Mantra Penyadap Nira

Selasa, 08 Maret 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Hamzah Puadi Ilyas
Dimuat di Tribun Jabar, Minggu, 6 Maret 2011 | 14:25 WIB


HANYA Tuminah seorang di seluruh Lumajang, bisa jadi di seluruh Pulau Jawa atau bahkan Indonesia, yang memiliki mantra penyadap nira. Mantra itu membuat pemiliknya tidak merasa sakit bila jatuh dari pohon aren saat menyadap nira meskipun pohon itu menjulang hingga menyamai puncak Bromo. Bila jatuh, si pemilik mantra akan bangun kembali seperti orang bangun dari bersila.

Mantra itu diwariskan oleh kakek Tuminah yang bernama Mbah Ketip. Menurut Mbah Ketip, mantra penyadap nira tidak bisa diwariskan dari ayah ke anak, hanya dari kakek ke cucu. Pada mulanya Mbah Ketip tidak ingin mewariskan mantra itu kepada Tuminah karena ia perempuan. Mbah Ketip masih menunggu dan berharap suatu saat menantunya hamil lagi dan melahirkan anak laki-laki. Tapi pada suatu hari, setelah bersemadi di bekas kandang kambing sambil puasa mutih selama dua hari dua malam, Mbah Ketip merasa umurnya tidak lama lagi. Ia akhirnya mewariskan mantra itu pada Tuminah.

Mbah Ketip berpesan pada Tuminah bahwa mantra penyadap nira, seperti juga manusia, ada umurnya. Suatu saat mantra itu bisa lenyap. Tidak ada yang tahu pasti kapan terjadinya. Tapi menurut perkiraan, ketika tempat tinggal mereka, Desa Kalibendo, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, tidak lagi dikelilingi pepohonan dan persawahan. Begitulah yang diketahui Mbah Ketip dari kakeknya.

"Maka dari itu, Tuminah, cucuku, berhati-hatilah engkau setiap kali memanjat pohon aren. Bisa saja saat itu mantramu lenyap, dan dedemit penunggu pohon sedang usil, lalu menyentil tubuhmu. Engkau bisa celaka."

"Iya, Kakek," jawab Tuminah, yang waktu itu kelas empat SD.

Entah karena pengaruh mantra atau warisan sifat sang ayah, Tuminah tumbuh seperti anak laki-laki. Menjelang selesai sekolah dasar, ia sudah mulai memanjat pohon aren untuk menyadap nira. Nira itu nantinya akan dibuat gula oleh keluarganya. Memang Tuminah tidak seperti laki-laki dewasa yang bisa memanjat sepuluh sampai lima belas kali dalam sehari untuk menyadap nira, tapi keberaniannya membuat banyak orang kagum.

Awalnya ayahnya melarang. Anak perempuan tidak usah memanjat pohon aren, cukuplah membantu ibunya memasukkan gula yang telah mengental ke dalam dakon, cetakan. Tapi pada satu waktu, ketika tiba-tiba Tuminah sudah berada di puncak pohon aren dengan membawa pisau dan jeriken yang diikatkan ke pinggang, ayahnya sadar bahwa Tuminah memang bukan anak perempuan sembarangan. Ayahnya sempat berpikir mungkin Tuminah adalah penjelmaan keinginannya dulu yang mengharapkan anak laki-laki.

Tuminah, yang kemudian tidak melanjutkan pendidikan setelah tamat SD, selalu memegang teguh amanat kakeknya tentang mantra penyadap nira. Ia tidak boleh bercerita kepada siapa pun. Ia hanya boleh bercerita pada cucunya kelak ketika hendak menurunkan mantra tersebut.

"Bila kamu bercerita, dalam waktu enam jam mantra itu akan hilang."

"Kenapa bisa begitu, Kek?" tanya Tuminah.

"Karena itu menunjukkan engkau telah jadi orang takabur."

Tuminah mengangguk.

Umur sembilan belas tahun, Tuminah jatuh cinta kepada Pardi yang tiga tahun lebih tua. Keluarga Pardi lebih miskin, tetapi kulitnya putih. Jarang sekali ada orang berkulit putih di desa itu, apalagi laki-laki. Sama seperti Tuminah, Pardi juga hanya tamat sekolah dasar. Ayahnya telah tiada ketika ia baru bisa merangkak.

Pardi tinggal di rumah bambu bersama ibunya. Sehari-hari mereka membuat gula aren milik orang lain. Untuk satu kilogram gula aren yang dijual kepada pengepul seharga 6.500 rupiah, Pardi dan ibunya mendapat 1.000 rupiah. Bila sedang tidak sibuk, Pardi biasanya mencari belut di sawah pada sore hari. Hasil tangkapannya seringkali dijual sebagai tambahan biaya dapur keluarga.

Suatu saat, ketika sedang berada di pohon aren, Tuminah membayangkan dirinya bersanding dengan Pardi. Kebahagiaan datang bersama bulir-bulir angin. Kepulannya yang melegakan rasa membuat Tuminah semakin nyaman. Mata terpejam, dan biru langit seolah dalam gapaian. Ia merasa terbang, melayang di antara gumpalan awan putih berserakan bersama Pardi.

Tuminah baru sadar ketika ada teriakan. Orang-orang berdatangan. Ibunya menangis sambil memeluknya. Ayahnya segera membopongnya ke rumah. Sesaat Tuminah bingung mengapa begitu banyak orang yang mengirinya. Sesampainya di rumah ia didudukkan di bale bambu. Ayah dan ibunya meraba-raba sekujur badannya.

"Kamu tidak apa-apa, Tuminah?"

Tuminah masih terlihat bingung. Tapi beberapa detik kemudian ingatannya muncul. Ia ingat telah berada di puncak pohon aren. Segera ia menggeleng dan turun dari bale bambu. Muncul wajah Mbah Ketip di pikirannya. Ternyata mantra itu memang manjur. Sekarang orang-orang yang mengelilinginya yang tampak bingung.

Sebulan kemudian Tuminah benar-benar bersanding dengan Pardi. Kisahnya seperti ini: ketika jatuh dari pohon aren, Tuminah mengucapkan kata "Pardi" beberapa kali. Karena penasaran dan takut ada apa-apa, ayah dan ibu Tuminah lalu memutuskan untuk mendatangi Pardi dan menanyakan apakah mereka sudah saling kenal. Ibu Pardi yang menjawab dengan mengatakan bahwa sebenarnya sudah sejak lama ia ingin melamar Tuminah, tapi karena takut ditolak ia menunda keinginan tersebut. Mengetahui hal itu, ayah Tuminah akhirnya menikahkan mereka.

Tahun berganti tahun. Orang-orang tua telah berpisah dari anak, menantu, serta cucu. Sore itu hujan rintik-rintik baru saja berhenti. Dedaunan masih kedinginan. Pardi duduk dengan kaki menjulur di bale bambu. Telah sekian kali ia memborehkan minyak gosok cap tawon pada pergelangan kaki yang terkilir. Dua anak perempuannya sedang bermain boneka plastik di sudut ruangan. Tuminah, sambil menggendong anak ketiga yang berkelamin laki-laki, tampak gelisah. Sesekali ia menengadahkan wajah ke langit yang masih semburat suram.

"Sudah, menyadap niranya besok saja," kata Pardi. "Pohon aren licin, barusan hujan."

"Kalau tidak membuat gula aren hari ini, lusa kita sudah tidak punya uang untuk membeli beras dan minyak tanah."

"Nanti aku cari pinjaman."

Tuminah diam. Ia menatap wajah anaknya sambil menggerak-gerakkan gendongan agar tidurnya lebih lelap. Wajah anak itu mirip Mbah Ketip, terutama hidungnya yang sedikit mengendap ke dalam. Suara anak-anak di luar rumah terdengar. Tuminah menyingkap tirai jendela dan melongok ke luar. Langit telah cerah.

Tuminah meletakkan anaknya yang pulas di samping Pardi. Setelah pamit pada Pardi dan berpesan agar menjaga anak-anak, ia keluar sambil membawa pisau dan jeriken. Kain telah berganti celana gombrang lusuh. Dengan langkah cepat ia menuju kebun yang ditumbuhi pohon-pohon aren. Satu pohon telah tumbang tersambar petir tiga bulan lalu. Jarak kebun dari rumahnya sekitar setengah kilometer.

Begitu memasuki kebun terlihat pohon aren tertinggi. Dari pohon itu juga ia dulu pernah jatuh. Entah sudah berapa ratus kali pohon itu dipanjat. Menyentuh batangnya saja telah membuatnya bangga. Hanya ia wanita di Desa Kalibendo yang pandai memanjat pohon aren untuk menyadap nira. Selesai merapalkan mantra, ia segera memanjat. Dalam sekejap, tubuh kurusnya telah mencapai puncak pohon.

Dari atas Tuminah bisa melihat rumah-rumah berbaris rapi. Rumah-rumah orang kaya, pikirnya. Dulu di tempat itu terbentang persawahan milik penduduk asli. Kini setengahnya telah menghilang. Sebagai gantinya, hampir di semua rumah warga Kalibendo terdapat televisi, bahkan sepeda motor.

Setelah merasa cukup, Tuminah turun. Hujan ternyata menyisakan jentik-jentik air di beberapa legokan batang aren, membuatnya sedikit licin. Pada pijakan ketiga, kaki Tuminah menyentuh permukaan yang licin itu. Di saat yang bersamaan, tangannya berpegangan pada sisa pelepah tua yang rapuh. Pelepah yang telah dipangkas ujungnya itu tercerabut, dan tubuh Tuminah langsung meluncur.

Ada bunyi gedebuk, lalu hening. Tuminah tidak tahu berapa lama. Yang ia tahu ia berada di tanah dalam posisi bersila, kemudian bangkit. Mantra dari Mbah Ketip memang luar biasa. Dilihatnya jeriken masih utuh berisi nira. Tidak lagi di pinggang, melainkan di atas tanah. Seperti ada yang meletakkannya. Pisau masih terselip di sabuk yang mengikat erat pinggangnya.

Tuminah menuju rumah. Langit temaram. Makin dekat ke rumah, langkahnya terasa semakin ringan. Begitu juga jeriken yang ditentengnya. Seperti membawa kapas. Tiba-tiba ia teringat ketiga anaknya. Ada perasaan kangen dan bersalah. Ingin rasanya ia memeluk si bontot. Langkahnya semakin dipercepat.

Dari kejauhan terlihat rumahnya sangat ramai. Semua tetangga ada di sana. Pasti ada apa-apa dengan si bungsu. Ia berlari, merasakan kakinya seolah tidak menyentuh tanah. Sesampainya di depan rumah, ia berteriak menanyakan apa yang terjadi. Namun tak satu pun orang yang menoleh, apalagi menyahut.

Tuminah menyelinap di antara kerumunan orang. Dia tidak lagi peduli, semua yang menghalanginya ditabrak, tapi tetap tak ada yang bergerak. Sampai akhirnya ia berada di pusat lingkaran. Benar saja, ada jasad terbaring tertutup kain. Beberapa orang mengelilingi jasad itu sambil membaca kitab suci. Pardi terlihat sedih di pojok ruangan, sesekali menyeka air mata.

Dengan cepat Tuminah menyingkap kain penutup mayat. Ia ingin melihat wajah anak kesayangannya. Ternyata, ia melihat wajahnya sendiri, putih dan pucat. Ada kapas yang menutup kedua lubang hidung. Satu per satu tulang belulang di tubuhnya remuk. Ia semakin ringan, lalu perlahan membubung menembus atap.