Dialog Malam dan Kamar
Selasa, 22 Juni 2010 by: prakoso bhairawaCerpen Koko P Bhairawa
dimuat di Bangka Pos, edisi 30 Mei 2010
Adalah mimpi yang membuatku untuk malas tidur ketika seluruh penghuni rumah kost ini mulai terlelap. Tidur adalah sebuah rutinitas wajib yang tidak hanya dilakukan oleh rekan-rekan kostku, tetapi hampir setiap makhluk yang bernyawa melakukannya. Ehm,..dan mungkin hanya beberapa persen saja yang tidak bisa tidur, selain mereka-mereka yang masuk dalam kategori insomnia.
”Malam ini nampak gelap,...”
”Hei,..hei,..apa yang kau ucapkan. Semua orang sudah mengetahui bahwa ketika malam datang pasti akan gelap.”
”Bukan itu maksudku sobat,...”
”Lalu,...”
”Jangan kau pikir aku tidak tahu bahwa malam pastilah gelap, tapi coba kita lihat malam ini bukankah seisi ruang tak sedikitpun menghadirkan cahaya,..”
”Ah,..itukan karena kau tak menyalakan saklar lampu.”
”Becanda sobat, dari mana kau temukan kata saklar lampu untuk kamar ini. Masih bisa berlindung dari panas siang, dingin ataupun hujan masih syukur kita.”
”Ah,..kini kau yang bercanda,..kata-katamu itu tentang kamar. Kau sebut ini kamar?”
”Ha,..ha,..ternyata kita begitu sama.”
Adalah tidur yang membuatku takut. Sekali memejamkan mata bisa saja besok tak jelas dimana keberadaanku. Para penghuni kost inipun sangat mengetahui dan paham akan konsekuensi jika benar-benar terlelap.
”Konsekuensi,..kata macam apalagi yang kau hadirkan sobat. Malam sudah semakin larut, dan kau mengoceh tanpa penuh kejelasan.”
”Ah,..inilah susah jika bicara pada kau yang tak pernah kenal ruang.”
”Apa hubunganya kenal dengan ruang, yang kukenal adalah waktu. Bila dia sudah turun maka saatnya kita naik,..ha,.haaaa,..haaaa”
”Eh,..eh,..sebentar,..aku kenal ruang. Ruang dalam definisiku tak lebih dari sela-sela antara deret tiang itu-itu-itu dan ini. Itupun karena tiang yang terlihat oleh mataku hanya itu-itu saja. Walaupun aku tahu bahwa ada yang pernah datang dan mengartikan ruang sebagai rongga yang berbatas atau terlingkup oleh bidang. Namun, selepas itu yang datang padaku tadi berceloteh, memberi pengertian lain tentang ruang. Ruang adalah rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada. Lalu ruang kita sama sobat?”
”Ruang bagiku bentangan alam semesta.”
”Ha,..ha,..ha,..kau begitu pandai sobat,..pandai,..pantas kau kenal dengan si konsekuensi.!”
”Yah,..dia hadir selalu dikala pilihan usai ditentukan.”
Adalah sekarang bukan waktu yang tepat untuk bisa melakukan sesuatu yang ingin dan selalu dilakukan. “Ummm,.uhhh…!” kuhela nafas. Angin malam semilir menusuk persendian, padahal masih pukul jelang dua belas kurang dua puluh satu menit. “Yah,..masih terlalu pagi untuk tidur, Semalam saja tidur lewat pukul empat.”
Satu minggu, hari-hari terasa membingungkan dan tak ada satupun yang bisa menjadi bara guna memercikan jiwa. Pagi bangun, lalu bertutur dengan-Nya dan kemudian kembali tidur. Pukul delapan baru mencoba membuka mata. “Ummm, ...uhhh,..ada apa dengan diri. Inikah episode dimana menjadi hampa dan seperti si bodoh yang selalu bisa terdiam dan diam.”
“Entah mengapa akhir-akhir ini kata maaf begitu mudah untuk keluar dari tutur. Apa karena begitu banyak kesalahan yang telah dilakukan sehingga kini tak sungkan-sungkan untuk mengumbar kata maaf.”
“Lelah, kau lelah sobat”
“Mungkin,..mungkin itu penyebabnya.”
“Ah,..secara fisik, aku masih bisa bangun pagi, minum susu dan makan telur ayam kampung.”
“Ha,...haa,..kau bilang minum susu dan makan telur ayam kampung?”
“Iya,..kenapa. Kongkritnya aku cukup asupan nutrisi, tapi kenapa masih ada sesuatu yang bikin hampa???
“Ya,..ya,...”
Adalah anggukan kepala tanda yang tak mau kulihat, karena itu belum tentu persetujuan atau hanya untuk membuat senang sekejap. Tanda, sesuatu yang memang tak mudah untuk diartikan. Ketika terbiasa membaca titik sebagai akhir, koma sebagai jedah ataupun sabit dengan dibawahnya titik sebagai tanya. Begitu juga dengan hitam laksana kemisteriusan, putih bertabur kesucian atau merah dengan kobaran semangat lalu apa sadar jiwa-jiwa tentang air menggenang dikirimkan sungai-sungai ke dapur-dapur. Pekat coklat memenuhi timur jawa, kubik tanah jatuh di tiap atap-atap rumah atau juga retak aspal setelah malam dan pagi bergejolak.
“Sobat apa kau sudah cerdas membaca tanda?”
“Tanda, dalam mimpi aku sering bertemu dan bagiku mimpi adalah hiasan tidur,..haaa,..haaa” ada bau yang tak nyaman menyengat hidung ketika ia berucap.
“Ehm,.. apakah mimpi bisa menjadi pertanda atau kah itu hanya sebuah bunga tidur sobat?”
“Wah ternyata kau tak pandai mengenali bahasaku,..”
“Bukan begitu, beberapa malam yang lalu aku bermimpi. Ketika memejamkan mata yang kutemukan hanya hamparan padang luas dan gelap, lalu di episode berikutnya kaki menapak di lorong gelap dan tak ada siapa-siap, dan ketika tersadar dada menjadi sesak,..”
“Lalu,..”
“Malam berikutnya, aku melihat seseorang tersenyum dan selalu mengajakku untuk mendekat tapi tak jelas apakah dia seorang yang sama dengan ku atau sejenis dengan sosok yang paling aku cintai. Ia hanya tersenyum dan membuka kedua tangan layaknya orang yang ingin memeluk. Ketika terbangun justru air mata yang mengalir dari kedua belah mata bersama lantunan ayat suci”
“Ah,..bukankah itu hanyalah mimpi,..dan mimpi masih sama dengan kataku tadi, bahwa mimpi adalah hiasan tidur. Jadi ketika kau tertidur maka seketika itu bisa saja hiasan-hiasan mulai datang memenuhi ruang tidurmu”
Dalam diri bergumam, padahal dikeesokan malamnya ketika tidur lebih larut, karena harus berbagi cerita sama seperti malam ini. Sebelum memejamkan mata, doa tak lupa hadir berharap ketika bangun sudah disambut matahari dan segera menjalankan aktivitas. Tapi, sepertinya cerita kembali berlanjut. Saat itu justru aku melihat diriku berjalan dengan seseorang yang tak jelas rupa, dan ketika terbangun kepala langsung berat dan terasa sakit. Kondisi semacam ini ternyata berlanjut hingga aktivitas tak bisa maksimal, bahkan sekitar pukul sebelas pagi kulihat di cairan berwarna merah jatuh di sela-sela tombol keybot komputer. Selang beberapa detik kemudian, seisi ruangan berputar, hingga untuk beberapa lama tak sadarkan diri. Untungnya tak seorangpun yang tahu, karena pada hari itu ruangan yang sedianya berisi enam orang hanya ada diriku sendiri dan yang lainnnya sedang ada tugas luar. Mendekati pukul dua belas siang baru aku tersadar dengan cairan yang telah membeku di sela-sela hidung.
“Hai sobat kenapa kau terdiam, apakah diam membuatmu menjadi nyaman?”
“Ah,.kau bisa saja memancing kegelihasanku”
“Sobat jika kau tahu, inilah untuk pertama aku menjadi aneh,..Ehm...tak seorang yang tahu bahkan dia yang selalu menjadi teman berbagipun tak bisa kuhubungi.”
“Sudahlah mari segera tidurkan badanmu, sesaat lagi hujan akan turun, dan mungkin dia bisa membuatmu menjadi lebih nyaman.”
“Benar juga katamu.”
Malam semakin larut dengan nuansa yang lebih segar setelah air mulai turun dari langit.
Adalah hujan menjadikan sesuatu yang segar dan terkadar membuat kulelah untuk tetap waspada agar air tak naik. Di setiap detik silih berganti ia turun dan menghujan hingga ke dasar bumi, atau jika terbentur dengan beton-beton di bawah ia hanya bisa menggenang di permukaan hingga naik sampai pinggiran tempat tidur.
Malam ini menatap kota yang sombong dengan gedung yang setiap saat seolah menjilati langit dan tatkala hujan justru seperti kota yang kalah perang dengan genangan air berwarna coklat hampir menutupi sebagian besar wilayah,...Jakarta..Jakarta,... masih ada cerita yang belum kau bagi untukku.
Kini bosan malam mulai menjemput.
“Sobat mari dekaplah diri, agar kau nikmati semuanya.”****