Komidi Putar
Senin, 27 Juni 2011 by: Forum Lingkar PenaCerpen S Gegge Mappangewa
Dimuat di Republika, 5 Juni 2011
MATA mengantuk Ainun langsung terbelalak, tubuh Aimah yang tadi tidur di sampingnya, kini tak ada. Mendadak, jantungnya seperti lepas dari gantungannya. Seperti orang buta, meraba setiap jengkal tempat tidurnya. Dari sudut ke sudut.
“Aimah…. Mah…. Aimah, kamu di mana, Nak?” panggilnya sambil sesekali melongok ke kolong ranjang besinya. Aimah tak ada! Putrinya yang masih berumur tiga tahun itu, masih juga dipanggilnya berkali-kali. Tetap tiada!
Dia teringat perbincangan dengan suaminya tadi pagi.
“Bu, Aimah saya bawa, ya?”
“Jangan mimpi, Pa! Galang sudah kamu telantarkan.”
“Tapi dia kan cari uang.”
“Jadi, Bapak ingin punya anak karena mau menjadikannya binatang perahan? Anak kita masih terlalu kecil untuk dibebani tanggung jawab.”
Mata suaminya yang dari tadi menantangnya, kini tertunduk. Ainun pun merasa dirinya menang. Tapi kini…? Aimah yang baru saja dininabobokan, hilang. Dia yakin, pelakunya adalah suaminya sendiri. Dia keluar menembus malam yang pekat. Berjalan menuju lapangan desa yang kini ditempati pertunjukan komidi putar.
Telah hampir lima tahun, suaminya ikut keliling kampung sebagai pembalap tong edan. Penghasilannya lumayan. Di antara karyawan yang lain, suaminya yang paling tinggi gajinya, sepuluh persen dari seluruh penghasilan. Sedangkan karyawan lainnya yang bertugas di kincir, balon putar, kuda Ramayana, dan ombak asmara, semua hanya mendapat lima persen.
Apalagi, seluruh saweran dari penonton yang menyaksikan aktraksinya, masuk kantong pribadinya. Tapi, di antara karyawan lainnya juga, suaminya yang risiko kerjanya paling tinggi. Ainun pernah menonton pertunjukan suaminya, tapi dia hanya bertahan semenit. Detak jantungnya terpacu hebat, gendang telinganya terasa pecah mendengar deru motor yang sengaja dilepas knalpotnya, meraung, berputar, dan memanjati tong yang tingginya mencapai empat meter.
Dia pernah meminta suaminya berhenti bekerja, tapi mau makan apa? Toh, mati juga! Sebagai orang Bugis, suaminya punya prinsip, lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan. Aib! Dia pasrah saja, karena hidup memang harus diperjuangkan bahkan dipertaruhkan dengan kematian. Hingga suatu saat, suaminya datang mengeluh karena penggemar tong edan mulai berkurang. Gaji pun tak cukup lagi buat makan.
“Ya, dicukupin aja, Pak! Nanti saya yang atur. Apalagi Bapak kan makannya di komidi putar. Saya sih, asal bisa beli susu buat Galang.”
“Atau Galang saya bawa saja, cari uang bersama saya.”
“Cari uang?”
“Maksudku, Galang saya bawa saja. Pemilik komidi putar yang tanggung susu dan makanannya, bahkan pakaiannya.”
Belum diiyakan, suaminya sudah berdiri dan mengumpul pakaian Galang sendiri.
“Ibu nggak usah khawatir, kan ada saya?” kata suaminya, namun belum bisa menghapus cemasnya.
Lebih membuatnya heran, suaminya melarang dia ikut. Suaminya hanya berjanji, akan mengembalikan anaknya sekali sebulan. Saat itu, kebetulan komidi putar sedang pertunjukan di luar kampung. Seperti tertotok, dia mengiyakan saja. Barulah setelah dua hari kepergian suaminya, dia mulai menaruh curiga. Curiga untuk yang pertama kalinya. Selama ini dia memang selalu percaya kata hatinya, bahwa suaminya takkan menyeleweng.
“Suamimu laki-laki kan? Jangan mudah percaya, Ainun! Jangan-jangan dia mengambil anakmu karena dia punya istri simpanan selama ikut komidi putar.”
Tetangganya mulai ikut sumbang saran.
“Suamiku bukan lelaki seperti itu.”
“Ainun, lelaki semakin dipercaya semakin dia berpeluang memperdaya kita. Apa salahnya kamu mengunjunginya di kampung sebelah?”
Ainun pun berangkat. Berat langkahnya terangkat, tapi dia melangkah juga. Di antara keramaian pasar malam, sejenak dia berdiri mematung di dekat panggung tong edan yang sementara mengadakan pertunjukan. Awalnya dia enggan. Dia takut melihat aktraksi maut suaminya, yang terkadang berdiri di atas motor, lepas tangan, sambil mengendarai motornya mengelilingi tong. Benar-benar edan! Tanpa pikir panjang lagi, dia berlari menaiki tangga.
Di tak mengerti, mengapa anaknya bisa ada dalam tong yang di dalamnya sedang mempertunjukkan aktraksi edan? Bagaimana jika motor terjatuh dan menimpa tubuh anaknya yang sedang di lantai tong?
Ternyata Galang dibonceng bapaknya. Tak ada ketakutan sedikit pun di wajah putranya, bahkan sesekali melepas tangan kanannya dari pinggang bapaknya, untuk mengambil saweran yang diberikan pengunjung.
Tepuk tangan riuh, bergemuruh, saat Galang menerima saweran itu tanpa takut, bahkan masih sempat cium jauh untuk pengunjung yang memberinya saweran. Padahal, motor yang dikendarai bapaknya sedang meliuk-liuk, memanjat, dan mengelilingi tong yang berdiameter enam meter.
Batinnya mengutuk perlakuan suaminya yang ternyata menjadikan anaknya pengemis dengan cara lain. Tubuhnya seolah terserang lumpuh layuh. Persendiannya terasa tak kuat lagi. Gravitasinya hilang, dirasakan tubuhnya melambung, saat mata anaknya yang tertuju padanya, seolah tak mengenalnya. Ainun terjatuh. Pingsan. Orang-orang mengerumuninya. Saat siuman, suaminya berada di sampingnya.
“Begitu cara kamu menjaga Galang?” sinis dia.
Galang yang melihat ibunya sudah bisa diajak bicara, langsung mendekat dan memberinya kalimat yang semakin memerihkan hatinya.
“Bu, Galang suka di sini. Saya bisa beli mainan setiap malam,” ucap Galang sambil memperlihatkan mobil-mobilan plastiknya.
“Penonton selalu ingin pertunjukan baru, Bu! Apalagi Galang laki-laki, kelak dia yang akan menggantikan saya.”
“Memang di dunia ini cuma satu pekerjaan? Harusnya Galang disekolahkan!”
“Tapi Galang belum cukup umur kan, Bu?”
“Kalau anak seperti dia sudah bisa cari uang, bebas main tanpa batas di tengah pasar malam, mana mungkin ada minat untuk sekolah lagi?”
Suaminya terdiam, membenarkan kalimat istrinya. Setiap Galang ditanya mau sekolah di mana, jawabnya pasti mau sekolah di lapangan. Galang bahkan tak mau pulang ke rumah. Juga tak mau sekolah. Padahal, usianya sudah memantaskan dia masuk TK. Dia lebih senang hidup di komidi putar, keliling kampung. Setelah Galang dirampas masa depannya, kini Aimah yang jadi sasaran.
***
Tiba di arena pasar malam, langkah Ainun bergegas menuju tong edan yang mulai mempertunjukkan aktraksi mautnya. Deru mesin motor yang memekakkan telinga, seolah tak didengarnya. Malam ini dia harus mengambil putrinya pulang, bukan karena Aimah anak wanita dan tak cocok ikut aktraksi tong edan, tapi karena dia tak ingin anaknya kehilangan masa depan.
“Aimah!” teriaknya dari bibir dinding tong edan yang sedang dipanjati motor.
“Ibu mengenal anak itu?” tanya seorang pengunjung padanya. “Dia baru dilatih. Dulu Galang, kakaknya, juga begitu. Masih takut! Tapi lama-kelamaan, akhirnya jago juga seperti bapaknya,” lanjutnya tanpa menyadari jika dia sedang berhadapan dengan ibu dari anak yang sedang dieksploitasi itu.
“Cukup, Pak! Cukup!” teriak Ainun seperti orang gila.
Dia yakin, telah terjadi sesuatu pada Aimah yang sedang dibonceng dengan tubuh yang diikatkan sarung, menyatu dengan tubuh bapaknya. Di belakang Aimah, Galang berdiri sambil berpegang di pundak bapaknya. Sesekali melambaikan tangan untuk pengunjung. Tentu saja dengan motor yang tetap pawai, melengket di dinding tong bagai reptil.
Galang melihat sosok ibunya berteriak-teriak memanggil Aimah di antara mesin motor yang menderu. Galang langsung membisiki bapaknya. Selintas dia melihat wajah suaminya seperti pencuri yang ketangkap basah dengan barang bukti di tangan. Mungkin merasa bersalah, dia menurunkan motornya ke dasar tong.
Ainun berlari menuruni panggung tong. Tapi saat tiba di pintu tong yang telah terbuka, dia mendapatkan suaminya, panik, mengguncang tubuh Aimah.
“Mengapa dengan Aimah, Pak?”
Suaminya tak pernah menyangka jika akan terjadi sesuatu pada diri Aimah. Tubuh kecil itu tetap kaku. Dingin. Ainun yang menyaksikannya ikut beku. Sayangnya, saat dia siuman, dia tak bisa membawa Aimah pulang. Allah telah duluan membawa Aimah pulang. (*)