Koma

Minggu, 19 Juni 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Mashdar Zainal
Dimuat di Surabaya Post, Minggu 19 Juni 2011


SUDAH berbulan-bulan ia mencari pekerjaan kesana kemari dengan selembar ijazah yang ia bangga-banggakan. Namun hasilnya nihil. Maka dengan geram ia membakar selembar kertas yang ia dapatkan setelah mendengkur di bangku kuliah selama bertahun-tahun itu. Ia merasa dipecundangi. Ia merasa bahwa dirinya sangat tidak berguna.

Maka ia mengurung pikirannya dalam sangkar kepalanya, seperti tubuhnya yang berhari-hari hanya mendekam dalam kamar. Perlahan ia merasakan tubuhnya terasa berat bagai batu. Sendi-sendinya membeku. Beberapa waktu, ia merasa kepalanya sering pusing. Urat tubuhnya nyeri dan bagai dipelintir setiap kali bergerak. Iseng-iseng ia memeriksakan diri ke dokter. Seperti tanpa perhitungan, dokter memvonis bahwa ia terserang gejala stroke. Ha? Di usia semuda itu? Ia sendiri tak percaya. Ibunya juga tak percaya. Beberapa tahun lalu ayahnya meninggal oleh penyakit yang sama. Usia ayahnya memang uzur, jadi mafhum bila penyakit itu menjemputnya. Tapi ia, usianya belum genap tiga puluh. Sulit sekali ia menerima itu. Pasti dokter salah periksa.

Bagai bencana bertubi-tubi. Setelah ia membakar ijazahnya, lalu divonis stroke, tunangannya pun memutuskan hubungan dengan sepihak. Katanya, ibunya tak mengizinkan ia bersuami pengangguran yang sakit-sakitan. Sejak itulah, ruang kepalanya yang sempit terasa semakin penuh. Berat sekali. Bagai menyangga batu puluhan ton. Maka untuk meredakan itu semua, ia memutuskan untuk menenggak puluhan butir obat sakit kepala sekaligus. Obat itu ia tenggak bersama air soda dengan kadar alkohol tinggi. Awalnya sejuk-sejuk saja, hingga tenggorokannya bagai tercekik dan perutnya bagai mendidih. Sejak itulah, ia tertidur lama. Ia memulai perjalanan baru…

***

Ia bagai berdiri di sebuah lorong gelap dengan titik cahaya di ujung yang jauh, sangat jauh, hingga bagai mustahil ia menjangkaunya. Lorong itu sepi. Mati. Hanya ada warna hitam dan udara yang tampaknya telah lama membeku. Pengap. Ruang yang sangat aneh, pikirnya. Bagai adegan dalam mimpi-mimpi. Atau jangan-jangan ia memang tengah bermimpi?

Ia terus berlari, mengejar titik cahaya yang berkilat di kornea matanya. Aku harus ke sana. Dari titik cahaya itu, seperti ada bayangan yang memantul ke bola matanya. Ia dapat melihat. Ibu dan kakak perempuannya yang masih lajang membentangkan tangan, mengulurkan sambutan. Orang-orang yang pernah ia temui juga berdiri di sana. Manajer-manajer perusahaan yang pernah ia datangi bagai berebut menyambutnya. Tersenyum ramah. Dari bibir-bibir itu bagai hendak meloncat berbagai kabar baik. Kau berkompeten. Kau diterima. Kau bias bekerja di sini. Berapa gaji yang kau minta. Kapan kau bisa mulai bekerja.

Ia terus berlari, tak sabar menyongsong kabar gembira itu. Namun, secepat apapun ia berlari ia bagai tak beranjak, tetap berdiri di tempat yang sama. Jauh di sebrang titik cahaya, orang-orang itu terus meneriakinya. Memacunya supaya lebih cepat berlari. Kemarilah! Kami menunggumu. Berlarilah agak cepat. Kami berdiri di sini untukmu. Ia kembali bangkit. Berlari semakin cepat. Napasnya tersengal-sengal. Kakinya sedikit keram. Ia tak memedulikan. Ia masih terus berlari.

Barangkali Tuhan harus membantunya. Ia ingin merapal doa-doa, namun kepalanya kosong. Ia tak tahu bagaimana harus berdoa. Ia lupa tata cara berdoa. Maka ia berdoa alakadarnya. Sambil terus berlari. Memacu detak nadi. Memacu decak jantung. Ia bagai tak percaya. Sehebat inikah doa? Titik cahaya di hadapannya melebar. Bagai gerbang yang terbuka. Ia dapat menilik jelas, senyum ibunya, senyum kakak perempuannya. Ia tak sabar. Ia melompat, menerjang gerbang cahaya di mukanya. Ia kembali.

***

Matanya mengerjap. Semua tampak putih di matanya. Silau. Ia terbaring lemas di ranjang tanggung dengan seprai putih dan selimut bermotif garis-garis. Sebuah jarum infus menancap di urat venanya. Kepalanya masih sangat berat. Hanya ada ibu dan kakak perempuanya yang duduk terkantuk-kantuk di sebelah ranjangnya.

Bu, ia siuman, ia siuman. Lamat-lamat ia mendengar suara kakak perempuanya.

Ibunya melonjak dari tempat duduk. Mendekat padanya. Mengusap keningnya yang pucat. Pandangannya menangkap wajah tua itu. Wajah yang berlimpah ketulusan. Oh ibu, maafkan aku. Aku tak bisa menjadi apapun kecuali beban tempat berlabuhnya segala kekhawatiran. Maafkan aku ibu.

Tiba-tiba ia membayangkan ibunya menua diserang oleh keriput dan kekecewaan. Ini salahnya. Rasanya, ia ingin mengulang masa remaja yang telah ditapakinya. Ia ingin menghapus episode ketika ia mencakar wajah ibunya, dengan menghamili anak orang. Ia ingin membuang episode ketika ibunya digiring polisi gara-gara ia menikam teman sekelasnya. Ia ingin mendelete episode ketika ia berulang kali memeras uang ibunya dengan kasar untuk jajan perempuan dan alkohol. Ia ingin menasikh semua episode-episode buruk itu. Tapi siapa yang bisa memutar waktu. Semua sudah terlambat ketika ia menyadari sesuatu: bahwa ia telah menjadi manusia dewasa. Manusia yang wajib menempatkan dirinya.

Ah, kepalanya kembali memberat. Sakit sekali. Sebaiknya ia segera pergi, barangkali di sana ada masa lalu yang bisa ia perbaiki.

***

Ia tengah berdiri di sebuah padang gurun. Desir pasir dan desing angin bagai berkobar. Panas. Gerah. Dimana air? Di mana sungai? Sepi. Sejauh paku pandang hanya ada lautan pasir. Ia benar-benar buta arah. Tak tahu harus ke mana. Namun, di sebuah titik ia seperti melihat kilatan kecil. Kilauan mata air. Ia tersenyum. Matanya nyalang. Menyisir pusat kilauan. Ya, itu oase. Dahaganya merajalela. Ia harus kesana. Ia harus mereguk sesuatu. Hei tunggu! Ceruk matanya menangkap sesuatu. Bukankah itu ibunya, kakak perempuannya. Ahai, mereka juga ada di sana.

Ayo! Kemari! Air di sini segar sekali. Kau harus mencipaknya. Kerongkonganmu harus mencicipinya. Itu teriakan ibunya. Senyumnya semakin lebar. Ada yang menunggunya di sana. Tapi, lagi-lagi, itu tempat yang jauh sekali. Atap langit bagai dikuasai matahari, kakinya seperti menjejak abu bara. Tapi ia tak peduli. Ia berjalan semakin cepat, berlari-lari kecil dan melesat terengah-engah. Ia berlari bagai mandi. Mandi keringat. Matanya tak lepas dari tangan ibunya yang membentang, menyambut kedatangannya.

Ayo! Sedikit lagi! Ia coba mengingat Tuhan. Bukankah mengingat Tuhan adalah jalan yang memudahkan apa saja. Ya, itu pesan ibunya yang telah menembus telinganya berulang-ulang. Ayo! Sedikit lagi kau sampai. Ia melihat kakak perempuanya bermain kecipak air. Ia harus sampai. Dahaganya harus terbayar lunas. Hei, ada seorang lagi yang berdiri di sana. Bukankah itu dokter yang beberapa waktu lalu memvonis dirinya terserang gejala stroke? Ya, tidak salah lagi.

Ayo! Kau hampir sampai! Aku ada kabar gembira untukmu. Kemarin aku hanya salah deteks. Kau tidak terkena stroke. Kau sehat, afiat. Kau hanya terserang pusing biasa. Kau sehat. Dokter itu juga ikut berteriak. Ia tertawa senang. Kilatan mata air bagai tersenyum menyambutnya. Ibu, aku sampai! Ia memekik, lantas meloncat agak tinggi, terjun ke telaga jernih itu. Ia kembali.

***

Ia memicingkan matanya. Ia merasakan basah di tubuhnya. Dingin. Ia kembali sadar. Ia masih berbaring di tempat yang sama. Ranjang yang sama. Jarum infuse yang sama. Ia menoleh lemah, melirik ibunya yang tengah memeras handuk kecil dan mengusap sebagian tubuhnya.

Alhamdulillah, akhirnya kau bangun, Nak! Ibunya menggumam lirih bagai mendapat kejutan. Mulutnya bagai dibungkam. Ia masih belum sanggup berkata-kata. Ia hanya berbicara dengan tatapan mata. Ada apa denganku, Bu? Sudah hampir seminggu kau koma, jawab ibunya. Koma? Koma apa? Sesuatu dalam kepalanya kembali bekerja, ia memutar kembali semuanya: pekerjaan, ijazah, stroke, diputus oleh tunangannya… kepalanya kembali berdenyut-denyut. Ini terlalu menakutkan. Kepalanya kembali remuk bagai dihantam pendulum puluhan ton. Sebaiknya ia tidur lagi agar rasa sakit itu berkurang. Ia harus tidur. Tidur yang mungkin sedikit lebih panjang.

***

Kali ini ia tengah berlari-lari kecil di hamparan padang rumput. Luas dan indah. Angin yang dihirup beraroma bunga rumput. Tapi ia sendiri. Sepi. Hanya ada lautan rumput setinggi lutut dan semilir angin. Ia berhenti sejenak dari larinya. Berdiri. Memejamkan mata. Membentangkan tangan. Duhai, indahnya tempat ini. Tapi ia tahu, ia tak akan bertahan dalam kesendirian. Maka ia kembali berlari-lari kecil, ia harus mencari seseorang, ia harus menemukan teman. Hei, lihatlah! Di seberang sana ia melihat sebuah pohon yang menjulang. Pohon yang rindang.

Di bawah pohon itu, ia melihat meja prasmanan yang sangat besar, dengan taplak putih dan aneka makanan dan buah-buahan di atasnya. Ia sangat mengenal orang-orang yang duduk mengitari meja itu. Ada ibunya, kakaknya, dan satu lagi…

Hei! Kemarilah! Mempelaimu sudah menunggu. Itu suara ibunya lagi. Di tengah-tengah, antara ibu dan kakak perempuanya, ada dua buah kursi berhias bunga, di kursi yang satunya gadis itu duduk. Ia mengenakan gaun pengantin putih tulang. Rambuhnya bersanggul bunga dan kerudung tipis. Mempelaimu sudah menunggu lama! Desah ibunya lagi. Gadis itu tersenyum dan mengangkat wajah. Aku akan menerimamu apa adanya, bibirnya yang berbalur lipstik tipis bergerak. Hatinya berbunga. Ia berlari menggasak rumput-rumput setinggi lutut yang menghalangi langkahnya. Ia terus berlari.

Dalam larinya, ia mengucap syukur berkali-kali sambil berdoa, semoga itu bukan mimpi. Ia terus berlari. Sesekali matanya tengadah ke langit, seperti mengucapkan terima kasih. Ia tersengal-sengal tak bisa mengucapkan apa-apa ketika sampai di depan kekasihnya. Tiba-tiba ia merasa menjadi mempelai yang paling bahagia. Setelah mengecup tangan ibu dan kakak perempuanya, ia mengecup kening calon istrinya. Sejuk. Ia kembali.

***

Ia mengakhiri senyumnya ketika rasa sakit tiba-tiba menjalar di uratnya. Seorang perawat tengah menancapkan sebuah jarum ke selang infusnya. Ia merasakan sesuatu berdesak-desakan menguasai tubuhnya, merasuk di tubuhnya, dan itu sakit sekali. Tiba-tiba ia kembali teringat kekasihnya. Ia kembali sadar, bahwa ia telah diperdayai mimpi-mimpi. Lahir dan bathin sama menyakitkannya. Ia melirik ibu dan kakak perempuanya yang dengan setia menungguinya. Kelenjar air matanya sesak melihat dua perempuan yang berpeluk itu. Sejak itu ia memutuskan, bahwa ia takkan lagi menyusahkan mereka.

Berat yang menindih kepanya sedikit berkurang. Namun sesak di dadanya meluncur dan menendang bertubi-tubi. Sakit sekali. Ia tertidur lagi dan berharap tak kembali.

***

Ia mendapati dirinya mematung di tengah jembatan panjang. Jembatan bersepuh cahaya putih. Hanya warna putih. Di ujung jembatan yang satu, ia hanya melihat kabut putih yang sangat tebal. Di ujung yang lain, ia kembali melihat ibunya dan kakak perempuanya berteriak. Entah apa yang mereka katakan, ia tak begitu jelas mendengarnya. Beberapa orang yang ia kenal juga melambaikan tangan di sana, para manajer-manajer yang melempar surat lamarannya, dokter yang memvonisnya terserang gejala stroke, juga kekasihnya yang mentah-mentah mengkhianatinya. Mereka semua melambaikan tangan, memintanya kembali. Di mata mereka bagai tersemat janji, bahwa keadaan akan membaik. Pekerjaan, penyakit, pertunangan, semua bukan masalah yang tak bisa di atasi. Mereka melambaikan tangan bagai berjanji.

Ah, tidak. Mereka hanya menawarkan mimpi. Tapi? Ia hendak melangkah. Ragu. Ia kembali menoleh ke ujung jembatan yang satu. Dari kabut tebal itu, matanya terbelalak, perlahan ia melihat ayahnya tersenyum lebar dengan wajah berseri. Tanpa beban.

Kemarilah, Nak! Mereka hanya merayumu. Kemarilah! Hiduplah bersama ayah. Di sini tak ada lagi kebohongan. Di sini hanya ada ketulusan. Di sini takkan ada orang yang menyakitimu. Percayalah! Bisik ayahnya. Bagai tersihir. Ia memalingkan tubuhnya ke arah ayahnya. Ia terlalu bosan dengan mimpi dan sakit yang bertubi-tubi. Tak perlu berpikir lagi. Ia harus segera berlari sebelum termakan rayuan itu. Setapak, dua tapak, ia mulai berlari. Sejenak ia menoleh pada orang-orang yang berteriak di belakangnya. Ia tak peduli.

Aku datang, Ayah! Teriaknya panjang. Ia menilik ke belakang. Ibunya menangis. Kakak perempuanya menangis. Ia tak menggubris. Maafkan aku Ibu, Kakak! Aku tak hendak lagi menjadi beban bagi kalian. Ia terus berlari. Berlari. Semakin cepat. Ia menubruk tubuh ayahnya dan sama-sama tergelincir ke dalam lautan kabut. Lautan kabut yang tiba-tiba meremang. Menghitam. Gelap. Gulita. Buta.

***

Di sebuah zaal, seorang wanita baya dan anak perempuanya terisak tanpa suara. Mengguncang-guncang tubuh kurus yang membiru terbujur kaku.***

Pasuruan, Februari 2011