Tentang Anak Lelaki yang Disetubuhi di Kebun Mawar
Minggu, 20 Juni 2010 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu, 20 Juni 2010
LELAKI itu sangat dekat dengan ibunya, walaupun itu hanya akhir-akhir ini. Tepatnya, ibunya yang mendekat-dekatkan diri, seolah ada kesalahan besar yang hendak ditebusnya.
LELAKI itu adalah orang yang paling depan berdirinya dan paling keras koarannya bila menghujat ayahnya, pamannya, saudara laki-lakinya, atau teman laki-lakinya. Walaupun sampai kini ia belum juga paham mengapa ketika mereka menatap balik padanya, ada rona skeptis dari mata-mata setan itu. Apa yang kaukatakan, hah? Seakan-akan kalimat itu mencuat dari bibir orang-orang yang dibencinya itu ketika idealismenya akan konsep kelelakian ia ceramahkan. Ya, tanpa kata-kata, hanya dengan bahasa tubuh, mereka balik mengejek laki-laki itu, lebih kejam dan menyakitkan....
Apakah ini yang namanya karma, atau ini yang disebut azab, atau ini.... Aaaah, tidak! Tak ada itu! Lantas, menurutmu apa-apa yang laki-laki itu rasai saat ini adalah sebuah kebetulan, ketiba-tibaan, kelangsungjadian?
Lelaki itu berkeringat dingin. Ia melangkah keluar rumah. Berharap angin malam dapat menyejukkan pikirannya. Aku terlalu lelah, mungkin. Lelaki itu dengan daya upaya yang ia bisa, mencoba membesar-besarkan hati bahwa semua hanya bunga penatnya.
Angin mendesau pelan, selaras dengan malam tua yang lamban menggeser waktu. Lelaki itu menghirup udara sambil memejamkan mata. Seakan mencoba khusyuk meresapi bunyi dan bau napas yang dengan lembut melewati mulut dan hidungnya. Segaaar!
Perlahan-lahan dibukannya kelopak mata yang berbulu lebat itu. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati sebuah pemandangan ganjil: sekuntum mawar raksasa yang masih kuncup bertegak kokoh di salah satu sisi pekarangannya. Mawar itu seakan-akan tengah menatapnya lekat-lekat.
Lelaki itu menggigil. Ia membalik badan. Menuju pintu rumah yang setengah terbuka. O o, kakinya berat. Lelaki itu merasa seakan-akan sekuncup mawar raksasa itu tengah berjalan ke arahnya perlahan-lahan. Terbayang olehnya, bagaimana adegan beberapa film horor yang pernah ditontonnya: tangan berjalan, kepala terbang, boneka pembunuh yang membelalak, atau ooo... ini mawar!! Perasaannya, dalam film-film horor, bunga itu tak pernah diilustrasikan sebagai simbol pembunuh, setan, hantu, atau apalah! Ooohh...
”AAAAH...!!!” Lelaki itu berkeringat dingin. Tak henti ia mengucap syukur bahwa semua hanya mimpi saja. Maka, beranjaklah ia ke kamar mandi. Baru seperempat daun pintu dibuka, seketika ia terperanjat mendapati dinding kamar mandinya sudah dipenuhi daun sirih yang merambat-menjulur. O bukan, bukan itu yang menjadi titik keterkejutannya. Sirih itu, ya sirih itu. Berbuah semangka? Oh, ini bukan saatnya bergurau, Kawan. Daun sirih itu, berbunga. Bunga yang sangat ia kenal. Warnanya.... darah! Merah kelam. Itu... bunga mawar. Bagaimana bisa? Laki-laki itu mengucek matanya beberapa kali. Mencubit-cubit lengan kanannya. Menampar-nampar pipinya. O tidak, ia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!!
”Nak, cepatlah bangun! Sarapan.”
Lelaki itu tersedak mendengar seruan dari luar kamar. Ibu. Ya, itu suara ibunya. Maka, makin terheran-heranlah ia, menyadari bahwa ia benar-benar tidak sedang bermimpi. Gegas ia melangkah keluar kamar, menuju ruang makan. Di sana, ibunya menyambut dengan senyum sabit.
”Kemarin... Ibu lupa namanya. Ada temanmu yang ngantarin puding. Katanya enaknya dimakan hari ini, Nak.” Wanita beruban itu menghidangkan beberapa potong puding berwarna kuning yang baru dikeluarkan dari kulkas. Tak lama, ia berlalu ke dapur.
Uuuh... setidaknya lelaki itu bisa bernapas sedikit lega mendapati warna makanan itu. Tidak merah.
Lelaki itu mengangguk. O o, tunggu dulu ini pemberian siapa?
“Kemarin udah Ibu cicip. Maaf ya Nak, tak bilang-bilang padamu. Tapi memang enak. Hebat benar teman laki-lakimu itu memasak.” Ibunya berseru dari dapur seakan-akan dapat membaca pikiran lelaki itu.
Laki-lakiku? Mengantar puding...?
”O ya, sepertinya itu puding wortel. Ditambah stroberi juga. Sudah kaucoba, belum?”
Lelaki itu tersadar dari lamunannya yang sejenak itu. Sesegera ia membuka plastik minyak berwarna kuning yang menutupi puding tersebut. Beberapa detik kemudian, ups! Lelaki itu tergagap. Bibirnya gemetar. Puding itu...
”Enak, Nak?”
Lelaki itu tak memedulikan suara sumir ibunya yang entah sedang apa di belakang sana. Ia bermaksud mengambil potongan-potongan puding merah hati yang berbentuk mawar di atas meja makan itu, membawanya ke beranda... dan membuangnya,
O o, ada apa dengan dunia ini? Mengapa...?
Lelaki itu teduduk, tersimpuh di beranda. Puding mawar ditangannya terjatuh berkeping-keping. Di hadapannya, di pekarangan yang tak begitu luas itu, rerumpunan mawar yang beranting-ranting menyemak di sana-sini. Di setiap sudut, hingga membentuk pagar daun, pagar duri, pagar mawar. Di salah satu sudut, tampak menonjol sendirian setangkai mawar raksasa yang belum mekar sempurna. Mungkin sebesar itulah bunga raflesia itu, pikirnya. Atau, jangan-jangan, yang ada di hadapannya inilah yang disebut bunga raflesia, batinnya. O tidak, walaupun lelaki itu belum pernah melihat bunga bangkai itu secara langsung, tetapi setahunya, bunga raflesia tak berbatang, tak berkuntum. Ia hanya berbonggol. Ya, itu mawar. Jelas-jelas mawar. Mawar dalam mimpinya!
”Lho, Nak, ngapain duduk di beranda? Kotor.”
Lelaki itu menengadah. Mendapati wanita berbaju kurung sudah bediri di muka pintu. Ia tak menyahut. Ia matikata.
”Mengapa kauserakkan puding-puding itu, Nak?” Ibunya menunjuk ke potongan puding yang menyerak di sekitar si lelaki.
O tidak, potongan puding itu sudah berubah menjadi mawar-mawar dengan beragam ukuran. Oh... lelaki itu terjerembab. Lebih tepatnya, memaksa tubuhnya untuk terjerembab. Pingsan artifisial. Dengan sepenuh jiwa ia berharap, ketika siuman nanti, entah dari tidur atau dari pingsan—buatan—nya, ia akan segera mendapati semuanya kembali seperti semula. Baik-baik saja.
”DARI pagi tadi, sejak dibawa ke rumah sakit ini, perutmu belum diisi, Nak. Kata dokter, kamu harus makan makanan yang lembut, halus, dan mudah dicerna, seperti puding ini.” Ibunya menyodorkan sepotong puding pada lelaki yang didudukkan di sebuah dipan dengan kasur putih.
”Puding? Ooo tidaaak!!!” Lelaki itu menggeleng dengan mata terpejam.
”Makanlah. Puding ini kiriman istrimu, Nak.”
Istri? Siapa isteriku?
Lelaki itu membuka matanya perlahan. Sangat perlahan. Tiba-tiba ia menggeleng. Ia ketakutan. Bukan, bukannya mendapati puding yang berbentuk, berukir, dan berwarna mawar. Tetapi... mendapati sekuntum mawar yang sudah mekar sempurna, setinggi tubuh orang dewasa, berdiri di samping ibunya.
”Ada apa, Nak?”
Lelaki itu beringsut menarik selimutnya, bersandar di kepala dipan. Tampak sekali ia memaksa memejamkan matanya. Kepalanya masih menggeleng. Wajahnya pucat.
”Takkah kau merinduinya? Sudah lama tak bertemu, bukan? Yah, Ibu mohon ma’af kalau dulu tak menyetujui pernikahanmu. Tapi sekarang Ibu sudah merestuiya, Nak. Walaupun tak berhasil jua Ibu meyakinkan ayahmu dan saudara-saudara laki-lakimu itu.” Wanita itu menatap putranya lekat-lekat. Membelai rambutnya, seolah ia adalah anak belasan tahun. ”Semua bukan karena Ibu sudah bercerai dan tak satupun saudaramu yang ingin ikut Ibu, tapi... ah, sudahlah, Nak. Ibu tahu, kau tak memerlukan restu binatang-binatang itu, bukan?”
Lelaki itu menggigil. Ia sungguh tidak mengerti dengan semuanya. Bahkan, ia pun tak tahu, apakah ia tengah bermimpi atau tidak. Kalaupun iya, alangkah panjangnya mimpi ini? Alangkah membingungkan dan menakutkannya mimpi ini? Atau... sebenarnya ia sudah mati. Seperti inikah alam sesudah hidup itu? Absurd, ganjil, aneh, asal-asalan. Tak ada sebab-akibat lagi! Sungguh, sungguh yang sebenar sungguh, lelaki itu sudah lelah dengan semuanya. Lelah yang sangat. Gila!!
”Mark, tolong tenangkan suamimu, ya,” wanita itu menoleh pada sekuntum mawar raksasa di sampingnya, sebelum tersenyum tipis pada lelaki itu.
Aku suami dari Mark? Mawar raksasa itu? Mark-Mawar?Apa-apaan ini, Tuhan?
Mawar raksasa merapatkan kuntum hijau berdurinya pada lelaki itu, seolah-olah hendak memeluk lelaki itu, menenangkan suaminya.
Lelaki itu berteriak. Terus berteriak hingga tak ada lagi suara. Ia mempingsan-pingsankan diri. Memejam-mejamkan mata. Memaksa membunuh diri dan jiwanya dengan perasaan yang menghunjam-hunjam, yang tiada dipahaminya.
Para pasien lain dan orang-orang yang ada di sekitar ruang inap itu berkerumun di sana.
”Bukan salah kau, Mak.”
”Lagipula bukan kehendakmu tak pulang selama 20 tahun, kan, Mak?”
”Memangnya dia bisa merasakan susahnya mencari uang sebagai TKW!”
”Sudahlah, Mak. Tak ada dalam adat percintaan macam sepert itu.”
”Bila anak bujangmu gila, mungkin itu balasannya, Mak.”
”Sudahlah, Mak. Pulang saja. Anggap kau tak pernah ber-anak.”
”Bukan!” bantahnya. Ia membelalak pada perempuan-perempuan yang seolah-olah peduli padanya dan anak lelakinya. Hampir saja ia tumpahkan beban yang menyesak itu. Namun ia bagai tersadar bahwa takkan ia katakan bahwa semua ini salah suaminya. Lelaki yang berulangkali menunggangi anak lelakinya yang kala itu masih belia di kebun mawar belakang rumah, ketika ia memeras keringat di Hongkong. Perempuan itu mengutuk-ngutuk, sebelum menangis, meraung sejadi-jadinya, seperti orang gila.
Ada yang bersitatap; memastikan bahwa tak hanya ia sendiri yang berempati. Ada yang menunduk saja. Ada yang bermata-kaca. Tak ada yang berani menyanggah. Walaupun semuanya masih singup, namun mereka bagai dapat menyimpulkan; terlalu berat perkara itu untuk jadi bahan pergunjingan.... (*)
/Lubuklinggau, Januari 2009 s.d. Januari 2010