Jembatan
Senin, 04 April 2011 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu, 03/04/11
DAN KEMBALI bulu kudukku berdiri. Lamat-lamat keringat menyeruak dari pori-pori. Jarak antardegup jantungku makin rapat. Kerongkonganku terasa kering—air liur yang kuteguk terasa sepat. Kalau saja tadi Pak Rahmadi, supir kami tak membatalkan rencananya pulang kampung demi mengemudikan mobil saat ini, mungkin sudah lama kaki kananku menginjak pedal rem secara mendadak ketika tahu bahwa beberapa ratus meter lagi kami akan melewati jembatan; tempat yang menyisakan trauma yang mendalam, ketakutan yang mencekam, kengerian yang tak sanggup kubayangkan….
Sungguh. Aku tak sanggup menyaksikan keramaian yang tercipta di setiap jembatan. Keramaian yang ganjil. Keramaian yang menyeramkan. Keramaian yang berasal dari makhluk-makhluk yang muncul dari balok-balok besi dan beton penyusun tubuh jembatan (atau yang mucul dari kayu apabila jembatan tersebut masih terbuat dari kayu). Keramaian itu selalu hadir ketika magrib singgah hingga malam datang, hingga malam menua, (mungkin juga) hingga tampah jingga kembali mengintip dari ufuk timur. Itulah alasan mengapa aku selalu menghindari bepergian di malam hari. Dan kali ini aku tak dapat berkelit. Putri, anak kami satu-satunya ngotot ingin ke rumah neneknya.
Bulan lalu Ibuku sowan ke rumah kami. Ia memang sangat dekat dengan Putri. Saban datang, ia selalu menjanjikan sesuatu kepada cucunya yang baru kelas dua SD itu, seolah itu siasat agar ia selalu dirindukan. Seperti waktu itu, Putri sangat senang ketika Ibu membawakan sekeranjang macang, semacam mangga hutan dengan rasa manis yang khas. Ketika itu, aku dan istriku baru ngeh kalau kerewelannya yang minta diantar ke kampung, ternyata untuk menagih buah itu. Beberapa hari yang lalu, ketika Putri kembali rewel ingin ke kampung, kami yakin pasti neneknya sudah menjanjikan sesuatu. Entah bagaimana, aku tak terlalu peduli apa nian janji Ibu. Istriku pun begitu. Meeting-meeting perusahaan yang padat saban akhir tahun, lebih menguras perhatiannya daripada sekadar mencari tahu muasal kerewelan anaknya. Pun di sepanjang perjalanan ini, ia lebih sibuk dengan blackberry-nya. Aku memang tak mau ribut dengannya. Untuk mengajaknya pergi hari ini saja, ia tak berhenti menggerutu karena beberapa meeting penting harus dibatalkan. Huhh!
SEMUA BERMULA ketika aku hendak ke luar rumah tanpa menetapkan tujuan sebelumnya. Maklum, pengarang! Mencari inspirasi kadangkala harus ke mana-mana (walaupun tidak semua pengarang seperti itu). Tapi menurutku, siapa pun dan apa pun (pekerjaan) mereka, tentu akan muak dengan kota ini. Kota yang saban hujan dilanda banjir, kota yang saban kemarau jadi meranggas, kota yang saban dua bulan digoyang gempa, kota yang saban minggu dihantam angin topan, kota yang saban hari menyerakkan potongan-potongan tubuh mayat, kota yang saban menit menggenangi sungai dan got dengan orok berwarna pink, kota yang… (ah, sebenarnya tak ingin aku mengatakan ini karena jangan-jangan ini hanya perasaanku saja) …saban malam diramaikan oleh kerumunan makhluk aneh di jembatan dan sekitarnya. Maaf, aku tak bermaksud menakut-nakuti. Sungguh!
Dalam perjalanan pulang—setelah seharian mengembara ke beberapa sudut kota, dan aku tak mendapatkan satu ide pun untuk dijadikan cerita, aku sangat kesal. Pikiranku justru makin kacau. Bayangkan, dua kali aku ngopi di warteg, dua kali pula aku mampir di warteg yang ada televisinya. Tak ada yang salah dengan televisi itu sebenarnya. Hanya saja kotak ajaib itu menyiarkan berita yang membuatku muak. Hampir semua stasiun televisi menyiarkan, bayi-bayi tanpa kepala ditemukan di pelbagai tempat; sungai, rawa-rawa, WC umum, dan sekitar jembatan. Versi stasiun televisi A; mereka adalah korban aborsi. Versi stasiun televisi B; kepala-kepala mereka dipakai untuk diselipkan di antara sambungan besi atau beton jembatan-jembatan yang tengah marak-maraknya dibangun. Orang-orang yang nongkrong di sana pun seolah tak ingin ketinggalan dengan televisi. Mereka membincangkan beberapa anak tetangga yang hilang. Ada yang bilang, mereka diculik hanya untuk diambil kepalanya. Ada yang menambahkan—seolah hendak diseragamkan dengan berita di televisi, kepala-kepala mereka sangat berguna untuk ritual pembangunan jembatan. Semacam sesajen, imbuh yang lain....
Ah, berita dan pembicaraan yang tak bermutu!
Ketika lelah berjalan menyusuri kota, dan langit mulai merah; entah bagaimana aku memilih rehat di sebuah jembatan yang cukup panjang. Sekitar 150 meter. Jembatan yang tampaknya baru rampung dibangun. Aku bediri di tengah. Aku melongok ke bawah. Semacam ngarai dengan dasar yang dalam dan curam menganga di sana. Tiba-tiba ada yang menyentuh bahuku. Aku terkesiap. Aku menoleh. Tak ada siapa-siapa. Aku kembali melongok ke bawah, tapi perasaanku sudah tak enak. Bulu kudukku menegang. Lamat-lamat keringat menyeruak dari pori-pori. Jarak antardegup jantungku makin rapat. Kerongkonganku terasa kering—air liur yang kuteguk terasa sepat. Aku membalik badan. Pandanganku menabrak semacam papan pengumuman. Ternyata jembatan besar ini belum boleh dilalui kendaraan. Dan... baru kusadari kalau aku berada di tempat yang sepi. Bukan! Aku bukannya takut dirampok, takut dibunuh, apalagi sampai takut dimutilasi. Aku tiba-tiba merasa berada di tempat yang asing. Tempat yang tak pernah kukenali. Kukucek mataku. Berkali-kali. Memastikan bahwa senja sudah pergi. Memastikan bahwa memang tak ada lampu jalan yang menyala. Memastikan bahwa hari benar-benar gelap. Benar-benar pekat. Benar-benar menyeramkan!
Kutarik napas panjang dalam satu helaan hingga bahuku hampir setara dengan dagu. Aku memasang ancang-ancang hendak berlari. Ke mana? Aku belum memikirkannya. Bila aku tak keliru, tadi aku berjalan dari sebuah jalan tol. Ah, lebih baik aku kembali ke sana daripada berlari ke arah yang berlawanan—yang aku tak tahu akan menemui apa. Kubalik kanan. Bersiap mengambil langkah seribu.
O o!
O o!
O o!
Dari kedua ujung jembatan kulihat gerombolan bola hitam menggelinding…. O, bukan! Bola-bola itu bagai merayap (atau berjalan dengan kakinya yang mungil). O Tuhan, hitam itu bukan warna bola, tapi semacam ijuk atau bulu yang menutupinya, atau…. Tidak! Itu adalah rambut. Kerumunan kepala mendekatiku. Makin dekat. Sangat dekat. Aku panik. Sekujur tubuhku basah. Melunglai. Tulang-tulangku terasa lepas dari tungkainya. Kulafalkan ayat-ayat Quran yang kuingat. Aku hanya hafal dua surat pendek. Al Fatiha dan Al Ikhlas. Aku juga ragu, apakah aku melafalkannya dengan benar. Sudah hampir 20 tahun aku tidak pernah shalat. Aku tak kuasa beranjak. Kusandarkan tubuh di bilah-bilah besi yang memagari jembatan. Pelan-pelan kujatuhkan tubuh. Aku terjerembab. Terduduk. Kupejamkan mata. Tiba-tiba tangan kananku menyut pedih seperti ditusuk ujung pisau. Sebuah paku karat yang tertancap di telapak tanganku bagai menegaskan bahwa apa yang tengah kualami bukanlah mimpi!
Kepala-kepala itu telah berada di dekatku. Mengerumuniku. Aku berharap aku segera pingsan—atau mati saja, daripada harus menyaksikan mereka menggigit, menguliti, dan memakan dagingku lamat-lamat. O, Tuhan, apa salahku?!
Sudah cukup lama aku terpejam tapi aku tak merasa tubuhku digigit atau dikuliti. Aku mencoba membuka mata pelan-pelan. Kupicingkan saja mula-mula. Tak ada apa-apa! O o, apakah aku berhalusinasi? Ternyata tidak. Ketika kubuka sempurna kedua mataku, kulihat gerombolan kepala itu merayap (atau berjalan dengan kakinya yang mungil) menjauhiku menuju kedua ujung jembatan. Mereka tidak merayap hingga ke jalan raya yang—mungkin saja—terdapat di kedua ujung jembatan. Mereka kembali ke bilahan-bilahan beton yang menyusun rangka jembatan.
Mereka bagai permen karet yang sangat lentur. Mereka masuk ke celah di antara bilah-bilah itu seolah kembali ke rumah, rumah yang menenteramkan.
Aku baru meninggalkan jembatan ketika sebuah sedan berhenti di ujung jalan (sepertinya pemiliknya adalah orang yang bertanggungjawab terhadap proyek jembatan ini). Kulambai-lambaikan tangan dan berteriak minta tolong seolah aku adalah korban bencana alam yang melihat Tim SAR datang. Ia mendekatiku. Ia membantuku bangkit. Ia memapahku. Ia baik sekali. Ia memberiku sebotol air mineral yang diambilnya dari mobil. Untuk beberapa saat ia tak bertanya apa-apa. Ia seolah paham benar bahwa aku sedang dalam ketakutan yang sangat. Setelah agak tenang, ia mengajakku menuju mobilnya. Aku menurut saja. Ia mengambil kemudi. Aku duduk di sampingnya. Aku lelah. Sungguh, aku tak sabar ingin pulang. Mandi air hangat. Minum teh kelat. Mengempaskan badan di spring bed yang baru dibeli empat hari yang lalu. Dan tentu, tak sabar menemui anak-istriku.
Ia seolah mampu membaca isi kepalaku ketika tiba-tiba ia bertanya di mana rumahku. Aku menyebut sebuah tempat. Kami meluncur. Melewati banyak jembatan. Melewati banyak keramaian. Kerumunan kepala. Dan ia tak menunjukkan keterkejutan dengan semua itu. Ia juga tak banyak bicara. Hanya bertanya tentang jalan bila mendapati mobil kami berpapasan dengan simpang tiga, perempatan, atau beberapa lorong kecil.
“Aku melihat hantu, Mas.”
Ia menoleh.
“Sumpah! Aku tak berbohong!”
“Di mana?”
“Di …”
“Di jembatan tadi?”
“Di setiap jembatan, Mas.”
“Ah, itu bukan hantu. Itu orang-orang yang tinggal di jembatan.”
“Ini bukan pengemis, anak jalanan, atau …”
“Iya, aku paham. Maksudmu kerumunan kepala itu, ’kan?”
“Iya. Mas juga melihatnya?”
Ia menyeringai. “Semua orang juga melihatnya kalau hari mulai gelap!”
Aku terperanjat. Apakah ia serius?
“Sudah jarang keluar malam, ya? Berapa bulan? Atau sudah bertahun-tahun?”
Aku diam. Perasaanku makin tak karuan.
“Betul baru kali ini melihat kepala-kepala yang muncul dari jembatan?”
Aku hanya meneguk liur.
“Kota ini kan sudah jadi kota jembatan.”
“?”
“Ya. Karena kendaraan makin banyak. Karena orang ingin sampai di tempat tujuan makin cepat. Karena bencana alam banyak menciptakan jurang, ngarai, dan lembah, sejak ratusan tahun silam.….”
“STOP!”
Driiiittttt!!!!
Mobil berhenti mendadak. Aku hampir terpelanting ke muka.
“Kenapa?”
“Maaf, Mas,” aku bersungut merasa bersalah. “Rumah saya kelewatan.” Aku setengah tersenyum.
Ia ber-ooo… panjang. Ia mohon maaf. Ia bertanya, apakah mobil perlu diputar balik agar dapat mengantarku tepat di depan rumah. Aku menolak. Ia sudah terlalu baik. Kubuka pintu mobil. Aku menyalaminya dengan badan yang sedikit dibungkukkan. Aku benar-benar berutang budi, bahkan berutang nyawa, kepadanya. Ia kembali ke mobil seraya melambaikan tangan sejenak. Ah, aku lupa bertanya siapa namanya.
ISTRIKU NGOMEL-NGOMEL di pagi yang masih sepia. Ia baru dapat telepon dari kantor. Wajahnya seperti kemeja katun yang belum diseterika. Ia kesal karena malam tadi begadang demi mempersiapkan bahan presentasi untuk meeting yang baru saja dibatalkan.
Kuambil dua potong roti. Kutangkupkan setelah melumuri selai blueberry di tengahnya. Kuiris jadi dua. Yang satu kuletakkan di atas piring Putri yang sudah siap dengan seragamnya. Ia langsung melahapnya. Yang satu lagi kuletakkan di piring di hadapan istriku. Ia melihatku sejenak. Mencangking roti itu. Memakannya. Hanya satu gigitan. Lalu minum setengah gelas jus melon. Membersihkan bibirnya dengan dua helai tisu. Ponselnya berdering. Ia masih mengunyah sisa-sisa roti di mulut ketika menekan tombol OK.
“Halo.”
“Ma, kata Bu Guru, gak baik kalau makan sambil ngomong,” Putri nyeletuk.
Istriku tersenyum kecil sebelum berteriak seolah bintang sinetron yang tengah berakting mendengar kabar kematian anaknya.
“Ada apa, Ma?” tanya aku dan Putri hampir bersamaan.
Ia menyebut sebuah nama yang tak kukenal. Tiba-tiba perasaanku tak enak. Selera makanku hilang. Aku menuang satu gelas air putih. Menenggaknya sampai habis.
“Mutilasi itu apa sih, Pa?” Putri bertanya polos. Kuelus rambutnya yang dikepang.
“Bagaimana bisa teman kantormu jadi korban, Ma?!”
“Dia yang menyuruh orang-orang berburu, eh, dia yang diburu!” jawab istriku ketus.
“Berburu apa?”
“Kepala.”
“???!!!!”
“Untuk proyek-proyeknya. Senjata makan tuan!”
“Senjata makan tuan?” Putri bergumam.
Aku mengernyitkan dahi. Kuisi lagi gelasku yang kosong. Kali ini dengan jus melon. Aku menenggaknya…
“Sayang, ke belakang, ya. Sama Bi Ina. Pakai sepatu gih!” ujar istriku kepada Putri dengan suara yang dilembut-lembutkan. Putri menghambur ke dapur. Memanggil pembantu….
“Anggota tubuhnya yang lain masih utuh, Pa. Kecuali kepalanya…!”
Bruuurrrrr! Aku menyemprotkan jus melon—yang belum sempat berselancar di tenggorokan—ke wajah istriku.
“?!*%$%&@X#!!”
KAMI MEMASUKI jembatan.
Damn!
Mobil kami tiba-tiba mogok.
“Ini di mana, Pak?” tanya istriku sesaat setelah memasukkan blackbery-nya di tas sandang.
“Jembatan….” Supir kami menyebut sebuah nama.
“Apa?” Kami berdua nyaris bersamaan berteriak.
“Kenapa Bu, Pak? Pernah mogok di sini pula?”
Aku dan istriku bersipandang.
Putri masih sibuk bermain dengan boneka di bangku belakang.
Seseorang mendekati mobil kami. Aku mengenalnya. Wajah istriku tiba-tiba pias.
“Kenapa, Ma?”
Putri tertawa renyah di belakang. Entah apa yang sedang ia bincangkan dengan bonekanya.
“Itu….” Istriku menunjuk ke lelaki di luar.
“Mama kenal?”
Istriku mengangguk. “Ia sempat jadi pimpinan perusahaan tempat Mama bekerja.”
“O ya? Kenapa wajah Mama pucat begitu? Dia sangat baik lho, Ma. Dia yang mengantar Papa pulang ketika Mama begadang membuat bahan presentasi malam itu lho….
Mata istriku membelalak sempurna.
“Pak, dia mengetuk jendela mobil kita. Perlu saya buka?” Pak Rahmadi menunjuk ke arah lelaki di luar mobil.
Belum sempat aku menjawab, istriku berteriak, “Jangan!”
Tawa Putri makin keras.
“Memangnya kenapa, Ma?”
Pak Rahmadi bingung.
“Beberapa jam sebelum mengantar Papa pulang, ia sudah tewas tanpa kepala!”
Aku tercekat. Pak Rahmadi sibuk men-starter mobil yang tak kunjung menyala. Ketukan di kaca mobil makin keras.
Tiba-tiba Putri berseru riang.
“Pa, Ma, betul ’kan kata Nenek. Di sepanjang jembatan akan banyak boneka berjalan!”
Kami menoleh ke belakang.
“Itu, Pa, Ma!” Putri menunjuk ke belakang mobil. Ke ujung jembatan.
Gerombolan kepala mendekati mobil kami. Hanya beberapa puluh meter dari mobil.
“Itu juga, Pak!” Pak Rahmadi menunjuk ke depan mobil. Tangannya gemetar. Gerombolan kepala juga mendekat dari ujung jembatan yang lain.
“Buka pintunya, Pak!” perintahku.
“Jangan!” teriak istriku.
Putri masih tertawa-tawa. “Kata Nenek, dekat kampung, ada jembatan tua yang terbuat dari kayu. Di sana, kata Nenek, bonekanya paling banyak! Banyak anak-anak segede Putri…!”
Mobil kami bergerak-gerak oleh gerombolan kepala yang mengerumuni, yang menggoyang-goyangkannya. Istriku memuji-muji Tuhan. Aku dan Pak Rahmadi hanya komat-kamit. Kami tiba-tiba ingat mati. Putri masih terus tertawa ketika aku mencoba mengingat-ingat dua bacaan suci itu.
Al Fatiha dan Al Ikhlas…. (*)
Lubuklinggau, 20 Oktober 2010. Ditulis Ulang 20 Februari s.d. 28 Maret 2011