila. Satu-satunya orang yang diharapkan bisa menjelaskan perkara ini hanya Toyimah, sejawat Ani yang mengajaknya bekerja di ibu kota lebih setengah tahun lalu. Dari orang tua Ani, warga kampung tahu kalau Ani diantarkan pulang ke kampung Cicanggah oleh sopir pribadi majikannya. Hanya sayangnya sopir itu tidak bersedia menjelaskan musabab Ani menjadi seperti sekarang ini.
Menjelang lebaran, barulah Toyimah mudik ke kampung Cicanggah. Penampilannya masih tetap seperti dulu. Pakaian-pakaian sederhana yang suka dikenakannya sebelum ia berangkat ke ibu kota bersama Ani. Ia tak terimbas tren gadis-gadis kota yang gemar memakai kaos-kaos super ketat seperti yang menimpa Ani.
Seusai ritual tarawih, hampir semua warga kampung berkumpul di rumah setengah bata keluarga Toyimah. Karena sewaktu di mushala tadi Toyimah hanya mengunci mulutnya rapat-rapat menghadapi pertanyaan bertubi-tubi mereka. Apalagi Toyimah sudah diberitahu ibunya perihal stress-nya Ani yang sudah menjadi bahan olokan sehari-hari warga di kampungnya. Tak bosan-bosannya mereka menggunjingkan ABG malang itu. Ya, sesungguhnya Toyimah tak tega dan tak ingin menjelaskan apa yang sesungguhnya menimpa Ani pada mereka. Tetapi para warga terus memaksanya membuka rahasia sesungguhnya.
“Maaf, Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Sebenarnya saya pun tidak tahu pasti mengapa Ani jadi hilang ingatan seperti sekarang. Tapi….”
Semua warga kampung yang hadir menahan nafas. Beberapa tampak sudah tak sabar menunggu kelanjutan kata-kata Toyimah.
“Tapi majikan saya bilang, Ani kerjanya hanya duduk-duduk saja di teras rumah setiap hari. Menyaksikan gadis-gadis kota berpakaian you can see melenggang manis dengan ponsel merk terkini yang nyaris tak henti-henti berbunyi. Ani lupa tugas utamanya sebagai babu. Ani jadi suka tersenyum dan berbicara sendiri….”
Tiga menit berlalu. Kebekuan di ruang tengah rumah setengah bata keluarga Toyimah itu baru mencair. Semua yang hadir hanya sanggup mengangguk-anggukkan kepala mereka dalam bisu. Tidak tahu komentar apa yang seharusnya mereka lontarkan. Kemudian satu persatu undur diri dalam diam. Tapi entah apa yang sedang bergolak dalam batok kepala mereka saat itu.
Tiba-tiba mereka terbayang kembali sosok dua orang gila yang sempat mampir beberapa waktu sebelumnya di kampung mereka. (*)
Yogyakarta, 26/11/2oo4 – 24/o5/2o1o oo:42 a.m.
Dimuat di Koren Tempo 13 Juni 2010
LAMPU-LAMPU penerang jalanan sudah menyala. Ramah menyambut hujan yang turun tiba-tiba. Mata Dian menatap lekat lampu yang terdekat. Sinarnya kuning berpendar oleh tirai hujan. Sebenarnya ia malas berpikir jika malam tiba, tapi berkat pemandangan itu ia mendongak juga mencari bulan.
Tidak ada. Entah awan, bangunan-bangunan, atau terang kota yang menghalanginya.
Di pinggir jalan Dian duduk menunggu bus yang akan membawanya pulang. Suara hujan mengeras menimpa atap halte. Beberapa orang baru bergabung. Sama-sama menunggu. Ada yang mengobrol berdua atau bertiga. Ada yang kelihatan bicara sendiri dengan telepon genggamnya. Tapi lebih banyak yang seperti Dian. Diam sendirian.
Kembali Dian menatap lampu jalanan itu. Tiangnya kurus dan menjulang. Dayanya besar. Ia seperti kawan setia buat Dian. Ada kalau diperlukan. Tapi hanya di sini, di pinggir jalan tempat ia biasa menunggu bus sepulang kerja.
Dian memikirkan matahari ketika dari arah tikungan muncul bus kota. Orang-orang menengok dan beranjak. Ada yang kembali duduk, ada yang terus berdiri. Dian kembali memikirkan matahari. Kendaraan besar itu bukan bus yang akan ditumpanginya.
Di atas meja di kamar kontrakannya Dian menaruh potret matahari. Fokus gambar sebenarnya bukan padanya, tapi pada orang-orang di puncak bukit itu. Semuanya tersenyum, tapi kamera yang dulu disetel otomatis itu tidak jelas menangkapnya. Dari arah timur sinar terlalu membanjir.
Dian ingat, setelah berfoto semua duduk-duduk menikmati matahari, yang pelan-pelan naik meninggalkan garis cakrawala. Langit di sekitarnya begitu bersih dan laju waktu terlalu pelan untuk dihitung.
Bus kota berlalu menembus hujan. Halte itu kembali lengang. Hanya beberapa orang yang masih menunggu. Semuanya diam. Selain bunyi hujan, segala macam suara jalanan di halte itu terus terdengar.
Mata Dian kembali mencari bulan. Tapi diurungkannya. Lampu jalanan yang seakan tidak pernah padam itu kembali ditatapnya. Dian kemudian teringat pada sebuah pesan pendek yang masuk ke telepon genggamnya. Sudah cukup lama, tapi belum juga dibalasnya. Padahal ia sempat begitu menantikannya.
Di seberang jalan itu terdapat juga sebuah halte. Terhalangi kendaraan-kendaraan yang lewat, Dian merasa tempat itu baru dilihatnya. Mungkin karena lampu neon yang dipasang di bawah atapnya sehingga tempat itu kini lebih terang. Berbeda dengan halte tempatnya menunggu bus sekarang, yang entah kenapa hanya diterangi lampu jalanan dan sorot lampu-lampu kendaraan yang sedang lewat. Ia seakan baru menyadarinya.
Beberapa orang tampak mengobrol di halte seberang itu. Sesekali mereka tertawa berderai-derai. Dian melihat mereka seperti menonton film bisu. Suara hujan dan segala macam bunyi jalanan adalah musik pengiringnya. Salah satu di antara mereka kemudian berdiri agak menjauh. Ia mengangkat tangannya, tampak hendak mengambil gambar dengan kamera telepon genggamnya. Resam wajahnya menimbang-nimbang ringan dan mulutnya memberi aba-aba. Yang lain berkumpul saling merapat dan memasang senyuman.
Dian ikut tersenyum.
Pemandangan yang terhalang-halangi kendaraan lewat itu kemudian hilang oleh badan bus yang merapat di halte seberang jalan itu. Sebentar Dian bertanya di dalam hati, apakah mereka sedang menunggu kedatangan bus yang akan membawa mereka pulang.
Kendaraan besar itu bergerak kembali melanjutkan perjalanannya. Seperti tirai yang bergeser pelan setelah sebentar menyembunyikan panggung tontonan pada sebuah pagelaran teater. Hujan masih turun. Kendaraan-kendaraan terus lewat di depan Dian, di antara kedua halte di pinggir jalan itu. Ada yang melaju pelan-pelan, ada pula yang melesat tergesa-gesa. Lampu-lampu jalanan tetap menyala dengan sinar kuningnya yang berpendar oleh hujan. Sementara bangku-bangku di halte seberang jalan itu kini telah kosong.
Tidak jauh dari halte yang kosong itu, Dian melihat sepasang lelaki dan perempuan sedang berjalan. Si lelaki memegang payung yang melindungi mereka dari hujan. Tangan si perempuan memegang lengan si lelaki. Lelaki itu yang tadi mengambil foto dengan telepon genggamnya di halte seberang jalan itu.
Orang-orang di sekitar Dian beranjak dari duduknya. Dari arah tikungan sebuah bus muncul dan mendekat. Saat berhenti bunyinya terdengar khas seperti lenguh hewan laut yang lucu. Tapi pikiran Dian tidak tergerak untuk menikmatinya. Ia melangkah pasti menuju pintu bus yang membuka pelan-pelan itu. Dibiarkannya kepalanya menerima hujan.
Di atas bus yang berhenti sebentar saja itu, Dian duduk di bangku sebelah kaca jendela. Bulir-bulir air tampak di sisi kaca sebelah luar. Ada bulir-bulir yang diam dihampiri bulir-bulir yang bergerak. Ada yang cepat-cepat, ada yang pelan-pelan seperti ragu-ragu atau penuh perhitungan. Bulir-bulir yang bersatu kemudian turun lebih cepat di permukaan kaca. Meninggalkan gurat-gurat basah sebagai jejaknya.
Dian kembali mendongak mencari bulan di balik kaca jendela yang kini dihiasi bulir-bulir air itu. Meski ia tahu tidak akan menemukannya. Kepalanya dipenuhi oleh dua orang yang berpayung itu, yang tadi, sebentar saja, masih dilihatnya dari atas bus. Mereka ada di antara orang-orang yang tersenyum di dalam foto di atas meja di kamar kontrakannya itu.
Dikeluarkannya telepon genggam dari tas jinjingnya. Dian membuka pesan pendek yang sudah lama masuk itu. Dibacanya sebentar, kemudian dihapusnya. Lelaki yang tadi memegang payung itu tidak perlu menerima balasan pesannya.
Dian tersenyum seulas, berniat pergi ke kantor lebih awal besok pagi. Sebentar saja ia akan naik ke puncak gedung tempatnya bekerja di kota itu. Cahaya matahari yang membanjir dari arah timur setiap pagi itu sudah lama tidak dilihatnya.
Bandung, 7 Juni 2010
Cerpen Fahri Asiza
Dimuat di Sumut Pos 06/06/2010
Bibir yang dipenuhi warna merah pekat itu selalu menebar senyum pada siapa saja yang lewat. Sesekali menguatkan hati untuk bangkit, sekadar mencolek atau menyapa, siapa tahu ada yang berminat. Namun keberuntungan tak lagi berkawan dengannya.
Sejak tiga malam lalu, dia selalu berdiri di jalan ini, membiarkan tubuh direjam dingin dan gelitik malam menuju pagi, tak seorang pun yang berminat padanya.
Sesekali dipandangi iri gadis-gadis ber-tank-top yang cekikan manja dengan pemuda sebaya, ada pula yang sedang bermanja melongokkan kepala ke dalam sebuah mobil mengkilat. Entah siapa di dalamnya. Yang pasti, pintu akan terbuka, lalu gadis itu terlempar ke ruangan ber-AC yang segera menggelinding dari sana dan menyisakan kikikan manja.
Sekarang sudah pukul tiga dinihari. Masih diucapkan doa semoga ada pelanggan yang datang. Namun hingga adzan Shubuh terdengar di kejauhan, lagi-lagi tak satu pun yang hinggap. Lesu akhirnya dia memutuskan pulang. Melangkah dulu ke sebuah pom bensin, menumpang berganti baju di kamar mandi berlumut yang menebarkan bau sangat tidak sedap. Gincu dihapusnya bersih, rambut sedikit diacak dan bedak tebal yang sejak tadi menipis digigit, sepi pelan-pelan dibasuhnya dengan air.
Dalam angkot yang membawanya pulang, dia meratapi lagi jejak-jejak menyiksa yang dilakoninya hampir tiga tahun. Mengikis nurani yang tak kuasa dipanggul, mulai pukul sembilan malam dia sudah berdiri di jalan itu. Tak pernah berubah. Selalu di jalan itu.
“Benar kau mencintaiku, Kang?” tanyanya delapan tahun yang lalu, pada satu malam, di jalan itu, ketika Abdi yang menjemputnya ke rumah mengajak menikmati malam tiba-tiba melamarnya.
Abdi mengangguk mantap, menggenggam erat tangannya. “Aku mencintaimu, Imas.”
Lima tahun kemudian, di jalan itu, Abdi berkata padanya dengan suara cemas, “Tunggu di sini. Aku akan cari taksi. Didin harus dibawa ke rumah sakit.”
“Cepatlah, Kang… badannya panas sekali.”
Abdi pergi bergegas, membawa kepanikan sekaligus harapan. Bocah lelaki berusia dua tahun yang meringkuk pucat dalam gendongannya, berdesahan tak arah, membuat setengah jiwanya menggantung di atas bara api. Ditenangkannya dan didendangkannya kidung pelipur lara yang pernah dinyanyikannya. Malam terus bergerak, kegelisahan terus merayap. Hingga adzan Shubuh Abdi tak muncul kembali. Hingga hari ini, Abdi telah lenyap ditelan bumi. Lelaki yang mengaku mencintainya itu tak pernah kembali.
Sekujur tubuhnya yang dipeluk jaket kumal—jaket yang kerap dikenakannya dengan alasan bekerja di pabrik—tiba-tiba menggigil. Kebenciannya pada Abdi mengental. Angkot yang sarat dengan belanjaan orang dari pasar dan menyisihkan bau yang tak nyaman tak lagi mengganggunya. Abdi… di mana lelaki keparat itu? Aku berharap dia sudah mati!
Kembali ke rumah, Didin sudah menyambutnya disertai teriakan khasnya, “Jajannya mana, Mak? Jajannya mana?”
Setiap memandangi Didin yang sekarang sudah berusia lima tahun, kadang terselip kebencian pada lelaki keparat itu. Garis wajah Didin jelas mewarisi garis wajah Abdi. Pernah dia marah besar ketika Didin tak sengaja menumpahkan bedak yang dibelinya sepuluh ribu rupiah. Nyaris dihajarnya bocah itu sebelum dia beristighfar kalau bocah itu tak pernah tahu kesalahan apa yang dilakukan bapaknya.
Disodorinya gemblong ketan yang selalu dibelinya setiap kali pulang pada Didin yang melonjak-lonjak gembira dan memakannya layaknya persembahan dari para dewa. Lalu diucapkannya terimakasih pada Mak Iyoh, perempuan tua yang selalu menjaga Didin.
Tapi kali ini Mak Iyoh tidak menjawab atau segera melangkah pulang ke rumahnya yang terletak lima rumah dari sana. Tatapannya tajam namun juga resah.
“Ada apa, Mak?”
“Kapan kau mau berhenti dari pekerjaan nista itu, Imas?”
Bila halilintar yang tiba-tiba menggelegar di depannya dia tak akan melonjak, tetapi pertanyaan Mak Iyoh membuatnya terperanjat dengan sepasang mata menggelepar seperti ikan yang terlempar ke daratan.
“M-maksud Mak apa?” desisnya terbata. Hujan gemuruh dalam dadanya coba dialihkan dengan ketenangan.
“Tak perlu kaututupi lagi, Imas. Mak tau apa yang setiap malam kaulakukan.”
“Ini soal apa, Mak?” Keringat tiba-tiba saja liar berlarian.
“Jangan berbohong pada Mak, Imas. Pada saat-saat tertentu
alam satu bulan kau pasti tak akan pernah meninggalkan rumah. Karena, kau sedang datang bulan. Tapi pada hari-hari lain kau akan kembali ke jalan itu, bukan? Menunggu Abdi kembali atau kau menjajakan dirimu pada lelaki busuk yang mau mengeluarkan rupiah demi sebuah penyiksaan batin terselubung?”
Dia menggigil hebat, kata-kata Mak Iyoh lebih tajam dari sengatan ular mana pun. Kedua lututnya bergetar, lalu jatuh berlutut menangis. Didin melompat mendekat, bersiaga penuh di dekatnya. “Kenapa, Mak? Siapa yang ganggu Mak? Bilang sama Didin, akan Didin hantam perutnya sampai menjerit-jerit!”
Kata-kata bocah lima tahun itu semakin merejam batinnya. Segera dirangkulnya Didin yang masih teriak-teriak siapa gerangan yang membuat maknya menangis. Sekilas Imas mengumpulkan sisa-sisa keberanian memandang Mak Iyoh yang masih menuntut jawab namun hati tuanya pun melunglai dengan pandangan maaf. Lalu dikuncinya pintu. Tinggal Mak Iyoh yang menghela napas panjang.
“Kalau aku tak melakukan ini Mak, dari mana aku bisa memberi makan Didin?” isaknya tiga malam kemudian, karena Mak Iyoh terus mendesak.
“Kau bisa mencari pekerjaan lain. Bukan pekerjaan tertua di dunia seperti ini.”
“Mak lupa, aku pernah bekerja di pabrik selama dua bulan dan dua bulan pula aku dilecehkan oleh atasanku? Mak lupa, aku pernah berniaga di pasar tapi di sana pula aku nyaris diperkosa Badrun? Atau Mak lupa, aku pernah meminjam uang pada Tuan Kirun untuk membeli mesin jahit, yang akhirnya aku merelakan diriku ditidurinya karena aku tak mampu membayar uang pinjaman? Mak lupa semua itu, Mak? Apakah Mak lupa?” Entah dari mana munculnya semua itu, tiba-tiba saja berhamburan kepedihan yang selama ini bersembunyi di belahan jiwanya—entah di bagian mana.
Mak Iyoh goyah. Perempuan di hadapannya ini sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Pedih hatinya mengetahui Abdi meninggalkan perempuan yang lemah lembut, baik hati dan seharusnya dilindungi.
“Abdi yang salah!” tiba-tiba menggeram suara seraknya, tanda kemarahan menggelegar.
“Tak perlu Mak menyebut nama dia! Bagiku dia sudah mati! Sudah mati, Mak!!”
Teriakannya membuat Didin yang lagi asyik memandangi ikan-ikan kecil di dalam toples menghambur keluar. Bersiaga lagi dengan gerakannya yang lucu. “Siapa yang Mak teriaki? Siapa? Bilang sama Didin Mak, akan Didin pukul kepalanya biar benjol sepuluh!”
Dipandanginya bocah yang tak tahu apa-apa itu dengan haturan sayang tak bertepi. Lalu dipandanginya Mak Iyoh.
“Didin yang membuatku bertahan hidup, Mak. Pekerjaan busuk yang menyakitkan hatiku pun terpaksa kulakoni… demi Didin.”
Mak Iyoh terdiam. Tak kuasa air matanya yang sejak tadi ditahannya pun luruh. Derita perempuan dari zaman ke zaman tak berubah. Peradaban boleh maju, Kartini boleh memperjuangkan emansipasi, tetapi dalam rumah tangga, perempuan selalu menjadi kandang.
“Mak paham maksudku, bukan?”
“Mak tidak tahu. Hati kecil Mak ingin sekali melihat kau meninggalkan itu. Tapi, Mak juga tak berdaya untuk mengangkatmu berdiri, Imas.”
“Terimakasih, Mak. Doakan, semoga aku dapat pelanggan banyak malam ini.”
Kembali berdiri di jalan itu dan membiarkan tubuh dicumbui dingin, dikuatkan segala bentuk keberanian. Di jalan ini bunga itu pernah tumbuh, di jalan ini bunga itu mulai layu dan di jalan ini bunga itu membusuk. Kenangan pada sebuah jalan ternyata sangat menyakitkan.
Malam itu dia mendapat dua lelaki hidung belang yang menghabiskan syahwatnya di hotel yang jadi langganannya. Kembali tercabik-cabik kewanitaannya. Namun senyum harus selalu dipasarkan agar mereka kembali lagi menikmati hidangan.
Malam berikutnya, langganannya bertambah. Dari mulai satu orang, dua orang, bahkan pernah dia melayani hingga lima orang. Malam berikutnya, dia sudah menjadi incaran para lelaki pembeli nafsu. Kehidupannya mulai berubah. Dari rumah yang sudah nyaris rubuh hingga ke rumah yang permanen, dari tak punya alat komunikasi sekarang memiliki telepon genggam meski masih berkapasitas biasa. Baginya itu sebuah berkah. Dia tidak tahu, inikah jalan Tuhan ataukah kebusukan yang akan semakin menjerumuskan.
Meski sudah banyak mendapat langganan, dia tetap berdiri di jalan itu. Kalau dulu masih berharap Abdi akan muncul, kali ini siapa pun yang datang akan disambutnya dalam rangkulan hangat penuh gairah.
Dia tidak tahu, setiap kali ada lelaki yang membeli jasanya, sebuah mobil mewah berhenti tak jauh dari sana. Dari balik kaca gelap yang menaungi mobil itu, Abdi menghela napas panjang sambil mendesis, “Sengaja kubayar setiap lelaki yang mendatangimu, Imas, agar pulang kau berpeluh uang.“ Lalu dijalankan mobilnya pelan-pelan, masih dipandanginya Imas yang tengah menggandeng seorang lelaki bertampang kasar yang tak sabar untuk meraup tubuh perempuan lembut bulat-bulat. Abdi mendesis, “Itulah bentuk tanggungjawabku padamu….” ***
Mutiara Duta, 10 Maret –1 Juni 2010
Dimuat di Jawa Pos, 30 Mei 2010
JELANG dini hari. Di sebuah ranjang berkelambu coklat muda. Kau terlelap tanpa dengkur. Telanjang dada. Bersarung sebatas lutut. Di sampingmu, terbaring sebatang tubuh molek yang hanya dibalut kain lasem sebatas dada, hingga terintip ceruk di antara dua bukit tinju yang ditutupinya. Selingkaran lehernya menyerak tanda merah sebesar ujung jempol, bagai habis dihisap-kecap. Air muka kalian menyemburatkan lelah yang tak biasa. Tengah malam tadi kalian khatamkan sebuah pertarungan yang tertunda sekian lama. Bukan hanya dengan keringat, tapi kalian juga melakoninya dengan hasrat yang mendahaga. Tak ada yang ditetapkan sebagai pamuncak. Kalian sama-sama kuasa. Kalian pula sama-sama kalah. Bakda itu, lelap kalian adalah sebenar lelap. Untuk apalah bermimpi lagi bila angan-angan itu baru saja tertunai?! Tertunai di atas nama pertautan-halal; di atas ranjang yang berseprai anyar; di atas malam yang dipilahku untuk merajam. Membalas dendam!SIANG tadi pesta perkawinanmu digelar dengan mewah. Kau memang seorang istimewa. Anak tunggal pemilik panglong kayu terbesar di kampung. Jadi, adalah mahfum bila perempuan yang baru datang dari kota itu tertawan olehmu. O, jangan-jangan ia yang menawanmu?! Ah, tak penting itu. Perkaranya adalah, aku tak rela kau meminangnya. Tidak!
Memang, kepergianku ke kampung orang tuaku dua pekan silam tanpa sepengetahuanmu dan keluargamu. Tapi, yang membuatku murka adalah sikapmu (juga keluargamu) ketika mengetahui aku raib. Tenang-tenang saja. Ketika itu, mendidihlah darahku. Ingin sekali aku melabrakmu. Bila perlu membuatmu mati-tercekat karena mendapati kedatanganku yang tiba-tiba. Namun, rencana itu kujegal sementara. Aku benar-benar ingin tahu musabab ketakpedulianmu pada diriku, gadis yang kaujanjikan untuk dikawini. O, apakah ketaktahuanmu tentang di mana tepatnya ranah kediamanan orang tuakukah yang membuatmu tak mencariku? Kini, jujur, aku merasa sangat bodoh. Mengapa dulu aku terburu-buru mengambil ketetapan itu. Pergi meninggalkanmu. Berkelana ke kampung ayah-ibu yang justru tak kunjung kuketahui keberadaannya.
AKU benar-benar benci pada perawan itu. O, sungguh, kau harus tahu bahwa semua ini bukan salahku!
Apakah kau tak tahu seperti apa pembantu di rumahmu dipekerjakan? Adalah sahih bahwa titah demi titah orang tuamu telah merampas waktuku: sedari subuh hingga malam meninggi. Jadi, bagaimana mungkin aku main-gila dengan laki-laki lain?! Apakah harus kuceritakan perihal aku yang jatuh dari pohon nangka karena keponakanmu dari kecamatan minta diambilkan layangan yang tersangkut di sana; apakah harus jua kukeluhkan bahwa aku pernah terjerengkang di dapur karena ibumu berteriak memintaku gegas menyiapkan air hangat untuk mandi di subuh kau akan diwisuda dua bulan lalu; apakah jua harus kutumpahkan kekesalan bahwa, beberapa kali aku terjerembab dari kereta unta ketika mengantar rantang-rantang para tukang yang merampungkan rumah baru kalian di simpang pasar... ; dan apakah harus kumeraung --dalam suara yang pasti memarau-- untuk semua akibat yang dimunculkan kesialan-kesialan itu: selangkanganku sakit, perih, bahkan ketika terpeleset di kamar mandi yang akan kusikat di pagi Ahad, bercak-bercak merah tiba-tiba saja mengerubungi celana dalamku. Pedihnya tak tepermanai. Bukan hanya membayangkan bahwa beberapa hari bakda itu, aku akan berjalan sedikit mengangkang, namun...lebih dari itu. Menangis tak berbunyi aku bila membayangkan air muka lelaki --yang suatu hari nanti mengawiniku-- di malam pertama kami (di bawah lampu kamar yang bercahaya remang).
BERTAMBAH masailah aku ketika suatu hari kau menanam tebu di bibir. Kau tak hanya, dengan lembut dan syahdu, mengatakan (sekaligus memuji); hidungku bangir, wajahku bulat telur, bibirku merah penuh, kulitku putih rotan, mataku kilap-kelereng, alisku semut yang berbaris, rambutku sutera-hitam, daguku lekuk-mangga, bahkan telingaku kaukias bak cawan Persia. Aku luruh. Aku tahu, kau tak menuang air hingga tumpah. Kau menyampaikan yang sebenar. Ayahmu yang sudah empat kali naik haji saja sering ''nakal'' padaku. Beberapa kali si tua bangka itu meremas pantatku ketika aku ngepel. Beberapa kali pula ia mencoba menciumku --namun selalu gagal karena derap langkah ibumu keburu menyambangi.
''Kau bersyukurlah kami pungut di tepian rel dulu. Sekarang nak bertingkah kau!'' hardiknya ketika aku menghindari cengkeramannya di pinggangku.
Ayahmu juga sangat pandai mengganti muka. Di depan ibumu ia bagai singa yang sedang memerintahkan musang menyeret ayam. Bila aku lamban atau bahkan tak melaksanakan apa-apa yang dititahkan, maka aku akan dirajam. Demikian istilah yang sering dipakai keluargamu bila aku dirundung kesialan. Ya, selain keluargamu, tak banyak yang tahu (atau bahkan memang tak ada yang tahu) bahwa ayahmu seringkali merajamku dengan pecut kuda yang disimpan di kolong ranjangnya, bila aku kedapatan melakukan hal-hal yang tak berkenan di hadapannya dan ibumu. Walaupun tidak melakukannya dengan cambuk-maut itu, ibumu tak kalah ganas. Ketika marahnya membara, barang apa saja yang ada di dekatnya akan dicangking-rajamkan ke arahku. Kau tahu, bakat biru di bahu belakangku adalah bukti yang paling makbul atas guci China dan tatakan piring keramik Turkmenistan yang ia pecahkan ke tubuhku. Kau tahu, sejak itu, aku selalu tidur dalam keadaan telentang. Sedikit saja kumiringkan tubuh --karena tiba-tiba ingin memeluk guling misalnya, tulang belakangku serasa bersigesek. Linu yang menyayat.
Dan... kau bagai mengimani peribahasa yang tampaknya tak bercelah: orang tua adalah guru berteladan yang mustajab.
Ya, kau kerap menjambak rambutku bila telur mata sapi kegemaranmu tak kugoreng seperti yang kau inginkan. Kuningnya terlalu masaklah, putihnya terlalu keringlah, minyaknya masih berlumuranlah.... Namun kau sangat berbeda dengan orang tuamu. Rajammu adalah rajam yang membuat lenguhanku bersicepat dengan denyut nadi dan geletar jantung. Kau biasanya menyeretku ke sudut dapur yang jauh dari imbas cahaya pir kuning yang menjuntai di plafon. Melumat bibirku, menggigit-geli leherku, menjilat lekuk telingaku.... Kau melakukan semua dengan tangan yang sigap membuka kancing-kancing baju-katunku. Seolah kau benar-benar hafal bahwa jarak masing-masing pengait baju itu adalah 12 sentimeter. Tapi... kau tak melakukan (atau meminta) lebih jauh. Kau kerap berhenti ketika aku mulai menikmati rajamanmu.
''Percayalah, aku bukan iblis. Aku hanya pemuda biasa yang tak dapat menyembunyikan naluri lelakinya. Percayalah, kau bagai bidadari saban habis mandi. Dan aku takkan menghamilimu hanya karena itu. Aku hanya ingin bercumbu dengan perawan di malam pertamaku. Dan itu adalah kau....''
Aku diam. Terharu. Bangga padamu --bakal suamiku (benarkah?!). Lalu meradang dalam bayang kesedihan yang siap tumpah demi membayangkan malam-sakral itu tiba suatu waktu.
Tapi... oh, seperti yang kaukatakan. Kau adalah pemuda biasa. Hanya ditambah beberapa kelebihan: tampan, kaya, berpendidikan, dan (jujur kukatakan) menggoda. Pada suatu malam yang mendung, ketika kedua orang tuamu berhelat ke kampung sebelah, memenuhi undangan hajatan kawan lama, kau kembali merajamku. Tapi bukan karena aku tak menggoreng telur ayam itu dengan baik. Kau merajamku karena kau pemuda biasa --katamu dulu, pemuda yang memiliki naluri kelelakian (atau kebinatangan?!). O sungguh, harus jujur kukatakan, aku juga bagai terasuk setan-binal malam itu. Bila kau memintaku menumpahkan isi telur di kuali, aku akan melakukannya serampangan. Bahkan, akan kunaikkan putaran gas hingga api menyala sejadi-jadinya. Akan kuhidangkan telur pekang, gosong-arang! Ya, aku ingin kau menghukumku. Merajamku!
Dan kau melakukannya tanpa ada pasal telur goreng itu. Tapi tak seperti biasa, kali ini kau meminta lebih. Tentu saja, aku menolaknya. Bukan, bukan karena tak yakin kau akan bertanggung jawab (entah, aku begitu percaya padamu bahwa kau takkan menyia-nyiakanku), tapi karena kau belum meyakinkanku apakah ayah-ibumu akan bersetuju dengan pilihanmu; seorang pembantu tanpa orang tua dan sanak saudara.
Kau bagai membaca kegundahanku. Kau katakan betapa istimewanya dirimu. Siapa yang berani menolak permintaan anak tunggal?! Sungguh cantik kau meliuk lidah. Ya, kau tak menanyakan mengapa aku berani menolak permintaan seorang anak majikan. O, betapa ketika itu kau menguapkan sikap yang meluluh-lantakkan tembok pertahananku.
Menanglah kau! Aku gelap-pikiran. Aku tak tahu bila tebu di bibirmu sebentar lagi akan ditebas (dan hilanglah gulali itu tak lama kemudian!). Aku hanya membayangkan betapa gadis sebatangkara sepertiku akan menjadi bagian dari keluarga terhormatmu. Ohhh....
Namun, kenyataan bersibelakang dengan ramalan. Kau mulai mengganas. Kausingkap kain lasemku. Dan... berserempakan dengan petir yang bergemuruh jauh, dan air langit yang bersitumpah satu-satu; mukamu keruh seketika!
Kau mendorongku hingga terjerengkang. Kau kenakan pakaian dengan tergesa-gesa. Kau tuding aku sundal. Kau tak memberiku kesempatan untuk mengurai sebab-akibat....
Tengah malam, kutinggalkan rumahmu. Memapas jalan-jalan kelam kampung yang lengang....
SEDARI pagi, aku memang tak sabar menyambut malam. Di antara kerumunan tetamu, kusaksikan bagaimana ijab-kabul dilewati tanpa hambatan. Sejak duha hingga bakda asar, orkes melayu mengoar-bingar panggung dan seantero kampung. Kalian bagai menginjak-injak luka-lebamku. Dan, bakda isa, aku menuju kediamanmu. Dari balik jendela, kuintip orang tuamu menghitung isi amplop yang diterima, para keponakan yang bersuka-ria menyobek bungkus kado-kado yang menyerak di kamar depan, beberapa tamu jauh yang tak henti memuji keserasian kalian....
Malam pun meninggi. Sedikit saja jarum jam yang lebih panjang tergelincir, maka hari akan bernama baru. Lamat-lamat aku menyelinap. Kalian lupa bahwa aku sangat paham leliku rumah besar itu. Aku segera menuju kamar bergorden merah jambu dengan beberapa tangkai anyelir menyelip di kaitannya. Syabas! Begitu mudah kukuak pintu kamar. O o, aku datang di waktu yang gemintang. Kalian baru akan memulai ritual wajib pengantin baru. Aku berdoa dari balik pintu, semoga selangkangan gadis itu berkembar-nasib dengan selangkanganku.
O, apakah benar yang kulihat? Kau menggumulinya dengan lunas. Apakah gadis itu masih perawan? Atau... kau tak peduli lagi perihal darah yang muncrat di antara bonggol paha itu? Puihhh!!!! Laki-laki pembual, kau!
Maka, ketika kalian lelap oleh lelah yang memuaskan... kusambangi ranjang harum melati itu. Kusingkap kelambu. Kutatap kalian satu-satu. Kubersijingkat menaiki ranjang. Sangat hati-hati, hingga tanpa bunyi derit. Aku kini sudah mengangkangimu. Ups! Setengah meloncat aku membebankan tubuh di atas perutmu....
***
AKU terkakak hingga air mataku menyeruak. Kedua bola matamu mendelik sempurna ke arahku. Kurajam kau kini! Kucekik lehermu sejadi-jadinya. Kau mengejang. Aku makin terbahak. Pun ketika perempuan di sampingmu terjaga. Ia menyangka kau tengah mengigau. Mimpi buruk.
Sejak kapan mimpi buruk bertandang di malam punai, hah?! Perempuan bengak!
Perempuan itu menarik-narik kedua tanganmu yang memegangi leher --seolah kau tengah melepaskan cengkeramanku yang memelintir tonggak kepalamu. Mana bisa?! Mati kau?!
Perempuan itu berteriak ketakutan. Keluarga dan sanak-kerabatmu menggedor-gedor pintu yang masih terkunci. Tak lama, mereka mengerumunimu. Berteriak sejadi-jadinya. Ya, siapa yang tak meradang ditinggal mati anak-bujang seorang?!
AKU masih tertawa ketika, di antara sikaduduk yang menyemak di sudut pemakaman umum, tempat akan digalinya liang untukmu, orang-orang menemukanku teronggok dikerumuni belatung. Beberapa bagian tubuhku ditutupi bahan katun, kain lasem yang buram coraknya, dan tentu saja tali tambang yang masih bergelung di tengkorak kepala. Itu adalah tali yang kuambil dari dapurmu di malam aku meninggalkan rumah itu. Kukaitkan di dahan beringin yang paling besar; demi beroleh restu ayah-ibu untuk merajammu malam tadi. (*)
Lubuklinggau, Oktober 2009 s.d April 2010
Dimuat di Republika, 23/05/2010
Perampok itu bernama Mali. Sekarang pakai embel-embel mantan, karena dia sudah bertobat. Tetapi, tetap tak ada yang percaya. Seseorang yang telah masuk kubang lumpur, ketika keluar pun dia akan tetap berlumpur sekalipun sudah mandi dan memakai pewangi, begitu kata sebagian orang yang tetap sinis pada Mali.Mali tidak peduli, bertekad akan berkelakuan baik. Makanya, dia sering datang ke masjid. Bahkan, sebelum muazin memanggil orang untuk shalat, Mali sudah tiba lima belas menit lebih dulu. Berpakaian ala seorang haji, hanya tidak memakai kopiah putih. Menurut Mali, kopiah putih itu terlalu sakral. Hanya orang-orang yang bergelar haji yang pantas memasangnya di kepala.
Sekarang sudah lima tahun dia bertobat, tetapi belum pula diizinkan menjadi imam. Pun, bila imam masjid sedang sakit, para makmum lebih suka shalat sendiri-sendiri. Kalaupun Mali lebih dulu shalat, mereka tidak segera mengikuti di belakangnya, tetapi mengambil jarak dan membentuk kelompok jamaah sendiri.
Mali sebenarnya sedih. Tapi, mau berkata apa lagi? Cap perampok itu rasanya tak bisa dilenyapkan dari seluruh sel-sel tubuhnya.
“Aku terjebak nafsu ingin kenyang,” katanya suatu hari pada saya. Saat itu kami berada di depan masjid. Malam merebak. Angin melela lembut di depan wajah kami. Para jamaah shalat Isya sudah pulang. Tak ada yang berkeinginan bercakap-cakap dengan Mali. “Sedangkan mencari pekerjaan demikian sulitnya. Padahal, ini negeri makmur, negeri subur, negeri yang berkecukupan, tetapi buatku seorang saja, negeri ini tak mampu memberikan apa-apa kecuali harapan setinggi langit.”
Saya hanya mendengarkan saja. Sekalian memberikan kesempatan padanya untuk mengutarakan apa yang selama ini dipendamnya.
Mali mengembuskan asap rokoknya. “Suatu hari, saat aku pulang mencari pekerjaan, seorang temanku datang. Dia punya kegelisahan yang sama. Hampir tiga tahun mencari pekerjaan, tetapi hasilnya nihil sama sekali. Pertemuan itu rupanya awal dari petaka yang harus kumasuki. Dia mengajakku merampok. Katanya, dengan merampok, kita bisa cepat kaya. Sudah tentu aku menolak. Aku tetap berusaha mencari pekerjaan sementara temanku itu sudah naik mobil mewah dan menggenggam handphone. Adilkah ini?”
Lagi, saya hanya terdiam, mencoba berempati dengan masalahnya.
“Pusing karena perut lapar yang memanggil, panik karena tak tahu harus bagaimana membayar petakan yang kusewa, akhirnya … aku pun turut serta. Pertama, aku menggigil dan takut setengah mati. Aku yakin, Tuhan sedang melihatku. Mungkin pula Dia sedang memelototiku sambil berkata, ‘kau akan masuk ke neraka, Mali’. Tapi, di mana neraka itu? Aku juga tidak tahu. Akhirnya aku tenang dan menerima bagian dari hasil rampokan itu. Perutku bisa kenyang sepanjang hari. Wajah masam pemilik petakan pun tak lagi kulihat, karena langsung kubayar sewa selama setahun.”
Rokok yang dihisapnya sudah mendekati batas akhir. Mali menjentik dengan telunjuknya. Rokok itu mencelat, menyisakan bara merah yang melayang. Lalu mati.
“Tanpa terasa tiga tahun kujalani kehidupan sesat itu. Dengan uang hasil rampokan, aku bisa menyogok satu instansi dan akhirnya bisa bekerja di belakang meja. Betapa bangganya. Setahun aku bekerja dan tetap sesekali ikut merampok, aku mulai pandai dalam soal tata krama busuk, dalam soal jilat menjilat dan dalam soal bersikap manis, padahal penuh rencana. Dengan modal itu pula aku bisa naik jabatan.
Kalau dulu aku merampok bersenjatakan golok, sekarang aku merampok bersenjatakan dasi. Tapi anehnya, justru aku tertangkap karena seseorang yang mengenaliku sebagai salah seorang anggota perampok, bukan karena aku telah merampok dengan cara halus di instansiku. Aku ditangkap dan dipenjarakan. Dan, kau lihat sekarang, di sinilah aku berada.”
Saya masih ingin diam sebenarnya, tetapi cerita itu begitu menggelitik. Karena selama ini yang diketahui oleh masyarakat, Mali adalah perampok kelas kakap.
“Alhamdulillah Pak Mali sudah insyaf.”
Mali mengangguk-angguk. Wajah tuanya seperti semakin dipenuhi keriput. Sorot matanya legam, menyisakan cahaya yang beriak-riak. “Ya, ya … sekeluarku dari penjara, aku mohon ampun pada Tuhan. Kusesali semua yang pernah kulakukan. Mengapa karena aku tak kuasa menahan lapar aku melakukan tindakan busuk itu? Atau karena aku marah, aku bagian dari negeri ini, tetapi aku tak mendapatkan tempat sedikit pun? Entah, yang pasti aku telah bertobat. Aku telah meninggalkan hidup busuk yang selama ini kujalani.”
“Syukur pada Tuhan karena menyadarkan Pak Mali.”
“Tapi …, ada yang masih ingin kutanyakan pada Tuhan.”
Tanpa sadar saya berdebar. “Apa?”
“Mengapa Tuhan belum mengizinkan aku menjadi imam, memimpin makmum shalat berjamaah?”
***
Keinginan Mali mengganggu pikiran saya. Banyak orang yang saling dorong bila masuk waktu shalat menjadi imam dengan wajah penuh penolakan. Alasan mereka macam-macam. Belum bagus bacaannya. Masih suka bolong-bolong shalatnya. Belum bersih. Masih suka bohong. Lantas sekarang, ada mantan perampok yang telah bertobat sungguh-sungguh, mengapa tak diizinkan menjadi imam shalat?
Ketika akhirnya saya utarakan hal itu, semua langsung memprotes.
“Tak pantas perampok memimpin kami!”
“Betul! Apalagi memimpin shalat!”
“Kita sedang menghadap Tuhan! Tuhan bisa marah karena perampok yang memimpin kami!”
“Pokoknya kami tidak sudi!”
Saya tak sempat mengutarakan pendapat lagi, karena semua sudah meninggalkan balai kelurahan. Saya mencoba menenangkan diri, menarik napas panjang. Apakah orang-orang itu lupa, banyak para pendosa yang telah bertobat bisa menjadi seorang ustaz? Mereka bukan hanya memimpin shalat, tetapi juga tampil memberikan tausyiah di televisi. Menceritakan pengalaman masing-masing dengan penuh penyesalan, menjadikan itu i’tibar buat siapa pun.
Ah, kenapa Mali tak punya kesempatan itu? Dia tak ingin tampil di televisi, tak ingin pula memberikan pembelajaran. Dia hanya ingin sekali saja menjadi imam ketika sedang shalat.
Akhirnya penuh penyesalan saya utarakan apa yang dikatakan warga.
Kali ini Mali bukannya sedih malah tertawa.
“Mengapa kautanyakan pada mereka?”
“Saya ingin mereka menyadari bahwa Pak Mali sudah bertobat.”
“Hei, hei … tobatku ini bukan pada mereka, tetapi pada Tuhan. Tuhan yang akan menilai tobatku, apakah memang sudah layak diterima atau belum.”
“Saya yakin tobat Pak Mali sudah diterima Tuhan.”
“Bila memang seperti itu, alhamdulillah. Bila belum, aku akan tetap bertobat, beribadah khusyuk sebelum ajal menjemputku.”
Dua hari kemudian, saya tak melihat lagi Mali berada di deretan para makmum. Tak terlihat pula sosoknya yang sebelum masuk waktu shalat sudah berzikir dan selalu mengambil tempat di pojok masjid.
Selesai shalat kutanyakan hal itu pada para jamaah. Tetapi, semua tampak biasa saja, seolah selama lima tahun ini tak menyadari keberadaan sosok Mali. Tak ada pula yang mencoba mencari tahu di mana Mali berada saat ini.
Gelisah mulai tumbuh di dada saya. Saya mencoba mencari Mali. Siang malam. Tak peduli panas memanggang dan hujan menguyup. Mali telah insyaf, Mali telah mengambil jalan Tuhan. Mengapa tak ada yang mau menaunginya? Saya bertekad menemukan Mali. Akan saya ajak dia shalat berjamaah, dan dia sebagai imamnya.
Seminggu kemudian, suatu pagi, sebelum berangkat mengajar, saya membaca surat kabar pagi. Ada berita seorang perampok ditembak. Muka saya seperti meluang dengan sepasang pelipis yang berdenyut hebat ketika membaca nama Mali di sana. Juga, setelah mengenali foto Mali di sebelah berita itu.
Melunak seluruh tulang dalam persendian saya. Jantung saya berdebar sangat keras. Saya mencoba menegaskan kalau itu bukan Mali, wartawan salah memasang foto itu. Tetapi, ini jelas Mali. Mali yang telah bertobat. Mali yang sekali saja ingin menjadi imam shalat.
Tanpa sadar saya menangis.
Ketika shalat Isya tak seorang pun yang membicarakan tentang Mali. Mali seperti uap saja, datang lenyap, pergi pun lenyap. Ya Tuhan, ini salah siapa? Apakah Mali memang sengaja memilih jalan sesat lagi, atau karena dia murka pada-Mu yang tak memberikan kepercayaan padanya menjadi imam shalat berjamaah walau hanya sekali saja?
Lepas shalat Isya saya tak tahan juga. Saya bertanya pada mereka, apakah mereka tahu Mali meninggal ditembak?
“O, tahu.”
“Iya, tadi saya baca beritanya.”
“Kasihan, dia sudah bertobat, tapi akhirnya merampok lagi.”
Saya terkejut. Ternyata ada juga yang kasihan, bahkan menyadari Mali bertobat.
“Mengapa tak seorang pun yang mengizinkan dia menjadi imam shalat berjamaah?”
Orang-orang kasak-kusuk, lalu salah seorang menjawab tegas, “Karena dia belum pernah masuk televisi.”***
Mutiara Duta, 29 April 2010
Dimuat di Riau Pos, 30 Mei 2010
“POHON mangga itu merajuk,” kata Putri Kebun di senja yang belum turun sempurna. Sebenarnya aku tak menyangka ia akan mengeluarkan kata-kata yang terdengar lucu itu.DAHULU, dan hingga beberapa tahun sebelum tahun 2000-an, di kampung ini, orang-orang yang menggelar hajatan besar, biasa menegak tarup di pekarangan rumahnya. Sebagian besar rumah orang kampung memang memiliki pekarangan yang luas. Namun, bagi yang pekarangannya sempit atau tak begitu luas, maka ia akan menumpang di pekarangan tetangga untuk menegak tarup.
Dalam satu kampung, apabila ada sebuah keluarga mengadakan hajatan (misalnya pernikahan), maka tiga hari (bahkan ada yang satu minggu) sebelum perhelatan, ramailah ibu-ibu mendatangi rumah tersebut dengan membawa tolongan (seekor ayam kampung, beberapa canting beras dalam bokor kecil yang dibungkus dengan kain seukuran seprei). Biasanya ibu-ibu selalu membawa sebilah pisau yang diselipkan diikatan seprei bokor. Atau ada juga yang hanya menyelipkan pisau bersongkok di kebatan kain lasem dekat pinggang .
Tentu saja, kedatangan mereka bukan untuk bermain masak-masakan, mengadu masing-masing ayam, atau menguji ketajaman masing-masing pisau. Ayam kampung itu akan segera dimasukkan ke kandang gerobak untuk segera disembelih. Beras akan dimasukkan ke gentong seukuran derum, kemudian bokornya ditinggal di sebuah ruangan atau kamar. Sebagai semacam tanda terimakasih, beberapa ibu-ibu—bagai telah menjadi amanahnya—akan menyelipkan bokor-bokor itu dengan satu-dua kantung lauk-pauk untuk dibawa pulang. Maka, kaum ibu-ibu, kini hanya memegang sebilah pisau. Mereka akan segera menyebar ke beberapa penjuru tarup atau rumah untuk melakukan beberapa pekerjaan yang seakan-akan sudah ditentukan sebelumnya. Mengupas kentang, mengiris bawang, memirik cabe, memotong terong, memasak umbut, merebus sawi, mengadon pempek, menggoreng kerupuk…. Nah, pada perkara inilah, serombongan perempuan itu memerlukan tempat untuk mengecapar—menyandarkan pinggang sembari menyelonjorkan kaki. Tempat itu adalah tarup yang membentang cukup luas. Bahkan dapat saja lebih luas dari rumah yang punya hajat.
Tarup tak ubahnya seperti tenda hajatan. Bedanya, ia beratap seng; bertiang besi-pipa; dan tidak membiarkan tanah menjadi lantainya, tapi ditutup dengan bilahan-bilahan kayu—tampak seperti rumah-rumahan yang berlantai papan.
Tarup dibagi dua bagian: tempat duduk para tamu undangan, dan panggung yang sekitar setengah depa lebih tinggi dari tanah. Satu hari menjelang pesta perkawinan: bakda asar, kursi-kursi tamu disusun di mana pada malam harinya akan digelar pesta perkawinan. Takzimnya, ketika ibu-ibu secara berkelompok sibuk dengan tanggungan pelbagai bahan baku masakan di hadapan, panggung dijadikan tempat berkeriapan anak-anak. Keadaan seperti itu kerap ditingkahi ibu-ibu yang bergelak di kelompoknya masing-masing (biasalah cara mulut ibu-ibu bila sudah beradu), dan beberapa anak yang menangis di panggung karena dijahili kawan-kawannya (biasanya segera disambut teriakan ibu-ibu agar jangan berkelahi, atau jangan main lompat-lompatan takut panggung tarup ambruk….).
Di dalam rumah, kesibukan lebih rincah lagi. Selain kamar pengantin, hampir setiap bilik menjadi gudang. Tempat menyimpan sofa, meja, dan perabotan lain yang sekiranya membuat rumah tak terlihat lapang. Atau pada bilik-bilik tertentu, diisi dengan makanan yang baru saja diangkat dari oven seng yang dipanggang di atas tungku yang menyala-nyala. Bolu, gulai, taghuk (sayur yang telah dimasak), dan macam-macam penganan lainnya baru dihidangkan bila tamu jauh datang. Tamu-tamu ini biasanya adalah sanak keluarga yang sudah lama tak bersua, orang-orang berpangkat di kelurahan atau kabupaten-kota, dan yang pasti adalah pihak besan, yang harus disambut dengan pelayanan dan makanan yang baik. Mereka bercengkerama di ruang tamu atau ruang tengah yang sudah digelari tikar atau ambal yang bagus-bagus.
***
Putri Kebun menghentikan ceritanya. Aku mengenyitkan dahi. Sebuah bahasa tubuh untuk mengatakan: “Mengapa kau berhenti tiba-tiba? Lanjutkanlah!” Putri Kebun berdecek sebelum menyampaikan permintaan maafnya karena telah bercerita terlalu jauh. Aku pun tiba-tiba tersadar. Seharusnya aku menanyakan kepadanya tentang pohon mangga yang merajuk itu.
Ya, dalam ceritanya, tak ada kata “pohon”, tak ada kata “mangga”, apalagi kata “merajuk”. Tapi jujur, aku tak terlalu mementingkan cerita itu, walaupun aku yakin ia akan menceritakannya. Maksudku, penggalan ceritanya yang agak panjang itu membuatku sedikit menyesali tindakan orangtuaku dulu. Mereka memboyongku ke Jakarta saat aku berumur tiga tahun-an. Walaupun kata Putri Kebun, mungkin saja dalam rentang waktu itu, orangtuaku—terutama Mama—pernah membawaku ke tarup salah satu tetangga atau kerabat yang berhajat, tapi apa gunanya bila aku tak merasainya sebagai kenangan?
“Apakah akan ada yang berhajat dalam waktu dekat?” Aku sudah lupa tentang pohon mangga merajuk itu. Aku ingin sekali melihat tarup beserta keramaian di dalamnya. Aku ingin bernostalgia dengan hal-hal yang belum pernah secara sadar kualami.
“Bukannya kau indigo? Dapat melihat apa yang tidak orang lihat? Tidakkah kau dapat menebak-nebak?” Putri Kebun nyegir. “Kalau tak salah, sekitar delapan hari lagi, Mang Sumadi akan mengawinkan Ira,” lanjutnya.
“O ya?!”
“Semoga Mang Sumadi tidak menggelarnya seperti kawinan si sulung, Kak Amrul. “
“Memangnya kenapa?”
“Dulu waktu Kak Amrul menikah, Mang Sumadi pernah menegak tarup sampai dua minggu. Pestanya tiga hari-tiga malam.”
“Kamu tidak suka kebisingan?”
Putri Kebun mengangguk. “Tapi aku lebih tidak menyukai tarup!”
“Bukankah kini orang lebih banyak mendirikan tenda?” Aku penasaran.
“Ya. Kini memang lebih banyak yang menegak tenda, tapi apa bedanya?!” Putri Kebun geram. “Hanya tudung sengnya saja yang diganti kain-terpal tahan air. Atau bilahan papan saja yang tidak melindas tanah lagi! Penting tak itu?”
Aku diam.
“Bagaimanapun, pekarangan akan diratakan juga, kan?” Putri Kebun kini membelalak. Aku masih belum mengerti, apa yang membuatnya tidak menyukai tarup. Yang jelas, aku tak berani menatapnya saat ini. “Tapi… bagi sebagian yang masih memegang tradisi lama. Tidak bertarup sama saja tidak merasa menunai hajat!!!”
“Dan Mang Sumadi adalah orang yang masih berpendapat seperti itu?” tanyaku setengah bergumam. Kucoba ikuti dulu arah pembicaraannya.
Putri Kebun mengangguk. “Sama dengan Ayah.”
Aku mengernyitkan dahi. Putri Kebun berlalu ke belakang. Azan terdengar jauh. Mang Sali dan Bi Suri setengah berteriak menyuruhku masuk. Setelah berseru seolah menanyakan dengan siapa aku berbincang, mereka menyuruhku solat magrib. Solat? Sudah cukup lama aku tidak melakoninya. Ah, aku menghirup napas dalam-dalam. Kupandangi pekarangan rumah ini. Sangat asri. Pohon pepaya, srikaya, pisang raja, kumiskucing, bunga raya, dan pohon mangga yang menggelantungkan gerombolan buahnya yang masih muda-muda, berselang-seling begitu indahnya di sini. Sementara di sebelah, Mang Sumadi tampaknya memang tekun berkebun. Beberapa tanaman yang ada di pekarangan Putri Kebun juga ada di sana. Bahkan ada juga sawo, pinang, sedingin, sikaduduk, tapakdarah, dan bunga yang sangat kusuka: bunga tanjung, sedang mekar-mekarnya. Hanya satu yang kusayangkan, mangganya yang lebat-lebat itu dilingkupi kurap di sana-sini.
“Tak usah kaupikirkan adik sepupumu? Solatlah kau, Bujang Kota!”
Aku segera ke belakang.
***
KUNJUNGANKU ke rumah Mang Sali di Lubuklinggau lebih disebabkan permintaan Ayah. Aku diamanahkan menghibur ia dan isterinya yang ditimpa kemalangan. Putri semata wayangnya yang suka berkebun, minggat dari rumah satu tahun yang lalu, dan hingga kini belum pulang. Kata Ayah, putrinya sangat getol menentang keinginan Mang Sali yang berkeras menegak tarup untuk helat perkawinannya. Banyak yang bilang, putrinya sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan di kota, namun Mang Sali dan Bi Suri tak pernah mengindahkannya. Mereka percaya, putrinya masih hidup, dan akan kembali suatu hari nanti.
Dan hari ini, aku bangun tinggi hari. Entah, bagai ada yang menarik tanganku. Seolah menyeretku ke luar rumah. Baru saja aku tiba di muka pintu, dan hendak kulepas cengkeraman (cengkeraman? Siapa yang mencengkeram?) di lenganku, seolah melepaskan buncah ada yang berkoar.
“Lihat!” O o, Putri Kebun? (Bagaimana aku memanggilnya Putri Kebun?) Ah, entahlah. Ia menunjuk pekarangan Mang Sumadi.
Sebelum sempat kualihkan pandangan, ia menunjuk pekarangan rumah ini. “Pepohonan dan bunga-bunga ini!” Putri Kebun berlari ke dalam. Tangisnya pecah. Sayup-sayup kudengar sesenggukannya di kamar belakang. Jujur, aku menganggap ia terlalu berlebihan. Aku bahkan belum sepenuhnya menangkap muara dari keberlebihan sikapnya itu.
Aku menoleh ke rumah sebelah. Cerita tentang kerukunan orang kampung ini menyeruak lagi. Di panggung, anak-anak bermain kejar-kejaran. Mang Sali bermain gaple dengan beberapa bapak-bapak di salah satu sudut. Yang paling banyak adalah, kaum ibu-ibu (kulihat ada Bi Suri di antaranya) yang berkicau—sesekali diselingi tawa yang tiba-tiba pecah, dengan sebelah tangan memegang pisau, dan sebelah yang lain memegang kentang, wortel, bawang, pisang…. Tapi mana pohon mangga Mang Sumadi itu? Mana buahnya yang merajuk itu? Mana bunga tanjung itu?
O o, pagi tadi Mang Sumadi baru menegak tarup!!!
***
PUTRI Kebun terus membincangkan tebasan batang-batang yang dulunya adalah pohon jambu bangkok yang rindang di pekarangan Mang Samin. Dua tahun silam; Sirah, anak pertama laki-laki itu, baru diaqiqah dengan menegak tarup di atas halaman yang bertunggul-tunggul itu. Di lain tempat, ia bercerita perihal pohon srikaya yang meranggas. Katanya, dulu, buahnya besar-besar dan kulitnya berkilap-kilap. Setelah dipangkas untuk kawinan Mira beberapa tahun yang lalu, kini ia bagai hidup segan mati tak sudi. Semacam kutukan dan peringatan bagi tuannya. Sayang, tuannya tak pandai membaca tanda, ceritanya panjang lebar.
Ia masih terus menumpahkan cerita-cerita getir yang disampaikan ketika menemukan puing-puing kedigdayaan tarup. Tentang tunas-tunas muda yang baru belajar tumbuh dari tunggul-tunggul sebatas betis. Tentang jejuntaian buah yang merajuk. Tentang pohon-pohon, batang-batang, dan bunga-bunga di pekarangannya yang sebentar lagi akan segera ditebas, demi menegak tarup, demi pesta pekawinannya yang batal dihelat satu tahun yang lalu. Ah, aku lupa menanyakan, apakah benar ia meninggal karena kecelakaan...***
Lubuklinggau, Mei 2010
Subscribe to NewsLetter
Get the latest updates via EmailService provided by FeedBurner
Arsip
Label
- FLP Aceh (14)
- FLP Amerika (2)
- FLP Bandung (8)
- FLP DKI (27)
- FLP Depok (41)
- FLP Lampung (1)
- FLP Lampung Timur (3)
- FLP Lubuklinggau (58)
- FLP Padang (4)
- FLP Pekalongan (2)
- FLP Sumbar (12)
- K: Batam Pos (5)
- K: Berita Pagi (2)
- K: Femina (1)
- K: Jawa Pos (14)
- K: Jurnal Bogor (6)
- K: Kedaulatan Rakyat (1)
- K: Kompas (8)
- K: Lampung Post (9)
- K: Media Indonesia (4)
- K: Nova (2)
- K: Padang Ekspres (3)
- K: Pikiran Rakyat (5)
- K: Republika (35)
- K: Riau Pos (5)
- K: Seputar Indonesia (2)
- K: Sriwijaya Post (1)
- K: Suara Karya (10)
- K: Suara Merdeka (9)
- K: Suara Pembaruan (22)
- K: Surabaya Post (12)
- K: The Jakarta Post (7)
- K: Tribun Jakarta (1)
- M: Gong (1)
- M: Sabili (3)




