Sebelas Potong Cerita Neknang

Rabu, 02 Desember 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Republika 22/11/2009



ALIF
Neknang. Demikian kami memanggilnya. ”Neknang” adalah sebutan yang digunakan oleh orang-orang Musirawas dan Lubuklinggau untuk kakek, sementara ”Nekno” untuk nenek. Neknang lahir di Dusun Binjai, salah satu pedalaman di Sumatera Selatan, 5 Mei 1928. Jadi, tak heran bila ia adalah seorang veteran. Julukan itu tersemat bukan semata karena ia lahir dan besar di masa perang sedang berkecamuk di negeri ini. Namun, karena ia memang turut berjuang melawan penjajah.

Neknang pernah jadi juru ketik pesirah(kepala puak) di tanah kelahirannya. Neknang bercerita. Ketika itu, beberapa tahun setelah kemerdekaan diproklamirkan, (orang-orang) Jepang dan Belanda masih berkeliaran di Binjai. Hendak menindas orang-orang dusun. Perang pun kembali pecah, hingga akhirnya mereka terusir.

Itu adalah cerita yang acapkali ia ceritakan kepada kami, anak-cucunya. Cerita yang, sebenarnya, sudah bosan kami simak. Namun, ketika Neknang mencerita-ulangnya, ia seakan tengah menceritakan kisah baru. Kisah yang begitu semangat ia bagi. Tentang betapa ia menjadi bagian tak terpisahkan dari kemerdekaan republik ini. Paling tidak, perang kecil di kampung halamannya.


BA
Neknang memiliki satu stel seragam veteran. Seragam yang acapkali dikenakan ketika bepergian, atau sekadar jalan-jalan ke rumah teman-teman lamanya yang masih hidup. Tak hanya itu, Neknang selalu memakai aksesoris keveteranan (baik karena dibelinya, atau diberi oleh pemerintah kota sebagai tanda jasa); ikat pinggang, peci, pin, bros, hingga pena. Semua barang itu disimpannya dengan rapi dan hati-hati. Sangat hati-hati, seolah yang disimpannya adalah harta karun. Harta yang akan membuatnya layak dipandang. Setidaknya tak diremehkan. Karena ia adalah seorang pejuang kemerdekaan. Orang tua yang layak untuk dinaik-hajikan—oleh pemerintah.


TA
Bila ditanyakan tentang cita-cita. Tentulah kebanyakan anak zaman sekarang akan menjawab macam-macam profesi yang memiliki prestise di mata masyarakat. Dokter, pilot, polisi, bidan, atau bahkan presiden, akan mencuat dari mulut mereka. Tapi tidak demikian dengan Neknang Muda. Neknang Muda (atau Neknang Kecil) adalah anak yang memiliki cita-cita yang agak lain dari anak-anak masa kini. Namun, bila kami mengutarakan hal tersebut di hadapannya, ia selalu menjawab bahwa di masanya dahulu, naik haji adalah salah satu cita-cita yang paling populer. Bila sudah berhadapan dengan jawaban tersebut, biasanya kami mengalihkan topik pembicaraan.


TSA
Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Itulah nama organisasi yang diikuti Neknang sejak 1968—hingga kini. Kami acap berasumsi: seragam dan aksesoris keveteranan Neknang, didapatnya dari organisasi tersebut (paling tidak, karena beliau mengikuti organisasi tersebut). Awalnya kami pikir, keaktifan Neknang di LVRI semata karena ia ingin bernostalgia dengan kawan-kawan lamanya. Namun, acapkali ia mengeluh perihal banyaknya anggota LVRI yang usianya tak layak disebut veteran. Atau, bila pun ada yang sebaya atau lebih tua darinya, mereka adalah orang-orang yang tak ikut serta dalam perang kemerdekaan. ”Mereka hanya lahir dan besar waktu perang!” Demikian sering terlontar darinya.


JA
Neknang sangat menghargai pihak-pihak yang menaruh perhatian pada veteran. Tak terkecuali pada pemerintah kota. Tak sekali-dua Neknang bercerita tentang hal itu. Ya, adalah kebanggaan tersendiri baginya bila diundang ke acara-acara resmi yang diadakan oleh pemerintah kota, seperti: 17 Agustus-an, Hari Pahlawan, Sumpah Pemuda, atau bahkan sekadar diundang ke rumah dinas walikota untuk menerima THR. Kami tahu, dalam acara-acara itu, para veteran, tak mendapat perlakuan istimewa sebagaimana sering ia katakan. Namun, kami paham juga, acara-acara itu adalah waktu di mana Neknang dapat mendapati kebanggaan menyertainya; memakai seragam veteran yang sudah digosoknya dengan percikan air sagu (hingga begitu kencang dan tegang seragamnya), menunjukkan tanda jasa perjuangannya, atau sekadar bertemu—membangkitkan cerita lama—dengan para veteran (atau yang hanya mengaku veteran) lainnya. Maka, bila ia bercerita panjang lebar sepulang dari perhelalatan-perhelatan itu, kami akan mengaminkannya saja.


HA
Pemerintah kota memberi kesempatan kepada para veteran untuk mengajukan diri untuk diberangkatkan haji secara gratis. Pertamakali kudengar (bisa saja itu bukan pertamakali diutarakannya) kalimat yang lebih tepat disebut ’harapan’ tersebut ketika aku masih duduk di bangku SMP. Sekitar 13 tahun yang lalu. Oh, kalian tahu, apa yang dilakukan Neknang kami? Hingga saat ini, Neknang masih memersiapkan dan melengkapi macam-macam surat dan berkas yang dibutuhkan, memfotokopinya beberapa rangkap, membuat foto gandeng dengan Nekno.... Aku tahu semua itu. Karena beberapa kali aku mengantarnya ke komplek kantor walikota untuk mengurus persyaratan tersebut. Tahun ini, Neknang baru saja membuka Tabungan Haji (300 ribu sebagai isi tabungan awal) di salah satu bank yang direkomendasikan pemerintah. Jujur, aku tak terlalu yakin bahwa usahanya untuk dinaik-hajikan akan diperhatikan pemerintah.

Dan, semua prakiraanku itu benar. Hingga kini, tak ada lagi lanjutan kabar itu. Neknang yang dulu, saban pagi, semangat sekali memelototi Linggau Pos, koran lokal; berharap ada informasi perihal naik-haji itu, kini tak lagi. Walaupun, sekali-kali, beliau masih menyempatkan diri melihat-lihat koran. Kalian harus percaya, di usia menjelang kepala delapan, mata Neknang belum lamur—walaupun tak bisa disamakan dengan kejernihan penglihatan anak muda.

Sering aku bertanya dengan nada berseloroh (takut ia tersinggung) perihal ia yang tak kunjung mendapat jatah naik haji gratis. Awalnya, kukira Neknang akan memuntahkan semua kekecewaannya. Tapi aku salah. Neknang justru menyatakan bahwa ada yang lebih layak darinya. Atau ada yang lebih dahulu mengurus berkas-berkas itu. Atau ada syarat-syarat yang lalai ia penuhi. Tabungan haji yang baru dibukanya pun masuk dalam daftar alasannya. O ya, Neknang juga memiliki tabungan di sebuah bank swasta daerah. Ia telah menabung cukup lama di sana. Aku (atau juga kami) tak pernah berpikir menyarankan agar uang di bank tersebut dialihkan ke tabungan hajinya. Neknang pun bagai tak mengingatnya. Entah ia memang lupa, atau memang berkeinginan menyimpan uangnya di bank yang berbeda....


KHA
Mataku kerap berkaca-kaca (aku yakin, ayah-ibu dan adik-adikku juga demikian), bila mendapati Neknang yang tengah merapikan (atau sekadar membuka-buka) arsip lamanya. Ia mengkliping semua berita suratkabar yang berhubungan dengan veteran, terutama yang berhubungan dengan naik haji gratis itu. Bahkan slip gaji yang ia ambil di kantor pos saban bulan pun tersimpan dengan rapi. Ini salah satu bukti kalau Neknang memang veteran, katanya.

Ya, Neknang memang tertib-administrasi. Kami kalah jauh darinya dalam hal ini. Mungkin, profesi sebagai kurir koran yang pernah dijabaninya dulu, menuntut ia harus cermat dan teliti dengan arsip-arsip itu.

”Tahun 1987-1992, Neknang sempat nyablon (semacam usaha pencetakan lambang/gambar pada baju kaus secara manual). Selepas itu, Neknang menjadi kurir Suara Rakyat Semesta sampai 1994....” katanya ketika menceritakan riwayat pekerjaannya.

Aku ingat. Ketika kecil dulu, saban petang, aku selalu menunggu Neknang pulang di muka pintu. Aku hafal sekali suara deruman atau klakson motor L2 Super tuanya. Bila suara itu telah menyentuh gendang telingaku, aku akan menyerbu pekarangan. Mengambil posisi duduk di belakangnya, di antara koran-koran yang bertumpuk. Keliling rumah-rumah penduduk satu putaran. Sampai di rumah, aku membantu Neknang menurunkan koran-koran itu. Setelah itu, rutin, Neknang merogoh sakunya, dan memberiku uang logam 100 rupiah. Dan aku akan langsung menghambur ke luar. Bergabung dengan kawan-kawan. Jajan.


DA
Baru hari ini—ketika kuhimpun data tentang pekerjaannya—aku tahu, kegiatan terakhir yang ditekuni Neknang adalah membentuk wadah semacam LSM pada tahun 2000. Lembaga Swadaya Masyarakat Desa, demikian nama lembaga tersebut disebutnya dengan sedikit ragu-ragu (mungkin memastikan apakah benar itu nama lembaganya).

”Neknang jadi ketua. Terakhir cair dari pemerintah kota tahun 2003: lima juta rupiah. Akta notarisnya masih ada.”

Baru saja akan kutanya perihal penggunaan uang tersebut, Neknang langsung menjawab; semuanya digunakan untuk renovasi SD dan panti asuhan yang ia sudah lupa namanya. Ia tak berurusan dengan uang itu ketika proposal tembus. Semua diurus oleh anakbuah, katanya.

Kubayangkan. Ketika itu, usia Neknang adalah 74 tahun. Bagaimana ia masih sempat memikirkan tentang kegiatan semacam itu? Ohhh....


DZA
Sejak 2004. Bersamaan non aktifnya wadah bentukannya itu, Neknang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berkebun. Neknang masih rutin menyisihkan gaji veterannya untuk ditabung. Neknang juga masih mengikuti perkembangan berita tentang veteran, terutama perihal naik haji gratis. Memang, Neknang tak lagi rutin membaca koran saban pagi, namun, ketika kami kedapatan olehnya sedang memegang atau membaca koran, maka pertanyaan seputar hal itu serta-merta mencuat dari bibirnya.


RA
Adalah beberapa bulan yang lalu, ketika aku kekurangan modal untuk membuka kursus bahasa Inggris kecil-kecilan di rumah, Neknang langsung menawarkan—bahkan terkesan memaksa—untuk menggunakan uang tabungannya di bank swasta daerah. Neknang paham benar, berapalah penghasilan ayah yang seorang PNS tamatan SMA, dan ibu yang hanya seorang ibu rumah tangga. Lima juta rupiah, itu saldo terakhir yang terbaca di buku tabungannya. Hari itu juga, uang itu hanya tersisa beberapa ratus ribu—hanya untuk syarat agar tabungan tak tutup buku.

Kini, kursus bahasa Inggris yang kurintis perlahan-lahan menunjukkan perkembangan. Tentu saja, perkembangan untuk sebuah kursus kecil-kecilan. Jangankan untuk memberangkatkan Neknang haji, untuk mengembalikan (walaupun ia tak pernah minta dikembalikan) uang tabungannya yang kupakai saja belum cukup. Sungguh, aku sempat miris, ketika Neknang, dengan sangat hati-hati menganjurkan agar aku menyisihkan sedikit demi sedikit uang kursusku untuk di tabung. Aku tahu maksudnya. Mungkin, pikirnya, suatu waktu, tabungan kursusku itu dapat memberangkatkannya haji. Ohhh.... aku hanya dapat beramin. Allahumma amin.


ZA
Akhir-akhir ini, Neknang lebih banyak melamun. Kadang seperti bicara sendiri. Kadang tersenyum tiba-tiba. Kadang tertawa tanpa suara. Tidak! Jangan mengira Neknang sudah tak betul lagi urat syarafnya. Neknang hanya mencoba meresapi cita-citanya dengan caranya sendiri. Ya, Neknang masih terlalu tangguh untuk takluk pada keadaan. Ia masih kuat mencangkul. Ia masih solat lima waktu. Ia masih mengambil sendiri gajinya di kantor pos. Ia masih pergi sendiri ke pangkas rambut tempel dekat pasar satelit. Ia masih kuat. Bukan, bukan karena ia rajin olahraga. Pun, bukan karena ia tak pernah merokok. Akan tetapi, karena ia tahu: hanya orang yang sehat yang boleh pergi ke tanah suci. Pergi haji. Suatu hari nanti. ***


/Lubuklinggau, 02:26 Dinihari, 30 Oktober 2009

*Tulisan ini bukan fiktif; Pemenang Lomba Menulis Kisah Inspiratif ”Emak Ingin Nak Haji 2009”