Dian
Selasa, 15 Juni 2010 by: Forum Lingkar PenaCerpen Wildan Nugraha
Dimuat di Koren Tempo 13 Juni 2010
LAMPU-LAMPU penerang jalanan sudah menyala. Ramah menyambut hujan yang turun tiba-tiba. Mata Dian menatap lekat lampu yang terdekat. Sinarnya kuning berpendar oleh tirai hujan. Sebenarnya ia malas berpikir jika malam tiba, tapi berkat pemandangan itu ia mendongak juga mencari bulan.
Tidak ada. Entah awan, bangunan-bangunan, atau terang kota yang menghalanginya.
Di pinggir jalan Dian duduk menunggu bus yang akan membawanya pulang. Suara hujan mengeras menimpa atap halte. Beberapa orang baru bergabung. Sama-sama menunggu. Ada yang mengobrol berdua atau bertiga. Ada yang kelihatan bicara sendiri dengan telepon genggamnya. Tapi lebih banyak yang seperti Dian. Diam sendirian.
Kembali Dian menatap lampu jalanan itu. Tiangnya kurus dan menjulang. Dayanya besar. Ia seperti kawan setia buat Dian. Ada kalau diperlukan. Tapi hanya di sini, di pinggir jalan tempat ia biasa menunggu bus sepulang kerja.
Dian memikirkan matahari ketika dari arah tikungan muncul bus kota. Orang-orang menengok dan beranjak. Ada yang kembali duduk, ada yang terus berdiri. Dian kembali memikirkan matahari. Kendaraan besar itu bukan bus yang akan ditumpanginya.
Di atas meja di kamar kontrakannya Dian menaruh potret matahari. Fokus gambar sebenarnya bukan padanya, tapi pada orang-orang di puncak bukit itu. Semuanya tersenyum, tapi kamera yang dulu disetel otomatis itu tidak jelas menangkapnya. Dari arah timur sinar terlalu membanjir.
Dian ingat, setelah berfoto semua duduk-duduk menikmati matahari, yang pelan-pelan naik meninggalkan garis cakrawala. Langit di sekitarnya begitu bersih dan laju waktu terlalu pelan untuk dihitung.
Bus kota berlalu menembus hujan. Halte itu kembali lengang. Hanya beberapa orang yang masih menunggu. Semuanya diam. Selain bunyi hujan, segala macam suara jalanan di halte itu terus terdengar.
Mata Dian kembali mencari bulan. Tapi diurungkannya. Lampu jalanan yang seakan tidak pernah padam itu kembali ditatapnya. Dian kemudian teringat pada sebuah pesan pendek yang masuk ke telepon genggamnya. Sudah cukup lama, tapi belum juga dibalasnya. Padahal ia sempat begitu menantikannya.
Di seberang jalan itu terdapat juga sebuah halte. Terhalangi kendaraan-kendaraan yang lewat, Dian merasa tempat itu baru dilihatnya. Mungkin karena lampu neon yang dipasang di bawah atapnya sehingga tempat itu kini lebih terang. Berbeda dengan halte tempatnya menunggu bus sekarang, yang entah kenapa hanya diterangi lampu jalanan dan sorot lampu-lampu kendaraan yang sedang lewat. Ia seakan baru menyadarinya.
Beberapa orang tampak mengobrol di halte seberang itu. Sesekali mereka tertawa berderai-derai. Dian melihat mereka seperti menonton film bisu. Suara hujan dan segala macam bunyi jalanan adalah musik pengiringnya. Salah satu di antara mereka kemudian berdiri agak menjauh. Ia mengangkat tangannya, tampak hendak mengambil gambar dengan kamera telepon genggamnya. Resam wajahnya menimbang-nimbang ringan dan mulutnya memberi aba-aba. Yang lain berkumpul saling merapat dan memasang senyuman.
Dian ikut tersenyum.
Pemandangan yang terhalang-halangi kendaraan lewat itu kemudian hilang oleh badan bus yang merapat di halte seberang jalan itu. Sebentar Dian bertanya di dalam hati, apakah mereka sedang menunggu kedatangan bus yang akan membawa mereka pulang.
Kendaraan besar itu bergerak kembali melanjutkan perjalanannya. Seperti tirai yang bergeser pelan setelah sebentar menyembunyikan panggung tontonan pada sebuah pagelaran teater. Hujan masih turun. Kendaraan-kendaraan terus lewat di depan Dian, di antara kedua halte di pinggir jalan itu. Ada yang melaju pelan-pelan, ada pula yang melesat tergesa-gesa. Lampu-lampu jalanan tetap menyala dengan sinar kuningnya yang berpendar oleh hujan. Sementara bangku-bangku di halte seberang jalan itu kini telah kosong.
Tidak jauh dari halte yang kosong itu, Dian melihat sepasang lelaki dan perempuan sedang berjalan. Si lelaki memegang payung yang melindungi mereka dari hujan. Tangan si perempuan memegang lengan si lelaki. Lelaki itu yang tadi mengambil foto dengan telepon genggamnya di halte seberang jalan itu.
Orang-orang di sekitar Dian beranjak dari duduknya. Dari arah tikungan sebuah bus muncul dan mendekat. Saat berhenti bunyinya terdengar khas seperti lenguh hewan laut yang lucu. Tapi pikiran Dian tidak tergerak untuk menikmatinya. Ia melangkah pasti menuju pintu bus yang membuka pelan-pelan itu. Dibiarkannya kepalanya menerima hujan.
Di atas bus yang berhenti sebentar saja itu, Dian duduk di bangku sebelah kaca jendela. Bulir-bulir air tampak di sisi kaca sebelah luar. Ada bulir-bulir yang diam dihampiri bulir-bulir yang bergerak. Ada yang cepat-cepat, ada yang pelan-pelan seperti ragu-ragu atau penuh perhitungan. Bulir-bulir yang bersatu kemudian turun lebih cepat di permukaan kaca. Meninggalkan gurat-gurat basah sebagai jejaknya.
Dian kembali mendongak mencari bulan di balik kaca jendela yang kini dihiasi bulir-bulir air itu. Meski ia tahu tidak akan menemukannya. Kepalanya dipenuhi oleh dua orang yang berpayung itu, yang tadi, sebentar saja, masih dilihatnya dari atas bus. Mereka ada di antara orang-orang yang tersenyum di dalam foto di atas meja di kamar kontrakannya itu.
Dikeluarkannya telepon genggam dari tas jinjingnya. Dian membuka pesan pendek yang sudah lama masuk itu. Dibacanya sebentar, kemudian dihapusnya. Lelaki yang tadi memegang payung itu tidak perlu menerima balasan pesannya.
Dian tersenyum seulas, berniat pergi ke kantor lebih awal besok pagi. Sebentar saja ia akan naik ke puncak gedung tempatnya bekerja di kota itu. Cahaya matahari yang membanjir dari arah timur setiap pagi itu sudah lama tidak dilihatnya.
Bandung, 7 Juni 2010