Pohon-Pohon Merajuk

Rabu, 02 Juni 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Riau Pos, 30 Mei 2010


“POHON mangga itu merajuk,” kata Putri Kebun di senja yang belum turun sempurna. Sebenarnya aku tak menyangka ia akan mengeluarkan kata-kata yang terdengar lucu itu.

Sebelumnya aku meminta penjelasan (walaupun terdengar semacam mengeluh) tentang buah-buah mangga di pekarangan Mang Sumadi, tetangga sebelah rumah, yang bebercak-bercak seperti kurap. Awalnya kuanggap apa yang dikatakan gadis itu hanyalah lelucon. Tapi tekanan suara dan mimik wajahnya sedikitpun tidak mendukung dugaanku itu. Ia menangkap kebingunganku. Dan… ia mengabulkan permintaan yang hanya kuzahirkan dalam hati itu. Putri Kebun bercerita.

***

DAHULU, dan hingga beberapa tahun sebelum tahun 2000-an, di kampung ini, orang-orang yang menggelar hajatan besar, biasa menegak tarup di pekarangan rumahnya. Sebagian besar rumah orang kampung memang memiliki pekarangan yang luas. Namun, bagi yang pekarangannya sempit atau tak begitu luas, maka ia akan menumpang di pekarangan tetangga untuk menegak tarup.
Dalam satu kampung, apabila ada sebuah keluarga mengadakan hajatan (misalnya pernikahan), maka tiga hari (bahkan ada yang satu minggu) sebelum perhelatan, ramailah ibu-ibu mendatangi rumah tersebut dengan membawa tolongan (seekor ayam kampung, beberapa canting beras dalam bokor kecil yang dibungkus dengan kain seukuran seprei). Biasanya ibu-ibu selalu membawa sebilah pisau yang diselipkan diikatan seprei bokor. Atau ada juga yang hanya menyelipkan pisau bersongkok di kebatan kain lasem dekat pinggang .

Tentu saja, kedatangan mereka bukan untuk bermain masak-masakan, mengadu masing-masing ayam, atau menguji ketajaman masing-masing pisau. Ayam kampung itu akan segera dimasukkan ke kandang gerobak untuk segera disembelih. Beras akan dimasukkan ke gentong seukuran derum, kemudian bokornya ditinggal di sebuah ruangan atau kamar. Sebagai semacam tanda terimakasih, beberapa ibu-ibu—bagai telah menjadi amanahnya—akan menyelipkan bokor-bokor itu dengan satu-dua kantung lauk-pauk untuk dibawa pulang. Maka, kaum ibu-ibu, kini hanya memegang sebilah pisau. Mereka akan segera menyebar ke beberapa penjuru tarup atau rumah untuk melakukan beberapa pekerjaan yang seakan-akan sudah ditentukan sebelumnya. Mengupas kentang, mengiris bawang, memirik cabe, memotong terong, memasak umbut, merebus sawi, mengadon pempek, menggoreng kerupuk…. Nah, pada perkara inilah, serombongan perempuan itu memerlukan tempat untuk mengecapar—menyandarkan pinggang sembari menyelonjorkan kaki. Tempat itu adalah tarup yang membentang cukup luas. Bahkan dapat saja lebih luas dari rumah yang punya hajat.

Tarup tak ubahnya seperti tenda hajatan. Bedanya, ia beratap seng; bertiang besi-pipa; dan tidak membiarkan tanah menjadi lantainya, tapi ditutup dengan bilahan-bilahan kayu—tampak seperti rumah-rumahan yang berlantai papan.

Tarup dibagi dua bagian: tempat duduk para tamu undangan, dan panggung yang sekitar setengah depa lebih tinggi dari tanah. Satu hari menjelang pesta perkawinan: bakda asar, kursi-kursi tamu disusun di mana pada malam harinya akan digelar pesta perkawinan. Takzimnya, ketika ibu-ibu secara berkelompok sibuk dengan tanggungan pelbagai bahan baku masakan di hadapan, panggung dijadikan tempat berkeriapan anak-anak. Keadaan seperti itu kerap ditingkahi ibu-ibu yang bergelak di kelompoknya masing-masing (biasalah cara mulut ibu-ibu bila sudah beradu), dan beberapa anak yang menangis di panggung karena dijahili kawan-kawannya (biasanya segera disambut teriakan ibu-ibu agar jangan berkelahi, atau jangan main lompat-lompatan takut panggung tarup ambruk….).

Di dalam rumah, kesibukan lebih rincah lagi. Selain kamar pengantin, hampir setiap bilik menjadi gudang. Tempat menyimpan sofa, meja, dan perabotan lain yang sekiranya membuat rumah tak terlihat lapang. Atau pada bilik-bilik tertentu, diisi dengan makanan yang baru saja diangkat dari oven seng yang dipanggang di atas tungku yang menyala-nyala. Bolu, gulai, taghuk (sayur yang telah dimasak), dan macam-macam penganan lainnya baru dihidangkan bila tamu jauh datang. Tamu-tamu ini biasanya adalah sanak keluarga yang sudah lama tak bersua, orang-orang berpangkat di kelurahan atau kabupaten-kota, dan yang pasti adalah pihak besan, yang harus disambut dengan pelayanan dan makanan yang baik. Mereka bercengkerama di ruang tamu atau ruang tengah yang sudah digelari tikar atau ambal yang bagus-bagus.
***

Putri Kebun menghentikan ceritanya. Aku mengenyitkan dahi. Sebuah bahasa tubuh untuk mengatakan: “Mengapa kau berhenti tiba-tiba? Lanjutkanlah!” Putri Kebun berdecek sebelum menyampaikan permintaan maafnya karena telah bercerita terlalu jauh. Aku pun tiba-tiba tersadar. Seharusnya aku menanyakan kepadanya tentang pohon mangga yang merajuk itu.
Ya, dalam ceritanya, tak ada kata “pohon”, tak ada kata “mangga”, apalagi kata “merajuk”. Tapi jujur, aku tak terlalu mementingkan cerita itu, walaupun aku yakin ia akan menceritakannya. Maksudku, penggalan ceritanya yang agak panjang itu membuatku sedikit menyesali tindakan orangtuaku dulu. Mereka memboyongku ke Jakarta saat aku berumur tiga tahun-an. Walaupun kata Putri Kebun, mungkin saja dalam rentang waktu itu, orangtuaku—terutama Mama—pernah membawaku ke tarup salah satu tetangga atau kerabat yang berhajat, tapi apa gunanya bila aku tak merasainya sebagai kenangan?

“Apakah akan ada yang berhajat dalam waktu dekat?” Aku sudah lupa tentang pohon mangga merajuk itu. Aku ingin sekali melihat tarup beserta keramaian di dalamnya. Aku ingin bernostalgia dengan hal-hal yang belum pernah secara sadar kualami.

“Bukannya kau indigo? Dapat melihat apa yang tidak orang lihat? Tidakkah kau dapat menebak-nebak?” Putri Kebun nyegir. “Kalau tak salah, sekitar delapan hari lagi, Mang Sumadi akan mengawinkan Ira,” lanjutnya.

“O ya?!”

“Semoga Mang Sumadi tidak menggelarnya seperti kawinan si sulung, Kak Amrul. “

“Memangnya kenapa?”

“Dulu waktu Kak Amrul menikah, Mang Sumadi pernah menegak tarup sampai dua minggu. Pestanya tiga hari-tiga malam.”

“Kamu tidak suka kebisingan?”

Putri Kebun mengangguk. “Tapi aku lebih tidak menyukai tarup!”

“Bukankah kini orang lebih banyak mendirikan tenda?” Aku penasaran.

“Ya. Kini memang lebih banyak yang menegak tenda, tapi apa bedanya?!” Putri Kebun geram. “Hanya tudung sengnya saja yang diganti kain-terpal tahan air. Atau bilahan papan saja yang tidak melindas tanah lagi! Penting tak itu?”

Aku diam.

“Bagaimanapun, pekarangan akan diratakan juga, kan?” Putri Kebun kini membelalak. Aku masih belum mengerti, apa yang membuatnya tidak menyukai tarup. Yang jelas, aku tak berani menatapnya saat ini. “Tapi… bagi sebagian yang masih memegang tradisi lama. Tidak bertarup sama saja tidak merasa menunai hajat!!!”

“Dan Mang Sumadi adalah orang yang masih berpendapat seperti itu?” tanyaku setengah bergumam. Kucoba ikuti dulu arah pembicaraannya.

Putri Kebun mengangguk. “Sama dengan Ayah.”

Aku mengernyitkan dahi. Putri Kebun berlalu ke belakang. Azan terdengar jauh. Mang Sali dan Bi Suri setengah berteriak menyuruhku masuk. Setelah berseru seolah menanyakan dengan siapa aku berbincang, mereka menyuruhku solat magrib. Solat? Sudah cukup lama aku tidak melakoninya. Ah, aku menghirup napas dalam-dalam. Kupandangi pekarangan rumah ini. Sangat asri. Pohon pepaya, srikaya, pisang raja, kumiskucing, bunga raya, dan pohon mangga yang menggelantungkan gerombolan buahnya yang masih muda-muda, berselang-seling begitu indahnya di sini. Sementara di sebelah, Mang Sumadi tampaknya memang tekun berkebun. Beberapa tanaman yang ada di pekarangan Putri Kebun juga ada di sana. Bahkan ada juga sawo, pinang, sedingin, sikaduduk, tapakdarah, dan bunga yang sangat kusuka: bunga tanjung, sedang mekar-mekarnya. Hanya satu yang kusayangkan, mangganya yang lebat-lebat itu dilingkupi kurap di sana-sini.

“Tak usah kaupikirkan adik sepupumu? Solatlah kau, Bujang Kota!”

Aku segera ke belakang.
***

KUNJUNGANKU ke rumah Mang Sali di Lubuklinggau lebih disebabkan permintaan Ayah. Aku diamanahkan menghibur ia dan isterinya yang ditimpa kemalangan. Putri semata wayangnya yang suka berkebun, minggat dari rumah satu tahun yang lalu, dan hingga kini belum pulang. Kata Ayah, putrinya sangat getol menentang keinginan Mang Sali yang berkeras menegak tarup untuk helat perkawinannya. Banyak yang bilang, putrinya sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan di kota, namun Mang Sali dan Bi Suri tak pernah mengindahkannya. Mereka percaya, putrinya masih hidup, dan akan kembali suatu hari nanti.

Dan hari ini, aku bangun tinggi hari. Entah, bagai ada yang menarik tanganku. Seolah menyeretku ke luar rumah. Baru saja aku tiba di muka pintu, dan hendak kulepas cengkeraman (cengkeraman? Siapa yang mencengkeram?) di lenganku, seolah melepaskan buncah ada yang berkoar.

“Lihat!” O o, Putri Kebun? (Bagaimana aku memanggilnya Putri Kebun?) Ah, entahlah. Ia menunjuk pekarangan Mang Sumadi.

Sebelum sempat kualihkan pandangan, ia menunjuk pekarangan rumah ini. “Pepohonan dan bunga-bunga ini!” Putri Kebun berlari ke dalam. Tangisnya pecah. Sayup-sayup kudengar sesenggukannya di kamar belakang. Jujur, aku menganggap ia terlalu berlebihan. Aku bahkan belum sepenuhnya menangkap muara dari keberlebihan sikapnya itu.

Aku menoleh ke rumah sebelah. Cerita tentang kerukunan orang kampung ini menyeruak lagi. Di panggung, anak-anak bermain kejar-kejaran. Mang Sali bermain gaple dengan beberapa bapak-bapak di salah satu sudut. Yang paling banyak adalah, kaum ibu-ibu (kulihat ada Bi Suri di antaranya) yang berkicau—sesekali diselingi tawa yang tiba-tiba pecah, dengan sebelah tangan memegang pisau, dan sebelah yang lain memegang kentang, wortel, bawang, pisang…. Tapi mana pohon mangga Mang Sumadi itu? Mana buahnya yang merajuk itu? Mana bunga tanjung itu?

O o, pagi tadi Mang Sumadi baru menegak tarup!!!
***

PUTRI Kebun terus membincangkan tebasan batang-batang yang dulunya adalah pohon jambu bangkok yang rindang di pekarangan Mang Samin. Dua tahun silam; Sirah, anak pertama laki-laki itu, baru diaqiqah dengan menegak tarup di atas halaman yang bertunggul-tunggul itu. Di lain tempat, ia bercerita perihal pohon srikaya yang meranggas. Katanya, dulu, buahnya besar-besar dan kulitnya berkilap-kilap. Setelah dipangkas untuk kawinan Mira beberapa tahun yang lalu, kini ia bagai hidup segan mati tak sudi. Semacam kutukan dan peringatan bagi tuannya. Sayang, tuannya tak pandai membaca tanda, ceritanya panjang lebar.

Ia masih terus menumpahkan cerita-cerita getir yang disampaikan ketika menemukan puing-puing kedigdayaan tarup. Tentang tunas-tunas muda yang baru belajar tumbuh dari tunggul-tunggul sebatas betis. Tentang jejuntaian buah yang merajuk. Tentang pohon-pohon, batang-batang, dan bunga-bunga di pekarangannya yang sebentar lagi akan segera ditebas, demi menegak tarup, demi pesta pekawinannya yang batal dihelat satu tahun yang lalu. Ah, aku lupa menanyakan, apakah benar ia meninggal karena kecelakaan...***

Lubuklinggau, Mei 2010