Aku Berlindung dari Godaan Pengarang yang Terkutuk

Senin, 22 Agustus 2011 by: Forum Lingkar Pena


Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Jawa Pos, Minggu, 21/08/11

Ia lebih mirip merpati betina yang sekarat. Tubuh belang tiga. Kepala dan paruhnya hijau tahi kuda. Kedua sayapnya putih salju. Ekornya merah kepiting.

WAJAHNYA YANG KERIPUT tampak letih seolah baru saja terbang dengan sekarung nostalgia di kepala. Ia menghampiri beranda rumah yang kami bangun dari setumpuk kata. Kata-kata itu direkatkan oleh mata pena. Pena pemberian Ibu. Pena Ibu.

Pena dengan tinta airmata, kata Ayah. Tangis Ibu adalah sungai cerita yang menjorok dekat pintu surga, lanjutnya. Jangan tanya mengapa airmatanya berubah menjadi mata air. Yang mampu kuendus adalah, ia bisa mengukur waktu keberadaanya di dunia. Memang ia diserang stroke ketika mendapati buku atas nama pengarang belia yang laris di pasaran adalah draf karangannya yang lama hilang. Namun Ibumu selalu mengatakan: Bukan haus pengakuan dan ketenaran yang menyulutnya pergi dari sastra. Bukan kekecewaan yang menyebabkannya meninggalkan kita. Bukan penyakit yang membuatnya mewarisi pena ajaib dengan aliran tinta tanpa batas. Ibu pergi karena menghormati Malaikat yang berulangkali mengajaknya tamasya ke angkasa.

Benarkah begitu?

Kata Ayah lagi, Malaikat itu menawari Ibu menjadi editor di sebuah penerbitan baru di sana. Katanya, buku-buku terbitannya kelak, concern mengulas etika berkarya. Tahukah kau, karena shock dengan semua kegilaan itu, Ayahmu ini mengidap penyakit jantung hingga sekarang!

Ah, bagiku, Ayah tengah membual. Aku percaya, Ibu pergi karena karya-karya Ayah, karena cerita dan sajak yang Ayah karang di meja belakang. Meja yang kini diberinama Meja Kenangan (Ayah sok melankolik dalam hal ini). Sungguh, bila hendak kuturutkan mimpi-mimpi yang bertandang ketika aku tidur di atas pukul dua malam, Ayahlah yang melenyapkan Ibu! Ayah selalu menyeret Ibu ke dalam cerita-ceritanya. Ayah bahkan tega-teganya mengikat Ibu dalam puisi-puisinya. Ia membuat frasa dan ungkapan untuk kemudian dilecutkan ke setiap bagian tubuh Ibu. Tanpa rasa bersalah, Ayah selalu menyiksa Ibu sebelum membangkitkannya lagi, menyiksanya lagi.... Begitu seterusnya. Ayah melakukan semua dengan begitu indah, tampak lembut, namun sesungguhnya menyakitkan!

Ibu tidak mati, Ayah! Ujarku suatu waktu. Apalagi hanya karenamu, lanjutku ketus. Ibu pernah bilang, pantang bagi seorang pengarang mati sebelum ajal tiba!

SUNGGUH MENYEBALKAN!

Ayah, dengan hati yang (sok) suci, menawarkan percakapan. Perempuan itu meladeninya seraya sesekali melirikku. Tampaknya ia mengenalku. Tapi aku pikir ia tahu kalau aku tak terlalu menyukainya, tak menyukai kedekatan mereka yang tiba-tiba. (Catat: aku bukan cemburu! Aku hanya berpikir, dengan semua kesalahannya, Ayah belum layak bergembira, titik!)

Kau pusing? Tanya Ayah.

Perempuan itu mengangguk.

Ah, lagak mereka, seolah-olah dua orang Jerman yang baru bertemu setelah Tembok Berlin runtuh!

Kau harus meringankan kepalamu. Aku bisa meminta anakku mengambilkan obat untukmu. Ayah melirikku.

Ah, bodohnya aku. Seperti kucing yang dijanjikan ikan asin, aku menuruti kemauan Ayah. Aku menuju almari obat di ruang tengah. Tak lama, aku sudah kembali dengan dua tablet paracetamol dan segelas air putih. Kusodorkan kepada perempuan itu.

Apa ini? Tanyanya seraya menepis tanganku. Aku butuh obat, bukan permen buatan dokter!
Dadaku megap-megap. Aku emosi. Perempuan gila, hardikku dalam hati.

Kini, giliran Ayah yang masuk ke dalam rumah. Mungkin Ayah punya obat yang lebih mujarab, pikirku. Ya, obat sakit kepala untuk merpati betina ini!

Ayah menyodorkan beberapa gulungan kertas kepada perempuan itu.

Aku melukis lipatan daging di dahi hingga mirip liukan ombak. Apa yang Ayah berikan? Resep obatkah? Sejak kapan Ayah menjadi mantri? Ah, aku tambah bingung. Ups! Tunggu dulu, air muka perempuan itu melengkapi keherananku. Ya, ia tiba-tiba semringah, seolah Ayah baru saja memberinya daftar warisan.

Perempuan itu membuka gulungan kertas itu. Ia membacanya pelan sekali, khusyuk sekali. Kadang ia tersenyum, kadang ia mengernyitkan dahi, kadang ia tertawa kecil, kadang ia memandangi Ayah dengan tatapan yang sarat nafsu, kadang ia mendongak ke langit bagai mengagumi alam semesta....

Ups! Ya Tuhan, bagaimana aku bisa alpa seperti ini! Aku bermaksud merampas kertas-kertas itu. Tapi telat, perempuan itu sudah memakannya. Aku menoleh ke arah Ayah. Ia tersenyum miring di sana.

Pengarang Setan! Aku meneriaki Ayah.

Ayah terkekeh.

Muntahkan! Teriakku kepada perempuan itu.

Ayah tertawa.

Perempuan itu jatuh, ambruk.

Aku gegas mendekatinya.

Tawa Ayah makin keras.

O o, kepala perempuan itu tiba-tiba membuka sendiri seperti ruas kulit durian yang merekah karena terlalu masak.

Ayah menyeretku menjauh dari perempuan itu. Lalu mendorong dadaku dengan kaki kanannya. Aku terjerengkang satu setengah depa di belakangnya.

Ayah menarik rambut perempuan itu—rambut hijau tua. Terbukalah kepala perempuan itu. Dengan serampangan Ayah mengambil isinya seperti menarik kain-kain perca dari tubuh boneka yang robek.

Aku tertegun. Kenapa Ayah membunuh perempuan yang baru saja dikenalnya? Mengapa Ayah menginginkan kenangan yang bersigumpal dalam kepalanya? Ah, Ayah memang kejam! Tega membunuh seseorang dengan puisinya (atau cerita karangannya) dengan alasan yang barangkali ia sendiri tak mengetahuinya.

Ayah memutar kepalanya, memelototiku, seolah ia dapat membaca pikiranku. Kau masih terlalu hijau! Ia mendesis. Kau tak tahu bahwa masa lalu adalah bahan baku terbaik untuk membuat cerita dan menghidupkan puisi! Dasar dungu!

Tatapanku hampa. Aku seolah sampah. Aku kalah! Tunggu pembalasanku! Batinku geram. Gigiku bergemerutupan.

Ayah mendengus sebelum seolah menghiburku: Sebentar lagi, perempuan itu juga akan bangkit. Ia hanya pingsan. Ayah terkekeh lagi seraya mengalihkan pandangan ke perempuan yang terkulai itu. Di sana, kepala perempuan itu sudah kembali utuh!

Aku menjauhi beranda dengan langkah mundur yang tertatih-tatih. Lalu masuk ke rumah tergesa-gesa dengan perasaan tak menentu hingga aku menabrak Meja Kenangan. Aku tersungkur. Salah satu sudutnya yang tajam seolah menusuk kepala. Kuraba pelipisku. Kudapati bercak darah di telapak tanganku. Untung lukaku tidak terlalu serius. Aha! Entah bagaimana aku mengabaikan kepalaku yang masih sedikit bergasing. Seolah baru saja disembuhkan dari amnesia, aku tiba-tiba menjadi sangat bergairah! Aku sigap meraih kursi. Abrakadabra! Bagaimana aku baru menyadarinya sekarang! Ya ya ya, aku juga bisa! Aku sudah banyak belajar dari pengarang busuk itu! Aku tak butuh KBBI atau mempelajari EyD! Aku sudah paham semuanya. Ah, bodohnya aku selama ini!

Kuambil lembar-lembar karangan Ayah dari laci. Cerpen, novelet, draf novel, hingga tumpukan sajak yang tak kumengerti. Tidak! Aku tidak membacanya secara saksama, apalagi memakannya serta merta! Aku tak ingin menjadi korban berikutnya. Aku ambil sebuah cerpen. kucangking Pena Ibu yang tergeletak dekat tumpukan buku. Aku salin bulat-bulat karangan Ayah. Kuubah beberapa penggalan dialog. Kuganti sudut pandang narasi. Kuutak-atik beberapa bagian deskripsi. Pada beberapa kalimat yang kupikir menarik, aku bermain diksi; aku menggubah ungkapan-ungkapan—yang aku yakin takkan ditemui dalam karya-karya Ayah! Dan khusus paragraf penutup, kupiuhkan! Kujungkirbalikkan cerita!

Mati kau! Kututup Pena Ibu. Kugegas melangkah keluar!

MEREKA BERDIRI BERSEBERANGAN dalam rentang dua langkah kaki orang dewasa. Ayah menatap perempuan itu dengan saksama. Oh, kerudung perempuan itu. Ya, kerudungnya yang hijau tua, mengingatkanku kepada seseorang. Baju kurungnya, baju kurungnya yang longgar, baju kurungnya yang berwarna putih, juga memaksaku terbang ke masa lalu. O o, roknya yang landung itu! Ah, bukan itu yang membuatku makin terkesiap. Jingga. Jingga tua! Ya, warna rok itu. Bukan! Tapi juga kerudung dan baju kurungnya! Hijau, putih, jingga! Warna-warna itu adalah warna favorit Ibu.

Aku baru mengerti. Mereka bukan seolah-seolah saling mengenal. Mereka memang sepasang kekasih yang berpisah karena alibi yang tak kuasa diajak kompromi. Ibu seorang pengarang yang idealis. Ayah adalah pengarang yang pragmatis! Dan kini, mereka kembali bertemu.
Memang, walau aku bahagia mendapati apa yang kuyakini selama ini ternyata tak meleset (Semua tentang waktu. Ibu akan pergi dan kembali bila waktunya tiba!), aku tetap sulit mengerti bagaimana semua ini terjadi. Namun begitu, aku adalah saksi mata yang berdiri di antara pengarang keparat dan seekor merpati bersayap patah. Ketika tiba-tiba mereka berpelukan, pakaian mereka bagai dicerabut paksa oleh angin dari angkasa, terburai menjadi perca di mana-mana, terbang berhamburan, berserak di awang-awang. Aku tahu, itu namanya serpihan kenangan.

Benar, kata Ayah.

Replika kenangan! Sergah Ibu sambil mengepakkan sebelah sayapnya seolah mengempaskan sesuatu dari tangannya.

Ya, ya ya, ehmmm ... semacam itu, kata Ayah terbata-bata, seolah ia tengah meralat ucapannya yang pertama. Ia tersenyum kaku kepada Ibu sebelum ia tiba-tiba berjongkok, berjalan merangkak, memungut perca-perca yang berserakan di sekitar kami. Ibu memandanginya dengan sebelah mata yang dipicingkan.

Dasar! Pengarang serakah! Hardik Ibu.

Aku masih terpana menyaksikan Ayah mengumpulkan replika-replika kenangan itu ketika tiba-tiba Ibu menyerobot kertas di tanganku. Ia menarik leher baju Ayah hingga laki-laki itu berbalik badan.

Ini! Ibu melemparkan karanganku ke arah Ayah. Kau harus bangga kepadanya! Ujar Ibu sambil menunjuk ke arahku.

Ayah melirikku sekilas sebelum membacanya. Tubuhku tiba-tiba menggigil. Tubuhku tiba-tiba bertranspirasi. Degup jantungku tiba-tiba ngebut.

Ayah terjatuh!

Aku terkesiap.

Ibu buru-buru menghampiriku.

Apakah kau juga mewarisi tabiat buruknya? Tanya Ibu sembari mengguncang bahuku.
Tidak, Bu! Aku tidak meracuni Ayah dengan karanganku sebagaimana ia sering menyeret dan menyiksamu dalam karya-karyanya!

Lalu, sehebat apa engkau kini, hingga karanganmu dapat membuat penyakit jantungnya kumat?!

Aku ... hanya meminjam karyanya ... untuk kubuat ... dalam versiku, ujarku hati-hati sebelum meneguk liur yang pahit di kerongkongan.

Kau plagiat?

Bukan, aku mengubah sudut pandangnya!

Kau plagiat! Tak beda dengan Ayahmu yang melakukannya terhadap karya-karyaku!

Ayah juga plagiat?

Tak usah terkejut. Aku kecewa kepadamu!

Ibu menjauh. Ia membuang muka. Sepertinya ia ingin terbang. Tapi ia lupa kalau sayapnya patah, dan kepalanya kerontang karena nostalgia yang sudah habis dikeruk Ayah. (*)

Lubuklinggau, 22 Februari s.d. 20 Maret 2011