Kembang Putih di Atas Perahu (2)

Senin, 27 Juni 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
dimuat di Pikiran Rakyat, 26 Juni 2011

ADAKAH YANG LAYAK kupedulikan ketika aku mampu membuat Tuhan terkesiap?!

Aku tak peduli, bila tersebab doa ini aku akan dibenci orang-orang, dihujat para ulama, dihardik para malaikat, atau bahkan dikutuk arwah para wali, tabiin, dan nabi. Aku tak peduli! Aku yakin, Kau tidak akan memandangku sebagai hamba yang gila atau perempuan yang haus perhatian atau ibu yang kejam. Aku tahu Kau sangat bijaksana. Kau akan memerintahkan Raqib dan Atit, dua malaikat pencatat amal baik dan buruk itu, untuk menyerahkan catatan mereka kepada-Mu. Aku bisa membayangkan, betapa terbirit-biritnya kedua pesuruh-Mu itu. Mereka memang terbuat dari cahaya, namun atas perintah mendadak itu, aku yakin, mereka tak serta-merta meluncur dalam kecepatan candela. Kepala mereka akan bergasing pula bila harus melakukan sesuatu di luar acuan; catatan amal hanya akan dibuka bila seseorang di bawah tanggungjawab mereka mengucapkan ”selamat tinggal” pada dunia! Atau, jangan-jangan, karena doa itu, Kau akan meminta Izrail segera melingkari kedua tangannya di leherku? Ah, aku tak boleh berburuk sangka kepada-Mu. Kau sangat bijaksana. Kau akan mencari tahu mengapa aku mengirimkan doa itu. Aku pikir, memanggil Raqib dan Atit menghadap, bukanlah satu-satunya cara untuk mengetahui musabab meluncurnya doaku.

TUHAN, AKU MEMANG bahagia dengan kehidupan yang Kauberikan. Sungguh, aku memaknainya sebagai anugerah. Pun ketika Kumbang harus meninggalkanku demi mencari biaya persalinan. Ah, aku sangat bersyukur karena ia sudah berhasil tampil sebagai suami yang seolah-olah bertanggungjawab, sekali lagi kunyatakan; seolah-seolah bertanggungjawab! Ya, aku tak begitu berharap Kumbang akan pulang, apalagi membawa uang. Kupikir, ia telah terbang sebagai pengecut, bukan merantau sebagai pendekar. Ia tak ingin dipusingkan oleh keajaiban-keajaiban yang Kauberikan; yang tiba-tiba Kaukaruniakan di usiaku yang ke-36, di usia perkawinan kami yang ke-10. Sungguh, aku sangat tersinggung oleh kata-katanya beberapa waktu sebelum ia meninggalkan Lubuklinggau untuk bekerja di sebuah rimba di Borneo. Ia mengejek ukuran perutku seolah menganggapnya sebagai kutukan, seolah itu bukanlah hasil ’pekerjaannya’. Ia bahkan sempat-sempatnya menanyakan, sebenarnya kapan terakhir kelamin kami bertukaran cairan. Aku tak pernah menanggapinya. Kupikir memang tak perlu dijawab kecuali ia memang membutuhkan perkara untuk memukulku dengan palang ruyung di balik pintu.

Ya, bakda menikah dengannya, aku hanya menjadi bidadari di pekan pertama. Selebihnya, pun hingga kini, aku lebih layak disebut budak, perempuan yang dikawini untuk menjadi kotak sampah. Kumbang akan merasa jauh lebih baik setelah membuang apa-apa yang (ia anggap) mengotori hidupnya. Sepulang dari pesta vodka di sebuah vila milik temannya, kepalanya akan terasa lebih ringan bila mencabik-cabikku dengan cambuk kuda yang ia simpan di gudang belakang. Ia akan melupakan kekalahannya di meja judi bila aku berhasil menjadi kain perca yang dapat diinjak-injak semaunya. Ia akan menjelma seekor kuda jantan yang beringas bila berhasil membuat ringkikanku menembus langit-langit sebelum terkulai nyaris pingsan di atas ranjang. Kadang aku ingin menuntut-Mu atas semua yang menderaku. Aku sangat iri kepada perempuan-perempuan yang senantiasa dicintai belahan jiwa dengan sepenuh hati, aku sangat cemburu kepada ibu-ibu yang membesarkan buah hati bersama suami yang sedia melayani segala kebawelan istri .... O, tunggu dulu! Kupikir, mereka itu belum teruji, setidaknya seperti yang tengah kujabani. Bagaimana mereka ditahbiskan purnabahagia bila semua didapat dengan kemudahan?

Ah, aku ingat kata-kata Bunda Theresa; pilihlah yang rumit kalau kau ingin yang terbaik! Sebentar! Perkaranya berbeda! Aku tidak memilih! Tapi Kau yang menyebabkanku bergumul dengan kerumitan ini. Kau yang menetapkan; aku harus lahir pada 27 Rajab, 48 tahun silam, kemudian hidup hingga kini ....

12 tahun yang lalu, aku melahirkan bayi-bayi. Bayi-bayi kembar. Kembar tiga. Perempuan semua! Ketika kupersilakan mereka keluar dari lorong yang menyumpil di antara kedua pahaku, tangisku pecah, berderai, renyai. Bukan! Bukan oleh rasa sakit melahirkan, bukan karena dukun beranak yang seolah semaunya menekan-nekan perutku, bukan karena merutuki ketidakhadiran Kumbang ketika aku bertaruh nyawa ..., tapi karena sebak yang tiba-tiba menyesak dada. Firasatku tak enak. Aku merasa ada yang aneh dengan bayi-bayi itu walaupun segera kukibaskan perasaan tak menyenangkan itu.

DAN, TERSINGKAPLAH KABUT yang membuat perasaanku tak henti berkecamuk. Aku kadang tak habis pikir. Bagaimana Kau dapat menganggapku perempuan yang sangat hebat, ibu yang pantang kalah menghadapi ujian hidup, ibu yang membangun ribuan gudang di dadanya—aku pun tak tahu, sampai kapan gudang-gudang itu kuat menampung kesabaran yang menyesakinya?

Putri-putriku memiliki kekurangan yang saling menyempurnai. Melur yang tuli, Melati bermata juling, dan Kecubung berbibir sumbing. Tak khatam pada kenyataan itu saja. Mereka semua tak panjang akal, tak lurus menangkap maksud, lamban memahami isyarat .... Penderitaan yang adisempurna, bukan? Sungguh, pita suaraku nyaris putus karena berteriak mempertanyakan ketentuan-Mu. Ya aku berharap doaku akan menembus awan, tujuh lapis langit, sebelum akhirnya membuat kau mengubah posisi duduk di Arsy. Maka, aku hanya menangis. Menangis tanpa bunyi. Kau tahu, bukan, seperih-perihnya derita adalah yang menyebabkan hati mengambil tugas mata untuk meneteskan air kesedihan? Oh, kupikir, semua hanya perkara waktu. Aku akan hancur berkeping-keping pada masanya. Kupikir doaku adalah tanda betapa aku tak mampu memegang kepercayaan yang Kauberikan ....

BAHKAN ”KEAJAIBAN” PUN masih membutuhkan kata ”tetapi”.

Kau lihat! Aku berbicara dengan mereka hari ini. Entah kalau orang-orang bilang kami melakukannya dengan hati. Aku lebih suka mengatakannya ”dari mata ke mata”. Ini memang ketaklaziman walau aku lebih suka memaknainya sebagai keajaiban. Ya, kami dapat saling meningkahi setiap maksud sebagaimana kami tak dapat saling membohongi. O Tuhan, sejak itu aku percaya kalau mata adalah cermin yang paling jujur, isyarat yang paling manjur, dan bahasa yang paling terukur. Namun begitu, keajaiban ini tidak turun tanpa syarat. Kau tahu ’kan, setelah turun dari kapal Putri Kembang Dadar, aku tiba-tiba linglung. Aku tak menyadari di mana sebenarnya kami berada. Bukan di Palembang. Juga bukan di Lubuklinggau. Mungkin di Lampung. Mungkin .... Entahlah. Kami berada di daratan yang menghadap samudera, dan tiba-tiba aku menjadi sangat bodoh! Aku bagai lupa semua keajaiban yang memeluk kami, yang menyertai kecakapan kami menyampaikan maksud. Ya, kujajakan pula rayuan tengik itu! Kukatakan bahwa petang ini kami akan menyusul sang Ayah. Mereka bergeming. Dan aku terperenyak mendapati mata-mata mereka memuntahkan kata-kata.

”Ah, bukankah Ibu bilang: Ketika menebang pohon merbau, Ayah alpa kalau tarikan sinso di tangan telah melewati garis tengah lingkar batang. Ayah baru menyadarinya ketika serombongan orang berpakaian seragam cokelat muda merazia pembalakan liar itu. Ayah gelagapan. Ayah kelabakan. Ayah salah jalan. Ayah menggubah sendiri cara bunuh diri. Ia mati ditimpa pohon yang ia tumbangkan.” Melur memicingkan sebelah matanya ke arahku. Bahunya turun-naik menaham buncah.

”Ah, mata Ibu hebat nian, ya! Bagaimana Ibu dapat berbohong seumpama memanggang kue lapis. Menutupi kebohongan yang lama dengan kebohongan yang baru. Ayah sebenarnya masih hidup, ’kan? Apa-apa yang terbaca dari mata Ibu bukanlah yang sejatinya terjadi, semua hanya doa dan harapan Ibu, ’kan?” Kini mata Melati yang menelanjangiku.

Baru saja hendak kulayangkan pembelaan, tiba-tiba Kecubung berkoar seolah menimpali kata-kata kedua saudaranya ....

”O, tidak! Doamu itu Ibu. Ya, doamu itu. Ibu ingin agar kita mati, ’kan? Ibu ingin membunuh kita semua. Oh Melur, oh Melati ... kalian lihat! Beberapa pelepah kelapa di dekat Ibu. Ia akan mengajak kita menyusul Ayah dengan mengayuhnya. Mengayuhnya dengan tangan kita ....” Kecubung menatapku nanar sembari menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah aku baru saja melakukan dosa besar yang tak pernah disangkanya. Ia mundur menjauhiku.

Melur dan Melati bersipandang. Mereka mengikuti apa yang Kecubung lakukan. Mata mereka menghardikku! Tatapan mereka menghakimiku! Melur mengambil sebuah pelepah kelapa. Ia meletakkannya di tubir pantai. Ombak berkejar-kejaran seolah hendak menelan perahuku itu, pelepah kelapa yang ringan, tipis, lapuk ....

”Berlayarlah, Bu!”

Oh, tidakkah mereka tahu mengapa aku membuat rencana kematian berjamaah ini?; tidakkah mereka tahu mengapa aku menumpuk kebohongan?; tidakkah mereka tahu mengapa aku mengarang doa yang tak bosan kurapalkan seperti mengingat-Mu dengan menghitung setiap ruas jemari? Ah, perkara ini terlalu berat untuk mereka mamah! (Mengapa mereka hanya dikaruniai kehebatan menelisik kata-kata yang berderet di mata, mengapa keajaiban tak menyertai pemahaman mereka tentang hidup yang tidak sederhana?).

Demi Kau yang Maha Menurunkan Keajaiban, izinkanlah aku memanjatkan doa ini untuk kesekian kalinya ....

Ya Tuhan, panggillah anak-anakku. Cabutlah nyawa mereka segera. Tak dapat kubayangkan kalau aku lebih dulu Kaupanggil. Siapa yang akan memandikan, mengenakan pakaian, memasak makanan, atau mengajak bermain mereka ...? Bagaimana mereka dapat hidup sebagaimana hamba-Mu yang lain? O tidak! Bukan aku menyangsikan Kau yang senantiasa memperhatikan hamba-hamba-Mu, tapi ... apakah Kau akan membiarkan aku meneteskan airmata darah di awang-awang ketika menyaksikan semua penderitaan mereka?

KULIHAT SEKELILING. LAUT ini tak beriak. Tak ada ombak yang ditakutkan para penumpang jet poil Sumatera-Bangka-Belitung. Oh, aku baru menyadari sesuatu. Ada yang aneh dengan pelepah kelapaku. Bagaimana aku dapat mengayuh sejauh ini? Bagaimana aku sampai luput menyadari kapan pelepah kelapa ini melebar, memanjang, memiliki geladak, buritan .... Ini bukan lagi pelepah kelapa! Ini perahu! Oh, perahuku luas, luas sekali. Tidak, ini sudah menjadi kapal, sebenar kapal!

Dan, aku makin tercekat kala mendapati beberapa wanita yang belum pernah kulihat sebelumnya—tapi seolah aku sudah benar-benar dekat dengan mereka, berseliweran di kapal ini. Entah bagaimana, aku yakin mereka adalah Dewi Kwan Im, Khansa bin Amru, Hannah—salah seorang istri Elkina, dan beberapa yang berasal dari Jerusalem, Palestina, Tibet, Mongolia .... O o, pecinta anak-anak dari India yang pernah meraih Nobel Perdamaian itu pun ada di sini! Kucubit-cubit lengan, pipi, kaki, dan anggota tubuhku yang lain! Oh, ini nyata!

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Teringat anak-anakku. Aku memutar kepala. Mataku membelalak, mencari-cari titik daratan Sumatera yang aku tinggalkan. O o, kini, giliran aku yang terkesiap! Bukan! Bukan karena mendapati pelepah ini telah menjelma perahu Nuh. Bukan pula karena tak pernah terpikir kalau pelepah ini benar-benar akan membawaku menjumpai Kumbang (setiba di Kalimantan aku akan membeli mandau untuk memenggal kepalanya!). Bukan!!!

Aku terpana pada apa yang samar-samar ditangkap mata. Di daratan Sumatera yang mulai kabur dari pandangan, kulihat serombongan burung beterbangan di sana, di tempat aku memulai kayuhan, di tempat anak-anakku mendorong pelepah kelapa tadi. Adakah itu gerombolan burung gagak? Tengkukku bergidik tiba-tiba. Apa gerangan yang terjadi dengan Melati, Melur, dan Kecubung di tepian sana? Mataku hangat. Pipiku basah. Perasaan gembira dan sedih bersigesek dalam dada. Belum pernah kurasakan kecamuk yang ganjil seperti ini sebelumnya.

Oh, benarkah Tuhan baru saja mengabulkan doaku? (*)