Ketika Perempuan Perang Mengandung

Senin, 22 Maret 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Alimuddin

Dimuat di Surabaya Post, Sabtu, 6 Maret 2010








”Ambil semua pakaian, kalau sudah kunci pintunya,” lelaki itu mengucapkan kalimat baru saja dengan nada layu tanpa menatap biji mata perempuan yang disuruhnya.

Perempuan perang masuk ke kamar tidak tergopoh. Membuka almari kayu mereka. Pakaian tidak banyak sekali. Namun cukup kerepotan apabila dibawa seluruh. Maka disaring seperlunya saja.

Masing-masing empat pasang pakaiannya dan milik suaminya. Serta beberapa pasang pakaian dalam. Ke semua itu dibungkus dalam ija krong (kain sarung) kotak-kotak merah.

Barangkali bila kondisi telah kondusif, kelak mereka kembali.

Lalu Perempuan perang menangkap langkah-langkah ketakutan di luar. Pasti kaki itu bergerak sangat tergesa. Seolah harimau di belakang tengah mengintai dengan liur menerkam.

Sempat diambil tas pandan yang dahulu dianyam susah, yang tersembul di bawah pakaian. Dimasukkan lipstik, bedak rodeka, trika (bedak deodorant). Yang ke semua kosmetik murahan itu dibelinya di hari peukan ( Hari pasar ramai-ramai.)

Di luar, lari-lari ketakutan semakin jelas terasa. Kata ”bagah dan bagah” (cepat dan cepat) terlontar-lontar. Mulut anak kecil, entah paham sebuah ketakutan, kontan menangis.

”Lama sekali, nanti ketinggalan jauh dengan orang gampong,”

Perempuan perang melongok ke ruang tamu. Asap rokok suaminya tidak sabaran mengepul-ngepul. Lagi-lagi ia mendengar suara suaminya seperti pisau berkarat. Dingin tidak mendesak.

Bukan tidak ingin menyakiti. Tapi menurut mata batin perempuan perang, begitu itu malah lebih perih.

Angin malam memaksa masuk lewat rongga jendela yang tidak disekat apa-apa. Menyapu bibir gelisah perempuan perang. Seiring itu nyamuk berdesing-desing.

Lantas ia buang nafas dengan resahnya. Ia memilih menyentuhkan badan bawahnya ke kasur yang tidak berseprei. Bola mata mengamati nur lampu teplok yang melekat di triplek kamar mereka.

Takutkah perempuan perang dengan suara tapak kaki cemas di luar sana?

Tidak sekali-sekali. Perempuan itu, lebih ketakutan dengan suara dingin tak mendesak suaminya. Dengan suara lelaki itu yang tak menyapanya ’dik’ lagi sekarang.

Ketika mendadak beralih ke perutnya yang mulai buncit, cahaya mata perempuan perang tak berkedip. Antara sejenak ia menghela-hela sarat kesal.

”Cepatlah... Gampong sudah senyap ini.”

Lima hari lalu selentingan ia tangkap kabar jikalau gampong (kampung) mereka disilang merah tentara pemerintah. Banyak kaum pemberontak hilir-mudik di kampung mereka.

Tentu saja perempuan perang tahu siapa-siapa saja tokoh yang ingin memisahkan diri dari kesatuan negara. Bang Saballah, Bang Him dan beberapa pemuda turut serta.

Seperti lazim orang kampung, perempuan perang akan menjawab tidak tahu meski didesak aparat. Bukan musabab mendukung pemberontak itu. Tapi entahlah. Sepertinya menggeleng atau kata ”tidak tahu” adalah jawaban tepat nan bijaksana.

Dan malam ini selentingan itu jadi kenyataan. Akibat itu gampong harus disenyapkan dari penduduk. Andai tidak, Malaikat Izrail akan leluasa memangkas nafas tentu saja.

Dua belas menit kemudian---Setelah sebelumnya sempat mencium kembang jeumpa di sumur tanah samping rumah—kembang jeumpa yang begitu disukainya, perempuan perang bersama suaminya sudah di jalanan rumput lengang. Tepi kiri-kanan lung (kali kecil) disibak-sibak air musabab angin.

Angin menggigil hingga berasa es sampai di bawah ketiak perempuan perang sekalipun. Perempuan itu, memeluk buntelan pakaian demi segelintir hangat. Harusnya suaminya, melingkarkan lengan kekarnya ke bahu perempuan perang.

Tetapi tidaklah hal demikian terjadi. Bungkus pakaian saja dibiarkan dibawa istrinya yang sedang mengandung. Lelaki itu berjalan dua meter di depan perempuan perang. Sekalipun tidak menoleh ke belakang.

Perempuan perang memaksa sama cepat dengan gerak Hasan. Lekas sekali dikaitkan tangan dinginnya ke badan pria itu. Secepat peluk itu terjadi. Secepat itu pula peluk itu rubuh.

”Bang Hasan tidak mencintai adik lagi.”

Lelaki itu seperti biasa jika dihadapkan pertanyaan itu, akan bertindak seperti manusia malang yang sama sekali tidak dianugerahi suara oleh Tuhan.

Bisu. Dan tetap bisu.

”Mengapa Bang Hasan tidak ceraikan adik saja?”

Perempuan perang memilih memendekkan langkah. Membiarkan suaminya itu seperti dalam posisi pula. Berjarak meter darinya.

Kedinginan telah meleleh.

***

Perempuan perang pernah meminta cerai dua bulan silam. Tapi kuping Hasan seperti tidak pernah disinggahi pinta itu. Diam dan diam. Sehingga perempuan itu akhirnya menginsafi bahwa pinta itu tidak lulus.

Suatu sore, perempuan perang begitu melihat Hasan di hujung jalan yang juju ke rumah mereka, sengaja meremas jemari tangan Mahdi—bujang tiga puluh tahun yang belum juga menikah.

Tidak dilepas sampai ia yakin benar bahwa Hasan melihat perbuatan itu. Tapi lelaki itu tidak dengan jantan mendorong tubuh Mahdi hingga terpelanting ke ruangan jalanan. Sekedar melotot ke arahnya pun tidak.

Perempuan perang tahu, Hasan, lelaki yang menjadi suaminya itu tidak memiliki cinta lagi untuk dirinya. Dan ia tahu sekali apa biang dari segala itu. Tahu sekali perempuan perang.

Kehamilannya.

Janin yang kini tengah tumbuh berkembang di dalam perut perempuan itu.

Padahal sudah ia tempuh aneka kata untuk menjelaskan. Bahwa hamil itu bukan atas hendaknya.

Dan memang Hasan seolah mengerti. Tidak mengintrogasi macam-macam. Akan tetapi tidak lagi ada hubungan badan di malam-malam berhujan. Lelaki itu malam lebih memilih rebah di ruang sebelah kamar mereka yang kondisinya tidak lebih baik dari gudang.

Bahkan yang menyakitkan sekedar menatap hangat saja tiada lagi.

Tinggal perempuan perang yang kesepian. Kesepian jasad. Kesepian hati. Kesepian yang mencekam. Kesepian yang sebetulnya teramat ditakutinya.

***

Rupanya kedatangan mereka sudah ditunggu layak artis ibukota Desy Ratnasari yang dinanti para penggemarnya. Ramai berkumpul semua orang kampung di rumah Geuchik Harun (Kepala Desa Harun). Nama mereka didengung-dengung. Para perempuan menatap kasihan ke ceruk mata perempuan perang.

”Kita jangan ambil jalan besar.” Ucap Geuchik Harun.

Dan perjalanan malam dimulai. Meninggalkan kampung halaman. Hanya bintang beberapa yang menjadi benderang jalanan. Sebatas suluh api saja tidak boleh ada. Sebab pergi mereka, seperti maling yang mengendap-ngendap.

Jalanan tikus yang mereka lewati betul-betul gulita. Kiri-kanan adalah kebun kosong yang tumbuh liar semak belukar. Antara sebentar salak anjing dan salak lainnya di nun jauh. Tapak kaki ditahan sebisa mungkin agar tidak lahir bunyi besar. Sekali dua kali mereka harus melompat kecil sebab badan jalan telah ditiduri batang pohon lapuk..

Perempuan perang bersama para perempuan di baris tengah. Anak kecil seperti tidak ada di dalam barisan itu. Di baris depan dan belakang lelaki yang dibagi separuh-separuh.

Perjalanan masih panjang. Kata Geuchik, mereka akan ke Mesjid Kota Geudong. Dua puluh kilo berjarak dari kampung. Di tempat sana, mereka akan berkumpul dengan pengungsi dari kampung yang juga disilang merah aparat pemerintah.

Sambil kaki mengayun, pikir perempuan perang singgah ke bayangan hubungan badan bersama Hasan silam. Indah sekali. Dan jujur, perempuan itu merindui bisa melakukan kembali bersama Hasan.

Lalu tak dapat dicegah pikiran perempuan perang lari ke hari lain. Suatu senja berangin kencang. Ia tengah di beranda menampi beras. Letup-letup senjata. Merunduk di tanah. Ketika badan menegak kembali, ia laksana melihat hantu mengerikan di ambang pagar bambu rumahnya.

Lima pria bersenjata besar.

Diawali dengan introgasi tak masuk akal. Ini-itu yang kali ini benar tidak diketahui jawabannya. Satu pria kurang ajar terkekeh menatapnya. Kemudian diseret paksa ke kamar. Secara bergiliran satu persatu pria bersenjata itu masuk.

Cepat sekali jalan pikiran perempuan perang melintas-lintas. Baru ia terhentak ketika perempuan tua di samping mencolek pinggangnya. Dengan telunjuk bergetar mengacu ke hutan belukar yang samar kelihatan bergoyang-goyang .

”Mau kemana kalian? Kalian pemberontak ya?!

Bukan perkara sulit untuk mengetahui tubuh siapa di dalam hutan. Senter-senter besar bersinar bulan. Tubuh-tubuh tinggi telah berdiri congkak. Dengan sinar senter di arahkan ke mata rombongan silang bergnti.

Jawab Geuchik Harun dihadiahkan bentakan berikutnya. Beberapa lelaki terbata mencoba menguraikan siapa mereka, hendak ke mana tujuan, juga mendapat laku sama.

Keluarlah perempuan perang dari baris tengah. Telinga itu menangkap gumam ucap, ”ka matee geutanyoe... Ka matee geutanyoe (Sudah mati kita... Sudah mati kita.)” acap sekali dari mulut perempuan ketakutan.

Ia melewati beberapa lelaki tua yang meurateb (berzikir). Jelas perempuan itu menyimak badan Bang Saballah bergetar di balik seorang pria senja. Ketika berpasan dengan Hasan, ia melebarkan bibir. Lalu dengan berani bertatapan dengan laki bersuara bentak.

”Kalian boleh pergi. Asal perempuan ini tinggal bersama kami.”

Suara bisik-bisik dari mulut-mulut. Sementara semua mata beradu ke mata Hasan, bibir basah perempuan perang segaja melirik bergiliran ke mata pria-pria bersenjata itu. Melihat itu, nyaris meruah isi di dalam perut Hasan.

”Kalau tidak...”

Dua tangan pria tegap kembali mengokang-ngokang badan bedil.

Namun dalam batin perempuan perang gemuruh. Gelisah menanti apa jawaban suaminya Hasan.

Ingin sekali ia jikalau lelaki itu beringsut ke depan dengan muka merah padam. Menarik lengannya. Bila perlu memaki para pria bersenjata sebab telah meminta hal kurang ajar.

Bukan masalah setelah itu kokang senjata ditarik membabi-buta. Peluru timah menembus satu persatu tempurung kepala mereka.

Itu lebih baik menurutnya.

Kepala Hasan mengangguk. Perempuan perang menutup kecewa dengan sebuah sandiwara-- Tertawa besar hingga dada itu berayun-ayun. Tawa yang gatal akan sentuhan.

Hasan memilih memandangi langit.

Satu persatu dari rombongan hilang di tikungan gelap. Di antara mereka sempat menatap perempuan perang dengan perasaan yang susah ditafsirkan. Terakhir Hasan yang berpaling muka dengan menghembus napas.

Bersama perempuan perang enam lelaki menenggak air liur. Sedang Nurmala seperti kuntilanak di televisi, cekikikan mendayu-dayu. Tidak lama. Lalu mata perempuan itu hangat. Air mengalir dalam pekat.