Partitur
Rabu, 17 Agustus 2011 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Merdeka, 14 Agustus 2011
AKU tak habis pikir, bagaimana mungkin kalian mengeluarkan penyanyi berbakat itu dari trio! Seolah-seolah dengan membuangku belum cukup untuk memuaskan keserakahan, kalian libas pula murid kesayanganku! Yang membuatku makin sakit hati adalah, seorang banci panggung yang menggantikan posisinya adalah anak orang superberduit! Tunggu! Tunggulah pembalasanku! Aku takkan membiarkan kalian memperlakukanku seolah membuang ampas tebu. Pun aku takkan pernah rela komposisi a capella yang kutulis selama dua tahun itu kalian curi!
***
AWALNYA, kupikir dengan masuknya orang baru itu, musikalitas kalian akan lebih baik, ternyata tidak! Beberapa penampilan yang kutonton diam-diam, justru menunjukkan kalian jalan di tempat. Kalian masih bernyanyi di C Mayor. Untuk nada dasar yang paling jamak dipakai itu pun, kalian harus membidiknya dengan meniup pitchpipe, pembunyi nada dasar, terlebih dahulu! Itu makin menegaskan bahwa kalian masih terlalu amatir dibanding Sang Guru.
Aku pun yakin, kalian tak akan menyadari keberadaanku di antara tamu-tamu yang mengkhidmati penampilan kalian malam nanti. Mungkin, mereka hanya belum terbiasa dengan a capella, hingga takjub; bagaimana mungkin pita suara dapat mengeluarkan bunyi bas yang ritmik, keteraturan yang estetik? Namun, kupikir rencanaku jauh lebih teratur, jauh lebih indah, bila disandingkan dengan dentuman bass yang memang harus kuakui dibunyikan oleh seseorang dengan timbre, warna suara yang lumayan kuat. Lalu, bagaimana bisa kalian mengajak seseorang yang tidak mampu menstabilkan vibra ke dalam trio?! Yang paling mengejutkanku adalah, orang baru itu juga dibenci orang lain! Setidak-tidaknya oleh seseorang yang meneleponku satu minggu yang lalu. Entah bagaimana perseteruan kita terendus, ia memintaku mencelakai orang baru itu pada malam pertunjukan—yang kalian klaim—terakbar minggu depan.
Tunggu dulu! Aku tak picik sebagaimana mereka yang berniat jahat kebanyakan (yang begitu gembira ketika mendapat bantuan dan diberi kemudahan). Ya, walaupun ia terus menghubungiku umpama ornamen cannon, kejar-kejaran antara ornamentasi backing vocal dengan lead vocal dalam sebuah komposisi panjang…, namun aku selalu mengabaikannya seperti berimprovisasi di tengah komposisi klasik yang taat partitur. Hahaha, tentu saja, panggung konser akan diserakkan botol air mineral dan sepatu para penonton….
Bukan! Semua itu kulakukan bukan karena aku masih menyayangi kalian (hueekkkhh!), tapi karena aku tak ingin rencana balas dendamku disusupi kepentingan orang lain. Ya, aku menolak ajakan, atau lebih tepatnya, menolak tawarannya (tawaran dengan sejumlah uang yang menggiurkan). Dan… apabila mereka pikir, penolakan itu berarti mengacuhkan pengkhianatan kalian, ia salah besar!
***
AKU telah mendatangi hall yang tak terlalu luas ini siang tadi, beberapa saat setelah gladi resik untuk penampilan lepas makan malam nanti. Ah, para penjaga hall ini sangat Indonesia, rupanya. Mereka mengerti rupiah sebagaimana dilenakan “Terajana” ketika para calon—yang katanya akan menjadi-wakil rakyat berkoar-koar perihal janji—yang sesiapa pun tahu itu pasti-palsu! Setelah mengatakan bahwa aku adalah teknisi sound system lalu mengeluarkan beberapa lembar seratus ribu dari dompet, mereka mempersilakanku ke belakang panggung. Walaupun, beberapa saat setelah itu, seorang lelaki dengan syal di leher buru-buru menghampiriku. Hampir saja jantungku copot karena merasa rencanaku terendus.
Ia tersenyum. Ah, senyum yang membuatku lega; bahwa ia tak tahu apa-apa tentang yang akan kuperbuat.
Maaf, katanya. Anda pasti mengerti partitur, ‘kan? lanjutnya seraya membuka gulungan kertas di tangan kiri.
Aku mengangguk serta-merta. Bukan, bukan karena ia bertanya kepada orang yang tepat. Tapi karena aku gugup. Jangan-jangan ia tahu kalau akulah yang mengumpulkan kalian bertiga dalam sebuah grup; akulah yang mengenalkan betapa pentingnya pemahaman tentang not balok dalam mengaransmen ulang sebuah karya; akulah yang mengajarkan betapa penting groove, ruh sebuah lagu; akulah yang mengenalkan head-voice sebagai teknik pamungkas untuk memproduksi suara pada nada yang melampaui oktaf normal; akulah yang tak bosan-bosan mewantiwanti agar jangan selalu terpaku pada pembagian suara do-mi-sol dalam bernyanyi bersama; akulah yang paling bawel bila salah satu dari kalian berimprovisasi sebelum refrain pertama dirampungkan, akulah yang kerap protes bila nada miring terlalu banyak digunakan (termasuk di bagian penutup yang kerap menjadi penanda sebuah komposisi berkualifikasi high-end)….
Menurut Anda, apakah ending komposisi ini tidak terlalu biasa? Ia seolah membuyarkan pengembaraan pikiranku. Ia menunjuk sederetan not balok di lembar terakhir partitur.
Aku tersenyum. Aku mengikuti telunjuknya. Mataku bertabrakan dengan angka 1-3-5, do-mi-sol, di akhir komposisi. Bukan, bukan karena aku gembira mendapati selera musik kami yang sama, tapi karena aku langsung terbayang seperti apa seharusnya kutelikung nasib kalian malam ini.
Hmm, maaf, memangnya Anda siapa? Aku balas menatapnya.
Ia seperti terkesiap.
Maksudku, apa kepentingan Anda dengan komposisi ini?
Aku hanya seorang undangan, katanya dengan senyum simpul. Aku seorang dosen musik di sebuah universitas. Ia menyebut nama sebuah kampus seni terkemuka di Ibu Kota, sebelum mengutarakan pendapatnya (ia memang pandai memancingku berpendapat): Menurutku, metronom komposisi ini seharusnya pianissimo, lambat. Bukan pianissisimo, sangat lambat seperti ini….
Tunggu dulu! Kenapa kau bertanya kepadaku? Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Kenapa, tak bolehkah? Ia mengangkat kedua bahunya. Apa karena kau hanya seorang teknisi sound system, ia kembali terkekeh.
Aku mengangkat alis seraya sedikit menggerakkan kepalaku.
Kadang-kadang, seorang sepertimu ternyata memiliki musikalitas yang tinggi…, nada suaranya sangat pelan, lirih, seolah-olah bibirnya berada dua sentimeter dari daun telingaku.
Bagaimana kau yakin?
Pengalaman, sigap ia menjawab. Aku juga melatih grup vokal di kampus. Aku meminta bantuan seorang teknisi yang selama ini mengurusi sound system di semacam sanggar di kampus itu….
Dan musikalitasnya bagus? Potongku tak sabaran.
Ya. Bahkan ia yang paling mengerti tentang power, desibel, partitur miring…. dibandingkan anak-anak didikku.
O ya? Aku mengernyitkan dahi.
Ia mengangguk cepat.
1-3-5-6,5-2,5, jawabku cepat seolah hendak menguji kepekaan musikalitasnya.
Do-mi-sol-le-re? Ah, dia berhasil membaca accord —paduan minimal tiga nada yang membentuk harmoni. Estetik, ‘kan? Kucoba meyakinkannya.
Accord miring yang mengerikan!
Sangat mengerikan, timpalku lirih seraya meninggalkannya ke belakang panggung. Di belakangku, aku yakin, ia bersegera mengambil pulpen dan menambahkan dua not miring di akhir partitur.
***
MALAM merangkak. Sebagaimana komposisi dengan tempo pianissisimo yang akan dibawakan, aku akan mengatur mikrofon kalian dengan echo yang sedikit lebih tebal. Ini akan memberi nuansa klasik yang kelam. Ah, klasik memang berkarib dengan ketukan yang mellow, sebagaimana kenangan memang akrab dengan air mata. Dan malam ini, orang-orang akan menyaksikan bahwa air mata itu bukan hanya menyeruak dari mata para penonton yang menyaksikan pertunjukan a capella…. Air mata itu akan mengalir dari mata-mata kekasih, kakak-adik, dan terutama orangtua kalian! Ah, mereka memang tak tahu apa-apa tentang hukuman buat para pendusta yang mengalunkan lagu cinta!
Makan malam dimulai. Kalian berkerumun di salah satu sudut seolah threesome yang tengah melepas rindu. Sesekali kalian mengangkat gelas bertangkai itu, lalu mendekatkannya satu sama lain hingga menghasilkan suara gelas beradu. Sesekali tawa kalian pecah. Aku tahu, kalian sangat berharap akan ada satu atau dua orang yang menghampiri. Lalu orang itu berseru girang karena bertemu dengan trio yang sudah digadang-gadang akan memainkan lagu sendiri. Taik kucing!
Ternyata laki-laki yang menemuiku sore tadi, ada di antara para tamu. Ia mengambil tempat duduk dekat meja bundar di sebelah kanan panggung. Ah, bagaimana bisa matanya seolah tak membiarkanku bergerak leluasa. O, jangan-jangan, jangan-jangan…. Kualihkan wajah, aku menghadap ke belakang. Keringat dingin mulai tumbuh satu-satu. Aku merasa kemeja yang kukenakan sangat menyiksaku. Aku seolah ikan asin yang dibalut puluhan lapis tisu….
Pembawa acara sudah meminta para hadirin yang masih berada di ruangan standing party agar segera memasuki ruang pertunjukan. Aku memutar kepala, dan… ups! Akhirnya aku bisa bernapas lega. Dosen undangan itu tak ada lagi. Awalnya mataku mencari-carinya di antara kerumunan penonton, tapi tak kutemui …ah, sudahlah!
Kalian naik pentas. Mengambil tiga mikrofon yang kuletakkan di salah satu sisi pentas. Kalian menyapa para hadirin. Kalian mengucapkan salam, lalu berbasa-basi perihal kegembiraan telah dilibatkan dalam perhelatan akbar malam itu. Ya, siapa yang tak bangga menjadi bagian acara syukuran pejabat yang baru saja dilantik menjadi menteri. Konon, selera seninya sangat tinggi. Ia mahir memainkan flute, sitar, saksofon, dan akordion. Namun hal yang paling seru adalah, ia adalah pejabat yang paling banyak dibincangkan saat ini. Ialah yang membuka kasus korupsi menteri yang ia gantikan. Walaupun, dalam beberapa forum, ia menyatakan bahwa itu adalah wewenang presiden, namun tak pelak, ia dianggap sengaja membuka aib orang demi posisi yang kini ia tempati. Ah, itu bukan urusanku. Walaupun dapat saja, rencanaku ini selaras dengan apa yang tengah berkecamuk di benak mantan menteri itu…, tapi aku tak peduli! Rencanaku adalah murni atas dasar dendam yang menyala-nyala!
Seperti yang kuduga, salah satu dari kalian meniup pitchpipe beberapa saat ketika tepuk tangan para tamu mereda. Kalian membawakan komposisiku, lagu yang membawa kalian menjuarai sebuah festival a capella di Oslo enam bulan lalu!
Kalian membawakannya dengan penuh penghayatan. Jujur, aku kagum pada accord yang kalian hasilkan. Sangat bulat dan padat. Hebatnya, kalian menjadikan suara chopstain, semacam suara falseto, sebagai suara satunya. Kalian membuat pecahan suara di bawah nada dasar: Sol dan mi yang diturunkan satu oktaf. Menjura! Kuatur equalizer demi memastikan bahwa harmoni yang kalian produksi benar-benar jernih. Dan… hampir saja aku melupakan rencanaku sebelum seseorang menyentuh pundakku. Aku menoleh. Aku terkesiap. Dosen undangan tadi sudah berdiri di belakangku.
Mikrofon mana yang akan menyentrum anak Pak Menteri? Bisiknya tepat di telinga kiriku.
Aku meneguk liur. Oh… bagaimana bisa? Wajahku memias. Baru saja hendak kupastikan siapa dia sebenarnya, lidahku tiba-tiba kelu ketika menyadari kepala pistol sudah ia tempelkan di pinggangku.
A-apa maksudmu? Anak Pak Menteri? Anak Pak Menteri yang mana? A-a-aku t-t-tak mengerti …. Sungguh, aku benar-benar gugup.
Kau gila! Matanya membelalak sempurna. Ia menunjuk pentas. Orang baru itu! Damn! Ternyata, kalian memang licik! Menangguk keuntungan dari seorang anak pejabat demi ambisi pribadi atas nama trio yang kurintis. Dadaku megap-megap!
Kalian baru saja menyelesaikan refrain pertama dengan cannon yang sempurna.
Kutarik napas dalam-dalam. Kulepas dalam satu helaan. Kubalas membelalak. Aku tak peduli! Anak Pak Menteri atau bukan, aku akan mencelakai mereka bertiga! Lagi pula apa urusanmu, Pak Dosen Seni yang Terhormat?! Jantungku berdegup tergesa-gesa. Entah bagaimana aku jadi senekat ini, seolah tak memedulikan pelatuk senjata yang tengah ia todongkan itu, dapat ditarik kapan pun ia mau. Ah, brengsek! Bagaimana aku kecolongan seperti ini! Ternyata tindak-tandukku telah diawasi oleh lelaki sialan ini! Aku yakin dialah yang meneleponku beberapa hari yang lalu. Sial!
Kalian telah sampai verse kedua….
Pentas gaduh! Sebagaimana telah kuatur sebelumnya. Kabel telanjang di ujung mikrofon akan tersambung sendirinya dengan arus equalizer ini, tepat ketika lagu telah memasuki menit kedua lewat dua puluh enam detik, kalian terjerembab dengan mikrofon masih di genggaman. Tubuh kalian kejang-kejang seperti orang ayan. Beberapa panitia mendekat namun tak berani menyentuh. Aku tersenyum dalam hati. Dengan sikap jumawa, aku melangkah mundur seolah tak terjadi apa-apa. Satu, dua, tiga. Kuputar badan ke arah toilet yang berdekatan dengan pintu keluar belakang hall. Selamat tinggal, para pengkhianat!
Dooorrr!!!
Bukan, bukan bunyi tembakan! Aku seolah mendengarkan do-mi-sol-le-re, accord miring yang paling miris, dibunyikan tiba-tiba. Sungguh, paduan yang sempurna! Kelam mencekam! Teriakan di sana-sini. Hall gaduh. Aku sudah bisa membayangkan kepanikan orang-orang di dalam ruangan. Dosen Seni itu pasti berhasil menyarangkan sebutir timah panas ke kepala Pak Menteri….
Dooorrr!!!
Aku makin terbahak-bahak. Entah, di bagian tubuh Pak Menteri mana lagi yang menjadi sasarannya! Benar-benar kematian yang musikal!
O o. O o. Aku terkejut mendapati kerumunan orang itu. Ya, mereka seolah hendak menyerbuku. Keparat! Mereka benar-benar menyerbuku. Bagaimana mereka bisa tahu rencanaku?! O tidak! Bagaimana mereka menjadi sangat bodoh seperti ini. Lihat! Aku tidak memegang pistol! Bukan aku yang menembak Pak Menteri! Bukan aku! Ah, dasar tolol! Lihat, Dosen Seni yang ada di dekat kalianlah yang melakukannya.
Ooo, alih-alih memedulikan teriakanku, mereka malah bernyanyi dalam komposisi yang mengeriapkan bulu kuduk. Mereka terus menuju ke arahku. Mereka menerobos saja Dosen Seni itu seolah tubuhnya tembus pandang. Kini mereka mengerumuniku, mendesakku, seraya tetap bernyanyi di accord do-mi-sol-le-re yang mematikan! Aku menutup kedua telinga! Aku meraung-raung. Tiba-tiba aku merasa kesakitan yang sangat di beberapa bagian tubuh. Aku jatuh, terjerembab. Mereka meraba-raba tubuhku. Meraba kakiku, ah! Meraba perutku, ah! Tangan-tangan mereka berlumuran darah.
Darah luka, sepertinya.
Luka tembakan, lebih tepatnya. (*)
.
.
Lubuklinggau, 12-15 Juni 2011