Tujuh Belas Perempuan
Minggu, 21 Maret 2010 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Jurnal Bogor, 7 maret 2010
NURIAH
Wak Nur, demikian aku memanggil kakak semata wayang ibuku itu. Ia sangat tak rasional-menurutku. Ia selalu menjadikan perceraian kakakku Amir dengan Mbak Asih, seorang perempuan Jawa yang ayu itu, sebagai dalih agar membuatku hati-hati dalam memilih calon istri. Huhhh!
DINA
Bila ada yang bertanya padaku siapa wanita paling sopan yang pernah kutemui, maka tanpa ragu-ragu aku akan menyebut nama gadis kelahiran Madiun itu. Tentu saja, takkan kuberikan alamat rumah dan tempat kuliahnya, serta nomor telpon atau handphone-nya, pada sesiapa yang menanyakan itu padaku. Tak perlu kujelaskan alasanku melakukannya. Pun aku tetap bersiteguh dengan sikapku, walaupun kemarin kudengar dari teman kuliahnya kalau dia baru diterima kerja di Batam. Sebagai apa? Lebih baik kau tak tahu, kata temannya itu.
IKA
Walaupun bukan kerabat dekat, namun perempuan ini sangatlah berpengaruh dalam keluargaku. Mungkin cerita tentang ia yang membayari utang-utang Ibu pada rentenir Somad itu, benar adanya. Aku sangat cemas ketika ia melaporkan perihal kedekatanku dengan beberapa gadis yang hal-ihwal keluarganya-dengan sok tahunya-ia pergunjingkan.
JAMILAH
Orangnya ramah. Gigi-giginya berbaris rata. Sungguh indah bila sedang tersenyum dan tertawa. Wajahnya juga mulus sekali. Seolah menanggapi ketakjubanku, ia seringkali berujar bahwa ia tak pernah mengoles bedak pada wajahnya. Nekno-ku juga pernah bertanya apakah perempuan Sunda itu calonku. “Ia itu istrinya Kak Fajar yang tinggal di belakang Baitul Amin, No…,” jawabku kala itu.
UMI
Ia sangat penyayang. Tapi terlalu konvensional, bahkan irasional. Kupikir pemikiran kolot perihal Linggau-bukan Linggau dalam memilih jodoh hanya ada dalam cerita-cerita usang yang takkan mungkin terwarisi pada generasi-generasi berikutnya-termasuk juga generasi perempuan itu. Tapi aku salah. Ia sangat-sangat mementingkannya. Maka, aku hanya bisa diam ketika ia terus menyebutkan satu-dua suku yang ia ‘hindari’ itu. Mungkin ia tak terlalu memahami filosofi Burung Garuda….
KUSNAWATI
Ia dingin sekali. Tapi jangan pikir kebaikannya pun membeku dalam pribadinya. Ia suka menolong-seperti gadis Jawa yang kebanyakan kukenal. Walaupun tak pernah ia ceritakan padaku, namun beberapa kali aku mendapatinya memberi nasi bungkus dan beberapa lembar ribuan pada beberapa wanita tua di dekat trotoar. Semua lelaki sama saja, Mbah, katanya pada mereka. Wuiiiiik!
YUAN
Kerudungnya panjang dan lebar. Tak seperti kebanyakan wanita bertutupan kepala itu, ia acapkali mengenakan yang motifnya beragam. Batik, bunga lili, ilalang, koran, bahkan beberapa kali belang harimau. Tak seperti wanita-sepertinya-kebanyakan pula, ia tak terlalu membatasi percakapan dan pembicaraan. Hanya saja ia begitu sulit melafalkan melafalkan huruf F. Ah, gadis Minang yang lucu!
PUSPA
Aku sedikit terkejut ketika ia mengatakan semoga bukan aku Fatimah-nya. Ah, apakah semua ada hubungannya dengan cerita drama-cinta islami yang berakhir kegagalan itu. Sebenarnya ia menjawabnya waktu itu, tapi tak kuingat jelas kalimatnya. Yang kuingat, tak lama setelah itu, ia diterima PNS sebelum mengatakan bahwa ia akan segera berhenti di tempatnya kini bekerja. Kini, aku yakin, sebagaimana kulakukan, ia juga menghapus namaku dari handphone-nya.
ASMAINI
Menggemaskan. Itulah kesan pertamaku berjumpa dengannya. Semua bukan hanya didasarkan pada kedua pipinya yang setengah bantat, tapi juga bibirnya yang mungil, matanya yang sipit, dan tabiatnya yang bicara sekali-kali saja. Ya, tak seperti perempuan Bandung kebanyakan. Ketika kutanyakan apa kesibukannya sehari-hari, ia bilang jualan tempe goreng. Enak dan gurih, tambahnya berpromosi. Seolah ingin meyakinkanku, keesokan harinya ia mengantarkan satu kantong tempe goreng ke rumah. Semuanya basi!
AIE
Percaya diri. Itulah kata yang kurasa pas untuk menggambarkan kepribadiannya. Dia guru di beberapa sekolah dan beberapa Bimbingan Belajar. Dengan setengah tergesa, ia menjelaskan bahwa rumah ibunya di Tulungagung berdekatan dengan SD. Ia sangat senang melihat guru-guru yang mengajar. Aku tersenyum dalam hati. Ia memang percaya diri, tapi tak pandai menyembunyikan raut kesepian dari wajahnya. Ia anak piatu. Ayahnya acap pulang kerja larut malam. Kedua adiknya bekerja di luar kota.
SISI
Dia kelahiran Yogyakarta. Selain wajah-plus senyum-manisnya, kulitnya yang eksotik, rambut sebahu, bulu mata yang mencuat, hidung bangir, dan bibir yang merah penuh, ia juga murah tersenyum. Sudah berapa lama tinggal di Lubuklinggau, tanyaku. Ia tak menjawab. Ia hanya menulis di secarik kertas yang baru kubuka selepas mengunci pintu kamar. Aku bisu, tulisnya. Itu saja.
APRIYANI
Bila ada yang bertanya di mana dapat dicari wanita yang senang menolong, aku akan menunjuk rumahnya. Walaupun baru berkenalan, gadis itu suka sekali membantuku. Bahkan untuk mengurus beberapa proposal-yang sejatinya tanggunganku-ke beberapa tempat yang cukup jauh untuk ukuran gadis belia seperti dia. Aku masih bisa menyembunyikan resah, ketika ia memerkenalkan tunangannya dari Padang. “Se-suku lebih enak,” katanya seolah menanggapi keresahanku yang berhasil diendusnya.
YUNI
Tak jauh berbeda dengan nenekku, adik ibuku ini tak terlalu banyak omong. Tapi… o o, sekali berucap, maka seolah gumpalan magma menyembur dari mulutnya. “Alan dan Ros kemarin pisah ranjang. Tak lama lagi, ia akan senasib dengan Marlis yang ditinggal Milah. Cukuplah kiranya itu jadi pelajaran bagi kau. Jangan menyunting gadis Pariaman!” Huh, tak adil, batinku.
JUWITA
Awalnya kupikir gadis ini sama seperti wanita Jawa kebanyakan. Ayu dalam berbicara dan terlalu menjaga dalam bersikap. Tidak! Bukan, bukannya ia grasak-grusuk dan tak ada adab dalam berkawan, tapi ia seperti orang Linggau kebanyakan. Cuek tapi peduli. Serius tapi santai. Aku tak terlalu terkejut ketika ia menjawab pertanyaanku seputar wiwitan yang diikutinya: “Kalau bukan karena rambutku sempat botak karena menyimpan sisir pas panen dulu, pasti sudah lama aku hilang Jawa-nya?”
KUSMINARTI
Mengapa kau tak ikut grup lawak saja, tanyaku padanya saat itu. Ia sangat suka melucu. Walapun, jujur, kadangkala banyolannya garing. Ia kerap menertawakan cerita-ceritanya sendiri, tentu saja berharap orang lain mengikuti tingkahnya. Mungkin ia ingin meniru gaya Ajo dan One dari kampung ibunya: Piaman. Tapi ia lupa bahwa aku tak mudah terpancing, sampai…. ketika di tengah keramaian, dengan setengah tertawa ia berujar bahwa resletingku sudah sedari tadi terbuka. Yang lain tertawa. Aku juga tertawa, menutupi wajah yang memerah.
SHANTY
Dia sudah menikah. Bahkan satu bulan yang lalu baru saja melahirkan. Aku cukup senang ketika sebuah frase indahku akan dijadikan nama buat putri pertamanya. Orangtua kami tak setuju, tak ada unsur pewayangannya, dalihnya seolah meminta maaf karena tak jadi memakai nama yang kugubah. Ah, aku biasa saja. Yang aku terkejut adalah ketika kudengar ia akan bercerai. Satu setengah tahun kemudian, aku hendak menelponnya sebelum sebuah undangan aqiqahan terselip di pintu rumahku. Ada nama anak kedua mereka di sana.
ANA
Teman laki-lakiku kerap membicarakannya. Gadis paling menarik yang pernah ada. Tak kubiarkan kalian berprasangka bahwa pastilah ia suka memakai legging, tank-top, dan suka berhaha-hihi ketika jalan-jalan sore dengan Mio pink-nya. Ia gadis yang pendiam, bahkan dua bulan yang lalu ia memakai jilbab. Satu minggu yang lalu katanya ia juga bercadar. Masih tak kupersilahkan kalian berprasangka, apalagi menghujatnya, ketika ia digelandang polisi untuk alasan yang kata kalian: bom dan teroris. Mojang Cianjur itu hanya mengutil sabun dan pasta gigi di Linggau Plaza.
RAINAMSA
Ia menjulukiku sebagai orang yang tak pandai mengambil langkah. Tentu saja, ia menyebut mereka yang pernah dekat denganku. Tak kurang satupun. Ia masih ingat semuanya. Ingin sekali kutumpahkan kekesalanku bila tak menenggang bahwa ia adalah perempuan yang melahirkan dan membesarkanku. Setelah puas merepet perihal kawin-kawinan itu… : “DU-A E-NAM!!!” Lagi, ia meneriaki usiaku. Betul ‘kan? Perempuan memang sangat berlebihan!(*)
/Lubuklinggau, 01 Mei 2009 s.d. 10 Januari 2010