Sumpah Paul

Kamis, 25 Agustus 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Setta SS
Dimuat di Story Teenlit Magazine, Edisi 24/Th.III/25 Juli-24 Agustus 2011

PERKENANKAN aku mengenalkan diri terlebih dahulu padamu. Namaku Octopus. Ya, kau benar, arti namaku adalah delapan kaki, sesuai jumlah kaki-kakiku yang menjuntai dari kepala yang sekaligus pusat koordinasi gerak keseluruhan tubuhku.

Aku memiliki tubuh tidak selayaknya susunan organ-organ tubuhmu. Aku memiliki tiga buah jantung. Darahku berwarna biru pucat. Aku bernafas dengan menggunakan dua buah insang. Kaki-kakiku sekaligus berfungsi sebagai tangan-tanganku dengan alat penghisap berupa bulatan-bulatan cekung untuk bergerak di dasar laut—habitat asliku, dan menangkap mangsa. Hampir seluruh bagian tubuhku hanya tersusun dari otot-otot dan tanpa tulang.

Aku tidak memiliki cangkang sebagai pelindung di bagian luar dan tidak memiliki cangkang dalam atau tulang seperti sahabat-sahabatku, Sotong dan Cumi-cumi. Satu-satunya bagian tubuhku yang keras adalah paruh, semacam rahang pada tubuhmu untuk membunuh mangsa dan menggigitnya menjadi bagian-bagian kecil. Begitulah kehendak Tuhan mewujudkan fisikku yang jauh berbeda dari sosokmu di planet paling subur dan makmur ini.

O, aku hampir lupa, usiaku kini sudah dua tahun lebih. Namun berat badanku tak sampai seperlima dari berat badan normal bangsamu saat seumuran denganku. Tapi perlu aku beritahu agar kau tak mencibirku, nenek moyangku di Pasifik Utara sana ada yang berat badannya mencapai 40 kilogram lho!

Aku tidak tahu pasti lahir di mana tepatnya, tetapi sejauh memoriku mengingat saat membuka mata pertama kali aku sudah berada di Weymouth Sea Life Park, terletak di sebuah negeri kepulauan yang diapit oleh Laut Utara dan Samudera Atlantik. Dari desas-desus yang mampir ke telingaku, Ayah kandungku wafat setelah mengawini ibuku, dan ibu menyusul ayah tak lama berselang setelah ia menelurkanku dan sekitar dua ratus ribu saudara sekandungku. Kemudian aku diboyong ke negeri Hitler saat masih usia hitungan minggu. Tentu kau mengenal sosok yang aku maksud ‘kan? Di sebuah ruangan berbentuk persegi tersusun dari balok-balok kaca di sebuah kompleks di Oberhausen—bagian barat negeri Hitler terletak tak terlalu jauh dari bantaran Sungai Rhein, aku tinggal sekarang.

Paul, begitu bangsamu—bangsa paling mulia dan tercerdas versi Tuhan, biasa memanggilku di sana. Bukan Octopus, nama kebanggaan warisan kedua orangtuaku. Entah, aku tidak paham kenapa mereka menamaiku Paul. Mungkin karena aku seorang pejantan, dan menurut mereka nama itu cocok untukku?

Huh! Satu hal yang pasti, aku sangat benci dipanggil dengan nama itu. Nama itu hampir identik dengan bencana yang kerap mengintai hidupku sekarang! Atau ada sebagian di antara kalian lebih menganggapnya sebagai sebuah anugerah Tuhan yang wajib kusyukuri karena nama itu membuatku tenar? Fuihh!!

Ketahuilah, sejak perhelatan akbar olahraga aneh memperebutkan sebuah bola oleh dua puluh dua orang dari bangsamu digelar di ujung selatan Benua Hitam beberapa bulan lalu, kurasa akhir hidupku—yang sangat jarang bisa melampaui usia lima tahun, menjadi kian buram. Kini aku memiliki banyak musuh dari golongan bangsamu. Mereka yang menganggapku musuh lebih tepatnya. Aku sangat sedih karenanya. Tapi apalah dayaku?

Coba kau simak beberapa ungkapan kemurkaan sebagian bangsamu yang sampai ke telingaku ini:

“Kita akan mengejar Si Paul dan menaruhnya dalam beberapa potongan paprika. Kita kemudian akan memukul-mukulnya agar dagingnya tetap lembut dan lunak, dan lalu mencemplungkannya ke air mendidih,” ujar Nicolas Bedorrou, seorang koki ternama.

“Aku ingin membunuhnya dan memasukkannya dalam paella—nasi goreng seafood ala Latin,” ujar seorang lainnya.

“Semua yang Anda butuhkan hanyalah empat kentang berukuran sedang, minyak zaitun untuk rasa dan sedikit merica bubuk,” tulis media berjudul El Dia, memberikan resep bagi siapa pun yang berani menangkapku setelah kekalahan tim negaranya dalam olahraga berebut memasukkan sebuah bola ke gawang lawan yang tak kutahu apa namanya itu, hanya gara-gara polah makanku yang dijadikan bahan ramalan di negeri tempatku dibesarkan.

Gila! Ini benar-benar sudah gila! Apa salahku sesungguhnya?

Aku tak pernah berpikir tentang hal ini sebelumnya. Tapi itulah fakta yang harus kuhadapi kini. Dan yang membuatku semakin tidak mengerti, semua ini terjadi karena kebodohan bangsamu sendiri. Tak kusangka, bangsamu ternyata bisa lebih idiot dari bangsaku! Sungguh, aku tak bermaksud merendahkan tingkat kecerdasan bangsamu. Karena aku pernah mendengar makhluk yang tercipta dari cahaya pun sudah mengakui kecerdasan bangsa kalian. Maafkan aku bila kata-kataku tidak berkenan. Tapi aku sangat kesal!

Semua bermula dari aktivitas sekelompok cerdik pandai dari bangsamu. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun menjadikan sebagian bangsa kami sebagai objek eksperimen, mereka menyimpulkan bahwa bangsaku sangat cerdas dan kemungkinan merupakan yang paling cerdas di antara semua bangsa invertebrata.

Bangsa kami mampu melakukan proses pemikiran yang rumit, memiliki ingatan jangka pendek dan jangka panjang—tentu saja sebatas usia bangsaku, mampu menggunakan peralatan, membedakan berbagai bentuk dan pola, dan belajar melalui pengamatan—aku bisa membuka tutup toples dengan belajar dari melihat saja. Saudara-saudaraku yang tinggal di habitat asliku sering memanjat kapal penangkap ikan dan membuka ruangan penyimpan ikan untuk memakani kepiting. Beberapa saudaraku yang lain juga bisa menangkap dan memangsa beberapa spesies ikan hiu. Selain itu, warna kulit tubuh kami bisa diubah sesuai warna dan pola lingkungan sekitar dengan maksud melakukan kamuflase—penyamaran. Dan sebagian spesies bangsaku juga bisa menirukan gerakan dan membentuk postur hewan laut lain untuk mengelabuhi mangsa atau predator kami.

Dari anggapan sebagian cerdik pandai bangsamu itulah deritaku sesungguhnya dimulai. Hingga sebutan si peramal cerdas, ahli nujum, dukun, cenayang atau apalah istilah bangsamu, melekat pada setiap penyebutan namaku sekarang. Lelucon yang sama sekali tidak lucu! Semakin menjadi tidak lucu lagi ketika hal itu hanya didasarkan karena aku lebih memilih menyantap remis—makanan kesukaanku, dalam satu kotak lebih dulu daripada remis dalam kotak yang lainnya.

Padahal, demi Tuhan, aku hanyalah makhluk biasa seperti bangsa kalian yang tak bisa meneropong masa depan. Tak juga mengetahui bagaimana, kapan dan di mana akhir usiaku sendiri.

Aku benar-benar kesal! Tapi baiklah, aku akan ceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi selama ini. Dan kuharap kau akan lebih mempercayai ceritaku ini daripada parade bualan sebagian kalangan dari bangsamu itu.

Adalah Daniel Fey, induk semangku di Oberhausen, pada mulanya ia iseng mengerjaiku. Aku tidak pernah berpikir macam-macam saat dia menceburkan dua buah kotak kaca kecil berukuran sama ke dalam rumah kacaku yang tidak begitu luas. Aku tidak peduli sama sekali dia memasang benda apa saja di dalam kedua kotak kaca yang diceburkannya itu. Di dalamnya masing-masing ada juga sebuah bendera, katamu? Aku tidak mengenal sama sekali benda apa itu. Yang aku tahu, indera penciumanku yang tajam mencium bau remis di dalam kedua kotak kecil itu. Tapi Daniel sungguh cerdik. Dia sengaja menutup rapat kedua kotak kaca yang dijatuhkannya itu.

Kau tahu, aku selalu merasa lapar setiap kali mencium bau remis. Tentu saja aku segera menghampiri salah satu kotak berisi remis yang letaknya paling dekat dengan posisiku. Atau kadang aku iseng mengendus bau remis dari luar kedua kotak kaca itu bergantian terlebih dahulu sebelum memilih salah satu di antaranya untuk kunikmati pertama kali.

Demi Tuhan, hanya ritual itu saja yang kulakukan!

Sungguh aneh jika kemudian pilihanku setiap pertama kali menyantap remis di salah satu dari dua kotak yang berkali-kali dijatuhkan Daniel ke dalam rumah kacaku itu sudah menggegerkan bangsa kalian. Tepatnya dijadikan acuan, apakah negeri tempatku dibesarkan akan memenangkan laga memperebutkan sebuah bola oleh dua puluh dua orang itu atau sebaliknya akan menderita kekalahan.

Oh my God! Sekali lagi aku minta maaf, tapi kali ini benar-benar tampak bodoh bangsamu yang katanya sangat cerdas itu di mataku. Tiba-tiba aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, mentertawakan sebagian di antara kalian yang meyakiniku bisa meneropong masa depan. Sebuah pola pikir aneh yang rancu dan konyol di zaman serba canggih ini! Hahahaha….

Bangsamu tentu belum sepenuhnya lupa. Hampir dua tahun silam, makhluk-makhluk dungu di antara kalian kecele di meja kasino. Entah karena pertimbangan logis apa, mereka telah menjadikan ritual makanku sebagai patokan gambling dalam olahraga serupa. Hahahaha…. lucu, sangat lucu! Namun sekaligus membuatku menangis tanpa airmata. Begitulah yang sesungguhnya telah terjadi selama ini.

Inilah pengakuanku yang sejujur-jujurnya. Aku bersumpah tidak ada rekayasa dan atau paksaan dari pihak mana pun. Bangsamu harus percaya sepenuhnya padaku meski pengakuanku ini tidak aku bubuhi tandatangan di atas materai enam ribu rupiah seperti kebiasaan kalian saat menyatakan sumpah secara tertulis. Hmm… aku juga meminta maaf mungkin terlalu telat untuk mengkonfirmasi hal ini. Berjanjilah, jangan musuhi aku lagi setelah ini! Aku mohon, kasihanilah aku. Aku sudah cukup menderita selama ini.

Dan, ketahuilah, meski sepasang mataku ini bisa membedakan polarisasi cahaya, sesungguhnya aku dan seluruh warga bangsaku mengidap daltonism. Ya, bangsa kalian jamak menyebutnya dengan buta warna….

Epilog

Hari ini, Selasa, 26 Oktober 2010, Paul si Octopus yang seratus persen jitu meramal selama Piala Dunia lalu mangkat secara alamiah dengan tenang di akuarium tempat ia hidup di Oberhausen Sea Life Center, Berlin, Jerman, pada usia dua setengah tahun. (*)