Kapal Kita Tidak Karam

Senin, 22 Agustus 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu, 21/08/11

PERNIKAHANLAH yang mengikat kau dan aku menjadi sepasang kekasih.

Kita seolah-olah membangun kapal. Kau tukangnya, dan aku penyokongnya. Ya, aku yang menyiapkan santapan ketika waktu makan datang, aku yang menyuguhkan segelas es sirup bila kau mulai dahaga, aku akan menghidangkan kudapan bila kau rehat beberapa jenak, dan tentunya aku akan siap memberikan pendapat ketika kau bertanya seperti apa sebaiknya geladak, buritan, atau ruang nahkoda ....


Kata orang, surga adalah pulau terindah yang Tuhan sembunyikan, selorohmu suatu waktu. Kau tahu ’kan, Kekasihku, kalau banyak sekali yang bercita-cita ke sana. Paling tidak, kita sudah memiliki kendaraan sendiri kalau pelayaran sudah dibuka. Syukur-syukur bisa mengajak keluarga dan sanak kerabat, lanjutmu seraya tersenyum teduh. Ah, mendengarkanmu adalah menyaksikan mutumanikam berhamburan dari mulutmu, wahai Suamiku.

Demi waktu yang menerbitkan dan menenggelamkan matahari, kita membangun kehidupan yang amanah. Kita menjalaninya nyaris tanpa memberikan kesempatan bagi pertikaian besar untuk menginterupsinya. Tentu, Tuhan akan bersama orang-orang yang saleh, katamu suatu waktu ketika kuluapkan kegembiraan mendampingimu membuat kapal. Kaukatakan, kita harus segera menguji ketahanan kapal. Aku sepakat. Siapa tahu kita akan tersesat di Taman Firdaus, kau melepas tawa kecil.

Benar saja! Kapal yang kita layari pelan-pelan menambatkan kita pada sebuah kenyataan yang indah; kita saling mencintai. Saling mencintai demi surga, tegasku. Bagaimana kalau surga dan neraka itu ternyata tak ada, tanyamu. Aku memicingkan sebelah mata. Baiklah, kataku seraya menaikkan kedua bahu seolah-olah menyerah sebelum buru-buru mengimbuhnya: Ya ya ya, kita saling mencintai karena-Nya. Bagaimana? Setuju, Suamiku? Kedua ceruk di bawah alisku memberi ruang bagi bola di dalamnya untuk menatapmu lekat-lekat. Kau tertawa. Kau memelukku, dan berbisik; kau memang istri yang hebat! Dalam hati aku berteriak menang. Apa hadiah buatku, aku merengek di balik bahumu. Bulan depan kita akan merayakan satu tahun pernikahan, bisikmu. Kau akan memberiku apa, desakku. Tiket, pungkasmu. Tiket? Kedua alisku nyaris menyatu oleh kerutan daging di atasnya. Tiket buat kita berdua, jawabmu dingin. Ke mana? Tanganku memukul-mukul manja bahumu seolah meminta kau segera melepaskan penasaran yang melilitku. Tanah Suci, Kekasihku, ujarmu lembut seraya melepas pelukan. Tatapanmu seolah menjadikanku bidadari paling bahagia hari itu. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Aku terlampau gembira. Kita kembali berpelukan, lebih erat.

***

KITA adalah sarjana yang menetas di kawah candradimuka yang berbeda. Kita sama-sama berdikari di kampung halaman. Aku mengajar di sebuah pesantren. Kau menyewa ruko dua pintu di dekat jalan lintas untuk usaha toko buku. Pasti sejak dulu kau memang bercita-cita menjadi pengusaha, pikirku. Aku lebih senang mengenalmu sebagai calon pengusaha daripada ustaz. Bagiku setiap lelaki seharusnya menjadi ustaz sebagaimana setiap wanita seharusnya menjadi ustazah. Ah, sebenarnya tanpa harus diawali pengetahuan tentang pekerjaan masing-masing, kita sudah saling kenal sebelumnya.

Kita selalu satu kelas ketika SMA, tapi kita tak pernah akrab. Aku adalah gadis berkerudung seperti kebanyakan. Aku kalah populer dibanding kamu. Wajahku tak terlalu cantik (walaupun teman-teman banyak bilang aku manis), sementara kau sangat tampan. Tinggiku 160 cm, sementara kau 12 cm di atasku. Aku tidak suka olahraga, sementara kau cakap bermain basket. Perihal akademis, aku memang sedikit unggul darimu (Dan itu tidak cukup membuatku diperhatikan kawan-kawan seantero sekolah). Ya, rangkingku selalu dalam urut belasan, sementara kau selalu masuk zona merah. Beberapa waktu lalu, kau bilang, capaian terbaikmu adalah rangking 30, sebelum kaukatakan waktu itu kelas hanya dihuni 31 siswa. Sebenarnya banyak siswa ber-IQ jongkok yang berada dalam kelompok rangking mengenaskan, namun mereka tidak sepertimu: Tukang bolos yang kerap mengajak—atau memaksa—serombongan siswa untuk melompati pagar belakang sekolah; tukang onar yang suka menyulut kegaduhan bila sebentar saja guru meninggalkan kelas; karena tubuhmu yang ideal kau kerap menjadi—lebih tepatnya ditunjuk sebagai—komandan upacara (ini membuatmu selalu menjadi anak baik setiap Senin); dan tentunya karena kau adalah atlet basket kebanggaan sekolah! Dengan semua kenyataan itu, kawan-kawan satu angkatan, atau bahkan beberapa angkatan di bawah atau di atas kita, pasti menganggukkan kepala ketika ditanya apakah mereka mengenalmu.

Setamat SMA, aku sangat terkejut ketika mendengar kabar: Kau melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah tinggi agama Islam di kota provinsi. Ia memang harus lebih banyak mendapatkan pendidikan agama biar lekas berubah, ujar ibumu enam tahun lalu—waktu itu aku sedang di kampung karena liburan. Aku paham maksud kata ’berubah’ dalam kalimat ibumu. Saat itu, kupikir, kau takkan bertahan lama. Dan benar! Kau hanya bertahan satu tahun. Namun, aku terperangah ketika mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Kau tidak dikeluarkan. Kaulah yang minta dipindahkan. Kata ayahmu, kau sangat aktif di beberapa organisasi kampus. Bahkan memasuki tahun kedua kuliah, kau didukung kawan-kawan untuk menjadi ketua sebuah organisasi kerohanian. Namun, apa mau dikata, kau seolah tak ingin setengah-setengah tercebur ke dunia barumu, ujar ibumu seolah menyesali keputusanmu. Kau memilih Kuala Lumpur untuk menguyupi dirimu dengan ilmu. Kami benar-benar terkesiap, kata ayahmu dengan nada suara ditinggikan. Entah, karena kau anak tunggal, entah karena orangtuamu juragan karet yang banyak uang, atau karena kau mampu meyakinkan mereka..., kau pun melenggang ke sana. Kau mengambil jurusan Ekonomi Syariah. Satu setengah tahun yang lalu kau menyelesaikan kuliah dengan predikat memuaskan.

Sebagai sarjana lulusan luar negeri, kedatanganmu ke tanah kelahiran, menuai pujian sekaligus cibiran. Ada yang menganggapmu sebagai pemuda yang peduli kampung halaman. Tak sedikit pula yang menggelarimu sarjana gagal; tamat kuliah bukannya bekerja di kota besar atau di luar negeri, tapi justru balik kandang; tamat kuliah bukannya menjadi ustaz kondang yang wara-wiri di TV, tapi justru membuka toko buku di kampung... dan masih banyak lagi celotehan yang kauanggap tak penting, tak berisi, tak layak dirisaukan. Termasuk saran orangtuamu untuk bekerja di sebuah bank syariah kautolak secara halus. Kaunyatakan bahwa tak membutuhkan waktu lama untuk menghadiahi mereka sekarung kebanggaan.

Kurang dari enam bulan, kau membuktikan tekadmu! Kau menjadikan cibiran sebagai bumerang yang membuat muka para pencibir merah masai. Kau menjadi wirausahawan yang naik daun. Kau sudah membuka toko buku baru di kota kabupaten. Sementara itu, pengajian dalam lingkaran terbatas yang kaubina, telah diikuti lebih dari 20 murid. Kau juga kerap diundang ke mana-mana (bahkan juga keluar kota) untuk memberikan ceramah. Aku benar-benar takjub. Di pengajianku, ketika menunggu guru datang (atau setelah majelis ditutup), kami kerap membincangkanmu.

***

O, benarkah Tuhan tengah menurunkan mukjizat-Nya?!

Petang itu, bakda melafalkan doa penutup majelis, guru pengajianku mengajak bicara, berdua saja. Ia menyerahkan tiga lembar kertas kepadaku. Aku menerimanya namun tak segera membacanya. Ia memberi isyarat agar aku segera membaca kertas-kertas yang tengah kupegang. Mataku membelalak sempurna, mulutku menganga, dan hanya puji-pujian kepada-Nya yang bisa kulafalkan saat membaca kertas-kertas itu. Kupeluk ia serta-merta. Aku menangis tersedu-sedan. Bukan! Bukan karenaproposal, demikian istilah yang populer dalam lingkup pengajian untuk menyebut lamaran secara tertulis yang ditujukan kepada seorang perempuan lewat guru pengajiannya; Bukan karena di usia 25 akhirnya aku dipinang; bukan karena lelaki itu tak perlu diragukan lagi kesuksesannya; tapi... karena aku sangat mengagumi kesalehanmu!

***

KAU benar-benar imam yang baik. Darimu aku beroleh banyak ilmu. Kurang dari setahun kebersamaan kita, aku sudah membina pengajian. Aku sudah memiliki binaan walaupun tak sebanyak binaanmu. Aku sudah diundang ceramah ke mana-mana walaupun jadwalku tak sepadat jadwalmu. Kita sudah memiliki jamaah walaupun tak banyak. Pengajian yang kita hadiri, tak pernah sepi. Bahkan seorang pengusaha ibukota tertarik mengontrakmu untuk sebuah program Ramadhan di TV swasta miliknya. Kau menolaknya dengan alasan menjaga kemurnian niat. Ah, harta dan ketenaran tak membuatmu silau, Kekasihku.

Dua minggu lagi, kita akan menunaikan ibadah haji. Kita sudah menyiapkan doa khusus. Ya, nyaris satu tahun menikah, belum ada tanda-tanda kita akan dikaruniai keturunan. Rasanya, kapal kita terlalu sepi bila tidak menyertakan buah hati di dalamnya, selorohmu beberapa hari yang lalu.

Namun malam itu, di acara syukuran berangkat haji, kapal yang tengah kita layari menabrak gunung karang. Kita terjerengkang di samudera ganas! Mungkinkah ini akibat kebahagiaan yang begitu sempurna kita rasai, Suamiku? Benarkah kata orang-orang; jangan terlampau gembira karena itu alamatnya akan menderita! Apa salah kita dengan semua nikmat yang tak pernah alpa kita syukuri ini? Lalu, mengapa serombongan orang berpakaian preman itu semaunya saja menuduhmu? Mengapa mereka harus menyeretmu dari ruang tengah, melewati para tamu yang serta-merta berdiri. Suasana sontak gaduh. Yaasin yang baru akan dilagukan pun, serta-merta mereka tutup kembali.... Mereka tak kuasa menolongmu karena dari empat mobil bak terbuka yang parkir di dekat pagar rumah kita, dari seragam yang dikenakan puluhan orang yang berada di dalamnya, mereka tahu kalau polisi tengah meringkusmu.

***

SEPULUH tahun lalu, pernikahan telah mendaulat kita menjadi sepasang kekasih.

Walaupun kau telah dibebaskan setelah serangkaian sidang—yang berlarat-larat dan membuat kita serta keluarga menderita karena malu—tak mampu membuktikan kau bersalah; walaupun mereka (termasuk para murid pengajian dan jamaah kita dulu) dengan lancangnya menggelari kita ”munafik”, ”sok alim”, atau umpatan dan hinaan yang lebih kasar..., kita selalu saling menguatkan.

Kekasihku, bisikmu ketika aku menghambur di pelukanmu di hari pertama kau dibebaskan, ... kalaupun tidak di dunia, di akhirat nanti, mereka akan mengerti, lanjutmu. Tangisku pecah. Kau mengelus jilbabku seraya melanjutkan kata-katamu: Bahwa kekasihmu ini tidak tahu menahu tentang rencana penembakan presiden, bahwa kekasihmu ini tidak tahu menahu tentang perampokan bank di beberapa kota, bahwa kekasihmu ini tidak tahu menahu tentang bom yang diselipkan ke dalam buku.... (*)

Ulaksurung, 25 Maret s.d. 15 April 2011