Anak Ibu

Minggu, 16 Mei 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas

Dimuat di Koran Tempo, 16 Mei 2010










Apa Bahagia Itu, Anakku

Bahagia adalah ketika kau mendapatkan kegembiraan, kedamaian, dan rasa syukur, dalam waktu bersamaan. Hilang saja salah satunya, hidupmu akan timpang.

Kau nanti akan mendapati orang-orang yang berlebihan dalam banyak hal. Misalnya seorang hajjah, yang bila melenggang serupa manekin toko emas berjalan; bergelantungan perhiasan di leher, pergelangan tangan, centil telinga, bahkan lingkar kakinya. Tapi tak banyak yang peduli bahwa ia selalu dihantui kecemasan. Suaminya dibelit kasus korupsi, pun saban dua minggu harus cuci darah; anak-anaknya sudah tiga kali tertangkap basah nyimeng di belakang sekolah.

Kau jangan mencari kegembiraan dengan mengorbankan rasa damai, Anakku. Kau jangan lupa bersyukur hanya karena merasa semua didapat lewat kerja kerasmu. Kau jangan jadi orang kaya yang miskin!

Seperti Neknang

Mengapa orang-orang tua banyak yang renta?

Selain perkara usia, karena mereka tak mampu mengambil saripati kehidupan yang sudah kapalan dilalui. Mereka hendak berehat saja ketika senja, namun lupa, rehat dapat membunuh hasrat untuk senantiasa siap. Maka, kautiliklah, orang-orang tua yang bersantai ketika waktu sudah sudah hampir bosan memeringati usia, akhirnya akan menjadi benalu dalam keluarga. Kehadirannya justru merepotkan orang saja (walaupun tak ada yang mengungkapkannya).

Maka, kuceritakan padamu tentang Kakek. Dalam bahasa kampung kita, Neknang. Menjelang kepala delapan, ia masih berkebun, ia masih mengitari kampung saban petang, ia masih membaca koran (walau kadang minta ditunjuki arti beberapa kata atau kalimat serapan asing), bahkan ia masih punya cita-cita. Ke Tanah Suci.

Ibu ingin kau pun mewarisi semangatnya, Anakku. Menjadi tua, sudah ketentuan. Namun kau dapat menjadi muda, demi kehidupan!

Kehilangan Matahari

Kau tak tahu bagaimana kita sudah kehilangan matahari sekian lama. Sejak gedung-gedung itu tumbuh tinggi dengan cepatnya, mengalahkan tunas-tunas tanaman yang mesti disirami saban hari. O, kau juga tak tahu perihal pohon itu, kan?

Suatu waktu Ibu akan keluar dari kampung tembok ini, Anakku. Akan kubawa ember dari rumah menuju tanah lapang yang dirimbuni ilalang. Siapa tahu ada anakan jambu terong atau anakan srikaya yang tiba-tiba menyeruak dari sana. Akan kucungkil tanah tempatnya tumbuh: ya, bersama tanahnya sekalian. Kumasukkan ke dalam ember.

Di rumah, setelah disiram sedikit air. Kukabarkan padamu bahwa itulah cikal-bakal pohon. Aku hanya masih berpikir, apakah benar anakan itu akan menjadi pohon, bila matahari selalu disembunyikan oleh tembok-tembok?

Makan-makan

Bila ada yang meninggal, kaukabarkan saja pada keluarganya dan mereka yang tahu agama. Bakda dimandikan dan dikafankan, baru kaumaklumatkan pada 40 orang. Sembahyangilah ia. Lalu tanamlah ia di pemakaman umum di selatan kelurahan. Tak usah kau tanam di dekat rumah. Ia juga ingin berkawan dengan orang-orang mati, bukan hanya dengan kalajengking, lipan, dan cacing-cacing berwarna cokelat bening.

Bila para tetangga hendak mendoakannya di rumah, kau bantu ahli-musibah menyiapkan buku Yaasin dan Al-Qur'an. Lalu jeranglah air sepuluh kali lebih banyak dari biasa. Itu saja. Tak usah kau petik nangka muda, tak usah menebang batang kelapa untuk diambil umbutnya dan diparut kulit daging buahnya, tak usah menyembelih ayam kampung, tak usah membeli bumbu-bumbu gulai di pasar pagi. Ia tak restu bila kalian mesti berutang demi menyelenggarakan malam-malam doa di rumah hingga 100 hari kematiannya.

Aku Akan Jadi Gurumu

Maka, kuboyong kau ke sebuah kampung suatu hari. Kampung yang tersuruk. Nyaris dilupakan sesiapa (apalagi pembuat peta). Bukan tempat Ibu dilahirkan. Bukan pula tempat kakek-nenekmu hidup dulu. Ibu sudah lama mencari-cari daerah di mana Ibu dapat melihatmu tumbuh menjadi manusia yang paling manusia.

Ibu akan mengajarimu banyak perkara. Tak perlu kau mendaftar ke sekolah. Kau akan kudidik sendiri. Dengan tertib. Ibu tak ingin menitipkanmu ke gedung-gedung yang dibangun dengan batako yang dilapisi adukan semen dan pasir dengan perbandingan 1:7. Ibu tak ingin kau didikte pelajaran yang gurunya sendiri tak paham apa yang (hendak) ia berikan. Apalagi menurutku kau benar-benar tak perlu belajar bila sudah sekolah. Bukankah sudah ada tim sukses masing-masing sekolah yang akan mengisi lembar jawabanmu? Satu-dua siswa mereka tak lulus, dipecatlah kepala sekolahnya, digantilah kepala Dinas Pendidikannya, ditegurlah menterinya. Kita tak usah menyusahkan banyak orang, Anakku.

Bila Kau Jadi Pengarang

Bila kau menjadi pengarang, jadilah pengarang yang santun. Kau tak usah ikut-ikutan pengarang yang banyak bicara. Lain yang ditulis, lain pula tindak tanduknya. Yang kerjanya menghina karangan orang. Yang kerjanya menghardik pengarang lain. O ya, Ibu lupa kau perempuan, ya! Jadilah pengarang perempuan yang benar-benar perempuan. Tak usah kaukuak hal-hal busuk perihal kaummu. Tak penting itu. Hanya akan membuatmu terkenal karena kebusukanmu (bila ada yang bilang itu "wangi", itu bukan urusanmu).

Ingat Nak, mengarang itu menggambar atau bahkan membocorkan kenyataan agar orang lain ingat bahwa seperti ini rupanya hidup itu; kalau begini akan begitu, kalau begitu akan begini. Maka, bila berhubungan dengan pengarang lain, bercengkeramalah sebagaimana kau mengarang. Aku tak memintamu menjadi munafik. Aku memintamu bertanggungjawab terhadap apa-apa yang kau karang. Ingat pula, mengarang adalah mengingati orang lain tanpa mereka merasa digurui. Nah, bila tukang ingat-nya saja sembrono dalam bertabiat, bagaimana orang-orang yang membaca karangannya mendapatkan manfaat dari apa-apa yang (pura-pura) ia baik-baikkan dalam bahasa ceritanya?

Senja yang Telat Pergi

Kau harus tahu, di waktu-waktu tertentu, ada kalanya senja tak ingin pergi. Hingga, ketika jejak azan magrib sudah hilang dari gendang telinga pun, langit masih jingga. Jingga yang pucat. Dengar, itu bukan pertanda bahwa serombongan PKI hendak menggorok leher ibumu ini. Bukan pula karena Hantu Wewe tengah berkeliaran mau menyembunyikanmu di balik jubah landungnya. Itu adalah selingan alam.

Kadang-kadang kau tak tahu bagaimana ranting kering tiba-tiba patah tanpa didahului embusan angin yang kuat, tanpa didahului seekor prenja yang silap menghinggapinya. Nah, itulah. Tuhan kadangkala memainkan kekuasaannya pada hal-hal kecil, Nak. Kauresapilah.

Pun dengan senja itu. Tuhan hanya ingin memersilakanmu menikmatinya agak lama. Jangan kau menggerutu sebagaimana orang-orang merutuki hujan lebat yang membuat seng rumahmu berkereokan tak sedap didengar. Kau jarang berpikir, ketika itu anak-anak tetangga senangnya minta ampun setelah sekian lama tak mandi karena air sumur sudah bau belerang. Jarang ada yang berpikir, ketika senja hinggap lebih lama, anak-anak takut keluar rumah. Orang-orang tua bahkan menambah-nambah ketakutan mereka dengan cerita-cerita tak berbenang-merah. Jarang yang memanfaatkan kebersamaan dalam kekalutan itu, untuk membuat mereka bergegas mengambil wuduk: solat magrib bersama!

Tamasya di Hari Lahir

Apa yang akan kaulakukan ketika anakmu tiba-tiba ingat hari lahirnya?

Kau akan berpikir keras tentang sejumlah uang yang akan kauhabiskan untuk merayakannya, bukan? Merayakan? Apa yang perlu dirayakan dari sebuah peringatan?

Ibu bisikkan padamu. Kau ajaklah anakmu pergi ke tepian Lubuklinggau. Ke Siring Agung. Kaulintasi hutan karet di Kenanga Dua Lintas. Dalam perjalanan, kau kenalkan nama-nama pepohonan yang berbaris di tepi kiri-kanan jalan, yang berjajar serupa pagar-bagus pesta perkawinan. Biasanya pohon durian yang hampir ratusan tahun umurnya paling banyak di sana, pohon kopi yang bunganya bagai rerumpun melati yang tengah berpelukan, dan sedikit memasuki daerah Siring Agung, kau akan melihat pohon yang kelopak bunganya tak lembek: bunga kamboja. Di sana, terhampar pusara-pusara orang yang telah habis jatah hidupnya. Nah, lihat tahun lahir dan meninggal mereka. Bermacam-macam, bukan? Ada yang sudah sangat tua, ada pula yang seumuran dengan kau dan anakmu. Tentu, kau dan anakmu sudah khatam mendengarkan diktum kematian, bukan? Mau dibawa ke mana hidup ini bakda mati? Jangan lupa ya, Nak. Ajak anakmu ke sana di hari lahirnya.

Karib Nenek di Seberang

Nenekmu punya seorang kawan yang tinggal di seberang pulau. Ia memiliki sembilan anak. Semuanya sudah berkeluarga dengan pekerjaan yang baik-baik pula. Kau tahu, ia hanya seorang tukang jahit. Ia sangat suka berderma. Ia selalu memasak gulai dengan melebihkan kuahnya. Agar dapat dibagi-bagi dengan tetangga, begitu alasannya. Bila masjid mengadakan acara, dari khatam Qur'an hingga Maulud-an, ia yang paling banyak membawa penganan untuk para jemaah.

Bila dipikir-pikir, manalah mungkin ia mampu membiayai sekolah dan kuliah semua anaknya. Tuhan Maha adil, katanya. Aku takkan bercerita banyak perihal keajaiban itu, lanjutnya.

Ada-ada saja rezeki yang datang padanya, Anakku. Ibu akan selalu ingat sebuah kalimat sederhana yang dirawikan Nenekmu darinya: Banyak memberi takkan membuatmu jatuh miskin.

Semuanya Berkabut

Dari banyak hal yang membuat Ibu gelisah, yang satu ini harus diceritakan. Kini, dan apalagi ketika masa kau besar nanti, tidak ada silaturahim yang murni. Kedatangan adalah jembatan menghantar keperluan. Senyuman adalah senjata untuk menyembunyikan kebusukan. Tolong-menolong haruslah diawali kesepakatan yang saling menguntungkan.

Demi Tuhan yang Maha Menurunkan Keajaiban, kuingin kau menjadi orang asing di masa itu, Anakku. Jadilah orang asing yang memegang tongkat Al Hakim. Jadilah orang asing yang jernih berpikir, teguh memegang kata hati. Semuanya akan berkabut, Anakku. Hanya yang sombong yang tak melihat kabut itu. Hanya yang asing yang merasa terganggu oleh kabut itu. Kau, kuingin kau selalu was-was terhadap kabut itu, Anakku.

Jadilah Orang Miskin yang Kaya

Dengar, Anakku. Jangan pernah percaya pada kata-kata orang yang berdasi itu: Bila kau ingin berhasil, maka cintailah pekerjaanmu! Ingat, Anakku. Tak ada orang yang benar-benar mencintai pekerjaannya. Bila memang ia mencintainya, maukah ia menjabaninya tanpa imbalan?

Hidup adalah tumpukan topeng yang tak berwujud. Berlapis-lapis ditimpuk, takkan membuat mukamu tampak berbeda. Ini perkara lama. Perkara yang sudah jauh-jauh hari Tuhan ingatkan kepada kita. Padaku. Padamu pula.

Kau pelihara saja harta yang telah kaubawa sejak lahir. Kejujuran, rendah hati, mencintai saudara. Jangan kau ganti harta-harta itu dengan harta-harta yang baru: ketenaran, gelar haji, jabatan, mobil, emas-permata. Maka, jadilah orang miskin yang kaya, Anakku! Orang miskin yang bahagia.

Malam Setan

Malam, tak ubahnya siang hari. Bahkan lebih meriap. Kau akan mendapati perempuan jadi-jadian di sekitar rumah (rel kereta api tak lagi menguntungkan untuk mencari pelanggan).

Aku bersyukur karena kau perempuan, Anakku. Bukan laki-laki. Maka, demi Tuhan, janganlah pula kau menjadi siluman. Kelak, bukan hanya banyak perempuan yang mengaku bahwa mereka terperangkap dalam kegagahan perawakan laki-laki. Namun, akan banyak pula laki-laki yang mengaku terperangkap dalam kemolekan tubuh perempuan. Sering-seringlah mengunjungiku, Anakku. Agar kau ingat padaku. Pada nasihat-nasihatku. Pada kematianku. Pada kematianmu.

Lelaki Pencuri Cahaya

Sekarang kau sudah menjadi perempuan dewasa. Serupa aku beberapa tahun sebelum mengandung. Kau masih saja memakai pakaian yang landung-landung. Rok yang mencium mata tumit, dan baju kurung yang berkancing setengah kilan di atas payudara, membungkus lenganmu hingga ke gelang tangan.

Maka, carilah pemuda yang selalu membuatmu bercucuran cahaya karena mentari telah berhasil ia curi dan ia rasukkan ke dalam dirinya.* Dialah pemuda yang akan menjagamu. Menjaga pusara ibumu. Menjaga kehormatanmu. Menjaga anakmu agar tak menikah sebagaimana kau kelak: berwali hakim di hadapan penghulu.

Anak Ibu

Maafkan Ibu yang tak sempat menemanimu tumbuh, Anakku. Yang terang adalah, Ibu kini bahagia. Kau selalu mendoakanku, orang yang terbang ke langit bakda memersilakanmu menangis untuk pertama kalinya. Entah, kau mendoakan ayahmu atau tidak. Atau kau sudah tahu bahwa pemerkosa itu tak layak kaudoakan. Atau dokter yang menghadiahiku buah simalakama kala itu, menggugurkanmu agar aku hidup, atau melahirkanmu namun aku akan segera bertemu Munkar dan Nakir, telah menceritakan kepadamu bahwa aku kerap bercengkerama dengan perutku sendiri, menyampaikan ragam nasihat, harapan, dan impianku tentangmu, ketika layar monitor mesin pemindai kandunganku menyatakan kau perempuan?

Khidmatilah semuanya, Anakku. Mataku ada di mana-mana. Sebagaimana semua petuahku menyelusup dalam tindak-tandukmu.

Lubuklinggau, Maret 2010

Catatan: Kalimat dengan tanda * digubah dari "Lelaki Cahaya", puisi pendek yang tiba-tiba dikirimkan Aida Radar dengan SMS, ketika cerita ini tengah digarap.

Filed under: