Mali

Rabu, 02 Juni 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Fahri Asiza
Dimuat di Republika, 23/05/2010


Perampok itu bernama Mali. Sekarang pakai embel-embel mantan, karena dia sudah bertobat. Tetapi, tetap tak ada yang percaya. Seseorang yang telah masuk kubang lumpur, ketika keluar pun dia akan tetap berlumpur sekalipun sudah mandi dan memakai pewangi, begitu kata sebagian orang yang tetap sinis pada Mali.

Mali tidak peduli, bertekad akan berkelakuan baik. Makanya, dia sering datang ke masjid. Bahkan, sebelum muazin memanggil orang untuk shalat, Mali sudah tiba lima belas menit lebih dulu. Berpakaian ala seorang haji, hanya tidak memakai kopiah putih. Menurut Mali, kopiah putih itu terlalu sakral. Hanya orang-orang yang bergelar haji yang pantas memasangnya di kepala.

Sekarang sudah lima tahun dia bertobat, tetapi belum pula diizinkan menjadi imam. Pun, bila imam masjid sedang sakit, para makmum lebih suka shalat sendiri-sendiri. Kalaupun Mali lebih dulu shalat, mereka tidak segera mengikuti di belakangnya, tetapi mengambil jarak dan membentuk kelompok jamaah sendiri.

Mali sebenarnya sedih. Tapi, mau berkata apa lagi? Cap perampok itu rasanya tak bisa dilenyapkan dari seluruh sel-sel tubuhnya.

***

“Aku terjebak nafsu ingin kenyang,” katanya suatu hari pada saya. Saat itu kami berada di depan masjid. Malam merebak. Angin melela lembut di depan wajah kami. Para jamaah shalat Isya sudah pulang. Tak ada yang berkeinginan bercakap-cakap dengan Mali. “Sedangkan mencari pekerjaan demikian sulitnya. Padahal, ini negeri makmur, negeri subur, negeri yang berkecukupan, tetapi buatku seorang saja, negeri ini tak mampu memberikan apa-apa kecuali harapan setinggi langit.”

Saya hanya mendengarkan saja. Sekalian memberikan kesempatan padanya untuk mengutarakan apa yang selama ini dipendamnya.

Mali mengembuskan asap rokoknya. “Suatu hari, saat aku pulang mencari pekerjaan, seorang temanku datang. Dia punya kegelisahan yang sama. Hampir tiga tahun mencari pekerjaan, tetapi hasilnya nihil sama sekali. Pertemuan itu rupanya awal dari petaka yang harus kumasuki. Dia mengajakku merampok. Katanya, dengan merampok, kita bisa cepat kaya. Sudah tentu aku menolak. Aku tetap berusaha mencari pekerjaan sementara temanku itu sudah naik mobil mewah dan menggenggam handphone. Adilkah ini?”

Lagi, saya hanya terdiam, mencoba berempati dengan masalahnya.

“Pusing karena perut lapar yang memanggil, panik karena tak tahu harus bagaimana membayar petakan yang kusewa, akhirnya … aku pun turut serta. Pertama, aku menggigil dan takut setengah mati. Aku yakin, Tuhan sedang melihatku. Mungkin pula Dia sedang memelototiku sambil berkata, ‘kau akan masuk ke neraka, Mali’. Tapi, di mana neraka itu? Aku juga tidak tahu. Akhirnya aku tenang dan menerima bagian dari hasil rampokan itu. Perutku bisa kenyang sepanjang hari. Wajah masam pemilik petakan pun tak lagi kulihat, karena langsung kubayar sewa selama setahun.”

Rokok yang dihisapnya sudah mendekati batas akhir. Mali menjentik dengan telunjuknya. Rokok itu mencelat, menyisakan bara merah yang melayang. Lalu mati.

“Tanpa terasa tiga tahun kujalani kehidupan sesat itu. Dengan uang hasil rampokan, aku bisa menyogok satu instansi dan akhirnya bisa bekerja di belakang meja. Betapa bangganya. Setahun aku bekerja dan tetap sesekali ikut merampok, aku mulai pandai dalam soal tata krama busuk, dalam soal jilat menjilat dan dalam soal bersikap manis, padahal penuh rencana. Dengan modal itu pula aku bisa naik jabatan.

Kalau dulu aku merampok bersenjatakan golok, sekarang aku merampok bersenjatakan dasi. Tapi anehnya, justru aku tertangkap karena seseorang yang mengenaliku sebagai salah seorang anggota perampok, bukan karena aku telah merampok dengan cara halus di instansiku. Aku ditangkap dan dipenjarakan. Dan, kau lihat sekarang, di sinilah aku berada.”

Saya masih ingin diam sebenarnya, tetapi cerita itu begitu menggelitik. Karena selama ini yang diketahui oleh masyarakat, Mali adalah perampok kelas kakap.

“Alhamdulillah Pak Mali sudah insyaf.”

Mali mengangguk-angguk. Wajah tuanya seperti semakin dipenuhi keriput. Sorot matanya legam, menyisakan cahaya yang beriak-riak. “Ya, ya … sekeluarku dari penjara, aku mohon ampun pada Tuhan. Kusesali semua yang pernah kulakukan. Mengapa karena aku tak kuasa menahan lapar aku melakukan tindakan busuk itu? Atau karena aku marah, aku bagian dari negeri ini, tetapi aku tak mendapatkan tempat sedikit pun? Entah, yang pasti aku telah bertobat. Aku telah meninggalkan hidup busuk yang selama ini kujalani.”

“Syukur pada Tuhan karena menyadarkan Pak Mali.”

“Tapi …, ada yang masih ingin kutanyakan pada Tuhan.”

Tanpa sadar saya berdebar. “Apa?”

“Mengapa Tuhan belum mengizinkan aku menjadi imam, memimpin makmum shalat berjamaah?”

***

Keinginan Mali mengganggu pikiran saya. Banyak orang yang saling dorong bila masuk waktu shalat menjadi imam dengan wajah penuh penolakan. Alasan mereka macam-macam. Belum bagus bacaannya. Masih suka bolong-bolong shalatnya. Belum bersih. Masih suka bohong. Lantas sekarang, ada mantan perampok yang telah bertobat sungguh-sungguh, mengapa tak diizinkan menjadi imam shalat?

Ketika akhirnya saya utarakan hal itu, semua langsung memprotes.

“Tak pantas perampok memimpin kami!”

“Betul! Apalagi memimpin shalat!”

“Kita sedang menghadap Tuhan! Tuhan bisa marah karena perampok yang memimpin kami!”

“Pokoknya kami tidak sudi!”

Saya tak sempat mengutarakan pendapat lagi, karena semua sudah meninggalkan balai kelurahan. Saya mencoba menenangkan diri, menarik napas panjang. Apakah orang-orang itu lupa, banyak para pendosa yang telah bertobat bisa menjadi seorang ustaz? Mereka bukan hanya memimpin shalat, tetapi juga tampil memberikan tausyiah di televisi. Menceritakan pengalaman masing-masing dengan penuh penyesalan, menjadikan itu i’tibar buat siapa pun.

Ah, kenapa Mali tak punya kesempatan itu? Dia tak ingin tampil di televisi, tak ingin pula memberikan pembelajaran. Dia hanya ingin sekali saja menjadi imam ketika sedang shalat.

Akhirnya penuh penyesalan saya utarakan apa yang dikatakan warga.

Kali ini Mali bukannya sedih malah tertawa.

“Mengapa kautanyakan pada mereka?”

“Saya ingin mereka menyadari bahwa Pak Mali sudah bertobat.”

“Hei, hei … tobatku ini bukan pada mereka, tetapi pada Tuhan. Tuhan yang akan menilai tobatku, apakah memang sudah layak diterima atau belum.”

“Saya yakin tobat Pak Mali sudah diterima Tuhan.”

“Bila memang seperti itu, alhamdulillah. Bila belum, aku akan tetap bertobat, beribadah khusyuk sebelum ajal menjemputku.”

***

Dua hari kemudian, saya tak melihat lagi Mali berada di deretan para makmum. Tak terlihat pula sosoknya yang sebelum masuk waktu shalat sudah berzikir dan selalu mengambil tempat di pojok masjid.

Selesai shalat kutanyakan hal itu pada para jamaah. Tetapi, semua tampak biasa saja, seolah selama lima tahun ini tak menyadari keberadaan sosok Mali. Tak ada pula yang mencoba mencari tahu di mana Mali berada saat ini.

Gelisah mulai tumbuh di dada saya. Saya mencoba mencari Mali. Siang malam. Tak peduli panas memanggang dan hujan menguyup. Mali telah insyaf, Mali telah mengambil jalan Tuhan. Mengapa tak ada yang mau menaunginya? Saya bertekad menemukan Mali. Akan saya ajak dia shalat berjamaah, dan dia sebagai imamnya.

Seminggu kemudian, suatu pagi, sebelum berangkat mengajar, saya membaca surat kabar pagi. Ada berita seorang perampok ditembak. Muka saya seperti meluang dengan sepasang pelipis yang berdenyut hebat ketika membaca nama Mali di sana. Juga, setelah mengenali foto Mali di sebelah berita itu.

Melunak seluruh tulang dalam persendian saya. Jantung saya berdebar sangat keras. Saya mencoba menegaskan kalau itu bukan Mali, wartawan salah memasang foto itu. Tetapi, ini jelas Mali. Mali yang telah bertobat. Mali yang sekali saja ingin menjadi imam shalat.

Tanpa sadar saya menangis.

Ketika shalat Isya tak seorang pun yang membicarakan tentang Mali. Mali seperti uap saja, datang lenyap, pergi pun lenyap. Ya Tuhan, ini salah siapa? Apakah Mali memang sengaja memilih jalan sesat lagi, atau karena dia murka pada-Mu yang tak memberikan kepercayaan padanya menjadi imam shalat berjamaah walau hanya sekali saja?

Lepas shalat Isya saya tak tahan juga. Saya bertanya pada mereka, apakah mereka tahu Mali meninggal ditembak?

“O, tahu.”

“Iya, tadi saya baca beritanya.”

“Kasihan, dia sudah bertobat, tapi akhirnya merampok lagi.”

Saya terkejut. Ternyata ada juga yang kasihan, bahkan menyadari Mali bertobat.

“Mengapa tak seorang pun yang mengizinkan dia menjadi imam shalat berjamaah?”

Orang-orang kasak-kusuk, lalu salah seorang menjawab tegas, “Karena dia belum pernah masuk televisi.”***

Mutiara Duta, 29 April 2010