Dekapan Sunyi Ayah

Selasa, 23 Agustus 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Mashdar Zainal

Dimuat di Surabaya Post, 21 Agustus 2011

SEWAKTU kecil aku selalu kesulitan mengartikan kata ‘ayah’. Tapi, kata ibu, ayah adalah sebuah rumah di mana kami—aku dan ibu, tinggal dan berteduh. Ketika itu, aku membayangkan ayah (seperti wajah yang ada dalam foto tahun 70an, kusam dan tak berwarna) menjadi raksasa dan tiba-tiba kakinya yang besar mencengkram tanah dan menjadi batu pondasi yang sangat kokoh, sedangkan tubuhnya membeku menjadi dinding-dinding yang tegap, mata dan telinganya menjelma menjadi pintu-pintu dan jendela, dan rambutnya yang sangat hitam dan tebal menggumpal menjadi atap yang pekat oleh lumut kering. Maka, untuk selanjutnya, dalam kepalaku, itulah ayah.

***

Selain rumah yang kami tinggali, wajah ayah (yang dalam arti sebenarnya) hanya bisa kutilik di foto itu. Foto ayah satu-satunya yang dimiliki ibu. Masa kecil tak pernah memberiku pelajaran akan bagaimana sosok ayah yang hilang dan hanya menjelma menjadi sebuah rumah. Ketika kawan-kawan sepermainanku bercerita tentang ayah, aku bercerita tentang ibu. Ketika mereka berwarta bahwa ayah mereka selalu diundang dalam kegiatan Yaasin dan Tahlil, kemudian pulang dengan nasi berkat yang masih mengepul, aku pun selalu menyela bahwa ibukulah yang selalu diundang sebagai juru masaknya. Pernah pula mereka bertanya, apakah aku pernah dipanggul di bahu seorang ayah, maka aku balik bertanya, apakah mereka pernah dipanggul di bahu seoarang ayah yang sekaligus ibu. Ibu yang ayah, atau ayah yang ibu. Dan mereka tak pernah bisa menjawab.

Aku tak tahu, apakah aku lebih beruntung dari mereka, atau mereka yang lebih beruntung dariku. Yang pasti, mereka tak pernah memiliki ibu seperti ibuku. Ibu yang sangat tangguh sekaligus lembut. Ibu yang sewaktu-waktu bisa menjelma menjadi seorang ayah sekaligus seorang ibu.

Meskipun kecil, aku cukup pandai bersilat lidah. Pernyataan atau pertanyaan teman-teman sepermainan—yang selalu dilempar di mukaku, selalu bisa kutangkal dengan lidahku. Meskipun sepulang bermain, sesampainya di rumah, tiba-tiba aku menjadi seorang pemarah dan pemurung. Dan sasaran yang paling tepat untuk melimpahkan semua rasa kesalku adalah ibu. Ibu yang tak pandai bersilat lidah, melawan eyelanku.

“Ibu, carikan aku ayah.” Pintaku dengan hati sebak.

Ibu terantuk kaget mendengar suara yang mengempas dari mulutku.

“Ayah?” ia seperti tak mendengar pintaku.

“Iya, carikan aku ayah.”

“Kita kan sudah punya ayah.”

“Maksudku ayah yang manusia, bukan ayah yang rumah.”

“Ayahmu kan ayah yang manusia. Lihat fotonya, alangkah tampannya ayahmu itu, alisnya tebal sepertimu.” Ibu mencoba mengalihkan perhatian.

“Maksudku ayah yang bisa menyentuhku, ayah yang bisa menggendongku di atas bahunya, ayah yang di undang ke Yaasinan dan pulang membawa nasi berkat. Ayah yang…”

Raut wajah ibu mulai berubah, seperti bara yang padam.

“Ayo, Bu. Aku ingin seperti teman-teman yang punya ayah manusia, bukan rumah dan foto saja.”

Kini mata ibu berkilat, seperti kaca tertikam hujan.

“Apakah ibu tidak cukup menjadi ayahmu?” katanya kemudian, berkabut.

“Tapi ibu kan perempuan.”

Ibu kembali terdiam.

“Ibu tak punya kumis dan lengan yang kekar.”

Ibu menunduk.

“Ibu tak bisa mengajariku sepak bola, apalagi silat.”

Ibu pura-pura tertidur.

Setelah ibu sempurna dalam diamnya. Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah pada ibu. Ingin rasanya kembali kumakan kata-kataku. Kalau sudah begitu, aku akan mendekati ibu perlahan-lahan dan menidurkan kepalaku di atas pangkuannya. Supaya bisa kutilik mata ibu dari bawah, apakah ia memang tertidur atau hanya menyembunyikan air mata.

***

Ibu benar, ia tak perlu menjelaskan semuanya. Karena usia lebih sempurna menjelaskannya. Aku tahu, mengapa dulu ibu menyebut ayah sebagai rumah. Ia hanya ingin melukiskan bagaimana sosok seorang ayah—yang tangguh dan selalu melindungi, dari terik, hujan, dan ancaman. Aku tahu, anak delapan tahun takkan mungkin tertimpa beban mengartikan kata ‘meninggal’.

Ketika usiaku menginjak belasan, dengan sangat perlahan ibu mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—hanya karena mereka pernah hidup. Maka berjubal-jubal pertanyaan berkecambah dalam kepalaku setelah cerita itu.

Dan bagaimana kematian menjemput ayah? Ada badai di paru-parunya yang melupakan bah merah, begitu jawab ibu.

Dan di mana kini ayah dimakamkan? Ada di kampung leluhur ayahmu, jauh sekali dari sini, jauh sekali…

Dan bagaimana kita bisa berada di tempat yang jauh dari ayah? Ayahmu adalah seorang perantau, dan seorang perantau harus kembali ke tanah rahimnya, tak peduli renta atau jasad semata…

Dan mengapa ibu tidak mencari lelaki yang baru? Aku sudah memiliki lelaki yang baru, kau! kenapa aku musti mencari yang lain…

Dan ibu seorang janda, tidakkah itu sangat sulit? Kesulitan yang paling sulit telah kutelan, yaitu ketika ayahmu pergi, dan bahkan jasadnya bagai haram kusambangi…

Sebenarnya aku ingin bertanya yang lebih dari itu: bagaimana ibu bertahan dari dingin tanpa seorang lelaki selama puluhan tahun, namun pertanyaan itu tampaknya tak perlu kuungkapkan. Aku sudah tahu jawabannya, satu kata: tangguh. Ya, ibu hanya tangguh. Sangat tangguh.

***

Usia bagai jalan setapak, dari tempat berangkat akan terus melaju ke tempat tujuan. Di usiaku yang masih labil, rinduku akan sosok ayah kian merajalela. Aku tak ingin mengartikan ini sebagai perjalanan yang timpang, tapi kulihat lukisan keluarga yang terpajang di dinding hatiku begitu suram, tak sempurna. Aku bagai unggas tersesat yang hanya memiliki satu sayap. Tak mampu terbang. Hanya meloncat-loncat.

“Lelaki memang ditakdirkan menjadi ayah, kelak kau pun akan menjadi seorang ayah.” seloroh ibu suatu malam, ketika aku memintanya bercerita kembali tentang ayah. Tentu saja aku terhenyak.

“Menjadi seorang ayah?” balasku gagu, “oh, tentu saja.” Itu yang melesat dari mulutku. Tapi, dalam kepalaku lain. Dalam kepalaku, kubayangkan diriku tumbuh menjulang menjadi sebuah rumah, menjadi seorang ayah. Ah, alangkah rapuhnya jika rumah itu nanti ditempati. Aku tak punya kaki untuk pondasi. Dari mana kuambil pelajaran mejadi sebuah rumah, sedangkan aku tak pernah memiliki rumah.

“Kelak kau akan menikah dan menjadi seorang ayah. Kau akan menjadi rumah untuk keluargamu, untuk istri dan anak-anakmu. Kau akan menjadi pelindung bagi mereka,” kata ibu lagi.

“Kenapa ayah selalu diartikan sebagai sebuah rumah, Bu?” iseng-iseng aku bertanya.

“Karena rumah adalah tempat yang aman untuk berlindung.”

“Apakah itu berarti, jika badai dan puting beliung mempesiang rumah kita, ayah kita akan mati?”

Ibu terdiam. Ia mengusap kepalaku, menyuruhku segera tidur. Sudah malam, katanya. Ia sendiri kembali ke kamarnya dengan langkah terhuyung dan pundak yang berguncang. Maka, setelah ibu kembali ke kamarnya dan malam menjadi sepi, aku akan menggeledah seisi rumah untuk mencari letak wajah ayah. Namun tak pernah kutemukan. Hingga akhirnya aku termangu di ruang tengah. Ruang yang kata ibu, dulu menjadi tempat semedi kesukaan ayah.

Di sana hanya ada sebuah ranjang reot dan kasur tipis yang kapasnya sudah menggumpal. Aku selalu termenung di tempat itu. Membayangkan ayah yang datang tiba-tiba dan memelukku, kemudian mengajakku berbincang panjang. Namun di sana tak pernah ada sesuatu yang lain selain sepi yang menggumpal. Di ranjang itu aku tak pernah bisa memejamkan mata.

***

Entah musabab apa, malam itu, ketika rinduku pada ayah memuncak, malam menjelma menjadi waktu yang sangat panjang, bagai tanpa ujung. Kamar ibu sudah sepi. Barangkali ibu sudah terbang ke alam mimpi menemui ayah.

Dan mataku masih nanar. Aku termangu menekuni malam yang seperti tengah merencanakan sesuatu. Aku tersentak ketika hujan pertama menikam atap rumah bagai hentakkan ujung tombak. Kasar dan keras. Sesekali kilat menjantani malam dengan sinarnya yang hanya bagai kedipan mata. Suara angin begitu nyata bagai tampak wujudnya.

Gemuruh yang gaduh. Gaduh yang gemuruh.

Aku melangkah dari ranjang reot itu. Kuintip ibu yang sudah terbaring pulas di ranjang kamarnya. Kutengok pula malam di luar jendela. Buruk sekali. Hujan dan angin seperti bersatu menuntaskan dendam. Bunga-bunga di halaman rebah bagai tertidur. Pepohonan meliuk-liuk bagai anak kecil yang merajuk. Sepi yang beberapa waktu lalu menggumpal kini mencair oleh tikaman air yang bising dan mengkhawatirkan. Aku kembali ke ranjang reot tempatku bersemedi, hingga kudengar pintu depan berderak bagai didobrak.

“Ayah, kaukah itu?” kata itu meluncur begitu saja. Kutengok ruang depan, pintu sudah menganga. Daun pintu terhempas membentur dinding beberapa kali. Apa aku lupa mengunci pintu? Kudorong daun pintu kuat-kuat melawan angin yang mengibaskan butir-butir air dan membuat kudukku meremang, menahan dingin.

“Ada apa?” suara ibu mengagetkanku.

“Cuma angin.” Jawabku. Lantas ibu menyuruhku cepat-cepat tidur sebelum ia kembali ke kamarnya.

Aku kembali ke ranjang reotku. Di sana kurebahkan tubuh. Mataku tengadah menatap atap yang menghitam. Suara angin dan hujan merajalela. Aku tak bisa memejamkan mata. Yang menderu dalam kepalaku hanya tentang ayah. Di malam-malam galau begini ayah bagai sangat dekat. Dekat sekali. Hingga tiba-tiba telingaku menangkap suara gemuruh yang lebih gaduh dari sebelumnya.

Pada detik itulah atap yang meneduhiku roboh menimpa tubuhku. Seperti adegan dalam sebuah mimpi. Basah mulai mengguyurku. Kurasakan perih dan nyeri di sekujur tubuhku. Di antara reruntuhan, mataku bagai menangkap wujud angin mengibaskan ekornya yang terakhir, menyapu dinding dan kamar ibu. Sempat kudengar teriakkan ibu sebelum perlahan semuanya menjadi sunyi. Sunyi sekali.

Pada detik itu, kurasakan ayah tengah mendekapku. Dan mungkin mendekap ibu. Kami meringkuk tanpa suara dalam dekapan ayah. Dekapan ayah yang sunyi. Sunyi sekali.***

-Malang, Januari 2011