Uban Hitam

Kamis, 20 Oktober 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Ayi Jufridar
Dimuat di Jawa Pos, 30 Oktober 2011

LIMA belas tahun sudah Merlyn Getty tidur bersama Gunawan di ranjang rumah dan beberapa ranjang hotel yang pernah mereka singgahi. Sudah tidak terhitung percintaan yang pernah mereka nikmati tidak hanya di ranjang, tetapi di ruang mana pun yang menurut mereka aman dan nyaman untuk melakukannya. Sebegitu dekatnya Merlyn dengan Gunawan sehingga ia hapal terhadap setiap jengkal tubuh lelaki itu sehapal pada tubuhnya sendiri. Ia mengetahui setiap perubahan apa pun yang terjadi di tubuh Gunawan, mulai dari yang kecil lebih-lebih perubahan besar. Kantung di bawah mata yang kian nyata kendati Gunawan pernah rajin meredamnya dengan potongan mentimun atas permintaan Merlyn, perut yang kian buncit, sampai beberapa helai bulu hidung Gunawan yang sudah memutih menjadi perhatian Merlyn ketika lelaki itu tertidur pulas setelah lelah bercinta.

Kalau bulu hidung yang pendek dan tersembunyi dalam liang kecil dan gelap masih terlihat Merlyn Getty, tentulah mengherankan bila ia abai terhadap beberapa helai uban yang mulai menghiasi kepala Gunawan. Merlyn tidak pernah melihatnya dalam setiap kebersamaan mereka yang paling intim sekalipun, konon lagi ketika menemani Gunawan sarapan atau sekadar mengantar Gunawan sampai teras depan ketika lelaki itu berangkat kerja. Perhatiannya tidak tertuju ke atas kepala Gunawan, tetapi ke hati lelaki itu. Sedangkan ketika mereka bercinta, pikiran Merlyn mengembara entah ke mana.

Merlyn tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan atau tidak masuk akal dengan beberapa helai uban yang luput dari perhatiannya. Ia jadi ingat pengakuan beberapa teman sebelum ini. Seorang temannya baru menyadari suaminya memiliki pusar di atas dahi setelah 11 tahun mereka berumahtangga. Temannya yang lain tidak mengetahui ada tahi lalat tersembunyi di bagian paling intim suaminya. Yang terakhir ini menurut Merlyn keterlaluan karena ia menganggap perempuan itu tidak melakukan apa pun untuk menyenangkan suaminya sebelum mereka menyatu dalam sebuah kebersamaan yang penuh desah.

Kedua kasus di atas, menurut Merlyn, berbeda dengan uban karena rambut putih itu tidak muncul sejak Gunawan lahir sebagaimana pusar di puncak dahi.

Merlyn tidak menemukan uban itu, melainkan uban itulah yang menemukannya tadi pagi ketika ia masuk ke kamar mandi dan Gunawan ada di sana dengan handuk putih yang melilit di pinggang. “Ternyata aku sudah tua,” katanya seperti kepada diri sendiri karena ia berdiri di depan cermin yang berkabut sambil menyibak rambutnya yang tebal lurus sampai sedikit menutup daun telinga. Merlyn masih tidak peduli dengan pengakuan itu karena Gunawan sudah berusia 46 tahun. Justru keterlaluan bila ia tidak menyadari ketuaannya sehingga bertingkah seperti pemuda belasan tahun ketika melihat gadis-gadis belia di luar sana. Ketika Gunawan memutar tubuhnya dan menundukkan kepala di depan wajah Merlyn sambil meminta dicabuti ubannya, seketika itulah Merlyn terkejut. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur dinding. Wajahnya pucat pasi serupa air muka orang yang baru saja berjumpa dengan sesuatu yang paling menakutkan seumur hidupnya.

Bagi Merlyn, sesuatu yang menakutkan itu bukanlah hantu karena ia tidak pernah melihatnya meski sangat percaya makhluk itu ada. Ia pernah melewati masa-masa yang penuh hantu, tetapi tidak pernah satu kali pun melihat meski bisa jadi justru hantu itu sedang melihatnya. Hantu sungai, hantu kuda, hantu api, hantu emas, segala jenis hantu ada pada masa itu, tetapi Merlyn hanya mendengar nama mereka saja. Ketika papanya pergi dan mama mulai sering memukulnya, ia selalu berharap berjumpa dengan hantu apa pun yang akan mengajak dirinya dan dua adiknya pergi. Mereka bertiga sering mandi di alur Kapuas ketika air sedang pasang dengan kayu gelondongan sebagai perahu. Orang dewasa yang menggunduli hutan di sana menakuti dengan kisah hantu buaya yang memangsa anak kecil agar mereka segera menyingkir. Merlyn dan kedua adiknya justru bermain di sana sampai malam menjelang agar hantu buaya datang dan membawa mereka ke dalam dunia buaya. Namun, hantu buaya tidak pernah datang, yang datang justru air bah bercampur lumpur yang membuat ia dan kedua adiknya nyaris mati tenggelam. Sampai beberapa tahun setelah kejadian itu, ia harus rutin memeriksakan diri ke dokter karena paru-parunya tercemar lumpur.

Merlyn Getty bukannya menyesali keputusannya bermain di Kapuas ketika air sedang pasang, melainkan menyesali kenapa tidak mati saja. Dua kali sudah ia mengundang kematian, tetapi kematian tidak menghampirinya ketika diharapkan. Setelah kematian yang gagal di Kapuas, kehidupannya menjadi lebih sulit. Papanya tidak pernah pulang lagi, yang belakangan ternyata sudah kabur dengan anak gadis orang setelah menghamili perempuan muda itu. Mamanya bekerja di sebuah pabrik tripleks sebagai buruh kasar. Ia pergi pagi dan pulang menjelang malam dengan tubuh yang kelelahan. Semakin lelah mamanya bekerja, semakin sering ia memukuli Merlyn dan kedua adiknya. Sampai kemudian Merlyn dikirim ke tantenya di Cilacap. Tantenya itu adalah adik mama, tetapi mereka beda ayah. Suami tantenya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan perminyakan nasional, dan cukup sukses sehingga dua tahun berturut-turut menjadi karyawan teladan. Mereka mempunyai dua anak lelaki, tetapi tidak satu pun lahir dari rahim tante. Merlyn mengira nerakanya sudah berakhir ketika ia dikirim ke Cilalap, tapi ternyata di sanalah ia menemukan neraka yang sesungguhnya dari perilaku dua anak tante yang seharusnya menjadi saudara sepupunya, juga dari perilaku tante dan lebih-lebih dari suaminya.

Kedua sepupunya itu sering menjamahi tubuhnya yang sedang tumbuh ketika orang tua mereka tidak ada di rumah. Seorang di antaranya kemudian diterima sebuah perguruan tinggi terkemuka di Yogya dan itu amat disyukuri Merlyn. Namun, nerakanya belum berakhir karena sepupunya yang lain merasa sudah menguasai Merlyn seorang diri. Ketika Merlyn Getty memberanikan diri untuk melawan, hanya satu kali perlawanan secara fisik dan ancaman akan mengadukan ke polisi, sepupunya itu berhenti untuk selamanya. “Satu kali saja kamu berani menyentuhku lagi, kita akan berjumpa di pengadilan!”

Merlyn kelas dua SMA ketika itu. Sedang mekar-mekarnya dengan darah Banjar dan China yang mengalir dalam tubuhnya yang semampai dan proporsional. Kelebihan itulah yang menggoda pamannya untuk mulai menyentuhnya justru setelah kedua anaknya berhenti. Mulanya hanya di tangan ketika ia meminta bantuan Merlyn. Setelah itu dianggap biasa, naik ke pipi lalu turun lagi ke pinggul dan mulai berani naik lagi ke dada. Ketakutan Merlyn bahwa sentuhan itu akan turun lagi ke bagian lain, menjadi kenyataan. Setiap pagi, pamannya bangun lebih subuh dan menyelinap ke kamarnya. Dia melarang Merlyn mengunci pintu. “Jangan pernah bilang ke siapa pun, terutama tantemu!”

Merlyn tidak berani membalas ancaman itu sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap sepupunya. Mengadu ke malaikat pun tidak akan dipercayai kalau lelaki yang menjadi tokoh masyarakat itu melakukan perbuatan tak senonoh. Paman menggunakan pengaruhnya agar bebas melakukan apa pun terhadap dirinya. Orang-orang sekitar sangat menghormatinya. Merlyn bisa melihat pada hari-hari besar seperti Idul Fitri, pejabat kepolisian di Cilacap, jaksa, dan hakim, sering bertamu ke rumah. Ancaman “kita akan berjumpa di pengadilan” seolah tak berlaku untuk membalas kekurangajaran pamannya.

Salah satu kebiasaan lelaki itu adalah meminta bantuan Merlyn untuk mencabuti ubannya, ada atau tidak ada istrinya di rumah. Bila tantenya di rumah, pekerjaan itu tak terlalu menakutkan. Begitu tantenya di luar, itulah kesempatan paman untuk menggerayangi tubuhnya ketika tangannya sibuk mencari uban. Dua tangan bekerja bersamaan, satu mencari uban dan yang lain mencari kenikmatan. Puncaknya, ketika tante tak ada di rumah, paman memerkosanya. Itulah hari paling buruk dalam hidup Merlyn sehingga ia nekat mengiris nadi dengan pecahan botol.

Ketika tante pulang dan melihatnya bermandikan darah, paman mengaku baru saja memarahinya karena kedapatan berada di tempat bilyar bersama teman-teman cowoknya. Pamannya benar, sehari sebelumnya ia kedapatan di meja bilyar selama jam belajar dengan sejumlah teman sekolahnya. Mereka sering bolos sekolah dan baru kali itu kedapatan. Di rumah Merlyn memang anak pendiam, tapi di sekolah ia bandel. “Mungkin karena itu dia bunuh diri,” kata paman tanpa panik sedikit pun. Bahkan ketika ia membawa Merlyn ke rumah sakit, ia sempat berbisik di telinga, “Dasar bodoh. Sudah kuberikan surga dunia, kau malah ingin ke neraka. Bunuh diri itu dosa besar, tahu!” Pamannya tidak berkata tentang hukum menzinahi keponakan sendiri.

Uban itulah yang menjadi pintu neraka bagi Merlyn. Setelah mendapat pengobatan, dia kabur dari rumah dan menjadi istri simpanan seorang bangsawan di Malaysia. Mereka berpisah dua tahun kemudian dan Merlyn bertemu dengan statusnya sebagai janda kembang serta Gunawan sebagai duda beranak satu. Sebelum menikah, ia sudah menceritakan semua masa lalunya kepada lelaki itu, kecuali soal uban pamannya. Tak disangkanya uban di kepala Gunawan telah membuka kembali rahasia masa lalu yang sudah dikuburnya dalam-dalam.

“Aku tidak ingin lagi melihat uban di kepalamu!” cetus Merlyn sambil memutar tubuhnya dan keluar dari kamar mandi.

“Aku sudah tua, sudah pantas beruban. Kamu tidak bisa menolak kodrat.”

Masih sempat didengar ucapan Gunawan itu sebelum ia benar-benar lenyap dari kamar mandi. Merlyn tidak menolak Gunawan menjadi tua, tidak menolak rambut putih tumbuh di lubang hidungnya atau di tempat lain. Namun, Merlyn tidak ingin melihat uban di atas kepala Gunawan. Dia ingin uban itu berubah hitam atau ia akan kabur dari rumah bila Gunawan memaksa untuk mencabutinya. (*)