Kamis, 31 Maret 2011 by Alizar tanjung
Cerpen Alizar Tanjung
Dimuat di Singgalang, Minggu, 27 Maret 2011

Kau duduk dikursi di sampingku. Menghadap ke jalan utama. Memesan sepiring nasi dengan gulai lele, cabe merah, sayur pucuk ubi, gulai cubadak. Seorang pelayan laki-laki menyodorkan dua teh goyang. Di seberang jalan, seorang penjual buah asyik melayani pembeli. Di sampingnya penjuak VCD tanpa pembeli. Pemilik toko VCD tampak bermenung menunggu calon pembeli. Di sampingnya penjual goreng, lumayan ramai pembeli.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan, pelayan itu tepat berdiri di depanku.

“Hanya satu, Bang, nasinya!” Kau cepat-cepat meyakinkan pelayan itu. Mungkin pelayan itu lupa, aku tidak memesan nasi. Pelayan itu mangguk.

“Biar saja,” kataku menyela katamu. Pelayan itu meninggalkan kedua teh goyang. Ia kembali ke dapur. Piring berdentang. Tak lama pesanan nasimu datang. Kepala lele yang lebih besar dari badannya itu mengeliat dalam piring. Kau pindahkan ke nasimu. Kau taburkan kuah cubadak. Kau lahap dengan sangat tajam. Matamu liar. Tanganmu liar. Lidahmu liar.

“Tidak enak kata kau.” Aku tidak yakin itu tidak enak. Mana mungkin barang yang tidak enak kau lahap dengan khitmat. Tampak jakunmu naik turun. Suapmu lebar. Jemarimu bertabur nasi.

“Kau benar tidak makan?” Rupanya kau pandai juga berbasa-basi. Walau basa-basimu separuh suap nasimu.

“Tidak usah. Aku sudah makan sehabis Magrib tadi.” Ya, aku memang sudah makan sehabis magrib tadi. Aku lahap telur dadar campur sayur laladih, cabe merah, dua potong kecil kentang gulai. Lalu aku memanggilmu. Uangku habis. Aku harus bayar uang kost jatuh tempo. Tanggal 15 setiap bulan jadwal rutin pajak kostku. Aku pinjam uang kau 200 ribu.

“Minum susu atau apa?”

“Tidak usah. Cukup teh goyang ini saja.”

Aku lebih suka melihat kau tidak bicara. Entah kenapa. Perkataan kau hanya membuat aku bosan mendengarkan. Teruskan sajalah makannya. Aku lebih suka melihat kau memasukkan daging lele itu ke mulut kau. Kau kunyah. Kau telan. Kau campur dengan reguk air. Aku juga akan senang kalau tidak mengucapkan apa-apa. Aku lagi malas bicara.

“Benar-benar tidak enak.” Kau memang tidak pandai bersyukur. Sudah separuh habis kau bilang tidak enak. Kau tuangkan lagi tambuhnya. Tampaklah olehku mulutmu itu berisi ruas kanan dan kiri.

Pelayan itu kembali kau panggil.

“Aku ingin satu tambahan bumbu kuah gulai toco. Sedikit tambahan kerupuk, dengan serbuk ayam goreng. Tambah sayur ubinya. Lebihkan cabe merahnya,” pintamu. Pelayan itu tampak pening mencatat pesananmu. Mungkin ia jengkel, hanya tak ia perlihatkan kepadamu. Tamu adalah raja, begitulah biasa para pelayan melayani tamu. Sekarang kamu, aku, adalah rajanya.

“Mungkin tidak enak karena lelenya di gulai,” kata kau. Aku sungguh tidak habis pikir. Apakah kategori enak atau tidak bagi kau. Apakah enak bagi kau itu hanya sampai di lidah. Bukan, tampaknya tidak enak bagi kau hanya semacam ucapan suara kosong.

“Mungkin karena lidah kau belum terbiasa saja.” Aku mencoba mencairkan suasana. Sebenarnya aku tidak ingin bicara apa-apa. Aku lebih suka melihat tayangan sepakbola dunia yang sekarang di laksanakan di Stadion Port Elizabeth, Cape Town, Afrika. Argentina melawan Korea Selatan. Aku lebih suka melihat bola itu berlari. Pas mendekati gawang, orang-orang berteriak. Aku ikut berteriak. Bola dipegang kesebelasan Argentina. Gol baru mencetak 2;1

“Lebih enak makan di ampera dekat kampus,” katamu.

Aku asyik berteriak. Hampir saja gawang Argentina kebobolan. Aku kembali duduk. Sejenak kulihat kau. Kau sedang upil daging lele dalam piring itu. Lele itu menyembul tulang-tulangnya. Kau masukkan daging dalam nasimu. Kau aduk jadi rata. Nasi itu kau suap ke mulut kau. Tampak kau benar-benar menikmatinya.

“Gulainya terasa basi,” kata kau. Aku sungguh malu melihat tingkah kau. Untung saja para pelayan itu sibuk dengan bola. Ia tidak mendengar ucapan kau.

Satu pelayan, kasir, dekat pintu kewalahan menonton bola. TV itu berada pada sisi miring darinya. Ia sedikit memiringkan kepalanya ke kanan. Kini ia bertelekan dagu dengan tangan kananya. Tiga pelayan di dapur, sibuk melap piring, gelas, sendok, kebasuh. Bunyi piring, gelas, sendok, kebasuh, beradu membentuk paduan irama tak karuan.

Satu pelayan mengambilkan nasi untuk pembeli. Tiga orang tamu duduk di bundaran meja sebelah kanan kita. Tampaknya mereka baru saja datang. Tadi pas ketika aku dan kau masuk, meja itu masih kosong. Mata ketiga orang itu tajam. Matanya mata elang. Selebihnya meja-meja kosong. Tampaknya memang malam ini pembeli lagi sepi. Tidak seperti hari-hari kemarin aku ke sini.

“Golll!” Sial. Argentina melakukan ofset di kawasan Korea Selatan. Gol itu gagal. Aku sungguh lebih tertarik kalau seandainya Argentina sedikit hati-hati dengan garis batas gawang. Pasti golnya dihitung.

“Benar? Gulainya terasa basi!” Kau sungguh benar-benar sial. Kau dekatkan gulai itu ke hidung kau. Kau tarik bulu hidung kau pelan-pelan. Lentiknya naik turun. Kening kau mengernyit.

“Tidak basi,” kata kau meyakinkan balik. Kau meyakinkan kepada diri sendiri. Kadang kau lugu kalau sedang berada di rumah makan. Tapi kadang keluguan itu berlebihan, membuat aku jengkel.

“Kenapa tidak enak?!”
Lama-lama aku jiji sendiri mendengar perkataan kau.

“Sudahlah, mungkin itu hanya perasaan kau saja. Aku kemarin makan di sini, enak kok. Aku pesan lele goreng.”

Aku muak mendengar keluhan kau. Tidak tahu kau enak hidup adalah masakan. Dicampur asam jawa, jeruk nipis, lengkuas, kunyit, jahe, cabe, garam, merica. Tak tahukah kau enaknya menyatu dalam satu rasa. Ingin aku katakan kepada kau. Enak itu bagi kau apa? Aku jawab sendiri. Enak itu kau leburkan lidah kau ke dalam sana. Kau rasakan garamnya. Kau rasakan pedasnya. Kau rasakan asinnya. Kau rasakan kunyitnya. Kau rasakan campurannya.

“Ya, mungkin karena lidahku tidak cocok dengan makan di sini,” kata kau. Bah, pandai juga kau rupanya mengarang kata-kata. Kukira aku saja yang pandai mengarang kata-kata.

“Ya, mungkin. Lain kali kau harus pesan lele goreng.” Itu caraku memberikan senyuman hangat untukmu. Lebih baik pura-pura. Nanti kau bilang pula aku tidak menghargai kau. Aku juga takut kau kucilkan dari pertemanan. Bukan kehilangan satu teman lebih pahit dari mengalahkan seribu musuh.

Kini bola itu berada di pihak Korea Selatan. Bola dioper ke striker, kembali ke sayap kanan.
Seorang pelayan di kasir mengambilkan pesanan ikan lele gulai seorang pembeli yang baru datang. Pembeli itu seorang perempuan tua. Perempuan itu mengambil satu plastik kosong. Ia masukkan lele pesanan ke dalamnya. Ia tinggalkan uang lima ribu rupiah di kasir. Ia menghilang di balik dinding rumah makan.

Kau masih sibuk mengupil daging lele. “Golll!” kau berteriak. Hampir saja nasi kau menyembur di meja.

Gaya hidup kau memang sering membuat aku cemburu. Enak bagi kau mungkin makan di rumah makan. Hingga saat agenda makan aku selalu kau ajak ke rumah makan. Kini pun kau mengajak ke rumah makan.

Kau sedup teh goyang. Habis sudah nasi kau, satu porsi satu tambuh. Kau bersilena di kursi plastik.

“Tak suka aku makan di sini. Tidak enak sekali. Apanya yang kau bilang enak!” Ah bedabah kau. Aku pula yang kau salahkan. Kau tahu bagaimana orang-orang yang aku bawa ke sini menikmatinya enaknya. Enak mereka enak pelayanannya. Enak mereka enak menyadari mereka semacam masakan.

Aku berpikir aku seorang pemasak. Kau seorang pemesan. Aku berpikir hidupku dapur, resep, kuali, periuk, kompor. Aku memakai toga masak. Aku selempangkan kain penutup badan. Aku mulai mengiris. Bagiku enak itu adalah mengiris bawang, tomat, cabe. Aku bayangkan aku memasukkan rempah-rempah. Bagiku enak itu adalah kisut rempah-rempah yang diambil entah kapan. Rempah itu bercampur daun duku, pala, selada, sarai. Aku pikirkan aku menghidupkan api. Bagiku enak itu menghidupkan api dalam tungku. Ah, terlalu jauh menjawab enaknya bagi kau sebuah hidangan masak.

Di luar hujan rinai turun. Lampu tampak temaram di bawah gardu. Deretan rumah sepanjang jalan Anduring kerlap-kerlip. Seorang tua melintas dengan becak beratap semacam gerobak lesehan yang ada di Jogja. Bedanya sekarang ini kita di Padang.

Lelaki tua itu menghadap sejenak ke dalam rumah makan. Kulihat kening kau berkerut. Lelaki tua itu bertopi jerami, baju putih, celana putih. Lelaki tua itu dibalut kumis dan jenggot putih. Mungkin umurnya sudah di atas enam pulah. Lelaki tua itu mendorong becak rumahannya. Aku lihat begitu banyak karung-karung dalam becak. Atap becak yang berbentuk rumahan itu diisi karung botol plastik. Itu tampak dari rajukannya. Bagian badan becak juga penuh dengan karung barang-barang bekas. Bagian sadel juga diisi dengan satu karung entah berisi papa.

Lelaki itu berinsut ke tengah rinai. Aku tersentak.

Di Seberang jalan penjual VCD masih lengang. Satu dua orang tampak membeli goreng. Satu mobil bewarna hitam berhenti membeli buah. Kemudian ia kembali tancap gas.

“Bukankah itu bapak Kau?”

Kau tuang air cuci tangan ke dalam piring nasi kau. Kau patik sebatang rokok. Kini rokok itu terapit di antara jemari telunjuk dan jemari tengah kau. Kau tidak hirau fatwa haram merokok oleh MUI di tempat keramaian. Kau tawarkan aku.

“Simpan saja,” kataku.

“Yang tadi..,” Kau putus kalimatku. tidak sopan.

“Bapakku.”

“Kenapa tidak kau tolong bapak Kau?”

“Aku lebih suka nonton bola. Golll!” Kau berteriak. Kini permainan itu menjadi 3;1.

Pelayan-pelayan bagian dapur mulai menaikkan bangku ke atas meja. Piring-piring bergerincingan dilap. Seorang pelayan di bagian jamuan masakan terhidang, Ia mengambil sehelai plastik hitam. Ia masukkan kumpulan ikan goreng ke dalam plastik. Pelayan penjaga kasir menutup kaca yang di depannya.

Di luar bapak kau tidak ada lagi. Kulihat ia menyeret becaknya lurus arah Anduring menuju by pass. Kulihat kau. Bola mata kau tajam menatap bola di lapangan. Seorang pelayan datang membersihkan meja. Ia tinggalkan kertas bertuliskan Rp 9.000,-

“Di sini makannya memang tidak enak,” kataku. Kau tercenung. Aku ingin katakan enak itu adalah masakan. Kau mencampur asam jawa, jeruk nipis, lengkuas, kunyit, jahe, cabe, garam, merica. Kau histeris keluar pintu. Kau berlari ke Anduring menuju jalan by pass. ***

Padang, Juni 2010


by Alizar tanjung
Cerpen Alizar Tanjung
Dimuat di Annida-online.com. Senin, 28 Maret 2011

Mak Rabiah namanya. Dia termangu di kusen jendela Rumahgadang. Tangannya menopang dagu. Giginya mengunyah sirih. Sebuah tonjolan muncul di balik kulit daging bibir kanan atasnya. Merah sela-sela giginya. Kunyahan air sirih. Matanya menatap lurus. Tampak jelas sudah di depan matanya bukit Balik Puncak. Tempat ia meneruka ladang.

Kini masih pagi. sebentar lagi dia bersama orang-orang kampung pergi ke ladang. Membakul cangkul, ladiang , kapak. Menenteng rentang nasi, gulai, satu dua potong goreng ubi dingin, setabung air kopi.

Ia biarkan pikirannya melayang-layang, membiarkan keharibaan matahari timur mencuri-curi wajah keriputnya. Sehelai daun pokat yang tumbuh di halaman, jatuh pas di kusen jendela. Ia biarkan daun itu bertengger. Angin pagi mengusyiknya. Daun itu jatuh pas menimpa anak-anak ayam yang berkelimbun bersama induk yang terpaut di jeruji kandang.

Anak-anak ayam suaranya bercericit. Satu ayam jantan yang terpaut di batang pokat, berkokok panjang. Bunyi itu berulang-rulang. Kokok itu disambut ayam jantan belang kuriak merah bercampur kuning hitam yang terpaut di batang jambu perawas., di samping kandang arah utara. Kokok itu disambut kokok ayam jago dalam kandang. Ayam putih kinantan yang dipaut di jenjang Rumahgadang juga berkokok.

Hanya bunyi itu yang membuat rumah ini semacam gaduh di pagi hari. Selebihnya suara Mak Rabiah, cericit air ketika hujan, suara kesiur angin, sesekali Suara Mak Hindun, kawan masa muda Mak Rabiah yang sering membawa Mak Rabiah meneruka ke ladang orang. Menghabiskan sisa hidup, menunggu jalan pulang.

Anjing hitam kumbang tidur bergelung di kaki jenjang. Telinganya mengendus langau yang tiap sebentar hinggap di telinganya. Ekornya mengelus-elus kaki jenjang. Kakinya memanjang semacam kayu rebah. Tak jauh di depan jenjang, goni terbentang. Di atasnya Mak Rabiah menjemur kacang. Sebagian untuk ke tampang sebagian untuk dijual. Di samping kacang juga terbentang hamparan upil jagung, jagung-jagung tampang untuk mengisi parak di belakang rumah.

Hanya itulah mata pencaharian Mak Rabiah selain meneruka ke ladang orang: kacang, jagung, ubi jalar. Bukan parak yang tidak ada tapi yang akan mengurus yang telah pergi? Mau menggaji orang tak sangguplah Mak Rabiah. Mau mengerjakan sendiri, tulangnya sudah merapuh. Maka satu harapan tumpangan hidupnya, bekerja di parak orang. Sehabis Jum’at gaji dibayar tunai. Lima belas ribu ribu untuk satu hari kerja, aturan itu sudah berlaku semenjak tahun 2000. Malanglah nasib Mak Rabiah kalau dalam satu minggu itu tidak ada yang memakai jasanya. Hasil panen kacang hanya dapat dipetik musiman. Jagung baru bisa dipetik umur enam bulanan untuk ukuran parak Mak Rabiah yang tidak dipupuk dan tak diracun.

Mak Rabiah sedup segelas kopi yang sudah mendingin di atas meja, tepat di belakangnya. Segelas kopi ia taruh di jendela. Seekor lalat hinggap di tangkai sendok. Tak ada niat Mak Rabiah hendak mengusyiknya. Mak Rabiah pandang ke depan, orang-orang telah berjajar mendaki lereng bukit Balik Puncak. Mak Rabiah menoleh ke belakang. Jam tua masih tergantung di tonggak utama Rumah Gadang. Jam tua tak ada ubahnya dengan kulit Mak Rabiah yang mengkriput. Jam yang dibiarkan dibungkus plastik itu penuh lawah-lawah. Jarumnya berdetak pada pukul 7 lewat 10 menit.

Mak Rabiah mendesah. Beginilah kebiasaannya. Pagi-pagi ia bermenung di jendela. Tapi sebenarnya matanya jauh menelusup ke labuh arah selatan. Tempat jalan pergi di balik bukit kecil Arak Mudik. Dari bukit itulah Mak Rabiah kehilangan satu-satu. Siti, Salahudin, Aminah, Rajab, Muluk.

“Hujan batu di kampung kita lebih baik dari pada berhujan emas di rantau orang, Bujang.” Kata-kata itu tidak pernah terucap di lidah Mak Rabiah. Kata-kata itu hanya tersimpan rapat di hatinya. Maka saat ia mengenang rantau tak terasa sungai mengalir dingin di lekuk pipi kisutnya.

***

“Ke rantau Muluk mencari untung dan perasaian. Untung bertanam juga nasib di rantau orang. Doa Emak tentu penunjuk jalan bagi perjalanan Muluk. Berat hati Muluk meninggalkan emak. Perasaian hidup juga yang meminta demikian. ” Begitulah kata perpisahan itu terucap dari mulut anak bungsunya.

Muluk. Muluk baru saja menamatkan sekolah pesantren di kota Solok. Kemiskinan membuat ia mencukupkan sampai di sana cita-citanya. Kakaknya, ah kakaknya semacam tidak berkakak ia. Toh tidak lagi seorang pun kakak-kakaknya mengirim dia dan emaknya uang.

“Tak apa Emak di sini, Bujang . Emak restui engkau ke rantau orang. Sudah begitu adat-adat orang kita. Tidak masak pengalamannya kalau tidak mencoba pahit dan getirnya di rantau orang.” Tak ingin Mak Rabiah melepas anak satu-satunya. Ingat ia Siti, Salahudin, Aminah, Rajab yang tak lagi pulang-pulang. Hanya suratnya saja yang sampai kabar kepulangan. Sesudah itu tidak lagi ada kabar beritanya. Siti bekerja di Batam. Salahudin mencari peruntungan di “Kota Hijau”, Purwokerto, Jawa tengah. Ia menetap di Baturaden. Aminah ikut suaminya ke Aceh. Rajab menetap di Tangerang, tepatnya di Cingkareng. Tapi tak ingin pula ia menahan hasrat Muluk. Sudah kebiasaan anak bujang di lepas ke rantau. Lelaki minang di rantaulah gagangan hidupnya.
Dahulu mereka memang bergantian pulang. Salahudin pulang sekali setahun. Siti pulang ketika ada acara pernikahan keluarga saja. Aminah pulang ketika hari lebaran. Rajab hanya pulang sekali setahun seperti Salahudin. Tapi semenjak usaha mereka menanjak. Mereka benar-benar tidak pernah pulang.

Siti jadi bos pedagang gelap wanita malam di Batam. Mak Rabiah tidak tahu. Siti memasok para lady itu dari Korea, Cina, Uzbekistan, Thailand, Afganistan. Siti masukkan ke hotel dan klup bintang lima di Batam, Jakarta, Jambi, Medan, Semarang, Yogya, Bandung. Siti juga mengekspor pada lady pribumi ke Cina, Korea, Thailand, Mesir, Arab Saudi, Afganistan….

Salahudin menjadi direktur lima belas rumah makan Padang di kota hijau, Purwokerto. Semenjak hidupnya jaya ia tak berkirim uang ke Mak Rabiah. Tapi taka apa, Mak Rabiah tak mengharapkan uangnya. Salahudin kemudian mengembangkan usahanya ke tanah Yogya, Semarang, Jakarta. Sontak saja namanya dikenal sebagai pemilik rumah makan “Randang Balado”. Kemudian ia mulai merambah klup malam, diskotik, hotel kelas melati.

Aminah menjadi pengusaha tenun di Aceh. Usahanya melonjak tinggi. Ia mengimpor barang ke Belanda, Jerman, Inggris, Cina, Korea. Ia semakin sering ke luar negeri. Ia kemudian pindah bersama suaminya di Jerman. Mengganti namanya jadi Susan Christian. Anak-anaknya lahir dengan nama Jhon Pilger, Fransiska, Angelina. Mak Rabiah tidak pernah bertemu dengan cucunya.

Rajab, ya, Rajab yang benar-benar jadi orang. Ia menjadi tukang becak dan upah pijit di Cingkareng. Menerima panggilan. Dapat uang secukup makan. Dia yang rindu Mak Rabiah. Tapi ia tidak ada daya untuk pulang. ia telah mengganti kepercayaannya untuk satu kardus mie setiap minggu. Dia malu pada Mak Rabiah. Dia malu pada dirinya sendiri.

Kini Muluk, ya Muluk pun akan meninggalkan Mak Rabiah. Ia pergi ke tanah Malaysia. Jadi TKI di sana. Ia berangkat dari Solok menuju Dumai, dari Dumai baru menyeberang ke Malaysia.

“Hati-hati Bujang di rantau orang. Induk cari, bapak cari, mamak paling utama. Agar Bujang ada tempat berpijak. Patah ada yang akan menyangga. Jatuh ada yang akan menyambut. Hilang ada yang akan mencari. Kemudian Bujang, ingat kepada Tuhan, sumbahyang bujang jangan sampai lupa. Ingat Bujang pesan orang tua-tua. Dimaa bumi dipijak di sinan langiak dijunjuang .” Ah, nasehat-nasehat itu pula yang ia pesankan untuk anak-anaknya Siti, Salahudin, Aminah, Rajab, sebelum selangkah turun jenjang Rumahgadang.

Mak Rabiah lepas kepergian Muluk. Dari bukit kecil arah selatan Muluk menghilang batang hidungnya. Siti, Salahudin, Aminah, Rajab juga dari bukit kecil itu menghilang dari mata Mak Rabiah. Kini Muluk yang pergi. “Tak iba kau dengan tubuh tua Amakmu ini Nak,” bisik hati kecilnya. Tapi begitulah keteguhan hati Mak Rabiah. Tak ia keluarkan gundah hatinya. Ia kesampingkan perasaanya.

***

Maka Sudah tahun sembilan tahun keluarga itu seperti tidak pernah ada. Muluk jadi pedagang sayur di Selangor. Membangun minimarket sayur. Ia kemudian mulai memasok sayur ke Kuala Lumpur, Negeri Sembilan, Serawak, Johor Bahru, Pulau Pinang, Malaka, Seberang Perai, Klang, kota Kedah.

Usahanya perkembang pesat. Kemudian ia menikah dengan orang Malaysia. Mengubah kewarganegaraannya (Entah bagaimana caranya). Ia tak pernah pulang semenjak ia meninggalkan jenjang Rumahgadang. Kini lahir anaknya Abdullah, Razaq Kasif, Aisyah Qurrata’ A’yun.

Di Rumahgadang, Mak Rabiah terus menunggu. Dari ladang ke ladang, ia ceritakan anaknya ke rantau. Dari ladang ke ladang ia banggakan anak-anaknya yang begitu riang wajah-wajah ketika turun jenjang Rumahagadang. Dari ladang ke ladang, cerita-cerita itu ia bangun. Suatu saat anak-anaknya kan pulang, duduk di rumah, bercerita tentang lugunya masa kecil mereka. Bermain di ladang tebu. Pergi ke rimba di musim penghujan, mencari jamur di balik-balik tunggu.

Suaminya! Suami Mak Rabiah telah lama pulang ke alam baka. Ia pulang karena memang jarak umur. Ia menikah dengan suaminya selisih umur dua puluh lima tahun. Tepatnya menjadi istri kedua. Setelah suaminya meninggalkan Mak Rabiah, Mak Rabiah yang membesarkan anak-anaknya.

***

Kisah Siti, Salahudin, Aminah, Rajab, Muluk, telah berpuluh tahun. Mak Rabiah masih menuggu. Berharap dari labuh arah selatan, bukit Arak Mudik; Siti, Salahudin, Aminah, Rajab, Muluk, menampakkan wajah. Itu alasan mengapa Mak Rabiah berlama-lama bermenung di jendela Rumahgadang. Seperti ia melepas anak-anaknya pergi, ia dengan setia menunggu anak-anaknya yang menghilangkan punggung di labuh arah selatan, lepas dari bukit kecil Arak Mudik.

***

Ia habiskan pagi mengunyah sirih. Sirih itu dicampur sadah, gambi, dibalut daun sirih. Merahnya air sirih memekatkan merah tua bibirnya.

Mak Rabiah berjalan ke dapur. Pelan lantai itu berderit. Seekor kucing menghelus di kakinya. Mak Rabiah angkat kucing itu. Ia letakkan di dapur. sebelumnya ia ambil sebungkus nasi. Ia campur nasi dengan ikan tri yang ia beli di Pasar Bukit Sileh. Ia letakkan nasi itu dalam tempurung kelapa. Kucing kuning belang putih itu menangkap ikan-ikan dalam tempurung. Ngeonya berhenti. Sesudahnya hanya bunyi telapak kaki Mak Rabiah.

Di dapur, Mak Rabiah mengambil kompi. Kini bekerja di ladang Sutan. Mak Rabiah masukkan setabung air kopi, satu ladiang, dua potong goreng ubi, satu kain panjang untuk senggulung kepala membawa kayu dari ladang, Dua benen ukuran satu meter pengikat kayu, sebungkus nasi dengan sayur pucuk ubi, ke dalam kompi. Di atas meja semua itu bersusun. Tinggal menunggu Mak Hindun memanggilnya.

Mak Rabiah rapatkan jendela. Seorang perempuan tua memanggilnya di halaman. Rupanya sudah datang orang yang ditunggu. Mak Rabiah turun jenjang. Anjing kumbang hitam menggeliat di jenjang. Ia bangkit dari tidurnya. Anjing Hitam Kumbang menjulurkan lidahnya. Telinganya tampak turun. Kepalanya mengendus-ngendus kompi yang dijinjing Mak Rabiah. Ayam-ayam sibuk menggali tanah dengan cakarnya.

Mak Rabiah dan Mak Hindun berjalan menuju bukit Balik Puncak. Mereka berpapasan. Di belakangnya, Anjing Hitam Kumbang berjalan mengikuti langkah Mak Rabiah. Hidungnya menghidu rerumputan perdu, karimuntiang, pensi-pensi basah, ilalang gunung sepanjang pendakian lima kilometer. Ekornya tegak berdiri semacam mencium mangsa. Hanya anjing hitam itu yang setia menemani Mak Rabiah di Rumahgadang.

Hari ini hari kamis, tentu besok Mak Rabiah sudah gajian dari Sutan. Besok di Pasar Bukit Sileh ia dapat membeli tahu, sepotong ikan laut, martabak, bada tri. Sepanjang pendakian, ia berkisah kepada Hindun, ia begitu rindu anak-anaknya pulang. Mak Rabiah teteskan air mata. Sepanjang pendakian, dua emak tua itu saling bertangisan.

”Laki-laki di negeri kita ini memang tidak lazim kalau tidak merantau, tapi apakah lebih tidak lazim kalau tidak pernah menampakkan batang hidungnya di depan kita,” ujar Mak Rabiah.

“Suami kau dulu juga merantau ke Medan. Suamiku merantau ke Makasar, tapi mereka pulang,” ujar Hindun.

***

Maka begitulah kebiasaan perempuan tua itu. Setiap pagi menopang dagunya di kusen jendela Rumahgadang. Ia tak lagi pernah meneteskan air matanya. Kecuali hanya sungai dalam dadanya. Ia bercerita ke dalam dadanya. “Krakatau madang di hulu berbuah berbunga belum, Kerantau bujang dahulu di kampung berguna belum.” Tapi kini ia bisikkan dalam hatinya. “Ke rantau madang ke hulu. Terus saja mengalir ke hilir. Sebab Bujang, air ke muara laut.” ia tutup jendela itu. Ia berangkat ke ladang. Meneruka ladang orang. Ladangnya hanya ada tanaman kacang, jagung, ubi jalar, tak berpupuk dan tak beracun. Semacam urat tak benar-benar mengakar dalam.

Tapi kini jendela itu tidak ada lagi terbuka. Pintunya bersemak belukar perdu. Halaman belakang dan depan Rumahgadang itu juga berbelukar. Rumahgadang itu telah lapuk dinding dan lantainya. Tak ada ayam yang berkokok, tak ada anjing kumbang hitam, tak ada kucing. Hanya satu pohon mangga tua di halaman.

Mak Rabiah telah lama meninggal. Ia dikuburkan di belakang rumahnya. Seperti sebelum kematiannya, sesudah kematiannya pun; Siti, Salahudin, Aminah, Rajab, Muluk, tak pernah pulang walau hanya menabur bunga ke makam Mak Rabiah.***Padang, 2010-Maret 2011
Rabu, 23 Maret 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Lampung Post, 20 Maret 2011

SEJATINYA, gadis itu hanya berteman dan bercakap dengan angin, dedaunan, belatung, dan tanah serta pepohonan yang mempersilakan air mengalir dan memercik darinya.

***

Apakah ia kara? Mana sang ayah, sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas keluarga, atas dirinya?

Apa? Ayah?

Ah, kini gadis kecil tak peduli lagi. Sama dengan tak mau tahu bahwa setiap anak sejatinya memiliki ayah. Ya, bunda adalah orang tuanya. Bunda berjiwa kembar dalam badan tunggal. Ya ayah, ya bunda, ada dalam diri wanita yang melahirkannya itu.

***

"Kerjakan nomor 1 sampai 30!" Bu Alis memberi tugas setelah seharian menyetrap beberapa murid yang tidak mengerjakan tugas.

Dari arah kursi belakang, seorang gadis kecil mengacungkan tangan.

"Iya," ujar Bu Alis, "Ada yang ingin kau tanyakan, Pik."

"Ya, Bu."

Bu Alis tersenyum masam sambil mendongak ke arah jam yang bertengger di dinding, satu meter di atas papan tulis. "Cepatlah, nanti telat juga kita pulang!"

Anak-anak lain bersungut-sungut. Takut kalau Bu Alis marah. Mereka tak ingin jadi korban setrapan seperti beberapa temannya yang berdiri—dengan sebelah kaki di depan kelas—sejak kelas dimulai, hingga kini hendak pulang.

"Mmm...."

"Cepatlah!" Bu Alis membentak.

"Mengapa... Ibu jarang sekali tersenyum?"

"Aaaah....!" Bu Alis mengibaskan tangannya. "Kukira apa yang ingin kau tanyakan tadi!" ujarnya gusar. "Hei, dengar kalian semua...!"

Anak-anak makin bersungut. Kedua tangan mereka sudah rapi terlipat di atas meja, dengan kepala setengah menunduk dan ekspresi wajah yang disopan-sopankan.

"Kalau anak-anak bengal macam kalian aku baik-baikkan, akan jadi apa negara ini? Makin ngelunjak kalian nanti. Tak ada hormat-hormatnya pada guru. Nanti juga tak hormat pada orang tua, orang yang lebih tua, dan pada siapa-siapa!"

Belum sempat Upik menganggapi, Bu Alis sudah berlalu. "Jangan lupa, les di tempat Ibu sore ini. Selamat siang!" repetnya sebelum menutup kelas.

***

"Pengidap kanker otak harus segera dioperasi. Obat-obatan yang diberikan tak lebih hanya sekedar penghilang rasa sakit. Apabila terus dibiarkan, ia bisa kehilangan ingatan masa lalunya. Ia juga bisa membuat dunianya sendiri."

Wanita paruh baya itu menunduk saja. "Biarlah saya pulang dulu ke desa, Bu. Kumpul uang dahulu," batinnya.

....

Dalam perjalanan pulang, seorang gadis enam tahun-an bertanya pada ibunya:

"Bunda, kok bu dokternya tak pernah tersenyum ya?"

"Hussh... tak baik menggunjing orang, Nak. Apalagi orang yang lebih tua."

"Dia dan teman-temannya di rumah sakit itu juga jahat ya, Bunda?"

"Husssh...! Sudahlah!"

"Masak enggak mau ngobatin Upik."

"Enggak cukup uangnya, Nak."

"Katanya berobat dan sekolah tidak bayar, Bunda?"

"...."

"Awas, Bunda...!"

"Aaaakkkhhh...!"

"Bundaaa...!

***

Gadis kecil itu berlari dengan langkah lebar. Ujung kedua kakinya mengenjit-enjit serupa balerina. Ah, balerina. Terlalu tinggi kata itu. Gadis kecil itu tak paham apa itu balerina. Tinggalnya saja di desa. Terpencil. Yang ia tahu adalah hatinya benar-benar gembira hari ini. Sepanjang jalan ia semringah: tersenyum dengan sebenar senyum.

Dari mana kau, wahai peri kecil?

"Dari rumah Umi."

Umi? Umi siapa?

"Umi. Ya Umi."

Ibumu?

"Bukan! Ibuku namanya bukan Umi, tapi Jamilah."

Ooo...

"Umi orangnya cantik. Usianya sama dengan Bu Alis."

29?

"Entahlah. Pokoknya seumuran Bu Alis. Guru kami yang masih gadis!"

....

Gadis kecil itu berlari kecil lagi. Tetap berinjit-injit. Kali ini di hadapannya telah menghampar sawah setengah menguning. Pemandangan yang kurang disukai si gadis kecil. Menurutnya, kalau padi-padi itu tidak hijau lagi. Alamatnya sawah akan segera berisi lumpur dan tanah liat saja. Ah, tak elok dipandang! Gadis kecil itu tetap tidak mau menerima ketika suatu waktu seorang petani yang tiba-tiba saja peduli pada celotehannya berkata: "Tapi itu juga alamat bahwa kita akan panen. Banyak beras. Kau bisa makan hingga kenyang. O ya, dulu, ketika orang tuamu masih hidup, mereka juga senang bila padi-padi di sawah telah menguning. Ah, sayang kau masih sangat kecil waktu itu."

***

"Nilaimu bagus-bagus, Nak."

"Iya, Bunda."

"Bunda juga sering tersenyum, ya?"

"Kok bertanya seperti itu, Sayang?"

"Kalau lihat Bunda, Upik jadi ingat Umi."

"Umi mana?"

"Umi yang tinggal di pondok dekat hutan, Bunda."

"Ooo di sana. Baru dibangun pondok ya?"

"Ada Umi di sana, Bunda."

"Iya, tapi apa hubungannya dengan senyum Bunda?"

"Iya. Kalau liat Bunda, Upik ingat Umi."

"Enggak kebalik?"

"?"

"Bukannya kalau lihat Umi, Upik jadi ingat Bunda?"

"Eh... ah... sama saja Bunda."

"Ya sudah. Bunda menanak nasi dulu ya, Nak."

"Iya bunda."

"..."

Ah, andaikan Bunda sering di rumah.

Gadis kecil itu menekuri buku-buku pelajarannya. Walaupun baru kelas dua SD, ia tidak mau mengecewakan Bunda.

"Ranking berapa, Nak?"

"Dua puluh, Bunda."

"Dari...?"

"Tiga dua, Bunda."

Gadis kecil itu masih mengingat dengan baik bagian dialog dengan sang bunda beberapa bulan silam. Bundanya yang pergi subuh-pulang magrib sudah sangat capai bekerja sebagai pengangkut batu. Pernah ia menanyakan di mana gerangan sang bunda bekerja, tapi wanita paruh baya itu hanya tersenyum dengan mata sendunya. Gadis kecil itu tahu makna bahasa wajah orang yang melahirkannya itu: Sudahlah Nak, belajarlah yang rajin agar tidak jadi pengangkut batu seperti orang tuamu.

***

"Ada apa pula dengan dirimu, Nak?"

"..."

"Jangan diam, Nak."

"..."

"Tak kaupikirkan betapa capainya Bunda mengais rezeki."

"..."

"Masih kecil, tapi kau sudah bertingkah aneh-aneh saja!"

"Bu Alis tak pandai mengajar, Bunda."

"Apa maksudmu, Nak? Jaga tuturmu! Dia gurumu. Ibunda Guru yang mulia. Tak ada yang elok serupa sang guru. Bila tak ada dia, maka tak ada sekolahan di kampung kelam ini, Nak."

"Upik tak rehat sekolah Bunda. Hanya les saja tak mau dengan Bu Alis lagi. Upik les dengan Umi saja, Bunda."

"?"

"Boleh, Bunda?"

"Umi lagi, Umi lagi. Siapa nian Umi itu, Nak?"

"Seumuran Bu Alis. Agak lebih muda dari Bunda-lah. Tapi... baik sekali."

"Ah, Bunda tak mengerti, Nak."

"Bundaaa...!"

"Hhh...."

"Ayolah kita ke sekolahnya Umi tu!"

"Umi tak punya sekolah, Bunda. Cuma pondok."

"Pondok?"

"Iya."

"Jadi, macam mana ia memberi pelajaran? Aduuh... Upikku Sayang, jangan ganjil-ganjillah bercerita!"

"Tapi... Upik bisa mengerti semua pelajaran kalau Umi yang mengajar."

"Maksudmu, Nak?"

"Iya Bunda. Yang belum dipelajari, Upik juga bisa!"

"Ah, tak mungkin...."

Entah bagaimana caranya, akhirnya gadis kecil itu berhasil meyakinkan bundanya.

***

"Bagaimana bisa kau dapat ranking satu, Upikku Sayaaang...!"

"Ya, Upik belajar dengan Umi, Bunda."

"Husssh! Kau bawa-bawa jualah Bu Alis tu. Ia juga berjasa, Sayang."

"..."

"O ya, apa yang kau pelajari dari Umi, Nak?"

"Umi sering tersenyum, Bunda."

"Maksud Bunda, seperti apa dia mengajarmu, Nak?"

"Dengan senyum, Bunda."

"Aduuuh, Nak. Senyam-senyum, senyam-senyum. Macam mana kau ni, Upik. Ranking satu, tapi..."

"Iya, cuma dengan senyum, Bunda!"

"Pelajarannya?"

"Pelajaran tersenyum!"

***

Rumah Upik raib. Bunda juga tak lagi tampak. Entah, apakah ditelan kabut yang tumpah pagi tadi, atau apa... oooh, Upik tak mengerti. Gadis kecil itu meraung-raung. Baru ia sadari bahwa wajah Bunda mirip sekali dengan Umi. O tidak, wajah bunda benar-benar sama dengan wajah Umi.

Jadi? Ooohhh....

Maka, tergesa ia ke utara desa, ke hutan, ke pondok Umi.

Upik terpekur di tanah kosong itu. Tak ada lagi pondok itu. Apakah ada dalilnya bahwa rumah dan pondok pun dapat bersepakat untuk menghilang? Ah, Upik juga tak mengerti. Di sana, ia hanya mendapati sebuah foto kusam yang tergeletak di salah satu sisi kuburan: foto wanita paruh baya yang sedang tersenyum. Ia tercekat membaca sebuah nama yang terukir di sana, di nisan tua.

* * *

"Sekarang Upik di mana?"

"Di rumah sakit, Sayang!"

"Mana Bunda?"

"..."

"Mana Umi?"

Suster-suster muda itu terdiam.

"Kita panggil dokter saja, ya...."

"Kamu saja!"

"Kamu!"

"Aku takut nanti dia marah. Kamu tahu kan kalau dokter muda itu buasnya kayak harimau. Nyuruh kita tersenyum tapi dia sendiri tidak pernah tersenyum!"

"Ya sudah, panggil gih!"

"..."

"Mana Umi...?"

"..."

"Bu... bu dokter, anak ini sudah sadar. Dia menyebut dirinya Upik, Bu!"

"Mana Bunda...?"

"Tenang ya Sayang, di sini ada bu dokter yang akan menemanimu."

"Mana Umi....?"

"Itu hanya khayalanmu saja, Nak. Kau sekarang di rumah sakit. Istirahatlah, ya."

"Mana Bunda....?"

"..."

"Bu dokter, gimana ini?"

Setelah kembali berusaha menenangkan si pasien, dokter itu memperkenalkan diri. Dokter Alis. Entah, apa maksudnya mengutarakan hal yang tidak penting itu. Dokter itu lalu tersenyum. Seperti menyeringai. Ada taring di dekat gerahamnya.

Gadis kecil tercekat. Nama yang baru saja ia dengar seolah mengeluarkan tangan-tangan kekar dan berkuku tajam yang tak tampak, yang mencekiknya.

Upik meninggal dunia. Ada senyum yang melengkung di wajahnya.

***

"Meninggalnya gadis kecil itu karena terlalu lama bertahan hidup hanya dengan makanan yang tidak jelas asupan gizinya."

"Tapi Bu, bukankah ia selama ini bisa bertahan hingga lima tahun dengan makanan seperti itu?"

"Tak tahukah kalian kalau cacing memiliki kandungan protein yang mengalahkan ikan?"

"Tidakkah ada penyebab lain... ?"

"Itu di luar analisis medis?"

"Penyebab lain... ?"

"Penyebab lain lagi? Karena saya jarang tersenyum pada pasien? Itu maksud kalian? Kalian rekan wartawan jangan membuat berita yang tak jelas kebenarannya!"

"Maaf Bu, kami bahkan tidak tahu kalau Anda jarang tersenyum...."

"?"

"..."

"Ya sudah, lupakanlah itu!"

"!?"

"Yang jelas, yang akan saya katakan ini, saya pikir, jauh lebih layak kalian jadikan berita."

Berceritalah bu dokter itu bahwa ia pernah bertemu dengan si anak dan almarhum ibunya beberapa tahun silam. Entah bagaimana bisa dokter pelit senyum itu dapat menyampaikan hal tersebut. Yang jelas dengan percaya diri sekali ia menceritakan percakapan yang pernah ia lakukan dengan perawatnya, beberapa saat setelah dua beranak itu meninggalkan RS:

Para kuli tinta itu hanya mengangguk-angguk. Tak ada yang mereka lakukan—tidak pula mencatat, selain bergumam dalam hati: Ah, cari sensasi saja kau, gadis tua!
Senin, 21 Maret 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Mashdar Zainal
Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 20 Maret 2011

HUJAN turun deras sekali. Namun, seperti apapun cuacanya, kau selalu datang tepat waktu. Kini, kubayangkan, kau sedang duduk gelisah di kafe itu, seorang diri. Menatap layar HP yang sinyalnya nyala-mati, sambil menyeruput jus apukat susu kesukaanmu. Dan kini, mungkin jus apukatmu sudah tandas. Sudah satu jam lebih dari waktu yang kita sepakati. Dan aku masih meringkuk di kamarku. Sudah tiga kali kau menelpon, tapi selalu putus. Sinyalnya pasti sedang buruk oleh cuaca.

Dari balik jendela kamarku, aku hanya membeku, menatap ruahan air langit yang seperti ditumpahkan dari bejana raksasa. Jalan-jalan tertutup genangan. Rumput-rumput terendam. Daun-daun kering mengambang terbawa arus. Bunga-bunga di halaman, dahanya bergoyang-goyang, seolah tak kuasa menahan tikaman air yang begitu runcing. Jendela kaca di mukaku sedikit buram, berembun. Beberapa kali aku menyekanya. Dan wajahmu yang gelisah seperti terbayang di sana.

Maka harus kukatakan: maaf, petang ini aku tak bisa menepati janji—untuk bertemu denganmu. Aku yakin kau maklum. Di sini, hujan turun deras sekali. Aku tak mungkin menerobosnya. Demamku baru enyah beberapa hari lalu. Tak mungkin aku mengundangnya lagi. Tubuhku masih terlalu rapuh untuk melawan dingin. Jadi maaf, aku tak bisa memetik seikat pertemuan yang telah kujanjikan untukmu. Sekali lagi, maaf.

***

Kafe sepi. Beberapa meja paling tepi tampak basah oleh embun hujan. Aku duduk menggigil di meja paling tengah. Ada empat kursi, dua kosong, satu kuisi dengan tas dan kado yang ingin kuberikan untukmu. Tapi kau belum datang. Apapun cuacanya, kau memang jarang tepat waktu. Tapi itu yang suka darimu. Kau selalu membuatku gelisah, gelisah yang sangat mengasyikan. Karena meskipun kau terlambat, kau tak pernah lupa pada janji.

Hujan terus mericis. Satu gelas jus apukat susu tanpa es sudah karam di lambungku. Dua potong pisang keju, tinggal separuh. Aku memang sedikit gelisah—gelisah yang mengasyikan. Sudah satu jam lebih aku menunggumu. Dan kau belum muncul.

Di sini, hujan turun deras sekali. Barangkali di tempatmu juga. Mungkin sebab itu kau tak bisa (atau belum) datang. Beberapa kali kukirim sms, tapi tidak terkirim. Kutelpon juga putus-putus terus. Hujan begini sinyalnya pasti buruk. Tapi tak apa. Aku akan menunggumu hingga hujan reda. Pun jika hari ini kau tak bisa datang juga tidak apa-apa. Beberapa hari lalu kau baru diizinkan pulang dari rumah sakit. Dan tentu keadaan fisikmu belum pulih sempurna. Salahku juga, memintamu bertemu di musim hujan begini. Ini benar-benar bukan masalah. Tak apa. Aku hanya merindukanmu. Sudah sekitar tiga minggu kita tidak bertemu. Dan tenggang waktu itu cukup membuatku berdebar-debar menahan rindu. Apa kau juga merasakannya?

***

Memang (rasanya) cukup lama kita tidak bertemu. Terakhir kali kita bertatap muka ialah saat aku terbaring di rumah sakit tiga minggu lalu. Selepas menjengukku dengan separcel buah, kita sempat ngobrol-ngobrol sebentar, setelah saling terdiam agak lama.

“Sudah berapa hari kau opname?” tanyamu lembut.

“Sudah tiga hari.”

“Kata dokter, apa sakitmu?”

“Katanya gejala thypus.”

“Itulah. Pasti makanmu sembarangan dan tidak teratur. Sudah kubilang, jaga kesehatan. Jaga makan.”

Aku hanya terdiam mendengar petuahmu yang lebih terdengar sebagai petuah ibu-ibu.

“Maaf, aku tak bisa berlama-lama. Aku harus kembali ke kantor. Kalau keadaanmu membaik. Tolong sms aku.”

Aku tersenyum dan berterimakasih, sebelum kau pergi dan mengusap tanganku.
Entahlah! Hubungan kita memang aneh. Barangkali itu karena perbedaan usia di antara kita. Kau perempuan, dan kau tujuh tahun lebih tua dariku. Dan mungkin karena itu pula, terkadang aku merasa, bahwa hubungan kita bukan seperti hubungan sepasang kekasih, melainkan hubungan antara ibu dan anak.

Dalam dirimu selalu terselip jiwa-jiwa keibuan: selalu perhatian, ingin melindungi, mengalah. Dan aku sebaliknya: ceroboh, sesuka hati, manja, dan sifat-sifat kekakanakan lainya. Kau selalu pandai bersikap dewasa, sehingga aku merasa nyaman untuk terus bersikap kekanakan. Tapi masalahnya, aku seorang lelaki dan kau seorang perempuan. Terasa janggal jika seorang lelaki merengek di bahu kekasihnya, berceloteh manja, meminta ini-itu. Tapi ini sudah seperti diatur. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain satu: mencintaimu dengan caraku—yang mungkin membuatmu nyaman.

***

Hujan belum juga reda. Dari gelapnya, sepertinya langit telah menyiapkan debit air yang cukup banyak untuk memenggal pertemuan kita. Ini benar-benar seperti tangisan gadis patah hati, terus merinai, tak usai-usai. Suasana beginilah yang acap kali membuatku melamunkanmu. Melamunkan hubungan kita yang terus mengalir, lancar, tapi bagai tak bermuara.

Kata cinta telah tunai kau ucapkan, namun, tampaknya tanganmu masih gemetar untuk memasangkan selingkar cincin di jariku. Kau masih tampak kanak-kanak untuk melantunkan ikrar sakral itu. Sedangkan usiaku terus merangkak bagai sesosok hantu yang terus menerorkan ancaman.

Hubungan kita pun masih rahasia. Setahu orang tuamu, aku hanya seorang kakak bagimu. Kakak perempuan yang penuh perhatian. Tak lebih. Jadi mereka tak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang kita. Entahlah, bagaimana cerita ini nanti akan berakhir. Seolah-olah, sebuah alamat buruk jika seorang perawan tua jatuh hati pada pemuda kencur. Ah, tidak juga. Sebenarnya kau pun bisa bersikap dewasa. Kau sudah hampir 25. Banyak juga pemuda seusiamu yang sudah menimang momongan. Dan mereka baik-baik saja. Barangkali masalahnya, hanya, aku jauh lebih tua.

***

Hujan masih berdebaman. Apa kau masih di sana? Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah padamu. Aku tahu, selama ini, diam-diam kau tersiksa. Selalu kau yang mengalah. Selalu kau yang berkata iya. Lambat laun kusadari juga. Ini tidak sepantasnya. Umurku sudah hampir 25. Aku sudah—sangat—bukan anak-anak. Aku tertawa sendiri menahan malu mengingat sikapku selama ini padamu. Dan satu hal lagi. Hal yang sebenarnya juga mengganggu pikiranku. Ya, tentang muara hubungan kita.
Kau tak akan mungkin bertanya, “Kapan kita menikah?” atau “Kapan kau nikahi aku?”. Tapi aku benar-benar tahu, selama ini kau menunggu. Menunggu kata manis itu menyembul dari bibirku. Aku benar-benar tahu itu. Dan lagi-lagi, apa boleh buat, akupun tak bisa membayangkan bagaimana reaksi bapak-ibuku jika aku berkabar pada mereka, “Pak, Bu, aku ingin menikah.”

Meski usiaku sudah mendekati 25, tapi aku masih pemuda yang belum layak untuk disebut dewasa. Pemuda yang belum bisa memakai kakinya sendiri untuk berdiri, pemuda yang masih ‘meminta gendong’ orang tua. Semua kebutuhanku mulai dari biaya kuliah, kebutuhan sehari-hari, makan, hiburan… semua masih murni, dari orang tua. Tak sedikitpun ada pautnya dengan keringatku. Maka bagaimana mungkin aku mengucapkan ikrar itu padamu. Begini-begini, aku juga tahu apa kewajiban suami terhadap istri. Maka itulah alasan mengapa aku menunda. Sekali lagi maaf.

***

Lambat laun, hujan ini terasa seperti tangisan. Ngilu dan panjang. Apa mungkin kau akan datang, sedangkan hujan sederas ini? Ah, kau. Selalu aku bertanya begini: bagaimana bisa aku jatuh hati padamu? Jujur, terkadang aku merasa sangat bersalah padamu. Aku bagai belati yang sesuka hati memenggal masa mudamu. Kau lelaki, masih muda. Belum habis waktumu menikmati kebebasan sebagai seorang lelaki—pemuda. Tapi tiba-tiba aku menuntutmu untuk turut memperhitungkan kebahagiaanku. Meski tidak secara langsung, aku tahu, itu mengganggu pikiranmu.

Apa boleh buat. Ini masalah perasaan. Apa iya, aku harus melepasmu. Sedangkan hatiku sudah benar-benar matang dalam genggamanmu. Tak apa, sungguh tak apa. Kenapa pula aku harus takut pada usia. Kau menikahiku pada usiamu yang ke tiga puluh pun aku tak apa-apa. Aku terima, asal kau sanggup mempertahankanku. Bagaimanapun aku perempuan—meski kini usiaku lebih matang. Jadi, aku juga punya perasaan ingin dilindungi, didekap, dimanja, seperti layaknya perempuan. Dan rasanya, hanya kau seorang dari sekian banyak lelaki, yang mampu memberikan itu, meski mungkin dalam bentuk berbeda.

***

Hujan ini seolah tak akan berhenti. Entah sampai kapan. Barangkali, sericis inilah perasaanku padamu, hanya saja, aku tak pandai melukiskannya. Apapun yang akan terjadi, sepertinya perasaan yang kupikul ini takkan mungkin goyah. Jadi mana mungkin aku melepaskanmu hanya karena masalah usia. Dalam kamus percintaan, tak pernah mencantumkan usia sebagai syaratnya. Jadi semua sah-sah saja. Jikalaupun kau benar-benar memaksaku untuk menikahimu sekarang juga, aku akan melakukannya. Tapi aku senang, kau tidak menuntut itu. Kau memang perempuan paling pengertian setelah ibuku. Tapi apa imbalku?

Selama perjalanan kita, rasanya semua berjalan lancar. Kita tak pernah ada masalah dengan keputusan. Setiap kali aku memutuskan sesuatu kau selalu berkata iya, entah bagaimana hatimu, apa berkata iya juga, aku tak tahu. Lagi-lagi, itu sebuah bukti nyata bahwa aku belum pantas untuk disebut sebagai lelaki. Mengapa begitu? Tentu saja. Lelaki yang selalu ingin menang sendiri dan segala arahnya dituruti, ia bukan lelaki. Karena ia lemah. Dan yang kurasakan selama ini, itulah aku. Maka, sesungguhnya aku perlu sesuatu yang baru untuk merefresh hubungan kita yang selama ini baik-baik saja (sebenarnya lebih layak untuk disebut datar-datar saja). Bagaimana jika tiba-tiba aku memberikan kejutan untukmu?

***

Hujan ini sebuah kejutan bagi kemarau panjang. Hei, aku berpikir tentang kejutan. Selama ini, kau tak pernah menciptakan sebuah kejutan pun untukku. Kado ulang tahun? Itu bukan kejutan yang kumaksud. Entahlah, tiba-tiba aku membayangkan jika dirimu menjadi lelaki yang lebih dewasa, lelaki yang sebenar-benarnya lelaki. Meski selama ini aku cukup nyaman dengan perangaimu yang kekakanakkan itu, tapi jujur, sebenarnya, sesekali, aku juga ingin merengek padamu. Bersandar di bahumu dan merajuk ini-itu. Seperti yang kukatakkan, aku masih seperti kebanyakan perempuan, yang sebenarnya lebih suka dicumbu-manja, daripada memanjakan.

Kau tahu, kenapa selama ini aku selalu menjadi ekormu? Karna aku tak mau kehilanganmu. Usiamu adalah usia labil, dan aku harus mengimbangi itu, meski diam-diam terkadang aku harus berkorban perasaan. Maka, sekali lagi, jujur, aku benar-benar tak mau kehilanganmu. Apa kau juga begitu?

***

Sederas apa pun, nanti, hujan ini pasti akan berhenti. Meski seolah tak bisa berhenti. Bicara soal henti-berhenti, aku yakin, akupun bisa berhenti dari image lelaki cemeng, yang selama ini kubangun sendiri. Ya, kenapa tidak? Aku lelaki murni, yang seharusnya memiliki sikap-sikap sebagai lelaki murni: tegas, melindungi, perhatian, mengalah… dan sifat-sifat lelaki lainnya. Benarkah, hanya karna berhadapan dengan perempuan dewasa lantas aku menjelma menjadi anak-anak? Tidak. Akan kubuktikan itu padamu.

Ahai, hujan deras begini membuat darah lelakiku mengalir lancar. Hujan deras ini menjadikan pikiran-pikiran yang selama ini tersumbat menjadi plong, menjadi lebih jernih. Baik, baik, setelah hujan yang deras ini. Aku harus menemuimu dalam keadaan yang sudah berbeda. Tunggu, tunggu, mengapa harus menunggu hujan berhenti?
“Ah, ini hanya hujan!” gumamku, seperti baru tersadar dari sebuah percakapan. Aku berdiri, mengambil jaket kulit yang tergantung di belakang pintu. Semoga kau masih menungguku di sana.

***

Langit sudah gelap dan hujan masih mendendam. Menambah langit semakin gelap. Aku menjadi bingung, sebenarnya aku menunggumu datang atau menunggu hujan berhenti. Rasanya tak mungkin kau datang. Jadi? Aku menunggu hujan berhenti? Aih, ini hanya hujan. Mengapa aku tidak pulang saja. Ya, sebaiknya aku pulang saja. Tapi, bagaimana kalau nanti kau datang. Karena, selama ini kau tak pernah melupakan janji, seberapapun kau terlambat, kau selalu datang. Aduh, kenapa aku jadi gamang begini?
Di sini, hujan turun deras sekali. Kau pun baru pulih dari perawatan. Jadi tak mungkin kau datang. Akupun tak mengizinkanmu datang kalau tahu hujan begini. Ya, ya, sebaiknya aku pulang saja.

“Huft…!” aku berdiri, menghela nafas panjang, seperti baru saja usai dari perbincangan panjang. Aku bergegas menuju kasir. Membayar bon.

“Hujannya masih deras lho, Mbak. Nggak nunggu reda dulu.” Perempuan yang berdiri di depan mesin kasir mengingatkanku. Aku hanya tersenyum, lalu melenggang.

***

Hujan sedikit lebih jinak. Kukenakan jas hujan alakadarnya, aku jalan berjingkat menuju teras rumah supaya tidak ketahuan ibu. Dengan degup memburu aku mulai melajukan sepeda motorku. Hujan ini tak seburuk yang kukira, meski hawa dingin mulai menjalar ke kuduk dan pori-pori. Sepanjang jalan aku terus berdoa, semoga kau masih di sana.

Hujan kembali menjadi gerimis ketika aku sampai di depan kafe itu. Bahkan nyaris reda. Namun, kini, detak jantungku yang menderas. Aku menggigil. Gemetar. Apa karna dingin? Bukan. Tapi lihatlah, kafe tampak sepi. Sepi sekali. Tak seorangpun tampak di sana kecuali para pelayan—dengan seragamnya—yang sibuk mengelap meja. Aku lumat dalam sekelumit kekecewaan. Apa kau sudah pulang?

“Aku tahu kau akan datang. Jadi, aku masih menunggumu di sini.” Tiba-tiba suaramu mendekam di telingaku.

Kau sudah berdiri di belakangku. Tersenyum. Kau benar-benar seperti sebuah kejutan. Aku tak bisa berkata lagi. Aku hanya ingin melafaskan sepatah maaf. Tapi bress, tiba-tiba hujan kembali mendendam. Kita berlarian. Kembali ke kafe itu. Kita duduk dan sama-sama terdiam. Agak lama. Seperti tengah sibuk, memilah kata-kata yang ingin kita ucapkan.

“Di sini, hujan turun deras sekali… ” celetuk kita hampir bersamaan. Kita saling tatap sebelum akhirnya tertawa panjang.*

* Malang, 23 Oktober 2010
Minggu, 13 Maret 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Mashdar Zaenal

Dimuat di Jawa Pos, Minggu 13 Maret 2001

Kota Tungku

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dahaga yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Di kota itu matahari memang tampak lebih besar dari yang seharusnya. Di kota itu, sungai-sungai dan perigi menganga bagai mangkuk tanpa isi. Satu per satu pepohonan mati, terberangus pelan-pelan tanpa seorangpun menyadarinya. Mereka hanya tahu, tiba-tiba pohon itu kering. Dan tak ada lagi tempat berteduh. Trotoar-trotoar berselimut debu dan asap yang warnanya kelabu. Di kota itu, matahari hampir tak tidur. Siang hari terasa lebih lama, lima kali lipat dari seharusnya. Di kota itu, di mana-mana akan terdengar orang mengeluhkan cuaca dan air. Bahkan AC pun tak bisa berfungsi di kota itu. Air minum, mandi, dan mencuci, semuanya menghangat oleh cuaca. Setiap hendak mandi, orang-orang harus mencari es batu untuk mendinginkan air.

Orang-orang di kota itu selalu berkeringat dan lengket. Setiap jam mereka mandi dan meneguk air es. Namun tetap saja, mereka berkeringat dan lengket.

“Kok panas begini, ya?”

“Bukannya dari dulu memang begini?”

“Kata nenekku, sewaktu ia kecil, kota ini adem.”

“Itu kan dulu, sekarang mana ada kota adem.”

“Menurutmu, kira-kira apa yang membuat bumi ini begini panas.”

“Klasik sekali pertanyaanmu. Lihat saja, pohon besar di kota ini bisa dihitung jari.”

“Barangkali itu, ya, yang bikin kota kita seperti tungku.”

“Cerobong-cerobong asap itu juga, kentut-kentut mobil itu juga, mesin-mesin itu juga.”

“Kau pernah dengar yang namanya global warming?”

“Ya sekarang ini global warming, Goblok!”

“Kayaknya dunia mau kiamat. Makin hari makin panas. Tidak Cuma cuacanya, tapi juga manusianya …”


Kota Sampah

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami rasa jijik yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Satu hal yang sangat jelas. Di kota itu, sampah menggunduk di mana-mana seperti bukit-bukit kecil. Di dalam rumah, di jalan-jalan, di pasar-pasar, di mall-mall, bahkan di tempat peribadatan. Lalat berpesta di mana-mana, berebut sisa makanan dengan manusia. Konon, sampah itu didatangkan oleh segerombolan makhluk asing dari planet yang berbeda. Planet yang penuh dengan rumah-rumah mengkilap, dinding-dinding kaca, dan kulkas-kulkas besar yang berisi makanan dan minuman segala rupa. Planet yang penuh dengan mainan dan barang-barang aneh yang setia melayani tuannya. Konon, dari sanalah sampah-sampah itu datang dan dituangkan.

Penduduk kota sampah tak pernah sabar menunggu sampah baru datang. Mereka menunggu dengan sabar bersama lalat-lalat yang terus melagu.

“Kok lama, ya, truk sampahnya gak datang-datang?”

“Sudah. Tunggu saja. Sebentar lagi juga datang.”

“Ngomong-ngomong, apa kamu tidak jijik dengan sampah-sampah itu?”

“Busyiiit! Jijik katamu. Itu kan yang kita makan setiap hari.”

“Hihihi, makan sampah.”

“Di kota ini memang cuma ada sampah yang bisa dimakan.”

“Apa kota ini memang begini sejak dulu?”

“Kok tanya padaku?”

“Kau kan yang lebih tua.”

“Tanya saja nenekmu.”

“Nenekku kan sudah mati tertimpa gundukan sampah waktu dia berebut makanan di sini, sebulan lalu.”

“Sudah! Jangan banyak tanya. Itu, Truk sampahnya datang.”

“Cihuuuiiii!!!”

“Kau mau mati seperti nenekmu? Tunggu sebentar. Sabar. Jangan buru-buru. Biarkan sampahnya ditumpahkan dulu.”

Setelah truk sampah pergi, mereka berlari beramai-ramai, mereka berlomba-lomba mengais. Ada yang membawa tongkat kecil seperti celurit, ada yang hanya menggunakan ranting, ada juga yang mengais-ngais dengan tangan telanjang.

“Hei, aku menemukan kepala.”

“Kepala? Ayam atau bebek?”

“Manusia!”


Kota Lumpur

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami kotor yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Semua penduduk di kota itu berbaju lumpur. Lumpur yang masih meleleh dan akan terus meleleh. Bukan hanya itu, rumah-rumah, pohon-pohon, bahkan atap langit, semua utuh berbalur lumpur. Pekat dan terus meleleh seperti es krim cokelat yang mencair. Hanya bayi-bayi yang baru lahir saja yang mulus tak berbalur lumpur. Tak seorangpun tahu dari mana lumpur itu bermula. Tapi, kata orang-orang tua, lumpur itu menyembur dan meleleh dari dosa. Setiap seseorang melakukan dosa dengan kadar tertentu, lumpur itu akan menyembur dan meleleh dengan kadar tertentu pula. Semakin besar dosa yang dilakukan, semakin besar pula semburan yang muncul. Lumpur itu bisa menyembul dari mana saja. Dari mulut, telinga, kelopak mata, dari lubang pusar, bahkan dari lubang kemaluan.

“Berarti penduduk kota ini, semuanya berdosa, dong!?”

“Cuma nabi dan bayi, manusia yang tak punya dosa.”

“Rumah-rumah, jalan-jalan, masjid, gereja… mereka tak punya dosa. Tapi kenapa mereka penuh lumpur?”

“Kau tak tahu, ya? Dosa itu menjulur bagai lidah, menjilati apa saja. Rumah-rumah, jalan-jalan, bahkan tempat ibadah. Pokoknya tempat-tempat di mana kita melakukan dosa, di situ lumpur juga akan ikut meleleh.”

“Lumpur ini benar-benar menghalangi kenikmatan. Kita tak bisa bicara dengan jelas, setiap kali bicara lumpur dari mulut kita akan ikut menyembur.”

“Kita juga tak bisa makan dan minum dengan nikmat, semuanya becek oleh lumpur.”

“Kita juga tak bisa tidur dengan pulas. Semua lembab dan gatal.”

“Bahkan kita tak bisa bercinta dengan nyaman. Huft….!”

“Lalu, menurutmu, bagaimana cara menghentikannya? ”

“Menghentikan apa?”

“Ya lumpur ini!”

“Hahaha, kau seperti bertanya bagaimana menghentikan dosa. Kau jawab sendiri lah!”


Kota Perempuan

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dilema yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Benar adanya, di kota itu, lelaki menjadi makhluk yang sangat mahal. Mereka di pajang di kamar-kamar mengkilap, dengan harga bervariasi. Semakin lelaki, semakin mahal. Di kota itu, lelaki takkan berani keluar sembarangan. Karena, ia bisa diperkosa beramai-ramai oleh perempuan-perempuan liar di pinggir jalan. Kebanyakan dari perempuan-perempuan itu adalah perempuan yang tidak pernah memiliki cukup uang untuk membeli lelaki, sehingga mereka lebih suka mencari mangsa di jalan-jalan. Perempuan-perempuan itu tak pernah mengenakan pakaian. Mereka selalu berdiri gelisah di pinggir-pinggir jalan dengan birahi yang sangat dahaga.

“Kita takkan pernah menjadi ibu.”

“Memang kenapa?”

“Kita tak mampu beli sperma.”

“Beli lelaki maksudmu?”

“Sama saja!”

“Memangnya harus beli?”

“Kau bodoh atau lupa? Di kota ini kan lelaki sudah bosan bercinta dengan perempuan. Sekarang mereka lebih suka bercinta dengan sesamanya, kecuali kalau kita membelinya.”

“Jadi?”

“Jadi, kalau kita mau hamil kita harus kaya!”

“Susah…, mau hamil saja harus kaya dulu.”

“Di kota ini memang begitu aturannya.”

“Lelaki bercinta dengan lelaki, apakah termasuk aturan di kota ini?”

“Sepertinya begitu, lelaki di kota ini sudah bosan dengan jumlah perempuan yang over populated.”

“Kalau mereka bisa bercinta dengan sesamanya, kenapa kita tidak?”

“Aku hanya… menyayangkan sperma mereka yang terbuang sia-sia.”


Kota Lapar

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami lapar yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Penduduk kota itu selalu merasa lapar. Setiap hari mereka memakan apa saja. Mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, besi, tanah, dan bahkan bangkai. Di kota itu, rasa lapar terus melata dan mendatangi siapa saja, mereka menyebarkan virus-virus lapar ke dalam ceruk lambung melewati angin yang dihirup manusia. Setiap hari, kota itu selalu ramai oleh musik perut. Ada suara keroncongan, ada suara kokok ayam, ada pula siut seperti kentut. Perut-perut itu akan terus berbunyi hingga sesuatu mengisinya. Semakin lama garing, gaung perut itu akan semakin nyaring.

Setiap jam, penduduk kota lapar selalu berlomba-lomba mengais apa saja yang bisa mereka masukkan ke dalam perut mereka. Hal apapun yang mereka lakukan, tujuannya hanya untuk satu: perut.

“Hari ini kau dapat apa?”

“Maksudmu, yang sudah aku telan?”

“Ya.”

“Serongsok rangka kursi, semangkuk bulu ayam, dan seekor buaya rawa. Kalau kamu?”

“Setumpuk koran bekas dan kasur bekas. Tapi jujur, aku masih sangat lapar.”

“Sama.”

“Kenapa, ya, kita kok selalu kelaparan. Padahal perut kita sudah begini buncit oleh apa-apa yang kita telan.”

“Manusia kan memang diciptakan untuk lapar.”

“Kau pernah menahan lapar?”

“Lebih baik mati daripada menahan lapar.”

“Kok begitu?”

“Kalo kita kelaparan gara-gara menahan lapar, kan ujungnya mati juga.”

“Puasa maksudku. Jadi kita bukan tidak makan sama sekali, tapi kita kurangi porsinya, kita tahan.”

“Ah, sudah lama sekali di kota ini tak ada puasa-puasa… bapak-ibu kita juga tak pernah mengajarkan kita puasa. Yang mereka ajarkan adalah bagaimana caranya mencari makan, mengisi perut. Sudah! Kebanyakan ngobrol tambah bikin lapar. Ayo kita cari makan lagi!”

“Di kota ini sudah tidak ada apa-apa lagi, kita mau cari makan di mana lagi?”

“Ya pokoknya kita cari.”

“Kalau begitu kau makan aku saja.”

“Kau gila! Apa isi otakmu?”

“Aku hanya berpikir, barangkali, setelah mati rasa lapar ini akan reda.”


Kota Katastrofa

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami ketakutan yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Di kota itu, kejadian-kejadian miris telah diagendakan. Setiap hari, di kota itu akan terjadi kematian massal. Penyebabnya bisa apa saja dan tak pernah terduga. Penduduk kota itu, setiap hari selalu berpikir, memutar otak, bagaimana supaya agenda-agenda miris itu dapat dihentikan. Namun mereka tak pernah berhasil. Mereka tak pernah bisa menemukan di mana list-list kejadian itu disimpan. Anehnya, penduduk kota itu setiap hari berpesta pora. Mereka memestakan apa saja yang bisa dipestakan. Seolah mereka lupa, bahwa kematian massal bisa saja mendatangi mereka.
Anehnya pula, dalam pesta itu mereka sempat membicarakan dan menduga-duga agenda miris apa yang akan menyongsong mereka.

“Disiram air baskom sudah. Bahkan sampai rumah-rumah rata dengan tanah.”

“Dan yang mati ratusan ribu itu.”

“Tanah gulung tikar juga sudah, bahkan sampai menganga setengah meter tanahnya.”

“Berapa kemarin korbannya?”

“Belasan ribu atau berapa gitu… aku lupa.”

“Baru-baru ini gunung kentut.”

“Oh, yang korbannya pada gosong itu, ya?”

“He’em. Bahkan kampung itu sekarang jadi kuburan.”

“Kira-kira, apalagi, ya, agenda ke depan?”

“Menurut dugaanku, matahari akan tergelincir, menggelundung menimpa kota kita. Atau kalau tidak, barangkali atap langit bakal rubuh.”

“Ih, sereeem!”

“Makannya, tobat!”

“Iya, deh! Tapi, kita selesaikan dulu, ya, pestanya!?”***

Malang, 2011


Rabu, 09 Maret 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Mashdar Zainal
Dimuat di Kompas, 6 Maret 2011

SEDARI pagi hujan terus mericis. Hingga menjelang magrib baru liris, menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika langit mulai gelap, dan lampu-lampu rumah dinyalakan, hujan sudah sempurna reda. Satu dua laron mulai muncul dan berputar-putar mengitari lampu di teras rumah. Semakin lama semakin banyak. Bahkan, beberapa sudah mulai menghambur ke dalam rumah, melewati ventilasi dan celah-celah pintu jendela.

Tanpa sepengetahuan bapak, aku membuka pintu depan, sedikit, supaya laron-laron itu bisa masuk ke dalam rumah, dan bisa kuajak bermain dan berbincang-bincang. Tak kurang dari satu menit, laron-laron itu sudah memenuhi ruang tamu, dapur, dan kamar-kamar. Berputar-putar berebut cahaya. Sayap-sayap kecil mereka bertebaran di mana-mana bagai potongan-potongan kertas yang sengaja disemburatkan di pesta ulang tahun atau perayaan-perayaan.

Aku berteriak girang sambil meniupi sayap-sayap laron yang luruh ke lantai. Indah sekali. Aku membayangkan saat itu sedang hujan sayap, sayap peri. Tapi, tiba-tiba bapak muncul dari kamarnya dan berteriak-teriak. Aku mengkerut.

“Dasar bocah gak punya otak, pintunya kok malah dibuka. Laronnya masuk semua, Goblok!” teriak bapak sambil menutup pintu depan yang tadi kubuka sedikit. Ia menutupnya dengan setengah membanting.

“Sayapnya itu sulit disapu. Kamu mau nyapu?” kata bapak lagi sambil mendorong kepalaku dengan kasar.

Dengan sangat cepat, bapak mematikan semua lampu di dalam rumah. Seketika itu semua gelap. Dan aku berteriak ketakutan, memanggil-manggil ibu.

“Ada apa tho ini?” terdengar suara ibu, dan klik, ibu kembali menyalakan lampu.

Dari dalam kamar, bapak berteriak lagi, “Jangan dinyalakan lampunya! Laronnya biar keluar dulu!”

Ibu tidak menyahut. Ibu segera menggandengku dan membawaku masuk ke dalam kamar. Dari dalam kamarku, aku mendengar bapak mengumpat lagi.

“Kampreeet!! Dibilangin suruh matikan kok….” Dan klik, ruang depan kembali gelap. Hanya lampu kamarku yang menyala. Ibu menutup pintu kamarku rapat-rapat.

“Ditutup, ya, biar laronnya gak masuk,” kata ibu lembut. Aku mengangguk karena di kamarku sudah ada beberapa laron yang beterbangan mengitari lampu, sebagian hinggap di gorden jendela, dan beberapa—yang sayapnya tinggal dua—berpusing-pusing di lantai. Aku tertawa geli melihatnya. Tapi, mendadak aku jadi ingat ketika bapak memusing-musingkan kepalaku dan mengguyuriku dengan air, beberapa waktu lalu, ketika aku asyik bermain keran dan kemudian mematahkannya. Maka, kembali aku bertanya dengan bahasa mata kepada ibu.

“Mengapa bapak suka memarahiku, Bu?”

Ibu tersenyum, diusapnya liur yang hampir menetes dari bibirku yang lebar. Ibu mentapku, “Bapak tidak marah padamu, bapak cuma tak suka kalau rumah kita ini kotor. Sayap-sayap laron itu bikin kotor. Susah disapu.”

Aku mencerna perkataan ibu, dan memanyunkan bibir sebagai pemakluman. Namun, pemakluman itu masih terasa belum tunai, mengingat perlakuan bapak selama ini padaku. Hati kecilku selalu mengatakan bahwa bapak memang tak pernah suka padaku. Lamat-lamat aku teringat pada sebuah malam, di mana bapak dan ibu bertengkar gara-gara aku tidak menghabiskan makan malam. Malam itu bapak sendiri yang mengambilkan porsiku karena waktu itu ibu belum pulang dari pengajian. Bapak mengambilkan porsiku dua kali lebih banyak dari biasanya—yang diambilkan ibu. Malam itu, bapak terus mengawasiku. Padahal sudah hampir setengah jam aku mendiamkan makananku.

“Habiskan nasinya!” gertakan bapak saat itu membuatku gemetar. Saat itu aku menyesalkan ibu yang tidak pulang-pulang.

“Sekarang beras mahal!” Bapak terus memelototiku sambil sesekali menggebrak meja. Maka, dengan sangat terpaksa nasi itu kumasukkan ke dalam mulutku. Beberapa kali aku ber-“hoek”, hendak muntah.

Bapak semakin geram. Ia mendekatiku dan menjejalkan nasi itu ke mulutku hingga berceceran di lantai. Aku menangis tanpa suara. Saat itulah tiba-tiba ibu datang dan menampik tangan bapak.

“Apa-apaan ini, Pak!?”

Ibu membersihkan nasi yang tumpah di bajuku dan segera membawaku masuk ke dalam kamar. Di luar kudengar bapak berteriak-teriak, ganti memarahi ibu. Agak lirih suara ibu, menuntaskan pembelaan. Namun suara bapak semakin menggelegar, ia mengeluarkan sumpah serapah yang tak kupahami artinya.

“Sudah kubilang, dari dulu, bocah cacat itu dititipkan ke panti asuhan saja. Biar tidak merepotkan kita.” Suara bapak terdengar jelas dari kamarku, disusul suara ibu yang terdengar seperti menangis.

“Gusti Allah menitipkan dia buat kita, Pak! Dia anak kita! Satu-satunya!”

Selanjutnya kudengar bapak meneriakkan namaku dengan sebutan bocah idiot, autis, bisu, gagu, dan seterusnya… yang direnteti ungkapan penyesalan seperti dendam.

Beberapa kali terdengar suara ibu menyela dan meninggi, meminta bapak beristigfar. Kudengar juga ibu mengumpat bapak dengan sebutan “seperti orang tak tahu agama”. Maka terdengar suara plak, kulit beradu kulit, dan setelah itu sepi.

***

Ibu mengusap rambutku ke belakang. Kemudian ibu bercerita panjang tentang bapak. Kata ibu, sebenarnya bapak sangat sayang padaku. Hanya saja, bapak tak suka bila aku berbuat nakal.

“Maka dari itu, kamu tak boleh nakal lagi, yang nurut sama bapak,” kata ibu kemudian.

Aku jadi sangsi pada perkataan ibu, bukankah selama ini aku selalu menuruti perkataan bapak. Bahkan, ketika bapak memintaku mengambil makanan yang telah kubuang di tempat sampah dan memakannya kembali, aku menurutinya. Tentu waktu itu ibu tidak tahu.

“Janji, ya!” kata ibu lagi. Aku mengangguk saja hingga ibu mengecup keningku dan beringsut meninggalkan kamarku.

Di dalam kamar, aku sudah tidak lagi memikirkan perkataan ibu ataupun perangai bapak padaku. Yang kupikirkan adalah laron-laron itu. Sebenarnya aku berniat membuka jendela kamarku supaya laron-laron di luar bisa turut masuk ke kamarku. Tapi hal itu kuurungkan. Aku takut, kalau membuka jendela kamar termasuk perbuatan nakal yang tidak disukai bapak. Maka aku bermain dengan laron-laron yang ada di kamarku saja. Sebagian besar dari mereka sudah gundul, tanpa sayap. Mereka berjalan beriringan di sudut-sudut lantai. Yang berputar-putar seperti gasing juga masih ada.

Aku mendekati laron-laron itu dan mengajaknya bermain. Tapi, ketika jari telunjukku menyentuh laron-laron itu, mendadak laron-laron itu berhenti bergerak. Kemudian, laron-laron itu mengeluarkan suara.

“Kami sudah gundul, pesta kami sudah usai. Ternyata pesta kami sangat singkat,” katanya.

“Sekarang kalian mau ke mana?” tanyaku.

“Menemui ajal,” jawab mereka.

“Jika kami tahu, pesta kami sangat singkat, dan sayap-sayap kami sangat rapuh, kami akan memilih untuk tetap menjadi rayap,” kata laron yang lainnya.

“Mengapa?” tanyaku lagi.

“Kami tak pernah merasa cukup menjadi rayap tanah, kami ingin punya sayap dan terbang bebas menikmati cahaya. Dan inilah yang terjadi….”

“Apa yang terjadi?”

“Kamu lihat sendiri. Kami hanya berputar-putar menunggu mati. Hidup kami akan berakhir di perut katak atau cicak. Kalau lebih buruk lagi, kami akan mati terinjak-injak manusia, tak bersisa, dan tak pernah berarti apa-apa. Semoga kamu tidak menjadi seperti kami.”

“Menjadi laron?”

“Bukan!”

“Menjadi apa?”

“Menjadi makhluk yang tidak pernah puas menerima pemberian Tuhan, anugerah Tuhan.”

Tiba-tiba aku teringat bapak.

“Sudah! Biarkan kami pergi,” kata laron itu lagi.

“Pergi ke mana?”

“Maut. Kami harus menemui takdir kami.”

“Kalau begitu kalian kupelihara saja.”

“Jangan! Kami sangat bau. Nanti kamu dimarahi bapakmu lagi.”

“Kalian kusembunyikan saja di kamarku.”

***

Diam-diam, aku membuka pintu kamar. Berjingkat ke dapur, mengambil rantang plastik di rak piring. Jika bapak atau ibu memergokiku, aku akan bilang kebelet pipis. Tapi bapak ataupun ibu tak memergokiku. Aku berhasil kembali ke kamarku dengan selamat. Kukunci pintu kamarku rapat-rapat. Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar, seperti orang lupa. Saat laron-laron dari luar berhamburan ke dalam kamarku, sama sekali aku lupa soal bapak. Yang kutahu hanya bahwa detik itu—saat laron-laron beterbangan menuju kamarku—adalah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Kubayangkan kamarku penuh oleh peri-peri kecil yang berkerik lirih dan merdu.

***

Aku senang sekali, malam itu, bapak ataupun ibu tidak kembali ke kamarku. Pasti mereka mengira aku sudah tidur. Padahal, malam itu aku begadang sampai larut malam. Memunguti laron-laron itu dan memasukannya ke dalam rantang plastik. Sayap-sayap yang berceceran di lantai kubersihkan dengan kertas basah yang kulumuri ludah. Kutempelkan kertas basah itu perlahan ke sayap-sayap yang berceceran. Ternyata mudah sekali membersihkan sayap laron. Setelah kamarku bersih. Aku membuang kertas-kertas basah yang penuh sayap itu keluar jendela. Kututup kembali jendela kamarku pelan-pelan. Kututup pula rantang plastik yang penuh laron itu dengan sebuah buku tulis tebal sebelum akhirnya kudorong ke bawah ranjang dan kutinggal tidur.

***

Pagi-pagi sekali ibu sudah membangunkanku. “Kenapa pintunya kok dikunci?” tanya ibu. Aku menatap ibu sambil mengibaskan tangan. Ibu paham yang kumaksudkan supaya laronnya tidak masuk. Hatiku agak tidak enak membohongi ibu. Tapi aku juga kasihan pada laron-laron itu. Ibu menyuruhku segera mandi. Detik itu aku berdoa semoga ibu tidak menggeledah kamarku. Apalagi bapak. Tapi doaku muspra, tak terwujud. Karena tiba-tiba bapak datang dan mengendus bau kamarku.

“Kamar ini kok bau laron busuk, ya?” tukasnya. Hidungnya mengendus seperti tikus.

Hatiku sudah tidak enak. Ibu mengingatkanku kembali untuk lekas-lekas mandi. Aku berjalan ke kamar mandi dengan hati cemas. Aku pun mandi ala kadarnya. Kalau tidak dimandikan ibu, aku memang tak pernah mau mandi memakai sabun. Apalagi gosok gigi. Dan tampaknya, pagi itu ibu masih sibuk membersihkan sayap laron di dapur, kamarnya, dan ruang tamu. Selepas mandi, aku buru-buru ke kamar. Kutengok kolong ranjangku, dan rantang plastik berisi laron yang kututupi dengan buku tulis sudah raib, tak ada di sana. Aku tersentak dan hampir terpeleset ketika tiba-tiba bapak menyeret telingaku dan membawaku ke muka ibu.

“Lihat ini!” bapak melemparkan rantang plastik berisi laron itu ke depan ibu. Laron-laron itu tumpah dan merayap ke mana-mana. Secepat kilat ibu merapikannya dan membawanya ke dapur. Bapak menyusul ibu ke dapur.

“Semalam dia tak tidur; kau lihat pula sana, di bawah jendela kamarnya!” kata bapak lagi. Telingaku terasa nyeri, tapi tangan bapak masih utuh di sana.

“Kau membohongi ibu?” tutur ibu berkabut.

Aku mulai menangis. Air mataku mulai meleleh. Tapi tak seulas suara pun keluar dari mulutku. Ibu meninggalkanku dengan tatapan kecewa, ia berjalan menuju kamarku. Bapak masih menyeret telingaku, menyusul ibu. Di kamar, ibu menengok keluar jendela dan menggelengkan kepala beberapa kali. Lantas ibu pergi begitu saja. Tapi matanya merah, seperti mau menangis. Sementara ibu pergi, bapak menghujani pipiku dengan tamparan. Dijambaknya rambutku sebelum akhirnya aku dilempar ke ranjang.

Di dalam kamar, aku sesenggukan menahan nyeri. Hingga akhirnya ibu datang dengan membawa salep dan sapu tangan. Setelah mengusap wajahku. Ibu menidurkan aku di pangkuannya.

***

Aku masih belum berani keluar kamar dan bertemu bapak, hingga akhirnya ibu menuntunku ke ruang tengah untuk makan malam. Di sana kulirik bapak dengan wajahnya yang dingin seperti batu. Ibu mengambilkan aku nasi dan sayur. Perlahan kutilik satu demi satu lauk-pauk yang terhidang di meja. Hingga mataku mendarat pada sebuah toples berisi rempeyek dengan bintik-bintik hitam. Semula, aku mengira rempeyek yang dibuat ibu adalah rempeyek kedelai hitam. Namun, mendadak bapak berkomentar.

“Rempeyek laronnya gurih sekali.”

Aku mengangkat wajah. Memerhatikan bapak yang tengah lahap mengganyang rempeyek laron. Tak henti-henti bapak mengudapnya. Habis satu, ia ambil lagi dari dalam toples hingga rempeyek dalam toples tinggal separuh. Saksama kuperhatikan mulut bapak yang terus bergerak mengunyah rempeyek laron itu. Kuperhatikan mulut itu, bibir itu, gigi itu, lidah itu. Sungguh sangat menjijikkan. Dalam penglihatanku, bapak sudah menjelma menjadi seekor katak raksasa yang mengunyah serangga sampai sayap-sayapnya.

Tanpa sadar, kulemparkan piring berisi nasi dan lauk-pauk ke arah katak raksasa yang sedang mengunyah serangga itu. Dan lemparanku tepat mengenai kepalanya. Nasi berceceran di atas meja. Piring jatuh ke lantai, berdentang serak dan pecah menjadi beberapa keping. Tiba-tiba kulihat bapak memegangi kepalanya yang berdarah-darah. Matanya mendelik ke arahku. Mata yang berkilau dan tajam, seperti hendak menikamku. (*)

Malang, Desember 2010

by Forum Lingkar Pena
Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Koran Tempo, Minggu, 6 Maret 2011

APAKAH MUNGKIN IA ke Leoni Hill, menemui perempuan mandul itu? Bukankah ia sudah berjanji, malam ini akan pulang ke Valley Road, menghabiskan malam berdua saja setelah masa haidku habis? Tidakkah ia lupa kalau aku dan dia masih pengantin baru?

Lalu kau mencangking ponsel yang tergeletak di meja rias di sudut kamar. Tak memerlukan waktu lama kau menemukan sebuah nama. Kautekan tombol OK. Kaudekatkan ponsel ke sebelah kanan pipimu, menempelkannya di daun telinga. Kau benar-benar ingin memastikan bahwa panggilanmu tersambung, bahwa ponselnya benar-benar aktif. Nada sambung terdengar. Kau sedikit lega. Kau tak sabar menunggu jawaban di seberang. O tidak, seharusnya kau sudah cukup bersyukur bahwa ponselnya masih aktif (tidakkah itu artinya ia baik-baik saja?). Mungkin ia sedang nyetir, mungkin ia sedang ngobrol dengan kawan lama, mungkin ponselnya sedang dalam silent-mode. Hmm, tapi bisa saja ia sengaja tak menjawab panggilan. Siapa tahu ia sedang bersama mantan pacar (yang katanya sering nongkrong di Marina Bay), siapa tahu ia sedang asik ngobrol dengan seseorang yang baru dikenalnya di alun-alun air mancur Merlion. Tidak, lebih tepatnya, pastilah orang lain yang merasa pujaan hatinya itu mengasikkan, mengagumkan. Ya, perempuan mana yang tak terpesona dengan laki-laki tampan seperti dia. Tiba-tiba prasangka dan rasa khawatir mengerubungimu. Jarak antardegup jantungmu makin rapat. Napasmu berkejar-kejaran. Lingerie yang kaukenakan mulai membuatmu gerah karena keringat yang menerobos dari pori-pori. Ponselmu pun terasa lengket karena telapak tangan yang mulai basah. Kau melemparkan ponsel ke spring bed yang baru satu minggu menghuni kamar. Kau membuka pintu kamar. Kau mendongak ke dinding ruang tengah. Beberapa menit lagi, jam tua yang bersandar di sana akan berdentang 12 kali. Kau menuju dapur. Kulkas. Mengambil sebotol air mineral. Langsung menenggaknya seolah rasa dingin yang berselancar di tenggorokan dapat serta merta menghilangkan kecemasanmu. Leher dan lingerie-mu ikut basah oleh air es yang meluap di bibir botol. Kau bermaksud mengirimkan pesan singkat sebelum kau merasa jemarimu tak cukup bertenaga untuk memencet tombol-tombol di ponsel.

O, benarkah kau di rumah mungil di komplek itu, suamiku? Benarkah kau bersama dengannya? Sedang apa kalian? Apakah kau juga memikirkanku sebagaimana aku merindukan sekaligus mencemaskanmu?

*

AKU DI MOUNT SOPHIA, Sayang. Sendirian. Sedang merampungkan beberapa deadline. Oh, kau tak perlu cemas. Aku baik-baik saja. Aku akan pulang segera setelah semuanya beres. Miss u!

Laki-laki itu membalas pesan singkat istrinya. Ia memang sudah satu bulan tak pulang ke Leoni Hill. Sebenarnya ia sadar, apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Tak ada pembenaran untuk sebuah perselingkuhan, bukan? Namun, entah, ia merasa tak sendiri, dan ia merasa jauh lebih baik dari sejumlah laki-laki yang bertabiat sama. Menurutnya, banyak laki-laki yang melakukannya dengan alasan seks semata. Termasuk kawan-kawannya yang kerap kongkow di Bugis Street dan Orchard Road. Chris dengan Jane, Lupia dengan Bela, Sutan dengan Grenee.... Tidak dengannya. Ia memiliki tujuan yang menurutnya mulia; memiliki keturunan. Namun, sungguh, ini bukan 100 tahun yang lalu (ketika Suntec City dan Clarke Quay masih berupa padang ilalang, saudara tua Neneknya yang seorang kiai termasyhur, dapat beristri ’dengan mudah’ karena pelbagai alasan; kondisi ekonomi keluarga perempuan yang ambruk, banyaknya janda, menyelamatkan akidah, dll). Ah, aneh bin lucu; ia tiba-tiba sok historis dan relijius. Hhh.... Ia ke dapur. Menyeduh kopi Klassno dengan air tak terlalu panas. Menyeruputnya seolah-olah kafein yang diselipi rasa manis itu dapat menguapkan semua kegundahan. Tiba-tiba ia ingat ada beberapa panggilan tak terjawab. Ia ingin memeriksanya. Ia merogoh saku celana. Ia menekan tombol OK. 16 panggilan. Nama yang sama. Nama yang tiba-tiba membuat kegundahannya makin membuncah. Ia meneguk liur yang terasa sepat di kerongkongan. Ia berniat menelepon balik. Namun ia urungkan niatnya. Ia tersenyum sendiri. Senyum yang ia sendiri ragu menyatakannya sebagai tanda apa. Perasaannya memang sedang tak karuan, sedang cemas. Ia kini tahu, bahasa tubuh tak selamanya menunjukkan apa yang dipikirkan. Syaraf-syaraf kadang tak mampu menerjemahkan impuls yang dikirim ke otak; seperti seorang pelayan kopitiam yang harus selalu tersenyum kepada para pelanggan walau kaki sudah capai tak kepalang berdiri di depan kedai, seperti bunga mawar yang keharumannya tak dapat diukur dari jumlah kelopak, seperti air sumur yang tiba-tiba terasa hangat bila diguyur ke badan yang kuyup karena kehujanan... seperti lengkung senyum seorang lelaki yang sedang gundah.

Hmm, aku akan pulang, istriku. Bersabarlah.

*

SAMPAI KAPAN AKU harus bersabar di sini? Jangan-jangan kabar yang membuat telingaku berdenyar-denyar, benar adanya!

Perempuan itu menggerutu. Ia kirimkan sebuah pesan singkat. Ia tak ingin tampak marah. Ia merangkai kalimat semesra mungkin. Ia bertanya dari hal-hal yang ringan. Di mana, sedang apa, sampai ke inti kegundahan: kapan pulang? Tiba-tiba ia merasa lelah sendiri. Ia berjalan menuju meja rias di sudut kamar. Ia raba wajahnya. Sungguh ia merasa masih cantik. Memang, banyak perempuan yang lebih cantik darinya, tapi ia pikir suaminya takkan berselingkuh hanya untuk alasan yang terlalu ingusan: seks. Pandangannya beralih ke sebuah foto di sisi meja. Foto pernikahan. Ia bagai tersadar. Sudah enam tahun berumahtangga. Hingga kini Tuhan belum mengaruniai mereka, oh tidak, lebih tepatnya, belum mengaruniainya keturunan. Ia meremas-remas rambut. Ia ingin menangis tapi tak bisa. Dadanya sesak. Ia beranjak ke spring bed dengan langkah gontai. Ia membenamkan wajahnya di antara bantal-bantal yang kini terasa sangat dingin. Jangan-jangan... jangan-jangan benar kabar itu? Suamiku ke Valley Road. Suamiku benar-benar berselingkuh. Benar-benar menikah lagi. Menikah lagi demi keturunan. Oh, mengapa ia tak bilang saja kalau sudah tak sabar punya momongan. Bukankah kita bisa mengadopsi anak, atau ... oh, aku bukan tak mau dimadu, aku hanya tak rela bila perhatian dan kasih sayangnya tiba-tiba harus tercurah berat sebelah. Aku tak rela! Ia menuju dapur. Mengambil sesuatu. Lalu ke kamar mandi. Mengunci pintunya rapat-rapat. Kran dihidupkan. Desis air yang tiba-tiba deras. Debur air yang ribut seperti orang marah sedang mandi. Lalu hening. Sangat hening. Sampai terdengar pintu depan diketuk. Makin lama makin keras, makin serampangan, menyelingi teriakan seorang lelaki:

Honey, I’m coming! Sudah rindu sekali aku kepadamu!

*

SUDAH RINDU SEKALI perempuan itu kepada suaminya. Ia pikir ia harus segera menuntaskan perasaan itu (O o, rindu memang sinar kehidupan. Ketika muncul, hanya cahayanya yang tampak.). Pun saat ini, perasaan yang berkecipak dalam dadanya menegaskan bahwa rindu bisa membuatnya silau, gila, bahkan mati seketika. Ia membuka lemari. Mengambil sebuah cardigan dan rok sebatas lutut. Mengenakannya. Setelah berdandan sekenanya, ia mengambil kunci mobil di laci meja rias. Ia gegas keluar kamar. Membuka garasi. Mengeluarkan BMW metalik. Setelah memastikan apartemennya telah terkunci, ia lajukan mobil meninggalkan Valley Road dengan kecepatan tinggi. Ia tak sabar lagi menemui suaminya. Aku tahu kau pasti di sana, Sayang? Sebenarnya ia tak ingin menunjukkan: aku tahu bahwa aku dinikahi seorang lelaki beristri! Ya, ia tak bermaksud membuat laki-laki itu terpojok di hadapan perempuan itu. Ia hanya ingin perempuan itu tahu bahwa suaminya sudah memilih seorang gadis cantik yang siap menghadiahinya seorang putra. Atau... bahkan nanti dapat saja ia menempatkan suaminya dalam keadaan terjepit yang sudah lama ditunggunya: Nah, sekarang, pilih aku atau istri tuamu!

Ia sangat masyuk membayangkan apa-apa yang mungkin ia lakukan di tempat tujuan, hingga ia menerobos saja lampu merah yang baru saja menyala di perempatan Orchard Road. Hampir saja sebuah truk kontainer menabrak mobilnya. Ia melepas lenguh, lega. Terbayang olehnya, bila ia telat memutar setir, orang-orang akan berkerumun mengangkat mayatnya di jalan raya Negeri Singa Putih itu.

*

ORANG-ORANG BERKERUMUN di sebuah rumah mungil di Leoni Hill. Mereka mendapati keadaan yang mengenaskan. Seorang lelaki meraung kesetanan di sebuah kamar mandi; bak air yang melimpah, sebilah pisau tergeletak di lantai. Laki-laki itu memangku perempuan yang bersimbah darah. Di antara kerumunan, menyeruak seorang perempuan muda. Cantik. Memakai cardigan dan rok sebatas lutut. Ia mendekati laki-laki itu. Laki-laki itu terkesiap. Perempuan itu menepuk lembut bahunya seolah memintanya tak usah menampakkan keterkejutan. Lalu perempuan itu meminta tolong kepada orang-orang yang berkerumun untuk membawa mayat di pangkuan suaminya ke ambal yang terbentang dekat ruang tengah. Orang-orang sedikit tergeragap. Mereka tak mengenal perempuan itu. Mungkinkah ia adik si mayat, atau adik suami si mayat, atau.... Mereka gegas menuju kamar mandi. Laki-laki di sana menatap lindap mayat istrinya yang baru digotong ke atas ambal, lalu beralih menatap perempuan yang tadi menghampirinya. Perempuan itu tersenyum sepat. Ia minta maaf atas semua yang telah terjadi. Ia katakan—bagai mengakui, bahwa ialah yang menyebabkan semua ini. Entah, bagaimana, seolah lupa pada semua rencana yang telah ia susun, perempuan itu mengatakan:

Sayang, ini memang bukan saat yang tepat untuk meluapkan rindu, namun aku tahu, dalam waktu singkat kehadiranku akan membuatmu membisu. Tapi jangan khawatir, aku sudah lama tahu perihal istrimu, istrimu yang mandul, istrimu yang baru saja membunuh kekurangannya dengan menyayat nadinya. Aku pulang dulu, ya. Aku tunggu kau di Fettion Hall. Ya, aku sudah tidak tinggal di Valley Road lagi terhitung lusa. Aku tak ingin merepotkanmu dengan tagihan dari apartement-center saban tanggal 11 tiap bulan. O ya, di apartemen baruku, aku tinggal di lantai tiga. Segeralah kunjungi aku setelah urusanmu di sini beres. Mungkin kita bisa membicarakan banyak hal. Hmm, maksudmu membicarakan satu hal yang sangat penting. Tentang pernikahan kita yang masih hangat. Tentang hal yang harus disegerakan. Perceraian!

Laki-laki itu terkesiap; mata membelalak, mulut menganga. Suara orang-orang di ruang tengah masih bergeremengan. Perempuan muda itu meninggalkan rumah duka. Orang-orang di beranda masih menyimpan tanya tentang si perempuan misterius. Perempuan itu men-starter mobil. Tiba-tiba ia takut sendiri. Takut mandul. Takut diselingkuhi. Takut ditinggalkan. Takut bunuh diri. Airmatanya tumpah.

Ia menambah kecepatan bagai hendak meninggalkan Singapura.

Ia tak tahu ke mana.... ***


Lubuklinggau, 20 Februari 2011
Selasa, 08 Maret 2011 by Forum Lingkar Pena
Cerpen Hamzah Puadi Ilyas
Dimuat di Tribun Jabar, Minggu, 6 Maret 2011 | 14:25 WIB


HANYA Tuminah seorang di seluruh Lumajang, bisa jadi di seluruh Pulau Jawa atau bahkan Indonesia, yang memiliki mantra penyadap nira. Mantra itu membuat pemiliknya tidak merasa sakit bila jatuh dari pohon aren saat menyadap nira meskipun pohon itu menjulang hingga menyamai puncak Bromo. Bila jatuh, si pemilik mantra akan bangun kembali seperti orang bangun dari bersila.

Mantra itu diwariskan oleh kakek Tuminah yang bernama Mbah Ketip. Menurut Mbah Ketip, mantra penyadap nira tidak bisa diwariskan dari ayah ke anak, hanya dari kakek ke cucu. Pada mulanya Mbah Ketip tidak ingin mewariskan mantra itu kepada Tuminah karena ia perempuan. Mbah Ketip masih menunggu dan berharap suatu saat menantunya hamil lagi dan melahirkan anak laki-laki. Tapi pada suatu hari, setelah bersemadi di bekas kandang kambing sambil puasa mutih selama dua hari dua malam, Mbah Ketip merasa umurnya tidak lama lagi. Ia akhirnya mewariskan mantra itu pada Tuminah.

Mbah Ketip berpesan pada Tuminah bahwa mantra penyadap nira, seperti juga manusia, ada umurnya. Suatu saat mantra itu bisa lenyap. Tidak ada yang tahu pasti kapan terjadinya. Tapi menurut perkiraan, ketika tempat tinggal mereka, Desa Kalibendo, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, tidak lagi dikelilingi pepohonan dan persawahan. Begitulah yang diketahui Mbah Ketip dari kakeknya.

"Maka dari itu, Tuminah, cucuku, berhati-hatilah engkau setiap kali memanjat pohon aren. Bisa saja saat itu mantramu lenyap, dan dedemit penunggu pohon sedang usil, lalu menyentil tubuhmu. Engkau bisa celaka."

"Iya, Kakek," jawab Tuminah, yang waktu itu kelas empat SD.

Entah karena pengaruh mantra atau warisan sifat sang ayah, Tuminah tumbuh seperti anak laki-laki. Menjelang selesai sekolah dasar, ia sudah mulai memanjat pohon aren untuk menyadap nira. Nira itu nantinya akan dibuat gula oleh keluarganya. Memang Tuminah tidak seperti laki-laki dewasa yang bisa memanjat sepuluh sampai lima belas kali dalam sehari untuk menyadap nira, tapi keberaniannya membuat banyak orang kagum.

Awalnya ayahnya melarang. Anak perempuan tidak usah memanjat pohon aren, cukuplah membantu ibunya memasukkan gula yang telah mengental ke dalam dakon, cetakan. Tapi pada satu waktu, ketika tiba-tiba Tuminah sudah berada di puncak pohon aren dengan membawa pisau dan jeriken yang diikatkan ke pinggang, ayahnya sadar bahwa Tuminah memang bukan anak perempuan sembarangan. Ayahnya sempat berpikir mungkin Tuminah adalah penjelmaan keinginannya dulu yang mengharapkan anak laki-laki.

Tuminah, yang kemudian tidak melanjutkan pendidikan setelah tamat SD, selalu memegang teguh amanat kakeknya tentang mantra penyadap nira. Ia tidak boleh bercerita kepada siapa pun. Ia hanya boleh bercerita pada cucunya kelak ketika hendak menurunkan mantra tersebut.

"Bila kamu bercerita, dalam waktu enam jam mantra itu akan hilang."

"Kenapa bisa begitu, Kek?" tanya Tuminah.

"Karena itu menunjukkan engkau telah jadi orang takabur."

Tuminah mengangguk.

Umur sembilan belas tahun, Tuminah jatuh cinta kepada Pardi yang tiga tahun lebih tua. Keluarga Pardi lebih miskin, tetapi kulitnya putih. Jarang sekali ada orang berkulit putih di desa itu, apalagi laki-laki. Sama seperti Tuminah, Pardi juga hanya tamat sekolah dasar. Ayahnya telah tiada ketika ia baru bisa merangkak.

Pardi tinggal di rumah bambu bersama ibunya. Sehari-hari mereka membuat gula aren milik orang lain. Untuk satu kilogram gula aren yang dijual kepada pengepul seharga 6.500 rupiah, Pardi dan ibunya mendapat 1.000 rupiah. Bila sedang tidak sibuk, Pardi biasanya mencari belut di sawah pada sore hari. Hasil tangkapannya seringkali dijual sebagai tambahan biaya dapur keluarga.

Suatu saat, ketika sedang berada di pohon aren, Tuminah membayangkan dirinya bersanding dengan Pardi. Kebahagiaan datang bersama bulir-bulir angin. Kepulannya yang melegakan rasa membuat Tuminah semakin nyaman. Mata terpejam, dan biru langit seolah dalam gapaian. Ia merasa terbang, melayang di antara gumpalan awan putih berserakan bersama Pardi.

Tuminah baru sadar ketika ada teriakan. Orang-orang berdatangan. Ibunya menangis sambil memeluknya. Ayahnya segera membopongnya ke rumah. Sesaat Tuminah bingung mengapa begitu banyak orang yang mengirinya. Sesampainya di rumah ia didudukkan di bale bambu. Ayah dan ibunya meraba-raba sekujur badannya.

"Kamu tidak apa-apa, Tuminah?"

Tuminah masih terlihat bingung. Tapi beberapa detik kemudian ingatannya muncul. Ia ingat telah berada di puncak pohon aren. Segera ia menggeleng dan turun dari bale bambu. Muncul wajah Mbah Ketip di pikirannya. Ternyata mantra itu memang manjur. Sekarang orang-orang yang mengelilinginya yang tampak bingung.

Sebulan kemudian Tuminah benar-benar bersanding dengan Pardi. Kisahnya seperti ini: ketika jatuh dari pohon aren, Tuminah mengucapkan kata "Pardi" beberapa kali. Karena penasaran dan takut ada apa-apa, ayah dan ibu Tuminah lalu memutuskan untuk mendatangi Pardi dan menanyakan apakah mereka sudah saling kenal. Ibu Pardi yang menjawab dengan mengatakan bahwa sebenarnya sudah sejak lama ia ingin melamar Tuminah, tapi karena takut ditolak ia menunda keinginan tersebut. Mengetahui hal itu, ayah Tuminah akhirnya menikahkan mereka.

Tahun berganti tahun. Orang-orang tua telah berpisah dari anak, menantu, serta cucu. Sore itu hujan rintik-rintik baru saja berhenti. Dedaunan masih kedinginan. Pardi duduk dengan kaki menjulur di bale bambu. Telah sekian kali ia memborehkan minyak gosok cap tawon pada pergelangan kaki yang terkilir. Dua anak perempuannya sedang bermain boneka plastik di sudut ruangan. Tuminah, sambil menggendong anak ketiga yang berkelamin laki-laki, tampak gelisah. Sesekali ia menengadahkan wajah ke langit yang masih semburat suram.

"Sudah, menyadap niranya besok saja," kata Pardi. "Pohon aren licin, barusan hujan."

"Kalau tidak membuat gula aren hari ini, lusa kita sudah tidak punya uang untuk membeli beras dan minyak tanah."

"Nanti aku cari pinjaman."

Tuminah diam. Ia menatap wajah anaknya sambil menggerak-gerakkan gendongan agar tidurnya lebih lelap. Wajah anak itu mirip Mbah Ketip, terutama hidungnya yang sedikit mengendap ke dalam. Suara anak-anak di luar rumah terdengar. Tuminah menyingkap tirai jendela dan melongok ke luar. Langit telah cerah.

Tuminah meletakkan anaknya yang pulas di samping Pardi. Setelah pamit pada Pardi dan berpesan agar menjaga anak-anak, ia keluar sambil membawa pisau dan jeriken. Kain telah berganti celana gombrang lusuh. Dengan langkah cepat ia menuju kebun yang ditumbuhi pohon-pohon aren. Satu pohon telah tumbang tersambar petir tiga bulan lalu. Jarak kebun dari rumahnya sekitar setengah kilometer.

Begitu memasuki kebun terlihat pohon aren tertinggi. Dari pohon itu juga ia dulu pernah jatuh. Entah sudah berapa ratus kali pohon itu dipanjat. Menyentuh batangnya saja telah membuatnya bangga. Hanya ia wanita di Desa Kalibendo yang pandai memanjat pohon aren untuk menyadap nira. Selesai merapalkan mantra, ia segera memanjat. Dalam sekejap, tubuh kurusnya telah mencapai puncak pohon.

Dari atas Tuminah bisa melihat rumah-rumah berbaris rapi. Rumah-rumah orang kaya, pikirnya. Dulu di tempat itu terbentang persawahan milik penduduk asli. Kini setengahnya telah menghilang. Sebagai gantinya, hampir di semua rumah warga Kalibendo terdapat televisi, bahkan sepeda motor.

Setelah merasa cukup, Tuminah turun. Hujan ternyata menyisakan jentik-jentik air di beberapa legokan batang aren, membuatnya sedikit licin. Pada pijakan ketiga, kaki Tuminah menyentuh permukaan yang licin itu. Di saat yang bersamaan, tangannya berpegangan pada sisa pelepah tua yang rapuh. Pelepah yang telah dipangkas ujungnya itu tercerabut, dan tubuh Tuminah langsung meluncur.

Ada bunyi gedebuk, lalu hening. Tuminah tidak tahu berapa lama. Yang ia tahu ia berada di tanah dalam posisi bersila, kemudian bangkit. Mantra dari Mbah Ketip memang luar biasa. Dilihatnya jeriken masih utuh berisi nira. Tidak lagi di pinggang, melainkan di atas tanah. Seperti ada yang meletakkannya. Pisau masih terselip di sabuk yang mengikat erat pinggangnya.

Tuminah menuju rumah. Langit temaram. Makin dekat ke rumah, langkahnya terasa semakin ringan. Begitu juga jeriken yang ditentengnya. Seperti membawa kapas. Tiba-tiba ia teringat ketiga anaknya. Ada perasaan kangen dan bersalah. Ingin rasanya ia memeluk si bontot. Langkahnya semakin dipercepat.

Dari kejauhan terlihat rumahnya sangat ramai. Semua tetangga ada di sana. Pasti ada apa-apa dengan si bungsu. Ia berlari, merasakan kakinya seolah tidak menyentuh tanah. Sesampainya di depan rumah, ia berteriak menanyakan apa yang terjadi. Namun tak satu pun orang yang menoleh, apalagi menyahut.

Tuminah menyelinap di antara kerumunan orang. Dia tidak lagi peduli, semua yang menghalanginya ditabrak, tapi tetap tak ada yang bergerak. Sampai akhirnya ia berada di pusat lingkaran. Benar saja, ada jasad terbaring tertutup kain. Beberapa orang mengelilingi jasad itu sambil membaca kitab suci. Pardi terlihat sedih di pojok ruangan, sesekali menyeka air mata.

Dengan cepat Tuminah menyingkap kain penutup mayat. Ia ingin melihat wajah anak kesayangannya. Ternyata, ia melihat wajahnya sendiri, putih dan pucat. Ada kapas yang menutup kedua lubang hidung. Satu per satu tulang belulang di tubuhnya remuk. Ia semakin ringan, lalu perlahan membubung menembus atap.