Surat

Senin, 03 Oktober 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas

Dimuat di Republika 2 Oktober 2011

Saya tak tahu. Sebenarnya ini surat ke berapa yang ditulis. Surat-surat sebelumnya telah bersitumpuk di sudut-sudut rumah kayu saya yang sempit, di sudut kamar saya yang tentu juga sempit, di kotak-kotak lemari cokelat pias tanpa ukir, beberapa di celah-celah ventilasi dapur. Surat-surat itu bukannya suratsurat yang tak layak kirim. Pun, bukan kumpulan surat yang tak rampung (yang kebanyakan diremas orang-orang sebelum membuangnya di kotak sampah atau di sembarang tempat). Kertas-kertas (yang kini sudah menguning) itu adalah suratsurat jadi. Surat-surat siap kirim. Namun, sungguh, saya bagai tak tergerak mengantarnya ke kantor pos. Atau sekadar memasukkannya di kotak pos di simpang jalan raya. Saya bukan meragukan jasa pos. Toh, saya juga bisa mengirimnya via agen-agen jasa pengiriman swasta, bukan? Ini tentang kebingungan. Kebingungan yang lebih mengerucut pada keraguan. Beberapa catatan yang kerap menyergap bila keinginan untuk mengirimnya muncul adalah sebagai berikut:

Pertama, akankah dibaca surat-surat itu? Kedua, bila pun dibaca, tentulah si pembaca akan menilik nama pengirimnya. Ah, siapalah saya. Ketiga, apakah saya tak tampak berlebihan dengan isi suratsurat itu?

Mungkin saya ini memang tipe orang peragu. Tapi... ada baiknya saya tepikan sifat itu. Saya pikir tak ada ruginya bila diceritakan sedikit tentang nasib beberapa surat yang pernah saya tulis itu.

Adalah Pak Lijan, kepala sekolah tempat saya meng ajar, yang pertama kali memergoki saya menulis surat. Memang dasarnya tak percaya diri, gemetaranlah saya ketika itu. Pak Lijan mengambil kertas itu. Tak lama ia terkekeh. Melemparkan surat itu ke arah saya. Ya, melemparkan. Bukan memberikan. Lalu ia mengatakan (di antara kekehannya yang membuat rasa hormat kepadanya kini berkurang) bahwa tak ada gunanya guru honorer seperti saya menulis semua itu. Apa pun, di dunia ini, tak ada yang gratis. Termasuk sekolah. Bila pun bebas SPP dan uang bangunan, apakah sekolah juga mesti membelikan para siswa tas, sepatu, seragam, buku, dan alat tulis?

Saya cerna kata-katanya. Ada pula benarnya. Tapi..., ya, tapi bukankah di republik ini, pendidikan itu adalah hak? Bukan kewajiban! Maksud saya, bila itu adalah hak, maka berikanlah. Berikanlah dengan seutuhnya. Semuanya. Atau, saya yang salah mengartikan ’hak’ dalam pendidikan itu? Sayang, saya tak sempat menanyakan semua risau itu kepada kepala sekolah itu. Dia sudah keburumeninggalkan saya. Saya hanya sempat melihat ia menyeringai ke surat yang tergeletak di dekat ujung sepatu saya. Ketika itu, saya tiba-tiba miris. Surat yang berisi kegelisahan saya itu tampaknya senasib dengan penutup kaki saya yang butut.

Saya juga pernah menuliskan surat yang bercerita tentang seorang kawan seperjuangan. Perempuan 56 tahun di kampung seberang. Ibu Hoi, demikian saya memanggilnya. Saya cukup akrab dengannya bukan hanya karena ia adalah guru yang sangat saya kagumi, namun juga untuk alasan yang tidak penting: karena saya juga sangat suka makan gorengan. Saya sering membeli gorengannya ketika tiga kali seminggu harus ke perpustakaan kota demi menuntaskan hobi membaca saya.

Ya, selain menjadi PNS di sebuah SD, Ibu Hoi juga nyambimenitipkan gorengan di warung yang terletak dekat gerbang SD. Sudah 32 tahun ia mengajar. Ia tak tahu (juga tak paham) apa itu sertifikasi, bonus yang paling guru bincangkan. Dapat gaji dua kali, kata mereka. Dan, Ibu Hoi tampaknya tak terlalu tertarik di luar perannya sebagai guru dan penjual gorengan. Ia seolah menikmati sekali hidup. Setelah mengajar, saban sore ia mengitari kampung dengan kereta tuanya. Bertandang dari rumah ke rumah. Ibu Hoi juga menjadi penjahit keliling.

”Ibu senang saja melakukannya. Selain menambah uang belanja, banyak bertandang, panjang umurnya,” demikian selorohnya suatu waktu.

Ketika itu, penulisan kisahnya didorong oleh pengumuman sebuah lomba yang diadakan oleh kantor diknas kabupaten. Menulis kisah inspiratif. Hadiahnya lima ratus ribu. Pikir saya, hadiah itu dapat dibagi dua dengan Ibu Hoi kalau naskah saya menang. Saya menulis dalam bentuk surat. Kreativitas, itulah dasar saya memilih gaya berkisah seperti itu. Tapi, apa hendak dikata, satu hari menjelang dikirimnya surat-cerita itu, Ibu Hoi meninggal dunia. Setahu saya, Ibu Hoi tidak mengidap penyakit jantung atau penyakit lain yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Jadi, menurut saya, dengan semua keluguannya menjalani kehidupan, dengan semua pengabdiannya di sekolah, kematiannya adalah satu dari kematian yang paling diimpikan.

Ketika itu saya sibuk membantu beberapa tetangga mengurus jenazahnya, menyambut para pelayat, mengundang orang-orang untuk membaca Yaasin di malam harinya... Saya pun lupa mengirimkan naskah itu. Saya baru ingat setelah nama-nama pemenang diumumkan. Kabarnya, semua tokoh yang kisahnya dituliskan, meninggal ketika naskah-naskah dinilai! Saya terperenyak. Bagaimana mungkin? Tapi, ketika mendapati kebenaran kabar itu, saya pun berprasangka baik (saya yakin, kali ini prasangka saya benar): pada kurun itu, Tuhan sedang menjemput orang-orang pilihan-Nya. Dan, itu sangat mungkin, hati kecil saya menegaskan. Entah, tiba-tiba saya tak menganggap kabar duka itu sebagai sesuatu yang layak dirutuki.

O ya, saya pula pernah menulis cerita tentang Pak Arman. Guru Agama yang kini sudah sepuh. Maklum, dia adalah guru ketika saya SMP. Saya ingat sekali. Dulu, ketika bersama teman-teman, saya dihukumnya berlari keliling sekolah 10 kali di siang bolong. Kami yang waktu itu jumlahnya lima orang memang dikenal berandal. Kami tahu kami salah. Tak hafal Asmaul Husna, tak hafal 20 ayat pertama al-Baqarah, juga masih tak hendak melancarkan bacaan Alquran. Kami juga tak bayar uang sumbangan membeli sarung dan mukena untuk mushala sekolah. Mushala yang hampir rubuh. Kami sangsi bahwa uang itu akan digunakan untuk membeli perlengkapan shalat. Kami masih trauma dengan kasus Bu Lita, wali kelas kami. Sumbangan kami yang 2.500 rupiah per orang, tak jelas ke mana perginya. Katanya hendak dibelikan sapu, kotak sampah, gorden, vas bunga, dan seprai meja. Ternyata hanya kotak sampah dan sapu yang dibeli. Masing-masing satu pula. Kami pikir, Pak Arman tak ubahnya seperti Bu Lita.

Namun begitu, alasan yang paling kami gembar-gemborkan ketika itu adalah atas nama harga diri(dalam usia bau kencur ketika itu, kami sudah bertingkah dengan dua kata yang seakan sangat kami pahami itu...)! Kami benar-benar merasa terhina ketika teman-teman (termasuk gadis-gadis yang kami taksir) menyaksikan kami yang kelelahan menjalani hukuman.

Maka, kami pun membuntuti Pak Arman pulang. Kami tak memalaknya di jalanan sepi menuju rumahnya. Ya, kami cukup cerdas. Sebagai berandalberandal yang baru disetrap, tentulah kami sangat mudah menjadi tersangka pemalakannya. Kami berencana memalaknya esok pagi saja, ketika Pak Arman keluar dari perempatan jalan rumahnya. Maka, kami menguntitnya hingga memasuki lorong di perempatan. O, kami tak tahu, bila rumahnya jauh ke dalam. Mungkin sekitar dua kilometer. Jalan kaki. Kami lelah sendiri. Dan, o, o, kami kedapatan olehnya. Tubuh kami gemetar (kami lupa bahwa Pak Arman tak tahu rencana jahat kami). Kami diajaknya duduk di lepau di bawah pohon nangka, dekat sebuah rumah yang lebih layak disebut gubuk.

Pak Arman bertanya perihal kedatangan kami. Namun, belum sempat kami menjawab, dari gubuk itu, berkeriapan anak-anak kecil (kalau tak salah jumlahnya lima orang) menyongsongnya. Mereka disuruh Pak Arman salim kepada kami. Kami pun menyambutnya dengan semringah. Tahulah kami, mereka adalah anakanak guru agama kami itu. Pun, kami tak perlu bertanya tentang siapa pemilik gubuk dekat situ, bukan?

Tak lama, muncullah seorang perempuan paruh baya. Membawakan beberapa gelas plastik dan ceret aluminium dalam nampan plastik. Kami segera menyalaminya. Mencium tangannya. Tak perlu dikenalkan pun kami tahu kalau ia istri Pak Arman.

Ketika kami melepas dahaga, Pak Arman masuk ke gubuk. Tak lama ia sudah muncul dengan menggiring sebuah sepeda motor butut. Kami bertanya, mengapa ia tak mengendarainya untuk ke sekolah. Dan... baru tahulah kami. Motor butut itu adalah sewaan. Tiga puluh ribu per hari. Pak Arman mengojek sepulang mengajar. Maka, mulai detik itu, kami bagai lupa perihal palakmemalak itu....

Kisah tentang Pak Arman itu saya tulis. Beberapa hari kemudian, saya membacanya di hadapan teman-teman ketika kelas Bahasa Indonesia. Empat teman saya yang lain pasti tahu kalau saya tidak sedang membacakan sebuah surat untuk pak presiden sebagaimana yang diminta oleh Bu Desy. Namun, tak ada yang menyela. Termasuk guru bahasa Indonesia kami itu. Saya ingat sekali, mata teman-teman saya basah ketika cerita berakhir. Ibu Desy pun permisi ke toilet. Saya tahu, dia hendak menyembunyikan mata merahnya dari kami.

Entahlah, apakah ini akan dianggap sebuah surat atau tulisan lepas, atau semacam cerita saja. Saya tak banyak berharap, sebagaimana saya tak tahu kepada siapa surat ini mesti saya kirimkan. Hanya tiba-tiba terbetik ide, saya ingin mengirimkannya ke sebuah surat kabar. Siapa tahu surat ini dimuat. Lalu dibaca banyak orang. Atau juga dibaca pak presiden! Amin. Allahumma amin.

Lubuklinggau, 2010
Untuk Istriku, Desy Arisandi