Aimaro

Rabu, 06 April 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Surabaya Post, 3 April 2011

Borok Dunia Akhirat

Tak kuhiraukan petir yang menggelegar di telinga, air bah yang menyeruduk dada, dan zenith matahari yang membakar raga. Seperti apa pun katalismik memamah normalitas, aku belum bisa menerima semua ini. Semua hampa. Bagaimana bisa demam biasa ini menjelma aib yang menjijikkan!

“Aku hanya minta pil pereda panas, mengapa kau sampai memeriksa darahku?!” Aku membelalak sempurna.

Dokter bergeming. Ia memandangiku datar seakan-akan menganggap reaksiku sebagai kewajaran bagi orang yang baru saja divonis mengidap borok dunia akhirat ini.

Dadaku masih megap-megap. Aku masih belum bisa menerima. Tiba-tiba aku teringat kedua orangtuaku, adik-adikku…

“Bersabarlah, Nak…,” Dokter memecah lamunanku.

“Aku punya nama!” sergahku kesal. Pandanganku kosong menembus tulisan “Positif” di surat keterangan hasil tes di tanganku. Tiba-tiba kulihat Si Pirang Mawgen di sana. Ia tengah mengulum senyum kemenangan di liang lahatnya. Dasar setan!

“Mawgeeen!!!”

Serta merta aku bangkit dari tempat dudukku. Napasku tersengal-sengal. Kulihat wajah indo Dokter memerah. Hidung bangirnya kembang kempis. Ia tegang seketika.

“Dia temanmu?” Dokter bertanya ragu.

Aku tak acuh.

“Siapa tadi? Mawgen?”

“Ha... ha... ha…!” Aku terbahak. “Apa pedulimu?” tiba-tiba perasaan hampa mengerubungiku. Aku linglung.

Dokter memandangiku seperti seorang sutradara yang tengah mengaudisi peran psikopat. Aku lelah. Kembali terduduk. Kurasakan surat-keterangan di genggamanku perlahan-lahan beralih ke tangan Dokter. Di balik kacamata tebalnya, nampak beliau begitu serius memerhatikan data singkatku yang tertera di sana.

“RI-YO,” setengah bergumam namaku disebutnya. “Bersabarlah, Rio. Ini…”

“Tak perlu menghiburku, Dok. Takkan ada yang mengerti perasaanku! Takkan ada yang percaya bahwa sejujurnya aku sendiri pun tak mengerti dengan semua ini. Aku belum bisa memercayai ini!” Suaraku makin meninggi pada oktaf yang berkejar-kejaran. Tiba-tiba mataku pedih. Tidak, aku tak boleh menangis....

“Ini bukan akhir segala-galanya, Rio,” tampak ragu Dokter menggamit tanganku. Merasa dikuatkan, kubalas menggamit tangannya, lebih erat. Mataku hangat. Oh, airmataku menetes satu-satu. Tak mampu lagi kusembunyikan kepedihan ini....

”Panggil saya Dokter Ardi,” ia menyimpul senyum.

Pandangan sinisku sempat menerobos binar matanya sebelum ragu-ragu aku mengangguk.

“Mmm, Rio,” Ia menengadah. ”Bagaimana kalau kita tes ulang?”

“Tes ulang?!” Bergegas kutarik tanganku dari genggamannya. Dokter Ardi tergopoh menstabilkan posisi duduknya yang sedikit goyah karena tindakanku barusan.

Hening.

“Ternyata aku hampir tertipu!”

“Maksudmu?”

“Kau tak lari dari dugaanku. Jika kau adalah sampel dugaanku, maka hipotesis ini absolut kebenarannya.” Entah aku pun sulit memahami kalau kata-kataku begitu tajam, saintifik, dan sok filosofis. Emosi bawah sadar menguasaiku.

“Hipotesis?” Dokter Ardi antusias sekaligus bingung. ”Aku tak mengerti. Hipotesis apa?” Tampak sekali perasaan bersalah menggerogoti wajahnya.

“Tes ulang adalah bentuk penghiburan kepadaku. Kosmetik yang biasa kalian poleskan pada perasaan pasiennya. Jujur, awalnya kata-kata dan tindakanmu hampir membuatku menganggukkan kepala bahwa kau benar-benar memahami keadaanku, tapi ternyata aku belum begitu matang dalam berkira-kira. Kau sama saja! Pembohong! Lipsinc!” Megap-megap aku mengatur tempo setiap kalimat yang meluncur. “Nah, kurang jelaskah hipotesisku akan pandangan banyak orang terhadap orang yang mengidap penyakit ini?!”

“Jangan salah paham, Nak…”

“Rio!” potongku cepat. “Kata ganti ’Nak’ tak cukup ampuh mengubah pandanganku terhadapmu. Semua manusia akan menjadi sama saja bila berhadapan denganku!”

“Bagaimana kau mampu menyimpulkan banyak hal dengan gegabah seperti ini, Nak?” Dokter Ardi tampak lebih tenang.

“Sekali lagi, jangan coba berempati kepadaku dengan sapaan “Nak”! Tidak begitu susah bagiku menyingkap tumpukan topeng yang menjejali wajahmu.”

Dokter Ardi mendekatiku. Wajahnya dingin.

“Jangan mendekat!” Aku mundur beberapa langkah.

Dokter tak acuh. Dengan santai ia menuju ke arahku. O o, aku terpojok di sudut ruangan.

“Aaaakhh!”

“Kau hanya perlu sedikit ketenangan, Nak.” Sayup kudengar suara itu sebelum tubuhku layu seketika. Aku tak ingat apa-apa, selain jarum suntik yang secara perlahan dilepaskan dari nadi tangan kananku.

Kurungan

Satu bulan terasa begitu menyiksa. Kedatangan keluarga, sanak kerabat, dan teman-teman yang dapat dihitung dengan sebelah tangan, adalah pepakuan yang memaksa menancap di tembok perasaanku. Walaupun akhirnya tercabut seiring kepergian mereka, tapi lubang-lubangnya tetap menganga di hati ini. Empati mereka tampak begitu teatrikal. Ah, inilah nasibku. Jangankan menjadikan mereka teman berkeluh kesah, berjabat tangan pun bak utopia. Mereka semua bertopeng, senyuman tak lebih seringaian getir.

Aku menerawang lepas dari lantai tiga ruang isolasi rumah sakit ini. Di luar sana, awan tengah meringis, menjatuhkan air yang bergumpal di balik awan yang kusam mengelam.

“Apa kabar, Rio?” Suster Ria menyapaku sesaat setelah membuka daun pintu. Ujung jilbabnya berkibar kecil.

“Basa basi atau etika medis?” jawabku sinis.

Suster Ria memandangiku sejenak. Datar. Lalu mengambil beberapa tablet obat dan segelas air. Suster Ria mendekat.

“Jujur, Rio. Merawatmu membuatku bernostalgia. Aku teringat seorang seorang pasien lama.” Suster Ria menuntun tangannya mendekati bibirku. Dalam hitungan detik, empat butir tablet telah berselancar ditenggorokanku.

“Siapa?” Aku penasaran.

“Sama seperti kamu. Saat itu dia masih SMA. Dia anak yang baik, cerdas, dan berprestasi di sekolahnya. Suatu hari dia mendaki bukit…”

“Bukit?” gumamku lirih.

Seakan tak memedulikan pertanyaanku, Suster Ria terus bercerita. “…mendaki bersama dua teman dekatnya. Di tengah perjalanan, mereka terluka oleh semak-semak berduri. Tanpa disadari darah dari luka mereka bertukar tempat, karena saat itu mereka saling membantu mengobati luka masing-masing dengan dedaunan.”

“Aku juga pernah terluka saat hiking. Tak hanya ketika mendaki bukit. Ketika mendaki gunung-gunung pun…”

“Siapa yang sebenarnya tengah bercerita, Rio?“ Suster Ria menyalip kata-kataku seraya tersenyum. Begitu halus singgungannya.

“Baiklah,” Aku mengalah.

“Temannya meninggal satu bulan setelah itu. Keluarga temannya penasaran dengan kematian mendadak anak mereka, makanya diadakan tes forensik. Hasilnya ternyata anak mereka telah tiga tahun mengidap AIDS.”

“Jadi kedua temannya meninggal?”

Suster diam sejenak. Lalu menarik wajahnya melengos ke jendela. “Hanya satu orang.” Ada tekanan pada nada suaranya. Dapat kutangkap semburat wajah yang merona merah di balik jilbab putihnya. Matanya berkaca-kaca.

“Dia adik suster sendiri, sanak kerabat, atau...?” Ah, mengapa aku tampak begitu solider.

Buliran hangat menyeruak dari mata suster itu ketika ia mengedip lembut.

”Mmm... Rio mohon maaf, Suster….” Aih, bagaimana aku jadi melankolik pula!

“Dia bukan siapa-siapa, Rio. Namun dia sudah kuanggap sebagai adik kandung. Ia telah memberikan banyak pelajaran, terutama makna dan hakikat persahabatan, kesetiaan, dan ketabahan.”

Aku termangu. Masih menunggu kata-kata suster selanjutnya.

“Kesedihannya begitu mendalam. Setelah kematian teman dekatnya, dia hanya memiliki satu orang sahabat lagi. Tapi jangankan untuk saling menguatkan, bahkan sahabatnya itu pun tak hadir saat pemakaman. Yang lebih membuatnya sangat menderita adalah ketika sahabatnya tersebut menjauhinya saat mengetahui bahwa dia juga terkena AIDS. Dia begitu down, namun kesetiaan dan ketabahannya dalam menghadapi ujian persahabatan tak pernah pudar. Kerap aku mendapatinya tengah memanjatkan doa. Kupikir ia takkan melupakan sahabatnya itu dalam munajatnya....”

“Saat itu Dokter Ardi begitu terpukul.”

Deg. Dokter Ardi! Dokter sok peduli itu. ”Dokter Ardi?! Apa urusannya? Terus siapa nama pasien yang suster ceritakan ini?”

“Dokter Ardi adalah ayahnya.” Tiba-tiba wajah suster pucat pasi. ”Ya, Tuhan! Suster kelepasan Rio. Cukup sampai di sini. Suster telah melanggar kode etik medis. Ini terlalu jauh. Maaf.” Suster bergegas menuju pintu.

“Tunggu Suster, jujur aku tidak punya urusan yang begitu penting dengan ceritamu. Aku hanya ingin tahu satu hal. Di mana Dokter Ardi? Aku tak pernah melihatnya lagi sejak aku dipindahkan ke ruangan ini. Cuma itu!” Entah susah sekali aku meruntuhkan ego.

“Dia pindah ke Inggris!” Suster berhenti sejenak sebelum menghilang di balik pintu.

Tiga Sekawan

Di ruangannya, Suster Ria membereskan berkas-berkas konfidensial putra Dokter Ardi yang ketinggalan. Besok dia harus segera mengirimnya ke Liverpool.

“Mawgen Ardiansyah,” Suster Ria melafal lirih nama di surat keterangan hasil tes lima tahun yang lalu, seakan-akan ingin meyakinkan bahwa data yang dibereskannya tidak keliru.

Ponselnya bergetar.

Ria, tlg cek di brankas pribadi bapak di lantai 2 RS. Bereskan semua foto2 Mwgn. Kirimkn dgn brkas2 lainnya. Thx.

Segera Suster Ria beranjak ke ruangan kerja Dokter Ardi.

....

Suster Ria terperenyak mendapati foto tiga remaja berseragam SMA. Dua dari mereka begitu dikenalnya.

TIGA SEKAWAN. AIMARO: ANDI, MAWGEN, RIO.

Bergetar bibirnya membaca tulisan yang tertera di balik foto tersebut. Suster Ria bergegas ke ruangan isolasi. Memapas anak-anak tangga. Ketukan hak sepatunya membunuh keheningan koridor yang menjorok ke ruangan isolasi. Belum sempat tangannya meraih gagang pintu. Dari dalam terdengar tangisan keras diselingi teriakan yang berkoar bingar.

“Keparat! Gara-gara kamu aku jadi mayat hidup seperti ini! KEPAAARAAAT!!!”

“Klek.” pintu dibuka.

Rio menoleh.

Suster Ria membelalak. Mendapati foto Mawgen tercerai-berai, berserakan di lantai. (*)

Lubuklinggau, 2007-2010