Kisah Dua Ibu

Senin, 04 April 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Hamzah Puadi Ilyas
Dimuat di Suara Muhammadiyah No.07/Th.Ke-96 1-15 April 2011

Wajah ibu kuning perak, serupa cahaya bulan yang akhir-akhir ini sering dipandanginya di kala malam dari balik jendela bertirai ungu setengah terbuka. Ia berselonjor dengan punggung menyentuh sandaran dipan. Jemari kedua tangan saling mengapit erat, bertengger di atas perut. Jemari itu bagai menggenggam sesuatu yang belum siap ia perlihatkan pada orang lain.

Telah bertahun-tahun ibu seperti itu. Sesekali aku mengintip dari pintu kamar yang sedikit menganga. Selama beberapa menit aku bisa memandang ibu yang terlihat semakin kurus. Pipinya berceruk dan kecerahan telah pudar dari bibir serta keningnya. Dulu bibir dan kening itu seperti berkilau. Banyak tetangga yang mengatakan bahwa cahaya itu berasal dari susuk yang ditanam seorang paranormal tersohor. Tapi aku tak percaya. Karena memang aku tidak pernah percaya apa pun yang orang katakan tentang ibu, kecuali keluar dari mulutnya sendiri.

“Bimo, anakku.”

Aku tersentak. Ibu tahu aku sedang memperhatikannya.

“Kemarilah. Ibu tahu engkau sering berada di sana.”

Aku mendorong daun pintu perlahan, melangkah masuk dengan dipenuhi rasa ragu. Ibu melambaikan tangan. Setelah tak lagi ada jarak ia meraih tanganku, lalu mengusap kepalaku. Gerakannya lemah namun aku merasakan rasa sayang yang sungguh dalam. Tubuhku terjamah cahaya bulan. Ternyata rasanya hangat.

“Baringkan kepalamu di pangkuan ibu.” Suara ibu sangat pelan. “Akan ibu ceritakan sebuah kisah.”

Aku menuruti perintah ibu. Setelah lebih dari dua puluh tahun, baru kali ini aku kembali membaringkan kepala di pangkuannya. Tangan ibu sehangat sinar bulan, tapi tak lama kemudian aku merasakan dua tetes air jatuh di sela-sela rambut.

“Ibu.” Aku memeluknya tanpa mengangkat kepala.

“Bimo, dengarlah.” Suara ibu gemetar.

Ibu lalu bercerita:
Berpuluh-puluh tahun lalu, ada dua kakak beradik. Ning dan Neng. Mereka dianugerahi wajah yang cantik. Ning lebih penyabar dan lembut. Itulah mengapa orang tua mereka terlihat lebih sayang padanya.

Ketika remaja, ada anak orang kaya bernama Agil yang jatuh cinta pada Ning. Orangtua mereka telah saling setuju. Diam-diam Neng juga mencintai Agil. Tanpa sepengetahuan Ning, Neng berusaha mendekati Agil. Agar memiliki pesona di mata Agil, Neng malah pergi ke dukun untuk memasang susuk. Dukun itu juga memantrai Agil agar di setiap malam ia memimpikan Neng.

Entah karena pengaruh susuk atau mantra dukun, Agil semakin dekat dengan Neng. Kedekatan mereka akhirnya memberi ruang pada setan-setan untuk membisikkan rayuan surga seharum bunga. Beberapa bulan kemudian perut Neng menggelembung. Itu merupakan aib. Agil dan Neng diusir oleh keluarga. Mereka pergi ke kota yang jauh. Tapi diam-diam ibu Agil yang merasa kasihan terus mengirim uang hingga Agil bisa menopang kehidupannya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, Neng mulai menyadari kesalahan masa lalu. Ia juga didera kerinduan yang teramat dalam kepada keluarga. Ingin rasanya ia bertemu mereka – ayah, ibu, dan Ning – untuk mohon maaf. Sayang, sampai saat ini keberanian itu belum ada. Namun pikirannya terus-menerus dihujani rasa bersalah, hingga akhirnya penyakit melumpuhkan tubuhnya dan ia hanya bisa berbaring sambil memandang alam raya dari balik jendela ketika senja mulai berkuasa. Semoga akan datang cahaya yang bisa memberinya ampunan dan mampu mencabut susuk-susuk dari wajahnya.

“Neng adalah ibu, Bimo. Dan Agil adalah almarhum ayahmu.”

Kuduk berdiri. Detak jantung meninju dada. Aku semakin merasakan tetesan air di kepala, membuatku semakin erat memeluk ibu. Sinar bulan seperti berubah abu-abu. Tubuhku tak lagi hangat, tapi berkeringat karena keterkejutan yang tiba-tiba. Ternyata aku anak haram. Tapi tak sedikit pun kebencian pada ibu muncul. Malah aku semakin iba padanya. Aku baru tahu nama asli ibu.

“Ibu yakin, kakek dan nenekmu sudah meninggal.” Suara ibu tersendat-sendat.

Itulah jawaban yang aku tunggu-tunggu selama ini. Ketika kecil, aku sering bertanya pada ibu mengapa aku tidak punya kakek dan nenek, tidak seperti anak-anak lainnya di sekolah. Aku sering iri jika mendengar mereka pulang berlibur dari rumah kakek nenek, lalu bercerita di depan kelas atau membuat karangan. Ketika itu, ibu selalu berkata bahwa kakek dan nenekku tinggalnya sangat jauh, di ujung negeri ini. Katanya tidak ada biaya untuk pergi ke sana. Memasuki Sekolah Menengah Pertama aku berhenti menanyakan perihal kakek dan nenek. Aku mulai mengerti bahwa ada rahasia yang disimpan ibu. Suatu saat aku akan mengetahuinya juga.

“Semalam ibu bermimpi bertemu Ning, tantemu.” Kata ibu. “Ia masih tetap cantik seperti dulu. Ia bilang pada ibu sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini. Ibu ingin engkau menemuinya. Bila telah tiada, tolong bacakan permohonan maaf ibu di makamnya, juga di makam kakek dan nenekmu.”

“Ibu...” Tenggorokanku tersendat. Aku bisa mengerti apa maksudnya. Kata-kata tak kuasa terucap.

“Sebelum ibu menyusul mereka.”

“Ibu tidak akan pergi sebelum melihat anakmu jadi orang sukses.”

“Ibu sudah lelah menerima kutukan atas dosa masa lalu, Bimo.”

“Jangan ibu.”

Tanganku seakan melekat erat di tubuh ibu. Dan baru kali ini aku menangis di pangkuannya.

***

Seribu satu perasaan muncul bergantian, mengalihkan kesadaranku hingga kondektur bis menutup pintu. Aku sedang menuju rumah kakek dan nenek, juga tante Ning. Sesekali aku buka buku kecil berisi catatan alamat mereka dan kata-kata permohonan maaf yang ditulis ibu. Aku sempat membatin mudah-mudahan mereka masih hidup dan mau memafkan ibu, juga menerima diriku sebagai bagian dari keluarga besar mereka.

Memasuki jalan tol bis melaju cepat. Pepohonan di sisi jalan seolah bergerak. Semakin lama semakin cepat hingga berubah menjadi garis-garis dengan warna warni bergantian. Ibu seperti muncul di setiap perubahan warna. Aku bisa merasakan bahwa ia sedang dipijat atau dikerok oleh Mbok Karmi, pembantu kami. Nanti malam, pasti ibu akan berselonjor di dipannya sambil memandang bulan dari balik jendela. Sekujur tubuhnya akan berwarna perak.

Tiba-tiba aku juga seperti melihat warna perak keemasan berbentuk garis-garis bermunculan dari balik jendela bis. Lambat laun mataku lelah dan kemudian tertutup. Ketika bangun aku melihat keremangan dari balik jendela. Pasti sudah Magrib. Aku segera salat. Salatku dipenuhi harapan semoga permohonan maaf ibu diterima keluarganya. Begitu menoleh ke kanan aku melihat seorang wanita. Menurut perkiraanku umurnya sekitar lima puluh lima tahun. Ia tersenyum sangat ramah.

Melihat aku selesai salat, wanita itu menyodorkan getuk. Katanya itu adalah makanan kesukaan ia dan adik perempuannya. Sekilas aku melihat wajahnya. Masih ada sisa-sisa kecantikan masa lalu. Bulu matanya lentik, mirip bulu mata ibu.

“Mau kemana, Nak?” Ucapannya lembut sekali. Aku menyebutkan nama daerah, tepatnya sebuah desa. Kulihat ia mengangukkan kepala. Melihat keramahannya tanpa sadar aku lalu menceritakan tujuan perjalanku, juga tentang ibu yang sedang sakit keras.

“Kisah itu persis seperti yang dialami saudara ibu.” Katanya.

Aku diam sambil terus mengunyah getuk. Aneh, aku tertarik untuk terus memandangi wajahnya.

Wanita itu lalu berkisah:
Dulu di sebuah desa ada dua perempuan kakak beradik. Mereka sama-sama cantik, dan sebenarnya sama-sama disayang oleh kedua orang tua mereka. Sang kakak kemudian dilamar oleh suatu keluarga dan akan dinikahkan dengan anak laki-laki mereka satu-satunya. Tapi di kemudian hari anak laki-laki itu malah jatuh cinta dengan sang adik hingga terjadi sesuatu yang selama ini dianggap aib di desa itu. Kedua orang tua kakak beradik itu sangat kecewa dan selama dua hari tidak berbicara dengan sang adik. Hingga pada suatu hari lelaki dan sang adik pergi entah kemana.

Dengan berlalunya waktu, kedua orang tua dan sang kakak telah memaafkan sang adik. Mereka terus mencari keberadaannya namun tidak pernah ketemu hingga malaikat maut membawa ruh kedua orang tua itu.

“Percayalah,” kata wanita itu, “saudara ibumu pasti juga sudah memberi maaf. Memaafkan kesalahan seseorang laksana melepaskan penderitaan, Nak.”

Seketika bebanku seakan tercerabut. Aku menarik nafas. Tapi tiba-tiba ada perasaan ingin tahu mengapa ada kisah yang begitu mirip dengan kehidupan ibu. Aku kembali menoleh pada wanita itu hendak menanyakan dimana kejadiannya. Jangan-jangan orang-orang yang ada dalam kisahnya adalah keluargaku. Tapi niat itu kubatalkan ketika kulihat wanita itu tertidur. Alunan nafasnya sangat teratur dan terdengar sangat nyaman. Aku tak ingin mengganggunya. Aku juga kembali pulas.

Keesokan hari, di pagi yang hampir buta, bis berhenti di sebuah terminal. Aku membereskan barang-barang sambil sekilas kulihat wanita itu telah turun. Aku lalu buru-buru mengejarnya. Begitu menginjak tanah aku tak lagi melihatnya meskipun kupandangi seluruh sudut terminal seperti orang bingung. Aku keluar terminal dan menaiki angkutan kecil setelah bertanya pada polisi. Hampir dua setengah jam kemudian aku tiba di sebuah desa. Dari tempat itu tampak gunung di kejauhan.

Aku melangkah menemui tukang ojek yang mangkal di sudut jalan dan bertanya tentang seorang wanita bernama Ning - tepatnya Ningsih - sambil menyodorkan secarik kertas berisi alamat rumahnya.

“Ia meninggal subuh tadi, Mas.”

“Innalillahi.”

“Nanti selesai salat zuhur katanya akan dimakamkan.”

Aku segera minta diantarkan ke sana. Tak lama kemudian aku tiba di sebuah rumah bersih yang setengah dindingnya terbuat dari kayu. Banyak orang berkumpul di halaman. Tukang ojek segera mengenalkan aku dengan anak tante Ningsih, seorang lelaki berbadan kurus. Ia mempersilahkan aku masuk dan mengenalkan istrinya. Setelah itu aku langsung menceritakan semua. Tiba-tiba ia memelukku erat. Lepas dari pelukannya kulihat ada air tergenang di matanya.

“Ibu juga pernah cerita tentang Bulik Nengsih.” Katanya. “Ia pernah bilang sangat kangen. Semua cerita sedih masa lalu telah dikubur.”

“Apakah kakek dan nenek masih hidup?”

Ia menggeleng.

Aku lalu diajak menemui jasad tante Ningsih. Orang-orang diminta untuk memberi ruang. Dengan terbata-bata dan hampir menitikkan air mata aku mengucapkan permohonan maaf dari ibu yang kini sudah tidak mampu lagi berjalan jauh dan hanya memandang bulan di kala malam dari balik jendela bertirai. Besok aku akan ke makam kakek dan nenek untuk melakukan hal yang sama.

“Boleh saya lihat wajah tante Ningsih?” Aku berbisik pada saudara sepupuku.

Ia lalu mengangkat penutup wajah perlahan. Aku sudah membayangkan pasti wajahnya mirip ibu. Dua perempuan berwajah cantik. Begitu tersingkap, badanku langsung gemetar dan terasa dingin. Seperti ada batu es yang tiba-tiba menyentuh kudukku, lalu dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh sepanjang tulang belakang. Wajah itu. Ya, wajah itu. Wajah wanita yang aku temui di dalam bis.