Ketika Tuhan Berjubah Putih

Minggu, 13 Desember 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Sofie Dewayani
Dimuat di Republika 25/03/2007



Masjid kami seperti gua muram yang terasing dari gegap-gempita keriangan menjelang Natal. Hanya di masjid ini, orang berjalan gegas menyelamatkan badan dari gigitan angin dingin yang nakal. Masjid ini tempat berteduh sesekali, sedangkan toko dan mall di luar sana kemayu oleh dekorasi warna-warni, kerlip lampu serupa ceria kembang api, juga arus pembeli yang bagai tak mati-mati.

Tentu tak ada yang memikat dari masjid sepi. Karenanya kami mengunjunginya seperti membagi basa-basi. Tak hanya sekali dua kali, kami terdampar di tengah sesak arus pembeli di toko-toko yang wangi. Bagaimana bisa memalingkan mata dari kenikmatan berbelanja, di hamparan pajangan benda-benda menggugah selera yang harganya menggoda?

Begini. Sebenarnya saya mengidamkan mantel tebal warna ungu, yang harganya tak pernah terjangkau saku. Mantel lama saya semakin menipis tampaknya, dengan lapisan busa yang menua. "Namanya juga mantel loak. Boleh dong, sekali-kali saya beli barang baru," rayu saya.

Suami saya hanya tersenyum saja, tahu tabiat saya. Oh, dia juga sedang bermimpi ternyata. Idamannya kamera digital merek terbaru yang didiskon seratus lima puluh dolar dari harga semula! Tunggu hingga usai Natal, saat semua obral jatuh ke titik terendah, kata saya.

Saya tak tahu anak-anak mengidamkan apa. Saya tak berani bertanya. Saya bukannya tak melihat mata-mata kecil penuh harap yang diterpa kilau etalase kaca. Boneka-boneka Santa Claus di sana menyapa jenaka dari tumpukan mainan aneka rupa. Ya. Ini Natal, musim belanja saat anak boleh bermimpi setahun sekali. Namun anak-anak saya tahu diri bahwa mereka hanya boleh menyaksikan semuanya dari tepi. Memang, mereka pasti akan merecoki saya dengan pertanyaan yang itu-itu lagi,

"Nanti Santa Claus akan datang kemari?"

"Nggak dong, Sayang. Kita kan nggak merayakan Natal."

Tetapi, kemarin si bungsu melontarkan pertanyaan yang tak biasa,

"Lalu kenapa ibu ikut-ikutan belanja Natal?"

Saya tertawa (salah-tingkah, sebenarnya).

"Nggak kok, hanya melihat-lihat saja."

Dia diam, namun wajahnya tampak tak terpuaskan oleh jawaban saya. Ah, apa yang bisa saya katakan kepada bocah empat tahun? Suatu saat nanti dia akan mengerti seni belanja yang nikmat oleh sensasi menghemat. Ya, kendali bisnis tak bisa kita hindari. Tetapi apa salahnya membeli mimpi setahun sekali?

Natal sudah dua hari lewat. Namun pagi ini, rupanya anak-anak masih menyimpan auranya di meja makan. Awalnya, putri kecil saya bercerita tentang temannya yang mendapat hadiah perangkat Barbie dengan aksesoris pewarna rambut. Entah bagaimana, adiknya menyahut,

"Kenapa kita nggak punya Santa Claus?"

"Karena kita nggak merayakan Natal."

"Kenapa Tuhan kita nggak seperti Santa Claus?"

Kakaknya terdiam. Ditatapnya saya yang pura-pura sibuk mengolesi roti panggang.

"Kan Tuhan sudah beri adik semuanya?" kata saya. Klise, seperti biasa. Entah mengapa, pagi ini selai stroberi memucat warnanya. "Udara, buku-buku cerita, juga semua makanan yang adik suka...." Saya berdiri tergesa. Saya tahu jawaban saya seperti mengambang di udara. "Iya sih, semuanya. Kecuali... mainan mobil remote control yang aku minta," sahutnya, sambil menopang dagunya.

"Soalnya, kamu nggak pernah mengucapkannya dalam doa...!" sahut kakaknya tiba-tiba.

"Katanya Tuhan maha tahu segalanya? Jadi, nggak perlu bicara keras-keras, kan?" kilah adiknya. Saya menyembunyikan senyum, saat kemudian saya dengar dia berkata,

"Aku mau Tuhanku berbaju merah lucu dan selalu tersenyum seperti Santa Claus itu. Jubah putih Tuhan jelek dan nggak lucu. Dia juga nggak pernah tersenyum kepadaku."

Saya mengernyitkan kening. Jubah putih?

"Nggak perlu mendebatnya. Imajinasi liarnya itu bukan tandingan kita. Nanti dia akan mengerti juga," Suami saya berkata di benak saya. Kadang-kadang, rasanya memang tak sabar menunggu anak-anak cepat dewasa. Saya nyalakan keran air. Piring bekas sarapan tiba-tiba sudah menumpuk saja. Teman saya, seorang aktivis gereja, bercerita bahwa dia tak berbelanja Natal tahun ini.

"Di sini, Natal sudah kehilangan makna. Saya ingin, anak-anak merayakan Natal dengan sederhana saja," katanya.

Saya tersenyum saat itu, mengiyakannya. Saya ingin berkata, bahwa hura-hura belanja seperti ini membuat harga banyak barang jadi terjangkau untuk pendatang seperti saya. Namun tentu saya diam saja. Tiba-tiba, saya merasa bersalah sudah latah menodai hari suci yang berharga baginya.

Ah, siapa peduli. Lagipula mantel ungu itu diobral lagi hingga tiga puluh persen. Saya melihatnya di iklan televisi pagi ini. Setelah makan siang, kami berbenah cepat-cepat. Saya menelepon suami, mengingatkannya tentang rencana belanja hari ini. Lima belas menit kemudian, kami sudah menjemputnya di kampus. Jalanan seperti berkilau oleh hujan es semalam.

Dingin menggigit tulang. Embun menggenangi kaca mata suami saya saat digantikannya saya di belakang kemudi. Dia memutar kunci. Namun, mobil tak menggerung sama sekali. Bahkan semua lampu mati. Dua kali, tiga kali, hingga entah berapa kali kunci itu dihentakkan. Sia-sia. Kini, penantian berganti keluh dan umpat. Anak-anak meratap, merutuki hawa dingin mobil tanpa penghangat.

"Padahal aki mobil ini baru diganti," cetus suami putus asa. Saya menggigil bukan karena dingin. Terhempas dari penantian panjang itu seperti terjatuh di jalanan berlapis es yang licin. Suami saya menelepon perusahaan asuransi. Mobil derek akan datang tak lama lagi. Saat saya gandeng anak-anak ke halte bis, mereka menangis. Pipi mereka memerah tak terlindung dari gigitan angin dingin yang garang. Saya mengumpat dalam-dalam, menyesali reklame obral besar-besaran yang seperti sengaja terpampang nyalang.

Hah, kurang ajar!

Mobil kami masih menginap di bengkel hingga hari ini. Aneh, tak biasanya ia berulah seperti ini. Aki sudah diganti yang baru, namun masalahnya bukan itu. Kemarin, teknisi bengkel meminta suami saya untuk membeli busi baru.

"Apa dia yakin masalahnya itu?" Saya tatap suami saya, ragu.

"Yah, kita turuti saja. Siapa tahu?"

"Siapa tahu gundulmu!"

Dua ratus dolar sudah tandas, bukan untuk kamera digital, atau mantel ungu baru!

"Ya sudah.... Memang obral Natal kali ini jatah mobil kita." Getir tak tersembunyi dari tawa suami saya. Dan dia tak berani menatap mata saya. Jumat ini, masjid masih sepi. Entah hening apa yang tak mau pergi, saat gempita Natal tak lagi mengepung kota ini. Saya sedang membantu putri saya melepas mantelnya ketika saya sadari si bungsu tak lagi berdiri di sisi. Saya melihat sekeliling, dia bahkan tak terlihat di sudut mana pun juga. Saya hendak memanggil suami saya ketika pintu lorong terbuka. Imam masjid, yang asli Irak itu, muncul dari sana, membimbing anak saya. Senyum mengembang di balik janggut tebalnya. Anak saya mencengkeram jubah putihnya, dan tangan kirinya menggenggam lolipop merah muda. Melihat matanya yang basah, saya tersenyum lega.

"It's okay. Tadi dia menangis kebingungan di depan pintu," kata Imam sebelum berlalu.

Si bungsu menghambur memeluk saya, tangisnya pecah. Suami saya, entah dari mana datangnya, menggendongnya. Tangis si bungsu reda di pelukan ayahnya.

"Tadi aku diselamatkan oleh Tuhan, dan dia memberiku ini," katanya sambil mengangkat lolipopnya tinggi-tinggi.

Suami saya menatap saya tak mengerti. Saya tersenyum geli. Jadi Tuhan berjubah putih itu....

Si bungsu meneruskan celotehnya tentang Tuhan, dan tiba-tiba saya terhenyak. Duh, saya nyaris menjelma bocah empat tahun. Hampir saja saya memakaikan mantel ungu itu pada Tuhan.***

Urbana, Februari 2007