Resep Airmata
Rabu, 17 Agustus 2011 by: Forum Lingkar PenaCerpen Noor H. Dee
Dimuat di Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta, Lingkar Pena Publishing House, 2008
Kami bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran continental yang brengsek. Kami sebut restoran ini brengsek, sebab kami diwajibkan memasak sambil menangis. Bayangkan! Kami mengaduk kuah buntut sambil menangis. Kami memasak nasi goreng, merebus aneka pasta, membuat adonan pizza, memotong daging ayam, mengupas kentang, semua itu kami lakukan sambil menangis. Begitulah. Setiap hari selalu ada saja airmata yang meluncur dari sepasang mata kami; mengalir membasahi pipi, dagu, dan menetes ke dalam setiap masakan kami.
Restoran tempat kami mengais rejeki ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Pagi, siang, sore, malam, tamu-tamu selalu berdatangan. Mobil-mobil canggih berjajar rapih memenuhi halaman parkir. Setiap hari seluruh table tidak pernah kosong. Setiap tamu yang baru datang diwajibkan untuk mengisi buku waitinglist terlebih dahulu. Kalau tidak, para tamu yang baru datang itu tidak akan pernah mendapatkan tempat. Bisa dibayangkan betapa ramainya restoran ini dan betapa sibuknya para Waiter dan waitress yang bekerja di sini. Mereka, para waiter dan waitress itu, dituntut untuk harus selalu bergerak lincah dari satu meja ke meja yang lain. Harus selalu gesit seperti pelari estafet setiap kali mengantarkan minuman, makanan, dan lain sebagainya seperti tusuk gigi, keju parmesan, asbak, tisu, garam, merica, garpu, sendok, saus sambal botolan, dan bon tagihan kepada setiap pengunjung yang memesan. Harus selalu tersenyum seperti bintang iklan pasta gigi setiap kali bertatap muka dengan para tamu restoran. Tidak peduli betapa hati mereka saat itu sedang sedih, gelisah, marah, terluka—pokoknya harus tersenyum. Titik.
Begitulah. Restoran ini memang tidak pernah sepi dari pengunjung. Tentu, ya, tentu ini semua berkat airmata yang berasal dari sepasang mata kami, yang selalu menetes ke dalam setiap masakan kami.
Kami memasak sambil menangis. kami menangis sambil memasak. Kami memasak dengan menggunakan resep airmata.
“Jadi, kami harus memasak sambil menangis?” tanya salah seorang rekan kami kepada si pemilik restoran ini, ketika untuk pertamakalinya ia menyuruh kami memasak sambil menangis.
“Ya. Kalian harus memasak sambil menangis.”
“Kalau boleh tahu, alasannya apa?”
“Tentu saja agar restoran ini laris. Kalian ‘kan tahu sendiri, restoran ini selalu sepi. Kalau sepi terus, bisa-bisa restoran ini bangkrut. Dan kalau restoran ini bangkrut, kalian sendiri yang akan rugi. Bukan begitu?”
“Tetapi mengapa harus menangis, tuan? Bukankah laris tidaknya sebuah restoran itu dinilai dari cara pelayanan dan rasa masakannya?”
“Ah. Selama ini saya lihat pelayanan di restoran ini sudah cukup bagus. Para pelayan di sini selalu bersikap sopan dan ramah kepada setiap tamu yang datang. Dan untuk soal rasa, saya yakin semua rasa makanan di sini tidak kalah dengan restoran-restoran yang lain. Tetapi kenyataanya, restoran ini selalu sepi. Omset restoran ini tidak pernah mencapai target. Itu sebabnya, mulai sekarang kalian harus memasak sambil menangis. Teteskan airmata kalian ke dalam setiap masakan yang kalian olah. Mulai sekarang semua masakan di restoran ini menggunakan resep airmata.”
“Kalau boleh tahu, resep airmata itu tuan dapat darimana?”
“Sudahlah, tidak usah banyak bertanya. Pokoknya mulai sekarang kalian harus memasak sambil menangis. Titik!”
“Tapi, bagaimana kalau kami tidak bisa memasak sambil menangis?”
“Kalian akan saya pecat. Mengerti?”
Akhirnya, dengan amat terpaksa karena tidak ingin dipecat, kami pun memasak sambil menangis. Pada mulanya memang agak sulit. Bagaimana mungkin kami bisa menangis kalau perasaan kami tidak menginginkannya? Tetapi, ya, mau bagaimana lagi? Kami harus menangis. Harus. Begitulah. Berbagai macam cara akhirnya kami coba untuk bisa mengeluarkan airmata dari sepasang mata kami. Mulai dari berkhayal yang sedih-sedih, mengingat sanak-saudara yang sudah meninggal, sampai membayangkan tentang kehidupan di neraka. Ada salah seorang rekan kami yang kesulitan menangis. Tanpa belas kasih, pemilik restoran ini langsung memecatnya. Karena tidak ingin di perlakukan seperti itu, kami pun berusaha semampus mungkin untuk bisa menangis. Detik demi detik berlalu. Hari demi hari berganti. Akhirnya kami bisa juga menangis sambil memasak. Kami tidak perlu lagi membayangkan yang sedih-sedih untuk bisa meluncurkan tetes demi tetes airmata dari sepasang mata kami. Dan, ternyata memang benar apa yang telah dikatakan oleh si pemilik restoran, restoran ini menjadi ramai. Restoran ini menjadi restoran paling laris di kota ini.
“Saya bilang juga apa, airmata kalian itu bisa membuat restoran ini laris,” ujar si pemilik restoran sambil menepuk-nepuk pundak salah seorang rekan kami yang sedang memasak Aglio Ulio Sphageti untuk lima porsi, tentu saja rekan kami itu memasaknya sambil menangis.
Dinding dapur kami terdapat sebuah jendela kecil yang menampilkan pemandangan restoran. Dari jendela kecil itulah kami biasa melihat para tamu sedang melahap makanan yang kami buat. Lihatlah, betapa lahapnya mereka. Alangkah rakus! Ah. Kami yakin, mereka yang makan di sini pasti berasal dari kalangan masyarakat yang status sosialnya tinggi. Lihatlah penampilan mereka. Yang lelaki selalu berjas dan berdasi, yang perempuan selalu berblazer dan selalu mengenakan sepatu berhak tinggi, yang kalau berjalan pastilah mengeluarkan suara yang berisik. Ada yang datang sendirian. Banyak pula yang datang secara berkelompok. Sering juga kami melihat beberapa pejabat pemerintah yang gajinya tidak masuk akal itu makan di sini.
Sebelumnya kami sering bertanya-tanya: apa sih keistimewaan airmata kami, sehingga membuat orang-orang kaya itu senang makan di restoran ini? Apakah airmata kami ini adalah airmata ajaib, sehingga bisa membuat rasa masakan kami menjadi begitu lezat? Atau, adakah alasan yang lain?
Kami pernah menyuruh seorang waitress untuk menanyakan hal itu kepada setiap tamu yang berkunjung. Dan, akhirnya kami pun mendapatkan alasannya, yaitu: mereka yang makan di restoran ini selalu mendapatkan kebahagiaan.
Kata waitress itu, kebanyakan dari semua pengunjung berkata seperti ini:
“Saya senang makan di restoran ini. Selain makanannya enak-enak, juga bisa membuat perasaan saya bahagia.”
“Saya sudah mendatangi semua restoran di kota ini. Dan, hanya restoran ini yang bisa membuat perasaan saya menjadi bahagia.”
“Setiap kali saya ada masalah, saya selalu datang ke restoran ini. Sebab, setiap habis makan di sini, entah mengapa semua masalah saya langsung hilang begitu saja. Aneh, bukan? Tapi, ya, begitulah yang terjadi. Semua makanan yang tersedia di sini selalu bisa membuat saya bahagia.”
“Saya senang sekali makan di restoran ini. Sumpah! Tidak tahu kenapa, setiap habis makan di sini, saya selalu merasa bahagia. Kalau boleh saya tahu, resepnya apa, sih?”
“Setiapkali saya makan di sini, saya selalu mendapatkan kebahagiaan.”
Hmm. Kebahagiaan macam apakah itu? Apakah benar kebahagiaan bisa hadir lewat sebuah makanan yang dibumbui dengan airmata? Ah. Sampai sekarang kami masih belum bisa mengerti.
“Sampai kapan aku harus menangis terus seperti ini?” keluh salah seorang rekan kami yang sedang menyiapkan garnish nasi goreng untuk tujuh porsi. “aku letih harus menangis setiap hari. Aku letih!” Airmatanya menetes membasahi irisan timun, tomat, selembar daun salada, dan acar.
Salah seorang rekan kami yang lain ikut menimpali, “Aku juga muak menangis terus. Sepertinya aku harus keluar dari restoran brengsek ini. Harus! Restoran ini selalu ramai setiap hari, tetapi kita tidak pernah mendapatkan kenaikan gaji. Dasar restoran brengsek!” ujarnya sambil meneteskan airmatanya ke salmon sandwich yang sedang ia buat.
“Memangnya kamu saja yang ingin segera keluar dari sini? Aku juga ingin keluar,” ujar rekan kami yang lain, yang sedang menggratang empat chicken pie di sebuah mesin calamander .
“Tapi aku bingung,” ujarnya melanjutkan, “setelah keluar dari sini, aku mau kerja di mana lagi? Kalian tahu sendiri, zaman sekarang cari kerja itu susahnya minta ampun. Aku tidak mau jadi pengangguran. Kredit motorku belum lunas.” Airmatanya meluncur seperti gerimis.
“Aku juga tidak mau. Anakku baru saja masuk sekolah.”
“Kamu masih untung baru punya anak satu. Anakku sudah tiga. Semuanya sudah pada sekolah.”
“Tapi, sampai kapan kita harus menangis seperti ini?”
“Iya. Sampai kapan?”
“Entahlah. Sampai airmata kita habis, barangkali!”
Airmata kami masih terus menetes, mengalir, meluncur tiada henti. Tak pernah berhenti.
Tamu pergi. Tamu datang. Silih berganti tak pernah henti. Selalu seperti itu dari hari ke hari. Sampai akhirnya, entah mengapa, kami tidak bisa menangis lagi. Ya. Kami tidak bisa lagi mengeluarkan airmata dari sepasang mata kami.
“Apa?! Kalian tidak bisa menangis lagi?!” tanya si pemilik restoran dengan raut wajah yang sangat terkejut.
Kami mengangguk. “Ya, tuan. Sepertinya airmata kami sudah habis.”
“Kacau! Kacau!” bentaknya sambil memegang kepalanya.
Mesin print pesanan makanan yang bentuknya seperti kotak tisu itu terus berbunyi.
Tretetetetet.
Tretetetetet.
Selembar kertas menyembul. Pesanan-pesanan makanan terus berdatangan.
Tretetetetet.
Tretetetetet.
“Berusahalah kalian untuk menangis! Lihat, tamu-tamu di luar sana membutuhkan airmata kalian! Cepat! Cobalah untuk berpikir yang sedih-sedih, atau apa, kek, yang bisa membuat kalian menangis!” si pemilik restoran panik. Kami juga ikut panik.
“Tidak bisa, tuan,” ujar kami mencoba menjelaskan. “Sepertinya airmata kami benar-benar sudah kering!”
“Saya tidak mau tahu. Pokoknya kalian harus bisa menangis. Titik!”
Mau tidak mau, akhirnya kami berusaha mati-matian untuk bisa mengeluarkan airmata dari sepasang mata kami. Kami memejamkan mata kami dengan sekuat tenaga.
“Cepat! Keluarkan airmata kalian!”
Mesin print pesanan makanan itu kembali berbunyi.
Tretetetet!
Tretetetet!
Tretetetetet.
Kami semakin memejamkan mata kami dengan sekuat tenaga.
“Cepat! Menangislah kalian!”
Tretetetet!
Tretetetet!
Tretetetetet.
Pesanan-pesanan makanan masih terus berdatangan.
“Ayo, menangislah! Cepat!”
Kami semakin menguatkan pejaman mata kami. Benar-benar sekuat tenaga. Dan, pada akhirnya, ada sesuatu yang mengalir dari sepasang mata kami. Kami tersenyum dan menarik nafas lega. Akhirnya kami bisa kembali menangis. Dengan segera kami langsung membuka sepasang mata kami. Ah. Betapa tekejutnya kami ketika mengetahui bahwa yang mengalir dari sepasang mata kami bukanlah airmata, melainkan darah!
“Tuan, lihatlah, tuan. Bukan airmata yang mengalir dari sepasang mata kami, melainkan darah!”
Si pemilik restoran terdiam sejenak, untuk kemudian segera berkata dengan nada yang tekesan dingin namun penuh harap, “Ya sudah, untuk sementara waktu, teteskan darah itu ke dalam masakan kalian.”
Lalu, si pemilik restoran pun berjalan ke luar dapur.
Kami saling berpandangan. Tidak mengerti.
Tamu pergi. Tamu datang. Silih berganti tak pernah henti. Kini kami tidak lagi memasak dengan airmata, melainkan dengan darah! Dan, ajaibnya, restoran brengsek ini malah semakin ramai dari biasanya.