Jarwo Ngablak

Senin, 01 Agustus 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Mashdar Zainal

Dimuat di Annida-Online, 25 Juli 2011

Namanya Sujarwo, karena kalau tertawa mulutnya ngablak-ngablak, maka ia dipanggil Jarwo Ngablak. Jarwo Ngablak asli orang Jawa, ia asli Ponorogo, merantau ke Jakarta pun alasanya tak muluk-muluk: ingin melihat ibu kota. Ia tinggal membujang di kamar petak yang telah ia kontrak selama bertahun-tahun. Sebagai lulusan SD, tentu ia tidak bekerja di perusahaan, apalagi pegawai negeri. Sehari-hari Jarwo Ngablak mangkal di Stasiun Pasar Senen, jualan bensin eceran dan pulsa, nyambi jadi tukang parkir. Keadaan itu tidak pernah membuat Jarwo Ngablak mengeluh, toh apalagi menangis.

Jarwo Ngablak memang orang yang humoris. Kelewat humoris. Ia gampang sekali tertawa. Ia bisa menertawakan apa saja, siapa saja, termasuk dirinya sendiri. Cara tertawa Jarwo Ngablak pun sedikit berlebihan dibandingkan kebanyakan orang. Jika ia tertawa matanya akan menyipit hingga hampir terperjam. Hidungnya akan kembang kempis seperti anjing pelacak. Bahunya pun akan berguncang naik turun seperti sedang naik becak di jalan yang penuh lubang. Dan mulutnya, akan menganga beberapa senti, ngablak-nagblak, hingga menyerupai gua kecil yang sanggup menelan bola kasti. Begitulah, Jarwo Ngablak takkan dipanggil Jarwo Ngablak tanpa alasan.

Maka, jika seseorang tengah dilanda melo-drama, ia akan berlari menemui Jarwo Ngablak, minta dikasih resep tertawa yang awet. Selain jago tertawa, Jarwo Ngablak juga ahli dalam membuat lelucon. Orang yang tak pernah tertawa pun akan terbahak-bahak mendengar leluconnya. Apalagi kalau sudah menyangkut lelucon negeri ini. Jarwo Ngablak memang seolah ditakdirkan menjadi oase bagi orang-orang yang mengalami penyakit cemberut dan sulit tertawa. Selain pawakan Jarwo Ngablak memang sudah lucu. Hingga melihat raut mukanya saja, seolah orang sudah bisa tertawa.

Sambil tertawa, jarwo ngablak pernah berujar, “Hidup itu cuma sekali, buat apa dibawa susah. Lha wong sudah susah. Mendingan tertawa, supaya kesusahan itu akrab dengan kita. Kalau sudah jadi teman, kesusahan itu ternyata lucunya minta ampun. Hahaha…”

Melihat kehidupan Jarwo Ngablak kadang-kadang bisa membuat orang iri. Hidup yang mengalir dan penuh tawa, tak ada keluh-kesah, tak ada sedu-sedih, tak ada iris-tangis. Benar-benar mendekati sempurna. Bahkan, orang kaya sekalipun belum tentu bisa seperti Jarwo Ngablak: memenuhi hidupnya dengan gelimang tawa. Semua berjalan dengan sahaja, hingga tiba-tiba, pada sebuah senja di hari Jum’at, Jarwo Ngablak duduk selonjor di depan pintu kamar kontrakannya denga wajah tertekuk. Tentu saja pemandangan itu ganjil.

“Kamu sedang tak enak badan, Wo?” Tanya Sukamto, teman yang ngontrak di kamar sebelah.

“Saya cuma pingin nangis.” Jawab Jarwo Ngablak apa adanya.

Mendengar jawaban itu, Sukamto ingin tertawa tapi tak jadi, “memangnya kenapa? Ada berita duka dari kampung, ya?”

“Bukan.”

“Lha terus?”

“Saya cuma pingin nangis. Pingin nangis aja.”

Melihat raut muka Jarwo Ngablak, tawa Sukamto benar-benar meledak. Lucu bin aneh. Jarwo Ngablak ingin menangis tanpa sebab? Apa kata dunia? Ketika tawa Sukamto mulai reda, perlahan Jarwo Ngablak memulai ceritanya. Cerita yang menjadi musabab kenapa ia bersikeras ingin menangis.

“Tadi, waktu khotbah Jum’at, Pak Khotib bercerita panjang lebar. Ia menceritakan kisah-kisah sahabat di jaman Rasulullah, kisah-kisah yang mengharukan, hingga beliau sendiri berkhutbah sambil sesenggukan, bahkan banyak juga jama’ah yang menitikkan air mata. Dan saat itu, saya merasa asing. Saya perhatikan cuma beberapa orang saja yang tidak menitikan air mata, termasuk saya.

“Menjelang akhir khotbahnya. Pak Khotib juga menyampaikan, bahwa menangis itu sehat. Menangis itu menandakan kelembutan hati seseorang. Beliau juga mengutip ayat-ayat, katanya Tuhan menyuruh manusia untuk lebih banyak menangis daripada tertawa. Dan kata beliau lagi, terlalu banyak tertawa itu bikin hati mati. Orang kalau tidak bisa menangis, katanya hatinya sudah mati, sudah jadi batu. Detik itu saya mencoba sekuat tenaga untuk menangis, dan ternyata saya gagal. Saya memang sudah tak bisa menangis. Hati saya sudah mati, hati saya sudah jadi batu.”

Mendengar cerita Jarwo Ngablak, tiba-tiba Sukamto tercengang. Ia kembali ke kamarnya seperti batu yang sedang berjalan, tanpa salam, tanpa ekspresi. Hari-hari , Jarwo Ngablak semakin larut dalam obsesinya: ingin menangis. Beberapa orang yang datang padanya dengan wajah murung akan kembali dengan wajah semakin murung, karena Jarwo Ngablak tidak lagi membagi-bagikan resep tertawa. Jarwo Ngablak tidak lagi memaparkan lelucon-lelucon. Kepada orang-orang yang menemuinya, Jarwo Ngablak justru menceritakan isi dari khotbah Jum’at yang disimaknya beberapa hari lalu, sambil meminta balik resep yang jitu untuk bisa menangis. Menangis memang jauh lebih sulit dibanding tertawa.

Namun, apapun yang terjadi, Jarwo Ngablak bersikeras ingin menangis. Ia harus bisa menangis. Meski ia sudah benar-benar lupa bagimana cara menangis. Bahkan ia sudah tak ingat, kapan terakhir kali ia menangis. Berbagai upaya telah ia lakukan supaya ia bisa menangis. Namun tetap saja hasilnya nihil. Air matanya seperti raib entah ke mana.

Jarwo Ngablak semakin murung. Ia teringat kembali petuah Pak Khotib, bahwa jika seseorang tidak bisa menangis berarti hatinya sudah jadi batu. Jarwo Ngablak merinding, membayangkan seonggok batu bersarang di dadanya, tentu berat sekali, sesak sekali.

“Mungkin sesekali kamu perlu nonton sinetron ‘Anak Tertukar’. Setiap jam delapan malam, di sinetron itu selalu ada adegan menangis,” saran seorang teman.

“Sudah! Melihat mimik mereka menangis saya malah tertawa terbahak-bahak.” Balas Jarwo Ngablak.

Jarwo Ngablak juga sudah nonton film india yang paling sedih yang direkomendasikan Sukamto. Tapi tetap saja, air matanya tak bergeming, malah Sukamto sendiri yang menangis tak karuan, sampai-sampai air juga keluar dari hidungnya.

“Ngupas bawang, ngupas bawang!” saran seorang teman yang lain.

“Ini hubungannya dengan hati. Ngupas bawang nggak ada hubunganya dengan hati. Saya pingin nangis yang bener-bener nangis, nangis yang dari hati.”

“Berhubungan dengan hati, ya? Jangan-jangan hatimu memang sudah mati gara-gara banyak tertawa, coba kamu silaturrahim ke ustadz atau kiyai, barangkali mereka bisa membantu.”

Karena bersikeras ingin bisa menangis, Jarwo Ngablak pun akhirnya nekat mendatangi seorang ustadz. Ustadz yang beberapa waktu lalu menyampaikan khotbah Jum’atnya. Tanpa basa-basi, Jarwo Ngablak pun menceritakan kegelisahan hatinya. Mendengar cerita Jarwo Ngablak, ustadz tersenyum geli sambil sesekali manggut-manggut.

“Hati yang mati itu hanya sebuah kiasan saja,” ustadz memulai petuahnya, “segala sesuatu akan lapuk, usang, hilang, dan bahkan rusak jika tidak kita gunakan. Termasuk air mata. Seperti air-air yang lain, air mata pun memiliki mata air. Mata air air mata takkan mengalir lancar jika ia terus kamu timbuni dengan tawa berlebihan, bisa-bisa mata air air matamu tersumbat dan kering. Kalau sudah begitu, tentu saja kamu takkan bisa menangis.”

“Solusinya bagaimana, Ustadz?” Jarwo Ngablak menyela.

“Basahi terus mata air air matamu.”

“Dengan apa ustadz?”

“Dengan mempersedikit tawa. Tertawa boleh, tapi kalau berlebihan juga bahaya.”

“Akhir-akhir ini saya hampir tak pernah tertawa, Ustadz. Saya malah berusaha keras supaya bisa menangis, tapi tetap saja, saya tidak bisa menangis. Bahkan tahun lalu, ketika bapak saya meninggal, saya tidak menangis sama sekali. Barangkali orang-orang memandang saya tegar. Tapi entahlah, ketika itu saya juga sangat sedih. Hanya saja saya tidak bisa menangis.”

Ustadz geleng-geleng kepala, “Ternyata, tidak bisa menangis itu menderita, ya?”

“Sangat, Ustadz.” Ujar Jarwo Ngablak dengan wajah memerah, mata memerah. Sesekali ia mengusap matanya. “Barangkali hati saya memang sudah jadi batu, Ustadz.” Ujar Jarwo Ngablak lagi sebelum ia terdiam agak lama.

“Ayolah! Keluarkan uneg-unegmu. Saya akan jadi pendengar yang baik.”

“Ya itu, Ustadz. Saya pingin normal, seperti orang-orang. Saya pingin bisa menangis. Saya tidak mau hati saya ini jadi batu. Tapi sepertinya semua sudah terlambat.” Jarwo Ngablak kembali menyeka matanya. Ustadz tersenyum dan kembali menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak bisa menangis memang susuatu yang patut ditangisi. Apa kamu tak sadar, dari tadi kamu ngoceh sambil menangis.”

Jarwo Ngablak mengangkat kepala mendengar tuturan ustadz, ia kembali menyeka matanya, punggung tangan dan jari-jemarinya basah.

“Tak apa. Teruskan! Menangis itu sehat. Menangis itu melegakan.” ujar ustadz lagi.

Jarwo Ngablak masih belum percaya kalau yang diusapnya sedari tadi adalah air mata. Air mata yang mulai basah dan merembes dari sumbernya, dari mata airnya: hati. Jarwo Ngablak pulang dengan hati plong. Ia tak pernah merasakan kelegaan semacam itu seumur hidupnya.

Di dalam kamar kumalnya, Jarwo Ngablak berbaring dengan mata terpejam. Ia membayangkan di dadanya menyembul sebuah mata air yang airnya mulai merembes perlahan, merambati dinding hatinya. Air itu mengalir sangat lancar sampai ke sudut matanya.***

Malang, Juni 2011