Bujang Jauh

Minggu, 04 September 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Koran Tempo, Minggu, 28 Agustus 2011

JAUH-JAUH rumpun ialang, buah para di lengkung papan. Sungguh riang gadis berdendang, pemuda tampan di kampung halaman.

Itulah yang dirasai Bunga Raya, putri tunggal seorang duda. Semua bukan tanpa alibi, bujang itu adalah Sakiaki. Beberapa hari belakangan, ia selalu jadi pikiran. Di beberapa kesempatan, ia menyelinap dalam perbincangan. Tak hanya oleh kerumunan perawan, tapi juga ibu-ibu yang mulai beruban. Ada yang bilang ia titisan Yusuf. Ada yang menduga ia Malaikat yang menyusup.

Bagai selaras dengan wajah yang simpatik, ia pun dikenal berbudi baik. Ia sangat rajin sembahyang, tegak lurus dengan sifatnya yang penyayang. Bila azan ia kumandangkan, bagai berdenyar telinga yang mendengarkan. Bukan karena sumbang bunyi panggilan, namun merdu nian ia dilagukan. Tak heran bila dalam beberapa putaran, masjid ramai oleh para perempuan. Entah bagaimana semua bermula, ini bukan isapan jempol belaka. Imam masjid sempat terperangah, namun tak kuasa mencuat tanya. Baginya, kerumunan jamaah di rumah Tuhan, pertanda baik bagi kehidupan. Walau akhirnya ia paham, bahwa keberadaan Sakiakilah yang menyebabkan.

Sang Imam kerap mengingatkan, agar sang bujang tak lupa daratan. Banyak-banyaklah bersyukur kepada Tuhan, pesannya dalam sebuah kesempatan. Jadikanlah kerupawanan, keterampilan, dan kesantunan, untuk menawan sesiapa ke jalan Tuhan. Jangan ada pemilahan! Baik lelaki ataupun perempuan. Baik muda maupun tua. Baik belia maupun manula.

Sebagaimana biasa, tak pernahlah Sakiaki membantah. Baginya setiap nasihat, adalah laba kehidupan yang berlipat. Takkan kutolak mutiara yang dihadiahkan cuma-cuma, bisik hati kecilnya. Maka, makin rajinlah ia beribadah. Tak pernah alpa karena lalai ataupun lelah.



JAUH-JAUH rumpun ilalang, buah para bertangkai lima. Jangan cibir cinta yang datang, kelak kau akan terperangah.

Sakiaki adalah orang datangan, tukang azan kesayangan imam. Ia mengajar mengaji, ketika magrib sudah permisi. Banyak anak kampung yang menjadi muridnya, mereka gembira karena sang guru baik hatinya. Sakiaki tak pernah membawa rotan saat mutaba’ah, mengulang hafalan surat-surat juzamma.Ia jua kerap bercerita, berbagi hikmah kepada murid-muridnya:

Jadi bujang bukanlah centeng. Anak gadis janganlah cengeng.

Benarlah janji Tuhan, tak ada amal tanpa imbalan. Setiap usaha yang berkat, mengundang hadiah untuk mendekat. Sakiaki seolah tak perlu memikirkan makan. Ada-ada saja yang datang menyuguhkan. Saban pagi, siang, dan petang; ibu-ibu bagai bergantian membawa rantangan. Ia jua tak perlu risau perihal pakaian, tak sedikit wali murid menghadiahinya katun jahitan. Bahkan dalam beberapa waktu yang cerlang, ada-ada saja yang memberinya sejumlah uang.

Ai, alangkah riang si Sakiaki, hatinya senang sepanjang hari. Senyum merekah kepada sesiapa yang ditangkap mata. Salam tak alpa ia ucapkan, untuk mereka yang bersua di jalanan. Sakiaki sangat cakap membawa diri, sebagaimana pesan orangtuanya di suatu hari:

Di bumi mana pun kau bergantung, di situ langit harus kaujunjung.

Berbilang masa, Sakikaki masyhur karena tabiatnya. Ya, bukan hanya karena kemerduan suara kala berazan, tapi juga kepandaiannya memelihara kawan. Bukan hanya karena wajah yang rupawan, tapi juga keramahannya kepada orang-orang. Bukan hanya karena kedalaman ilmu dan wawasannya, tapi juga kerendahan hati dalam menyembunyikannya.

Seolah mendapat bisikan Tuhan, beginilah yang dilakoni para orangtua—dan dalam perkara ini, ibu-ibulah yang dapat diandali:

Bila hendak mengantar rantangan, mereka selalu didampingi anak perawan.

Entah bagaimana, Sakiaki seolah tak pernah besar kepala. Ah, bagaimana ini layak dibahasakan: Sakiaki menganggap apa-apa yang tampak di hadapan adalah isyarat agar ia tak kerap menabur harapan, atau si ibu yang tak pandai memilih waktu menjaring menantu, atau Sakiaki yang terlalu dini berbesar hati ....

Tentu Sakiaki takkan meremehkan serangkaian gelagat. Ia hanya berisyarat seolah belum berniat kawin cepat-cepat (sungguh, bila hendak diperturutkan, sangat ingin Sakiaki membuat ikatan. Usianya sudah dua tiga, sangatlah ranum untuk menikah. Apalagi gadis-gadis yang yang ditangkap pandang, kebanyakan sudah menanti untuk dipinang).

Tak banyak yang tahu. Hati Sakiaki sudah tertaut, dengan seorang gadis yang bertutur lemah lembut. Gadis itu ia lihat tak sengaja, di sebuah pasar yang digelar pagi Selasa. Kala itu, bersama ayahnya yang juga petinggi puak, lenggok suara gadis itu membuat telinga dan mata sesiapa jadi terbuka. Bila ayahnya memetik gitar, cengkok suaranya membuat hati bergetar. Bila ayahnya melempar sampiran, sang Gadis membalas dengan makna yang berikatan. Mereka adalah sepasang pemantun yang santun. Sepasang penampil yang sangat terampil. Dan karena semua itu, tekad Sakiaki bertalu-talu. Ia bagai mabuk oleh cinta pertama, cinta yang dulu ia anggap bualan belaka.

Ai, Bunga Raya! Tunggulah! Abang ’kan datang untuk mengkhitbah!



JAUH-JAUH rumpun ialang, buah para dagingnya lekat. Alangkah malang nasib si bujang, diri sebatang diperangkap adat.

Ai, penting niankah asal usul seseorang, hingga ia harus ditimbang dalam pinangan? Maka, berkelitlah serombongan ibu, yang kerap mengantar rantangan ke rumah itu; rumah Sakiaki yang tak paham perkara; kenapa tak pernah lagi anak perawan menyertai mereka. Ibu-ibu memang masih kerap memerhatikannya, namun Bunga Raya mendapati ada yang berbeda. Pernah tak sengaja ia mendapati pergunjingan, Sakiaki dan anak-anak gadis mereka dikunyah bagai kudapan. Dalam diam, Bunga Raya kerap bergumam. Ah, ibu-ibu memang senang membuang waktu, untuk perkara yang faedahnya belumlah tentu. Aneh pula Bunga Raya mendengar apa yang mereka ributkan; Sakiaki bukan keturunan Melayu sebagaimana kebanyakan! Dan di pasar ini, bakda berpantun dan menyanyi; Bunga Raya kembali merasa ganjil, mendengar pergunjingan di sebuah kedai kecil.
”Oi, Mak-mak yang berkumpul di siang kemarau, dengarkan pantun untuk hati yang risau.”

Seombongan perempuan berumur, menyerbu dan berbaur.

”Pisau Suang Pisau Pelawan, dipakai untuk menebas mayang. Sungguh malang nasib perawan, meneguk liur mengharap bujang!”

”Ai, Siti Maimunah nan pandai bercakap, tahu nian kalau perawan kami tengah meratap.”

”Apakah ada yang bisa bermaklumat, sejak kapan adat mencekik bujang santun nan memikat?”

”Tak usah kau bertanya bagaimana api ’kan padam, bila air liur yang kaupakai untuk meredam?”

”Ya, Mak Jamidan, kita hanya merutuki kemalangan. Kau tentu paham ke mana percakapan tertuju: Sesiapa akan bangga bila Sakiaki jadi menantu.”

”Dari kabar yang melintang-pukang, ada angin sejuk yang berlabuh di ujung pedang. Keliru nian orang-orang yang bilang, kalau Sakiaki bukan Melayu kebanyakan!”

”Apa maksudmu, Cik Kumu?”

Cik Kumu tersenyum sembari melempar pandang. Senang nian ia mendapati orang-orang dililit penasaran.

”Bukankah ayahnya orang pulau seberang?”

”Atau itu hanya kabar sembarang?”

”Jangan terlalu lama racun dijerang. Hari ini sudah siang. Lekas beritahu kami sekarang!” Seorang ibu mulai berang.

Cik Kumu memberi isyarat; yang hendak beroleh kabar harap merapat!

Tak ingin melewatkan kesempatan, segeralah Bunga Raya mendekati kerumunan. Tentu tak mungkin ia bergabung; tak lazim anak gadis menyumpil di antara mulut kecubung—demikian mak-mak itu beroleh sebutan. Lamat-lamat Bunga Raya memasang telinga; sudah kenyang ia dibekap tanda tanya. Ia berharap beroleh kabar gembira, bahwa ada pasal yang dapat memuluskan rencana. Ya, dari lubuk hati terdalam, sebagaimana perawan kebanyakan, sangatlah ingin Bunga Raya disunting si bujang, tukang azan yang tengah diperkarakan. Mulut Bunga Raya komat-kamit, seolah tengah mengirim doa ke langit. Ya, Bunga Raya bagai baru menyadari, banyak yang terpikat kepada pujaan hati. Pikirannya tiba-tiba mengembara, pada beberapa karib seusia. Fatimah anak Haji Sukur, gadis ramah berkulit kuning kencur; Malacanang anak Mang Ramang, kakinya jenjang, berambut panjang; atau Saipit Zubaedah binti Wak Mahar, selain kulit sawo muda, tutur katanya sejuk didengar. Ah, setiap anak gadis pasti memesona, termasuk aku yang pandai bernyanyi dan merangkai kata, batin Bunga Raya tak mau kalah. Ya, pertunjukan yang digelar Bunga Raya dan ayahnya saban Kamis dan Selasa, membuat sesiapa tahu kalau bernyanyi dan berpantun adalah kepandaiannya (Bunga Raya benar-benar mewarisi darah sang Ayah, seorang seniman serbabisa).

Apakah Sakiaki menyukai gadis pemantun?

Apakah Sakiaki suka mendengarkan bait-bait lagu dilantun?

Wajah Bunga Raya tiba-tiba merah kembang sepatu, perasaan resah dan gembira berpadu menjadi satu. Oh, semoga saja Tuhan tengah riang, betapa aku ingin disunting ia seorang.

O o! Bunga Raya tercekat. Bagai terlupa untuk apa ia mendekat. Segera ia lepas khayalan. Tak guna bila semua masih angan-angan. Pendengaran Bunga Raya kembali awas. Ia harap tak ketinggalan kabar nan panas. Ketika mendapati pergunjingan masih diulur-ulur, ia mengela napas bagai bersyukur. Hmm, Bunga Raya berhikmat di waktu yang mustajab!

”Ayah Sakiaki memang orang pulau seberang, tapi takkah kalian berpikir tenang-tenang ...?”

”Jangan memanjangkan tali kelambu, Cik!”

”Bila masih kaubolak-balik, jangan menyesal bila kau kami cekik!”

Cik Kumu terperanjat, serta-merta ia teguk liurnya yang sepat (Bunga Raya bersetuju, dengan ancaman perempuan-perempuan itu. Ia juga jengah, melihat Cik Kumu masyuk bertingkah). Cik Kumu pun menganggukkkan kepala. Tanpa mukadimah. Tergesa-gesa. Ia utarakan perkara yang dianggapnya rahasia ....



JAUH-JAUH rumpun ialang, buah para dalam berangan. Hancur hati para perawan, bujang pujaan digapai jangan ....

Alamak jan! Bengak-nya kau, perempuan! Seolah menunjukkan mutiara, padahal tak lebih hanya sebongkah suasa!

Ya, Cik Kumu dirundung cerca. Wajahnya masai tiada terkira. Perempuan-perempuan itu bagai baru tahu, dalam tubuh Cik Kumu tidak mengalir darah Melayu. Ai, manalah paham ia tentang adat, manalah tahu ia tentang syarat yang mengikat! Lagak Cik Kumulah yang membuat mereka naik pitam. Ia seolah memegang rahasia kerajaan, padahal pengetahuannya umpama air dalam genggaman.

Gila babi nian kau, Cik Kumu! Walaupun ibu Sakiaki berdarah Melayu, takkan memengaruhi nasab bujang pujaanku! Bunga Raya bermuram durja, kabar yang diharap justru mengantar sekantung kecewa.

Bunga Raya pulang. Perasaannya tak tenang. Baru selangkah memasuki kamar, di tepi jendela ia dapati setangkai mawar. Sepucuk surat warna hijau muda, tergeletak tak jauh di dekatnya. Oh, Bunga Raya bagai bermimpi, mendapati nama Sakiaki diukir dengan dawat merah hati. Baru saja hendak ia hikmati, Ayahnya datang menghampiri. Lekas ia melipat tangan di balik kain. Betapa degup jantungnya kini terasa lain.

Bunga Raya tersenyum cerah. Disapanya sang ayah dengan ceria. Ya, ia tak ingin tertangkap basah, sebagai gadis yang tengah diikat asmara. Ai, merah genteng kini wajahnya, malu nian diolok perasaan yang membuncah. O o, tiba-tiba terbersit di pikiran, Bunga Raya hendak melunaskan kegelisahan.

”Batang pala di tepi jalan, buahnya dipetik untuk manisan. Bila Ayahanda tengah berkenan, bolehkah kulayangkan setangkai pertanyaan?”

”Buah pala untuk manisan, dimakan oleh anak perawan. Bila Ayahanda boleh pastikan, setangkai pertanyaan atau serumpun kegelisahan?”

Bunga Raya bagai menjelma setangkai putri malu, yang bila disentuh daunnya mengatup menjadi satu. Apakah sang ayah menangkap kegelisahannya, ataukah ia hanya sembarang menebak saja. Bunga Raya tak hendak bermain dengan kira-kira. Baru saja hendak ia rangkai sampiran, ayahnya sudah memanjangkan dugaan ....

”Sebagaimana kau, tentu Ayah pun galau.” Kata-kata ayahnya seolah menunjukkan, bahwa ia sudah tahu apa yang Bunga Raya pikirkan.

Bunga Raya diam saja. Berdebar-debar kini dadanya. Menanti-nanti kata selanjutnya ....

”Galau oleh mak-mak yang bermulut delapan, seolah tak ada kerja selain berbincang-bincang.”

Bunga Raya masih diam. Menebak-nebak ke mana ayahnya menggiring percakapan.

”Namun begitu, sangatlah aku bangga kepadamu. Pun arwah ibumu, akan bersepakat denganku. Ayah tak pernah memberikan tukang azan itu sesuatu, apalagi sampai membawa-bawamu ke situ. Dan kini, Ayah bersyukur sepenuh hati. Kau tentu tidak seperti mak-mak itu. Kau tidak setali tiga uang dengan anak perawan yang seolah kekurangan bujang di kampung halaman, bukan?”

Bunga Raya menunduk. Kegalauannya bersitumpuk.

”Para petinggi puak telah memufakati beberapa putusan perihal Sakiaki. Selain karena bukan peranakan Melayu asli, ia jua telah meresahkan bujang-bujang dan para suami. Anak perawan mereka tak henti membincangkan Sakiaki, sebagaimana sang istri bermimpi memiliki menantu yang baik hati. Ai, rusaklah panggung adat, bila diturut nafsu keparat!”

Bunga Raya mendongak. Dadanya tiba-tiba terasa sebak.

”Dari beberapa putusan, satu saja yang rasanya perlu kusampaikan....”

Bunga Raya meneguk liur. Perasaannya kian berkesiur.

”Sakiaki harus pergi dari kampung ini!”

Bunga Raya membelalak serta-merta. Apa yang ia dengar sungguh sukar diterima.

”Syukurlah Sakiaki tahu diri. Pagi tadi ia sudah angkat kaki!”

Bunga Raya benar-benar tercekat. Surat di tangan ia genggam erat-erat. Sungguh, ia belum tahu, apa yang Sakiaki tulis di situ. Ia sangat berharap, tertera nama sebuah tempat. Tempat di mana Sakiaki sudah menunggu, sebagaimana ia yang sudah siap-siap ke menyerbu .... (*)



Lubuklinggau, 2011