Lelaki yang Menyebalkan
Kamis, 31 Maret 2011 by: Alizar tanjungCerpen Alizar Tanjung
Dimuat di Singgalang, Minggu, 27 Maret 2011
Kau duduk dikursi di sampingku. Menghadap ke jalan utama. Memesan sepiring nasi dengan gulai lele, cabe merah, sayur pucuk ubi, gulai cubadak. Seorang pelayan laki-laki menyodorkan dua teh goyang. Di seberang jalan, seorang penjual buah asyik melayani pembeli. Di sampingnya penjuak VCD tanpa pembeli. Pemilik toko VCD tampak bermenung menunggu calon pembeli. Di sampingnya penjual goreng, lumayan ramai pembeli.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan, pelayan itu tepat berdiri di depanku.
“Hanya satu, Bang, nasinya!” Kau cepat-cepat meyakinkan pelayan itu. Mungkin pelayan itu lupa, aku tidak memesan nasi. Pelayan itu mangguk.
“Biar saja,” kataku menyela katamu. Pelayan itu meninggalkan kedua teh goyang. Ia kembali ke dapur. Piring berdentang. Tak lama pesanan nasimu datang. Kepala lele yang lebih besar dari badannya itu mengeliat dalam piring. Kau pindahkan ke nasimu. Kau taburkan kuah cubadak. Kau lahap dengan sangat tajam. Matamu liar. Tanganmu liar. Lidahmu liar.
“Tidak enak kata kau.” Aku tidak yakin itu tidak enak. Mana mungkin barang yang tidak enak kau lahap dengan khitmat. Tampak jakunmu naik turun. Suapmu lebar. Jemarimu bertabur nasi.
“Kau benar tidak makan?” Rupanya kau pandai juga berbasa-basi. Walau basa-basimu separuh suap nasimu.
“Tidak usah. Aku sudah makan sehabis Magrib tadi.” Ya, aku memang sudah makan sehabis magrib tadi. Aku lahap telur dadar campur sayur laladih, cabe merah, dua potong kecil kentang gulai. Lalu aku memanggilmu. Uangku habis. Aku harus bayar uang kost jatuh tempo. Tanggal 15 setiap bulan jadwal rutin pajak kostku. Aku pinjam uang kau 200 ribu.
“Minum susu atau apa?”
“Tidak usah. Cukup teh goyang ini saja.”
Aku lebih suka melihat kau tidak bicara. Entah kenapa. Perkataan kau hanya membuat aku bosan mendengarkan. Teruskan sajalah makannya. Aku lebih suka melihat kau memasukkan daging lele itu ke mulut kau. Kau kunyah. Kau telan. Kau campur dengan reguk air. Aku juga akan senang kalau tidak mengucapkan apa-apa. Aku lagi malas bicara.
“Benar-benar tidak enak.” Kau memang tidak pandai bersyukur. Sudah separuh habis kau bilang tidak enak. Kau tuangkan lagi tambuhnya. Tampaklah olehku mulutmu itu berisi ruas kanan dan kiri.
Pelayan itu kembali kau panggil.
“Aku ingin satu tambahan bumbu kuah gulai toco. Sedikit tambahan kerupuk, dengan serbuk ayam goreng. Tambah sayur ubinya. Lebihkan cabe merahnya,” pintamu. Pelayan itu tampak pening mencatat pesananmu. Mungkin ia jengkel, hanya tak ia perlihatkan kepadamu. Tamu adalah raja, begitulah biasa para pelayan melayani tamu. Sekarang kamu, aku, adalah rajanya.
“Mungkin tidak enak karena lelenya di gulai,” kata kau. Aku sungguh tidak habis pikir. Apakah kategori enak atau tidak bagi kau. Apakah enak bagi kau itu hanya sampai di lidah. Bukan, tampaknya tidak enak bagi kau hanya semacam ucapan suara kosong.
“Mungkin karena lidah kau belum terbiasa saja.” Aku mencoba mencairkan suasana. Sebenarnya aku tidak ingin bicara apa-apa. Aku lebih suka melihat tayangan sepakbola dunia yang sekarang di laksanakan di Stadion Port Elizabeth, Cape Town, Afrika. Argentina melawan Korea Selatan. Aku lebih suka melihat bola itu berlari. Pas mendekati gawang, orang-orang berteriak. Aku ikut berteriak. Bola dipegang kesebelasan Argentina. Gol baru mencetak 2;1
“Lebih enak makan di ampera dekat kampus,” katamu.
Aku asyik berteriak. Hampir saja gawang Argentina kebobolan. Aku kembali duduk. Sejenak kulihat kau. Kau sedang upil daging lele dalam piring itu. Lele itu menyembul tulang-tulangnya. Kau masukkan daging dalam nasimu. Kau aduk jadi rata. Nasi itu kau suap ke mulut kau. Tampak kau benar-benar menikmatinya.
“Gulainya terasa basi,” kata kau. Aku sungguh malu melihat tingkah kau. Untung saja para pelayan itu sibuk dengan bola. Ia tidak mendengar ucapan kau.
Satu pelayan, kasir, dekat pintu kewalahan menonton bola. TV itu berada pada sisi miring darinya. Ia sedikit memiringkan kepalanya ke kanan. Kini ia bertelekan dagu dengan tangan kananya. Tiga pelayan di dapur, sibuk melap piring, gelas, sendok, kebasuh. Bunyi piring, gelas, sendok, kebasuh, beradu membentuk paduan irama tak karuan.
Satu pelayan mengambilkan nasi untuk pembeli. Tiga orang tamu duduk di bundaran meja sebelah kanan kita. Tampaknya mereka baru saja datang. Tadi pas ketika aku dan kau masuk, meja itu masih kosong. Mata ketiga orang itu tajam. Matanya mata elang. Selebihnya meja-meja kosong. Tampaknya memang malam ini pembeli lagi sepi. Tidak seperti hari-hari kemarin aku ke sini.
“Golll!” Sial. Argentina melakukan ofset di kawasan Korea Selatan. Gol itu gagal. Aku sungguh lebih tertarik kalau seandainya Argentina sedikit hati-hati dengan garis batas gawang. Pasti golnya dihitung.
“Benar? Gulainya terasa basi!” Kau sungguh benar-benar sial. Kau dekatkan gulai itu ke hidung kau. Kau tarik bulu hidung kau pelan-pelan. Lentiknya naik turun. Kening kau mengernyit.
“Tidak basi,” kata kau meyakinkan balik. Kau meyakinkan kepada diri sendiri. Kadang kau lugu kalau sedang berada di rumah makan. Tapi kadang keluguan itu berlebihan, membuat aku jengkel.
“Kenapa tidak enak?!”
Lama-lama aku jiji sendiri mendengar perkataan kau.
“Sudahlah, mungkin itu hanya perasaan kau saja. Aku kemarin makan di sini, enak kok. Aku pesan lele goreng.”
Aku muak mendengar keluhan kau. Tidak tahu kau enak hidup adalah masakan. Dicampur asam jawa, jeruk nipis, lengkuas, kunyit, jahe, cabe, garam, merica. Tak tahukah kau enaknya menyatu dalam satu rasa. Ingin aku katakan kepada kau. Enak itu bagi kau apa? Aku jawab sendiri. Enak itu kau leburkan lidah kau ke dalam sana. Kau rasakan garamnya. Kau rasakan pedasnya. Kau rasakan asinnya. Kau rasakan kunyitnya. Kau rasakan campurannya.
“Ya, mungkin karena lidahku tidak cocok dengan makan di sini,” kata kau. Bah, pandai juga kau rupanya mengarang kata-kata. Kukira aku saja yang pandai mengarang kata-kata.
“Ya, mungkin. Lain kali kau harus pesan lele goreng.” Itu caraku memberikan senyuman hangat untukmu. Lebih baik pura-pura. Nanti kau bilang pula aku tidak menghargai kau. Aku juga takut kau kucilkan dari pertemanan. Bukan kehilangan satu teman lebih pahit dari mengalahkan seribu musuh.
Kini bola itu berada di pihak Korea Selatan. Bola dioper ke striker, kembali ke sayap kanan.
Seorang pelayan di kasir mengambilkan pesanan ikan lele gulai seorang pembeli yang baru datang. Pembeli itu seorang perempuan tua. Perempuan itu mengambil satu plastik kosong. Ia masukkan lele pesanan ke dalamnya. Ia tinggalkan uang lima ribu rupiah di kasir. Ia menghilang di balik dinding rumah makan.
Kau masih sibuk mengupil daging lele. “Golll!” kau berteriak. Hampir saja nasi kau menyembur di meja.
Gaya hidup kau memang sering membuat aku cemburu. Enak bagi kau mungkin makan di rumah makan. Hingga saat agenda makan aku selalu kau ajak ke rumah makan. Kini pun kau mengajak ke rumah makan.
Kau sedup teh goyang. Habis sudah nasi kau, satu porsi satu tambuh. Kau bersilena di kursi plastik.
“Tak suka aku makan di sini. Tidak enak sekali. Apanya yang kau bilang enak!” Ah bedabah kau. Aku pula yang kau salahkan. Kau tahu bagaimana orang-orang yang aku bawa ke sini menikmatinya enaknya. Enak mereka enak pelayanannya. Enak mereka enak menyadari mereka semacam masakan.
Aku berpikir aku seorang pemasak. Kau seorang pemesan. Aku berpikir hidupku dapur, resep, kuali, periuk, kompor. Aku memakai toga masak. Aku selempangkan kain penutup badan. Aku mulai mengiris. Bagiku enak itu adalah mengiris bawang, tomat, cabe. Aku bayangkan aku memasukkan rempah-rempah. Bagiku enak itu adalah kisut rempah-rempah yang diambil entah kapan. Rempah itu bercampur daun duku, pala, selada, sarai. Aku pikirkan aku menghidupkan api. Bagiku enak itu menghidupkan api dalam tungku. Ah, terlalu jauh menjawab enaknya bagi kau sebuah hidangan masak.
Di luar hujan rinai turun. Lampu tampak temaram di bawah gardu. Deretan rumah sepanjang jalan Anduring kerlap-kerlip. Seorang tua melintas dengan becak beratap semacam gerobak lesehan yang ada di Jogja. Bedanya sekarang ini kita di Padang.
Lelaki tua itu menghadap sejenak ke dalam rumah makan. Kulihat kening kau berkerut. Lelaki tua itu bertopi jerami, baju putih, celana putih. Lelaki tua itu dibalut kumis dan jenggot putih. Mungkin umurnya sudah di atas enam pulah. Lelaki tua itu mendorong becak rumahannya. Aku lihat begitu banyak karung-karung dalam becak. Atap becak yang berbentuk rumahan itu diisi karung botol plastik. Itu tampak dari rajukannya. Bagian badan becak juga penuh dengan karung barang-barang bekas. Bagian sadel juga diisi dengan satu karung entah berisi papa.
Lelaki itu berinsut ke tengah rinai. Aku tersentak.
Di Seberang jalan penjual VCD masih lengang. Satu dua orang tampak membeli goreng. Satu mobil bewarna hitam berhenti membeli buah. Kemudian ia kembali tancap gas.
“Bukankah itu bapak Kau?”
Kau tuang air cuci tangan ke dalam piring nasi kau. Kau patik sebatang rokok. Kini rokok itu terapit di antara jemari telunjuk dan jemari tengah kau. Kau tidak hirau fatwa haram merokok oleh MUI di tempat keramaian. Kau tawarkan aku.
“Simpan saja,” kataku.
“Yang tadi..,” Kau putus kalimatku. tidak sopan.
“Bapakku.”
“Kenapa tidak kau tolong bapak Kau?”
“Aku lebih suka nonton bola. Golll!” Kau berteriak. Kini permainan itu menjadi 3;1.
Pelayan-pelayan bagian dapur mulai menaikkan bangku ke atas meja. Piring-piring bergerincingan dilap. Seorang pelayan di bagian jamuan masakan terhidang, Ia mengambil sehelai plastik hitam. Ia masukkan kumpulan ikan goreng ke dalam plastik. Pelayan penjaga kasir menutup kaca yang di depannya.
Di luar bapak kau tidak ada lagi. Kulihat ia menyeret becaknya lurus arah Anduring menuju by pass. Kulihat kau. Bola mata kau tajam menatap bola di lapangan. Seorang pelayan datang membersihkan meja. Ia tinggalkan kertas bertuliskan Rp 9.000,-
“Di sini makannya memang tidak enak,” kataku. Kau tercenung. Aku ingin katakan enak itu adalah masakan. Kau mencampur asam jawa, jeruk nipis, lengkuas, kunyit, jahe, cabe, garam, merica. Kau histeris keluar pintu. Kau berlari ke Anduring menuju jalan by pass. ***
Padang, Juni 2010
“Hanya satu, Bang, nasinya!” Kau cepat-cepat meyakinkan pelayan itu. Mungkin pelayan itu lupa, aku tidak memesan nasi. Pelayan itu mangguk.
“Biar saja,” kataku menyela katamu. Pelayan itu meninggalkan kedua teh goyang. Ia kembali ke dapur. Piring berdentang. Tak lama pesanan nasimu datang. Kepala lele yang lebih besar dari badannya itu mengeliat dalam piring. Kau pindahkan ke nasimu. Kau taburkan kuah cubadak. Kau lahap dengan sangat tajam. Matamu liar. Tanganmu liar. Lidahmu liar.
“Tidak enak kata kau.” Aku tidak yakin itu tidak enak. Mana mungkin barang yang tidak enak kau lahap dengan khitmat. Tampak jakunmu naik turun. Suapmu lebar. Jemarimu bertabur nasi.
“Kau benar tidak makan?” Rupanya kau pandai juga berbasa-basi. Walau basa-basimu separuh suap nasimu.
“Tidak usah. Aku sudah makan sehabis Magrib tadi.” Ya, aku memang sudah makan sehabis magrib tadi. Aku lahap telur dadar campur sayur laladih, cabe merah, dua potong kecil kentang gulai. Lalu aku memanggilmu. Uangku habis. Aku harus bayar uang kost jatuh tempo. Tanggal 15 setiap bulan jadwal rutin pajak kostku. Aku pinjam uang kau 200 ribu.
“Minum susu atau apa?”
“Tidak usah. Cukup teh goyang ini saja.”
Aku lebih suka melihat kau tidak bicara. Entah kenapa. Perkataan kau hanya membuat aku bosan mendengarkan. Teruskan sajalah makannya. Aku lebih suka melihat kau memasukkan daging lele itu ke mulut kau. Kau kunyah. Kau telan. Kau campur dengan reguk air. Aku juga akan senang kalau tidak mengucapkan apa-apa. Aku lagi malas bicara.
“Benar-benar tidak enak.” Kau memang tidak pandai bersyukur. Sudah separuh habis kau bilang tidak enak. Kau tuangkan lagi tambuhnya. Tampaklah olehku mulutmu itu berisi ruas kanan dan kiri.
Pelayan itu kembali kau panggil.
“Aku ingin satu tambahan bumbu kuah gulai toco. Sedikit tambahan kerupuk, dengan serbuk ayam goreng. Tambah sayur ubinya. Lebihkan cabe merahnya,” pintamu. Pelayan itu tampak pening mencatat pesananmu. Mungkin ia jengkel, hanya tak ia perlihatkan kepadamu. Tamu adalah raja, begitulah biasa para pelayan melayani tamu. Sekarang kamu, aku, adalah rajanya.
“Mungkin tidak enak karena lelenya di gulai,” kata kau. Aku sungguh tidak habis pikir. Apakah kategori enak atau tidak bagi kau. Apakah enak bagi kau itu hanya sampai di lidah. Bukan, tampaknya tidak enak bagi kau hanya semacam ucapan suara kosong.
“Mungkin karena lidah kau belum terbiasa saja.” Aku mencoba mencairkan suasana. Sebenarnya aku tidak ingin bicara apa-apa. Aku lebih suka melihat tayangan sepakbola dunia yang sekarang di laksanakan di Stadion Port Elizabeth, Cape Town, Afrika. Argentina melawan Korea Selatan. Aku lebih suka melihat bola itu berlari. Pas mendekati gawang, orang-orang berteriak. Aku ikut berteriak. Bola dipegang kesebelasan Argentina. Gol baru mencetak 2;1
“Lebih enak makan di ampera dekat kampus,” katamu.
Aku asyik berteriak. Hampir saja gawang Argentina kebobolan. Aku kembali duduk. Sejenak kulihat kau. Kau sedang upil daging lele dalam piring itu. Lele itu menyembul tulang-tulangnya. Kau masukkan daging dalam nasimu. Kau aduk jadi rata. Nasi itu kau suap ke mulut kau. Tampak kau benar-benar menikmatinya.
“Gulainya terasa basi,” kata kau. Aku sungguh malu melihat tingkah kau. Untung saja para pelayan itu sibuk dengan bola. Ia tidak mendengar ucapan kau.
Satu pelayan, kasir, dekat pintu kewalahan menonton bola. TV itu berada pada sisi miring darinya. Ia sedikit memiringkan kepalanya ke kanan. Kini ia bertelekan dagu dengan tangan kananya. Tiga pelayan di dapur, sibuk melap piring, gelas, sendok, kebasuh. Bunyi piring, gelas, sendok, kebasuh, beradu membentuk paduan irama tak karuan.
Satu pelayan mengambilkan nasi untuk pembeli. Tiga orang tamu duduk di bundaran meja sebelah kanan kita. Tampaknya mereka baru saja datang. Tadi pas ketika aku dan kau masuk, meja itu masih kosong. Mata ketiga orang itu tajam. Matanya mata elang. Selebihnya meja-meja kosong. Tampaknya memang malam ini pembeli lagi sepi. Tidak seperti hari-hari kemarin aku ke sini.
“Golll!” Sial. Argentina melakukan ofset di kawasan Korea Selatan. Gol itu gagal. Aku sungguh lebih tertarik kalau seandainya Argentina sedikit hati-hati dengan garis batas gawang. Pasti golnya dihitung.
“Benar? Gulainya terasa basi!” Kau sungguh benar-benar sial. Kau dekatkan gulai itu ke hidung kau. Kau tarik bulu hidung kau pelan-pelan. Lentiknya naik turun. Kening kau mengernyit.
“Tidak basi,” kata kau meyakinkan balik. Kau meyakinkan kepada diri sendiri. Kadang kau lugu kalau sedang berada di rumah makan. Tapi kadang keluguan itu berlebihan, membuat aku jengkel.
“Kenapa tidak enak?!”
Lama-lama aku jiji sendiri mendengar perkataan kau.
“Sudahlah, mungkin itu hanya perasaan kau saja. Aku kemarin makan di sini, enak kok. Aku pesan lele goreng.”
Aku muak mendengar keluhan kau. Tidak tahu kau enak hidup adalah masakan. Dicampur asam jawa, jeruk nipis, lengkuas, kunyit, jahe, cabe, garam, merica. Tak tahukah kau enaknya menyatu dalam satu rasa. Ingin aku katakan kepada kau. Enak itu bagi kau apa? Aku jawab sendiri. Enak itu kau leburkan lidah kau ke dalam sana. Kau rasakan garamnya. Kau rasakan pedasnya. Kau rasakan asinnya. Kau rasakan kunyitnya. Kau rasakan campurannya.
“Ya, mungkin karena lidahku tidak cocok dengan makan di sini,” kata kau. Bah, pandai juga kau rupanya mengarang kata-kata. Kukira aku saja yang pandai mengarang kata-kata.
“Ya, mungkin. Lain kali kau harus pesan lele goreng.” Itu caraku memberikan senyuman hangat untukmu. Lebih baik pura-pura. Nanti kau bilang pula aku tidak menghargai kau. Aku juga takut kau kucilkan dari pertemanan. Bukan kehilangan satu teman lebih pahit dari mengalahkan seribu musuh.
Kini bola itu berada di pihak Korea Selatan. Bola dioper ke striker, kembali ke sayap kanan.
Seorang pelayan di kasir mengambilkan pesanan ikan lele gulai seorang pembeli yang baru datang. Pembeli itu seorang perempuan tua. Perempuan itu mengambil satu plastik kosong. Ia masukkan lele pesanan ke dalamnya. Ia tinggalkan uang lima ribu rupiah di kasir. Ia menghilang di balik dinding rumah makan.
Kau masih sibuk mengupil daging lele. “Golll!” kau berteriak. Hampir saja nasi kau menyembur di meja.
Gaya hidup kau memang sering membuat aku cemburu. Enak bagi kau mungkin makan di rumah makan. Hingga saat agenda makan aku selalu kau ajak ke rumah makan. Kini pun kau mengajak ke rumah makan.
Kau sedup teh goyang. Habis sudah nasi kau, satu porsi satu tambuh. Kau bersilena di kursi plastik.
“Tak suka aku makan di sini. Tidak enak sekali. Apanya yang kau bilang enak!” Ah bedabah kau. Aku pula yang kau salahkan. Kau tahu bagaimana orang-orang yang aku bawa ke sini menikmatinya enaknya. Enak mereka enak pelayanannya. Enak mereka enak menyadari mereka semacam masakan.
Aku berpikir aku seorang pemasak. Kau seorang pemesan. Aku berpikir hidupku dapur, resep, kuali, periuk, kompor. Aku memakai toga masak. Aku selempangkan kain penutup badan. Aku mulai mengiris. Bagiku enak itu adalah mengiris bawang, tomat, cabe. Aku bayangkan aku memasukkan rempah-rempah. Bagiku enak itu adalah kisut rempah-rempah yang diambil entah kapan. Rempah itu bercampur daun duku, pala, selada, sarai. Aku pikirkan aku menghidupkan api. Bagiku enak itu menghidupkan api dalam tungku. Ah, terlalu jauh menjawab enaknya bagi kau sebuah hidangan masak.
Di luar hujan rinai turun. Lampu tampak temaram di bawah gardu. Deretan rumah sepanjang jalan Anduring kerlap-kerlip. Seorang tua melintas dengan becak beratap semacam gerobak lesehan yang ada di Jogja. Bedanya sekarang ini kita di Padang.
Lelaki tua itu menghadap sejenak ke dalam rumah makan. Kulihat kening kau berkerut. Lelaki tua itu bertopi jerami, baju putih, celana putih. Lelaki tua itu dibalut kumis dan jenggot putih. Mungkin umurnya sudah di atas enam pulah. Lelaki tua itu mendorong becak rumahannya. Aku lihat begitu banyak karung-karung dalam becak. Atap becak yang berbentuk rumahan itu diisi karung botol plastik. Itu tampak dari rajukannya. Bagian badan becak juga penuh dengan karung barang-barang bekas. Bagian sadel juga diisi dengan satu karung entah berisi papa.
Lelaki itu berinsut ke tengah rinai. Aku tersentak.
Di Seberang jalan penjual VCD masih lengang. Satu dua orang tampak membeli goreng. Satu mobil bewarna hitam berhenti membeli buah. Kemudian ia kembali tancap gas.
“Bukankah itu bapak Kau?”
Kau tuang air cuci tangan ke dalam piring nasi kau. Kau patik sebatang rokok. Kini rokok itu terapit di antara jemari telunjuk dan jemari tengah kau. Kau tidak hirau fatwa haram merokok oleh MUI di tempat keramaian. Kau tawarkan aku.
“Simpan saja,” kataku.
“Yang tadi..,” Kau putus kalimatku. tidak sopan.
“Bapakku.”
“Kenapa tidak kau tolong bapak Kau?”
“Aku lebih suka nonton bola. Golll!” Kau berteriak. Kini permainan itu menjadi 3;1.
Pelayan-pelayan bagian dapur mulai menaikkan bangku ke atas meja. Piring-piring bergerincingan dilap. Seorang pelayan di bagian jamuan masakan terhidang, Ia mengambil sehelai plastik hitam. Ia masukkan kumpulan ikan goreng ke dalam plastik. Pelayan penjaga kasir menutup kaca yang di depannya.
Di luar bapak kau tidak ada lagi. Kulihat ia menyeret becaknya lurus arah Anduring menuju by pass. Kulihat kau. Bola mata kau tajam menatap bola di lapangan. Seorang pelayan datang membersihkan meja. Ia tinggalkan kertas bertuliskan Rp 9.000,-
“Di sini makannya memang tidak enak,” kataku. Kau tercenung. Aku ingin katakan enak itu adalah masakan. Kau mencampur asam jawa, jeruk nipis, lengkuas, kunyit, jahe, cabe, garam, merica. Kau histeris keluar pintu. Kau berlari ke Anduring menuju jalan by pass. ***
Padang, Juni 2010