Orang-orang Kampungmu

Rabu, 02 Desember 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Jurnal Bogor 22/11/2009



AWALNYA antara iya dan tidak aku memenuhi ajakanmu wak­tu itu. Namun, demi melihat engkau yang begitu se­nang hati bila aku mengunjungi tanah kelahiranmu, maka aku pun akhirnya menganggukkan kepala. Se­sung­guhnya bukan itu saja yang menggenapkan alasan kedatanganku ini. Aku ingin membuktikan kebenaran anggapan miring mereka tentang kampungmu dan tabiat orang-orang di dalamnya.

“Cukuplah aku saja yang ke sana. Kampung sekali daerahnya!”

“Orangnya panas! Cepat tersinggung! Mau marah saja bawaannya!”

“Dulu, bibiku sempat ke sana. Pulang hanya bawa baju di badan. Ditodong dia….”

Itu kata kawan-kawanku di seberang sana yang dikutip dari orang-orang yang katanya pernah ke kampungmu. Itulah yang merangsangku menginjakkan kaki di salah satu daerah di Sumatera Selatan ini. Aku sengaja tak mengutarakan hal ini padamu. Takut engkau merasa tersinggung. Ya, aku tahu kau bukan orang yang sensitif. Tapi, kemungkinan salah paham itu tetap ada. Kau bisa saja beranggapan: Alasanku berlibur selama lima belas hari di kampungmu berada satu tingkat di bawah alasan kepenasaranku terhadap celotehan-celotehan mereka.

***

SATU fakta telah terkuak!

Tanah kelahiranmu dapatlah kusebut sebagai kota yang tengah berkembang. Di sini berdiri beberapa kampus swasta, SMA-SMK nasional, mal, butik, distro, pusat kebugaran, kafe, hall, hotel berbintang tiga, lapangan futsal, bahkan ada bandara-walaupun kabarnya jarang (atau memang tidak) difungsikan.

Aku telah mengabadikan semua dalam kamera digitalku. Bahkan aku juga sempat mengambil rekaman pertandingan futsalmu dengan anak-anak salah satu kampus swasta di sini. Untuk ukuran daerahmu, lapangan futsal tersebut cukup me­gah. Ini bukti: beberapa tahun ke depan kampung halamanmu akan menyamai Palembang. Aku yakin itu.

***

KAU sedikit pun tak menaruh curiga ketika aku memintamu untuk mengenalkanku pada teman-temanmu.

“Tenang sobat, kau akan bertemu dengan orang-orang dari berbagai suku di daerahku. Yaa… bukannya aku ingin me­nunjukkan betapa luasnya pergaulanku, ta­pi… ya begitulah….” Kau mengakhiri kalimatmu dengan tertawa ngakak. Aku suka itu. Kau meyakinkanku bahwa kau tak me­ngendus ‘penelusuranku’.

Aku kaukenalkan dengan Nanu. Pe­muda sebayaku ini berasal dari keluarga su­ku Col. Alamak, nada (bukan isi) bi­ca­ranya tinggi sekali. Berdengking-dengking. Ia seolah tengah berbicara dengan seorang tuli atau manula. Kalimatnya disingkat-singkat. Ditambah pula, ia kerap berbicara dalam kecepatan yang ekstra. Belum lagi bila tengah memamerkan bahasa-daerahnya padaku. Aku seperti mendengar pembacaan mantra saja.

Tapi… aku suka itu. Selain gaya bicaranya yang tak lazim Nanu tak suka menanam tebu di bibir. Ia pun cepat mengakrabkan diri. Bahkan dalam beberapa kali kunjunganku (tentu saja bersamamu) ke kediamannya, sudah dua kali aku diajak makan malam bersama ayah-ibunya yang bekerja menyadap karet saban pagi hingga petang. Aku pun dikenalkan dengan teman-temannya. Ternyata mereka berlatar belakang etnis yang tak berbeda dengannya. Bertemu mereka, aku seolah melihat Nanu-Nanu yang bergerombol.

***

KAU mengenalkanku dengan Sunar, putri pesirah-semacam Kades. Aku juga berkenalan dengan teman-temannya. Ada yang dari Suro, Karang Panggung, Binjai, Mandi Aur…. Kami cepat akrab. Pun ketika mereka mengajakku andun (sebuah kata yang menambah perbedaharaan istilah lokalku); menghadiri hajatan prnikahan, bersamamu aku memenuhinya.

Kami andun ke Karang Panggung.

Ya Tuhan, di sana aku hampir tidak dapat melanjutkan kunjungan dari rumah panggung satu ke rumah panggung lainnya. Perutku bagai mau meletus. Semua­nya berawal dari ketaktahuan sekaligus kerakusanku.

Ketika menyelesaikan anak jenjang rumah pertama, kami disuguhkan ma­kan­an yang benar-benar asing-bagiku. Tuan rumah menghidangkan nasi beras pulut, ikan seluang goreng, sambal tampuyak, bunge kates rebus, ditambah pula air kelapa muda yang sudah dicampurkan gula merah parut.

Setelah kau memberikan kode untuk menghormati tuan rumah (aku tahu arti­nya: santaplah hidangan itu!), aku pun men­cobanya. Kau seperti mengulum se­nyum ketika melihatku dengan lahap me­nyantap hidangan. Aku tak memedulikanmu. Jujur, makanannya benar-benar enak.

Aku baru berhenti ketika orang-orang dusun itu mengeluarkan batuk kecil. O o, ternyata mereka memerhatikanku sedari tadi. Aku malu. Dan bertambah malu ketika tawa mereka pecah mendengar sen­dawaku yang tiba-tiba. Baru mengertilah aku arti kuluman senyummu itu. Ada tiga puluh sembilan rumah lagi yang mesti dinaiki. Masing-masing harus dihormati tuan rumahnya. Matilah aku! Kau pura-pura tak memedulikan kebingunganku. Aku tahu, dalam hati, kau terbahak-bahak!

***

RUPIT. Awalnya aku pikir itu nama salah satu temanmu. Kau tertawa hingga mengeluarkan air mata, ketika dengan percaya dirinya aku menyapa teman yang baru kaukenalkan padaku dengan nama itu. Merah-masailah airmukaku. Malu samsai.

Ternyata nama temanmu itu Kap. Tetap unik, seunik nama dusunnya. Te­rang­nya, ia anak yang ramai. Tabik! Perangai kami seirama. Kami pun bercerita panjang lebar tentang banyak hal. Tentu saja, selaku ‘pencari-bukti’, kuberi ruang lebar-lebar baginya untuk banyak bercerita. Selain untuk mengetahui tabiatnya, aku juga mendapat banyak pengetahuan tentang kampungnya-yang juga kampungmu.

Dari Kap, aku dijejali nama-nama daerah yang sangat menarik didengar. Mand Angin, Selangit, Lubuk Ngin, Pauh, Muara Kuis, Pulau Kidak, Cecar… Alamak, kapan kita ke sana? Aku benar-benar bergairah.

Ternyata Kap adalah gambaran orang-orang Rupit-dan daerah sekitar-pada umumnya.

“Banyak orang bilang kami orang-orang yang sombong, apalagi kawan-ka­wanku yang dari Bingin Teluk itu. Mungkin mereka mengatakan itu karena kami memiliki perkebunan karet, kelapa sawit, dan katanya, tambang emas. Tapi itu pandangan orang sekali lalu saja. Yaaa… kami seperti orang kebanyakanlah, Kawan!” Ia menepuk pundakku. Aku ter­se­nyum. Lebih mirip menyeringai.

Kita diajaknya jalan-jalan ke Mandi Angin. Ada perkebunan kelapa sawit yang sangat luas di sana. Dia sempat mena­nya­kan berapa lama aku akan menghabiskan waktu di kampungmu. O o, aku baru sadar. Sudah hampir setengah bulan aku di sini.

Beberapa hari lagi, jawabmu.

Lusa, aku menegaskan.

Sungguh, bila tak memikirkan mid-semester yang akan dilaksanakan dua hari lagi, aku masih ingin tinggal di kampungmu.

***

AKU benci malam ini.

Kau membelikanku tiket kereta api kelas bisnis. “Selain karena aku tak punya cukup uang, kelas eksekutif tidak akan membuatmu merasa berada di kampung orang,” katamu sebelum memecah tawa seraya meninju perutku.

Kau juga minta maaf kalau selama di kampung halamanmu, kau merasa ada hal-hal yang tak selayaknya aku dapatkan. Buru-buru kukatakan bahwa semuanya mengasyikkan. Aku mendapatkan banyak teman. Justru aku merasa agak menyesal tidak dapat bertemu dengan teman-temanmu dari beberapa daerah yang pernah kausebutkan itu: Sukamanah, Su­ka­merindu, Megang Sakti, Karang Dapo, atau Petanang, tempat rumah dinas walikota…

“Yang penting, selama perjalanan darat kita kemarin, kau tak melihat bajing loncat itu, kan?!” Kami tertawa lagi. Ah, aku benar-benar kena kali ini.

Petugas stasiun mengumumkan beberapa menit lagi kereta api akan berangkat. Kau mengantarku hingga ke tempat duduk. Setelah memberikanku dua kotak-kardus oleh-oleh, kau memelukku erat. “Itu pempek, pokat, dan gula merah,” bisikmu.

Aku tersenyum tipis sebelum mengucapkan terimakasih dengan lirih. Ah, bukankah nanti bisa kubeli di Palembang?

“Itu sebagai bukti bahwa kau pernah ke kampungku,” Kau seolah dapat membaca pikiranku. “Mungkin dengan yang ada di Palembang, rasa pempeknya agak sama, tapi cobalah cukanya. Berbeda. Nah, untuk pokat dan gula merah, jangankan orang di seberang sana, mereka yang dari Pa­lembang saja selalu membawanya sebagai buah tangan.”

Kereta bergemerudupan. Kau buru-buru turun dan berdiri di luar, dekat jendela tempatku duduk. Kereta berangkat pe­lan-pelan. Kau melambaikan tangan. Ti­ba-tiba kurasakan mataku hangat. Basah.

Sebuah suara dari sampingku berta­nya: “Temanmu itu pasti baik sekali, ya?” Aku mengangguk tanpa menoleh. Aku masih mengusap mata. “Orang Linggau dan Musi tak beda dengan orang keba­nya­kan, bukan?” lanjut suara itu.

Aku menoleh. Tak ada siapa-siapa. Orang-orang di bangku lain sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang membaca, ngobrol dengan kawan sebangku, makan biskuit, bermain ponsel, juga ada yang sudah membentangkan kardus di antara tempat duduk; bersiap tidur.

Aku memejamkan mata. Mengantar tidur dengan mengingat kawan-kawan ba­ru sebagaimana menghitung jumlah dom­ba di padang rumput yang luas. Oh, aku tak sabar menyumpal bacot besar mereka yang sok tahu di seberang sana.***

Lubuklinggau, 19 April 2009

Untuk orang-orang Lubuklinggau: berbanggalah!!